Gema Grahasarana
Periode Kuartal I 2014 kemarin merupakan periode dimana kinerja sebagian
besar para emiten lapis dua mengalami kemunduran, jika ukurannya adalah laba
bersihnya yang turun dibanding periode yang sama tahun 2013. Sementara kondisi
yang sebaliknya dialami oleh para emiten besar (saham-saham bluechip), dimana
laba bersih mereka naik signifikan. Entah ini merupakan semacam siklus atau
hanya kebetulan, namun yang jelas hal ini berdampak pada banyaknya saham-saham
lapis dua yang turun dalam satu atau dua bulan terakhir ini. Salah satunya Gema
Grahasarana (GEMA), dimana perusahaan mencatatkan penurunan laba sekitar 40%
dan alhasil sahamnya terus turun hingga sekarang sudah berada di level 380.
Namun dengan PBV yang saat ini tercatat hanya 0.8 kali, maka pertanyaannya
adalah apakah sekarang dia sudah cukup murah?
GEMA adalah perusahaan produsen produk-produk furniture dengan merk ‘Vivere’,
selain juga menawarkan jasa interior
design dan menjadi distributor untuk produk high pressure laminate (produk olahan kayu untuk membuat
barang-barang furniture, lantai, dll) yang diimpor dari Amerika Serikat. Dalam lima
tahun terakhir perusahaan menikmati pertumbuhan yang cukup signifikan seiring
dengan pesatnya pembangunan gedung-gedung perkantoran dan juga perumahan
terutama di Jabodetabek, dimana perkantoran dan perumahan ini menjadi konsumen bagi
produk-produk furniture dan jasa interior design yang ditawarkan GEMA. Pada
tahun 2009 posisi ekuitas GEMA tercatat Rp60 milyar. Dan sekarang? Sudah tembus
Rp158 milyar, padahal selama ini perusahaan juga cukup rutin membayar dividen.
Boleh dibilang bahwa pertumbuhan tersebut sepenuhnya dicapai dengan cara yang
normal tanpa leverage ataupun ekspansi yang berlebihan, dimana GEMA menggunakan
saldo labanya untuk secara berkala menambah gerai-gerainya hingga sekarang
sudah memiliki dua belas gerai yang tersebar di Jakarta, Surabaya, Medan, dan
Bali.
Nah, kalau melihat jenis produknya yang hanya menyasar kalangan tertentu (‘Vivere’
adalah merk furniture kelas menengah keatas, dan memang pelanggan GEMA adalah
hanya perusahaan-perusahan besar), maka tidak heran jika pertumbuhan pendapatan
dan laba bersih GEMA dalam jangka panjang agak kurang stabil, dimana pada tahun
2008 perusahaan sempat merugi, dan pada tahun 2013 kemarin juga labanya turun
dibanding 2012. Meski demikian, seperti yang sudah disebut diatas, ekuitas
perusahaan senantiasa tumbuh dari tahun ke tahun, termasuk GEMA juga secara
rutin membayar dividen meski untuk tahun ini nilainya hanya Rp7 per saham
(tahun kemarin sempat Rp31 per saham, dan dividen jumbo ini pula yang
menyebabkan sahamnya sempat terbang sampai 700-an). Dan pada tahun 2014 ini,
GEMA mencatatkan pertumbuhan ekuitas sebesar 4.9% sepanjang tiga bulan pertama 2014,
atau 19.5% jika disetahunkan. Well, masih cukup baik bukan?
Dan kalau anda perhatikan, saham GEMA terus turun dalam beberapa waktu
terakhir karena kekecewaan investor terhadap kinerjanya dimana laba bersihnya tercatat
hanya Rp7 milyar pada Kuartal I 2014, atau turun drastis dibanding Rp12 milyar
di periode yang sama tahun 2013.
Padahal sepanjang tahun 2013 lalu laba bersih GEMA tercatat Rp18 milyar.
Artinya? Sebagian besar laba GEMA di tahun 2013 menumpuk di Kuartal I, dimana
untuk Kuartal II hingga IV, perusahaan hanya mencatatkan laba Rp6 milyar saja.
Jadi dengan asumsi bahwa laba bersih GEMA sepanjang periode April – Desember 2014
adalah kurang lebih Rp7 milyar dikali tiga (karena tiga kuartal), maka laba
bersih GEMA pada tahun 2014 mendatang akan tercatat Rp28 milyar (sesuai target
manajemen), atau naik signifikan dibanding tahun penuh 2013 yang hanya Rp18
milyar. Dan tentu saja kenaikan tersebut akan menjadi sentimen positif bagi
sahamnya dimana GEMA seharusnya akan naik kembali ke paling tidak 500-an (PBV
persis 1.0 kali).
Meski demikan yang juga perlu dicatat disini adalah, pada Kuartal II 2013
lalu laba bersih GEMA tercatat Rp22 milyar, sehingga pada laporan keuangan
periode Kuartal II 2014 nanti laba bersih GEMA kemungkinan masih akan tampak
turun. Selain itu yang menyebabkan laba bersih GEMA pada tahun penuh 2014 malah
turun dibanding dua kuartal sebelumnya (Rp18 berbanding 22 milyar), adalah karena
pada Kuartal IV 2013, perusahaan mengalami kerugian karena pelemahan nilai
tukar Rupiah terhadap US Dollar, dimana hal tersebut menyebabkan kenaikan harga
bahan baku pembuatan furniture yang memang sebagian besar diperoleh dari impor.
Dan karena pada saat ini Rupiah kembali melemah menjadi Rp11,863 per
Dollar, maka perolehan laba GEMA di Kuartal II mendatang mungkin akan sedikit
lebih rendah dibanding perkiraan, sehingga sahamnya pun belum akan naik. Jadi
meski tadi penulis mengatakan bahwa GEMA bisa naik ke 500-an, namun itu tidak
akan terjadi dalam waktu dekat, kecuali jika Rupiah ternyata bisa lebih cepat
pulih kalau hasil Pilpres pada tanggal 9 Juli mendatang direspon positif oleh
pasar.
Kesimpulannya, meski GEMA belum bisa direkomendasikan secara penuh untuk
saat ini, namun kalau anda termasuk yang yakin bahwa nilai tukar Rupiah pada
akhirnya nanti akan kembali menguat, maka saham ini boleh dikoleksi sedikit
demi sedikit untuk nanti biarkan dia naik sendiri pada (paling lambat) awal
tahun 2015. Pada harganya saat ini GEMA sudah tidak lagi likuid, dan itu
menandakan bahwa harganya sudah bottom, dan
itu sesuai dengan valuasinya yang amat sangat rendah dimana market cap GEMA
pada harga 380 hanyalah Rp122 milyar, atau sudah lebih rendah nilai modal kerja
perusahaan yang tercatat Rp128 milyar. Sedikit clue, tidak mudah lho, menemukan saham yang valuasinya murah secara
absolut seperti GEMA ini, kecuali jika perusahaan tersebut bermasalah. Tapi
bahkan faktanya GEMA ini masih beroperasi dengan normal, masih mencetak laba, dan
juga masih membayar dividen. So, what’s the problem?
PT Gema Grahasarana, Tbk
Rating Kinerja pada Kuartal I 2014: BBB
Rating Saham pada 380: A
NB: Penulis membuat buku ebook berjudul ‘Superinvestor’, yang memuat
seminar Warren Buffett tentang value
investing. Dan anda bisa memperolehnya disini.
Komentar
Kalo saham SRIL kok juga turun pak? Padahal pendapatannya naik, dan juga akan naik ke depannya. Apa hanya sekedar dinamika bandar?
Sehingga investor akan menunggu beberapa kuartal ke depan melihat perkembangan dalam lap keu GEMA.
Mudah2an artikelnya semakin berkualitas, GBU