Koperasi Cipaganti
Akhir-akhir ini di media banyak beredar pemberitaan bahwa Koperasi
Cipaganti Karya Graha Persada, atau disingkat Koperasi Cipaganti saja, mulai
mengalami kesulitan dalam membayar imbal hasil/bunga bulanan kepada para
investornya, dan sudah tentu para investor ini mulai ketar ketir, belum lagi
pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) langsung angkat tangan terhadap masalah ini
dan malah melemparnya ke pihak Kementerian Koperasi (tapi bener juga sih). Menariknya banyak orang yang
menyangka bahwa perusahaan yang listing di BEI, yakni Cipaganti Citra Graha
(CPGT) merupakan Koperasi Cipaganti tersebut, padahal bukan. Anyway, mari kita
pelajari lebih lanjut tentang Koperasi Cipaganti ini, termasuk bagaimana
kira-kira ending dari kasus keterlambatan
pembayaran imbal hasilnya.
Koperasi Cipaganti, selanjutnya disebut ‘KC’, merupakan salah satu koperasi
paling terkemuka di Indonesia. Yang dimaksud dengan ‘koperasi’ itu sendiri adalah
badan hukum yang memiliki izin (dari Kementerian Koperasi) untuk mengumpulkan
dana dari masyarakat, dalam hal ini masyarakat yang menjadi anggota koperasi
itu sendiri, dimana dana tersebut akan digunakan untuk membiayai usaha tertentu.
Jika anda hendak bergabung dengan KC, misalnya, maka anda akan menanda tangani semacam
surat perjanjian di depan notaris bahwa anda telah bergabung menjadi anggota
KC, dan bahwa anda akan menyetor dana sebesar sekian untuk dikelola
oleh KC pada usaha tertentu, dan bahwa anda akan menerima bunga yang dibayarkan
setiap bulan.
Koperasi adalah jenis badan hukum yang jauh lebih sederhana dari
perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas atau PT, tapi sama-sama bisa memperoleh
pendanaan dari luar. Jika anda memiliki sebuah PT, maka melalui PT
tersebut anda bisa mengajukan pinjaman ke bank, menerbitkan saham, hingga
menerbitkan obligasi. However, proses untuk melakukan itu semua tidaklah mudah.
Ketika anda hendak pinjam dana ke bank, misalnya, maka
anda harus menyediakan aset senilai sekian sebagai jaminan, dan PT tersebut
juga harus sudah beroperasi sekian tahun serta memiliki track record yang bisa dipertanggung jawabkan.
Namun hal yang sama tidak berlaku untuk koperasi. Jika anda mengelola
sebuah koperasi, maka selama anda bisa meyakinkan para calon investor untuk
menempatkan dananya pada koperasi tersebut, then holaa.. you got the money!
Anda tidak perlu memberikan jaminan apapun terhadap si investor, yang penting
anda bisa secara rutin membayarkan bunga yang memang sudah dijanjikan setiap
bulannya.
Konsep koperasi sendiri sebenarnya merupakan alternatif bagi orang atau
sekelompok orang yang membutuhkan dana/modal untuk mengembangkan usaha
tertentu, namun tidak memiliki akses ke perbankan apalagi pasar modal (kalau
mau IPO). Jadi dengan adanya sistem koperasi ini, seorang pengusaha bisa
memperoleh pinjaman modal dari teman-temannya sendiri yang kemudian ditampung
dalam satu wadah yang disebut koperasi tadi. Koperasi ini dianggap sebagai ‘milik
bersama’, baik investor maupun pengelola, walaupun pada hakekatnya yang
memiliki akses terhadap dana yang ditampung di koperasi tersebut hanyalah pengelola/pengusaha itu tadi
saja. Para investor pasif tidak bisa begitu saja menarik dana, atau
mencairkan/menjual aset-aset yang dimiliki oleh koperasi, karena yang bisa
melakukan itu hanya pengelola koperasi yang bersangkutan.
Kelemahan Sistem Koperasi
Sebagai investor saham, penulis tidak pernah berminat untuk menempatkan investasi
di Koperasi, entah itu KC ataupun lainnya, karena: Pertama, saya belum pernah
mendengar orang yang kaya dari koperasi. Kalau di saham, tidak sedikit investor
yang sukses besar, tapi di Koperasi? Yang ada, semakin banyak orang yang
menjadi anggota sebuah koperasi, misalnya KC, maka yang semakin sukses justru
pengurusnya. I mean, jika anda hendak sukses dari Koperasi, maka anda harus
mendirikan koperasi tersebut kemudian mengajak orang lain untuk bergabung, dan bukannya
dengan ikut koperasi punya orang.
Kedua, ketika sebuah perusahaan membutuhkan dana untuk mengembangkan usaha,
maka perusahaan akan secara jelas memperinci berapa dana yang dibutuhkan, akan
digunakan untu apa dana tersebut, kemudian bisa mengajukan pinjaman ke bank, menerbitkan
saham, atau menerbitkan obligasi. Ketika dana yang dibutuhkan sudah terkumpul,
maka that’s it, acara penggalangan dananya selesai (perusahaan tidak lagi berusaha
mengumpulkan dana), dan selanjutnya perusahaan bisa fokus pada pengembangan
usaha menggunakan dana yang sudah terkumpul tadi. Contohnya, kalau anda ikut
membeli saham IPO, dan ternyata jumlah saham yang tersedia lebih sedikit
dari yang hendak anda beli, maka perusahaan yang bersangkutan tidak akan
menerbitkan saham baru ataupun menaikkan harga sahamnya, melainkan jumlah saham
yang anda terima tetap segitu, dan kelebihan uang yang anda bayarkan akan
dikembalikan (makanya kemudian ada istilah oversubscribe).
Sementara koperasi? Entah bagaimana dengan kegiatan usaha yang mereka
lakukan, namun yang jelas kegiatan penggalangan dananya dilakukan setiap saat
dan hampir tidak pernah mengenal kata berhenti. Contohnya di KC, sampai
sekarang mereka masih menerima investor baru, dan juga masih menerima tambahan
setoran modal dari investor yang sudah ada. Pertanyaannya, ketika KC pada
mulanya membutuhkan dana katakanlah Rp100 milyar untuk usaha tambang batubara,
misalnya, maka ketika dana yang dikumpulkan dari masyarakat lebih besar dari
itu, katakanlah mencapai Rp150 milyar, lalu akan dipakai untuk apa kelebihan modal senilai
Rp50 milyar tersebut? Sementara untuk menemukan peluang usaha yang baru lagi,
itu juga tidak mudah bukan?
Tapi bahkan hal itu tidak menghentikan koperasi untuk terus menarik dana
dari masyarakat, dan hal ini mengingatkan penulis akan Skema Ponzi lagi. Kalau anda belajar sejarahnya, pencipta skema
Ponzi, yakni Charles Ponzi, sebenarnya tidak sengaja dalam menciptakan skema
tersebut. Pada tahun 1918, Charles, yang ketika itu bekerja di sebuah toko di
Boston, Amerika Serikat, menerima surat dari sebuah perusahaan di Spanyol yang
memintanya untuk mengirim katalog produk yang dijual tokonya. Didalam amplop
surat tersebut, Charles menemukan sebuah kupon yang disebut international reply coupon (IRC), yang
bisa ditukar dengan selembar perangko. Perusahaan Spanyol tadi menyertakan
kupon IRC didalam suratnya agar Charles bisa menukar kupon tersebut dengan
perangko, sehingga ia tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk mengirim
katalog yang diminta ke Spanyol.
Menariknya, ketika Charles pergi ke Kantor Pos untuk menukar kupon tersebut
dengan selembar perangko, ternyata yang didapat bukan selembar perangko,
melainkan beberapa, padahal yang dibutuhkan hanya selembar. Peristiwa perang
dunia kesatu menyebabkan terjadinya perbedaan
nilai antara biaya pengiriman pos di Eropa dan Amerika, dimana selembar
kupon IRC hanya bisa memperoleh selembar perangko di Italia atau Spanyol, namun
di Amerika, kupon tersebut bisa ditukar dengan beberapa lembar perangko. Alhasil
Charles jadi memperoleh sejumlah uang tunai ketika menjual kembali kelebihan perangko
yang tidak digunakan.
Charles segera menyadari bahwa ia baru saja menemukan peluang bisnis
disini. Ia langsung menemui teman-temannya untuk meminjam uang, dan berjanji
kepada mereka bahwa ia akan mengembalikannya dalam waktu 90 hari, plus
bunganya. Uang tersebut digunakan untuk membeli kupon IRC dari Spanyol, yang
akan ia tukarkan dengan perangko di Amerika, kemudian perangko tersebut dijual
untuk meraih keuntungan sekian kali lipat. Charles berhasil mengumpulkan uang
US$ 1,250, dimana ia berjanji akan memberikan bunga sebesar US$ 750. Dan hanya
dalam waktu 90 hari berikutnya, ia benar-benar membayar total US$ 2,000 kepada
teman-temannya.
Dan tak lama kemudian, berita tentang ‘investasi mudah’ yang ditawarkan
oleh Charles seketika booming.
Teman-teman Charles tadi kembali meminjamkan uang kepadanya, bahkan dengan
jumlah yang lebih besar, termasuk mengajak orang lain untuk bergabung. Dan
Charles menerima berapapun uang yang
dipercayakan kepadanya. Hanya dalam tempo kurang dari setahun, nilai investasi
yang ia kelola melonjak dari US$ 1,250 menjadi US$ 420,000, dan terus saja naik.
Namun setelah beberapa waktu, Charles sudah tidak lagi membeli kupon IRC
tadi karena supplier-nya di Spanyol sudah kehabisan stok, yang itu berarti ia sudah tidak lagi menghasilkan
keuntungan, padahal dana investor terus berebut untuk masuk. Dan fatalnya,
Charles membiarkan hal tersebut terjadi, hingga akhirnya ia terpaksa membayar
bunga kepada investor lama menggunakan dana yang disetor oleh investor baru,
karena memang ‘perusahaan investasinya’ sudah tidak lagi menghasilkan
keuntungan.
Dan itulah awal mulai skema Ponzi yang terkenal. Bisa kita lihat disini
bahwa Mr. Charles Ponzi ini pada awalnya tidak berniat untuk berbuat jahat atau
menipu investornya, namun kesalahannya adalah dia terlalu serakah, dimana ia terus menampung dana yang masuk meski sebenarnya
ia tidak mampu lagi mencetak keuntungan.
Nah, meski tidak sama persis, namun di Koperasi juga bisa saja terjadi hal
yang sama, karena berbeda dengan perusahaan yang hanya menarik dana (dari bank,
atau dari masyarakat melalui skema penjualan saham) sebesar sekian kemudian
selesai, sebuah koperasi biasanya menampung berapapun dana yang disetor oleh
anggotanya, padahal pengelola koperasi ini belum
tentu mampu untuk terus menemukan peluang usaha yang baru. Terkait kenapa
Koperasi Cipaganti (KC) terlambat dalam membayar bunga kepada para investornya,
pihak pengelola mengatakan bahwa itu karena bisnis batubara yang mereka jalani
sedang lesu karena turunnya harga batubara, sehingga mereka kesulitan dalam
memutar modal yang diperoleh dari anggota koperasi (investor). Tapi jika
demikian maka kenapa sampai hari ini KC masih menerima setoran modal dari
nasabah? Jawabannya ya, karena mereka itu koperasi!
However, ini bukan berarti KC menjalankan skema Ponzi, dan juga tidak ada
bukti terkait hal itu. Namun yang penulis penulis garis bawahi disini adalah,
ketika bisnis batubara yang dijalani KC lesu, lalu bagaimana KC akan memutar
dana milik para anggota koperasi, sementara jumlah setoran dana juga terus
bertambah?
Itu yang kedua. Yang ketiga, semua orang selalu mengatakan bahwa yang
namanya investasi itu ada risikonya. Termasuk menempatkan dana di koperasi, itu
juga ada risikonya. Tapi yang terkadang dilupakan orang disini adalah, risiko
sudah pasti ada, namun seberapa besar risiko tersebut? Dan apakah setimpal
dengan tingkat imbal hasil yang bisa diperoleh?
Nama ‘Koperasi Cipaganti’ mendadak tenar belakangan ini hanya karena
pengelolanya terlambat dalam membayar bunga bulanan kepada para investor (entah
terlambat atau memang tidak dibayarkan, who knows), padahal selama
bertahun-tahun sebelumnya bunga bulanan tersebut selalu lancar dibayarkan (dan
itu pula sebabnya KC sukses menjadi besar). Namun karena adanya peristiwa ini,
para investor seketika ‘sadar’ bahwa modal mereka mungkin saja tidak balik
lagi. Sebab jika untuk membayar bunga-nya saja KC mengalami kesulitan, lalu
bagaimana dengan pokok investasinya? Katakanlah anda menyetor Rp100 juta ke KC,
dan dijanjikan akan menerima bunga sebesar 1.5% per bulan, alias Rp1.5 juta.
Tapi jika untuk Rp1.5 juta itu saja KC tidak bisa membayarnya, lalu bagaimana
mereka akan mengembalikan setoran modal anda yang sebesar Rp100 juta tadi?
Dan hal inilah yang seringkali dilupakan oleh investor koperasi. Ketika KC
mampu dengan rutin membayar bunga kepada investornya, maka investor pun akan
merasa tenang, dan berpikir bahwa modalnya nggak kemana-mana. Tapi ketika KC
mulai macet dalam pembayaran bunga tersebut, maka barulah investor akan sadar
bahwa modal mereka bisa saja tidak
kembali sama sekali. Padahal sejak awal, hanya karena koperasi lancar
membayar bunga, itu tidak menjadi
jaminan bahwa modal yang anda tempatkan tidak akan hilang! Katakanlah KC
rutin membayar bunga 1.5% per bulan selama setahun, sehingga total keuntungan
yang anda peroleh adalah 18%. Tapi setelah akhir tahun, dana anda ternyata
tidak bisa ditarik sama sekali, bagaimana tuh? Ya itu berarti, kerugian yang
anda derita menjadi jauh lebih besar ketimbang bunga yang sudah anda peroleh,
benar begitu bukan?
Jadi dalam hal ini, penulis menganggap bahwa investasi di koperasi memiliki
risiko yang tidak setimpal dengan potensi keuntungan yang bisa diperoleh. Kalau
anda beli saham A di harga Rp1,000, misalnya, dan ternyata itu merupakan
keputusan yang keliru, dimana anda terpaksa harus cut loss di harga Rp900. Maka meskipun anda rugi, namun uang anda
masih ada sisanya bukan? Memang, ada juga beberapa kasus dimana seorang
investor saham bisa menderita kerugian hingga 100%, dimana perusahaannya
bangkrut sama sekali, sahamnya di-suspend dan tidak dicabut lagi, harga
sahamnya mati di gocap, dan seterusnya. Tapi penulis sendiri rasa-rasanya belum
pernah ketemu investor saham yang ‘habis’ seperti itu. Pada tahun 1998, Pak Lo Kheng Hong pernah merugi hingga 90%, dan
mungkin itu adalah ‘rekor’ kerugian terburuk yang pernah dialami oleh seorang
investor saham. Tapi toh beliau sukses bangkit lagi, dan malah jadi investor
besar hingga saat ini.
Sementara di koperasi, in
case dimana koperasi tidak sanggup lagi membayar bunga maupun pokok
investasi para nasabahnya, maka aset-aset milik koperasi bisa dilikuidasi
kemudian dananya dibagikan kepada para nasabah. Tapi dalam prakteknya, penulis
belum pernah mendengar ada koperasi yang melakukan hal tersebut. Termasuk dalam
kasus KC, kasusnya masih tarik ulur sampai sekarang. Beberapa nasabah mengalami kesulitan dalam menarik pokok investasinya, beberapa lancar saja, dan selebihnya macet sama sekali.
Kesimpulan
Koperasi Cipaganti adalah salah satu koperasi yang sudah cukup lama
beroperasi di Indonesia (kalau gak salah sudah lebih dari 10 tahun), dan selama
itu hampir tidak pernah ada masalah dengan para investornya. Jika belakangan
ini mereka kesulitan dalam membayar bunga bulanan, maka itu adalah karena
adanya peristiwa yang tidak bisa dihindari, yakni penurunan harga batubara dan
mungkin juga masalah di bisnis lainnya yang dijalani oleh KC (kalau gak salah
ada bikin hotel juga, tapi pembangunannya mandek). Jadi kurang lebih sama lah
seperti perusahaan batubara yang sempat untung besar di tahun 2011, namun
kesininya laba mereka turun drastis dan sahamnya pun ikut turun, dan alhasil
menyebabkan kerugian bagi para investor yang memegang sahamnya.
Dan berbeda dengan perusahaan batubara yang langsung ‘angkat bahu’ ketika
investor protes kenapa sahamnya turun (apalagi Bakrie, jangan harap bisa ketemu
mereka deh), manajemen KC cukup bertanggung jawab dengan paling tidak bersedia
bertemu dengan para investor (terakhir tanggal 3 Mei kemarin). Persoalannya
adalah, karena KC ini sudah terlanjur besar, maka investornya juga sangat
banyak, dan alhasil kasusnya jadi booming.
Penulis terus terang tidak tahu bagaimana kira-kira kelanjutan dari masalah KC
ini, namun dengan ukuran dana kelolaan yang pastinya sudah jauuuuh lebih besar
ketimbang sekian tahun yang lalu, jelas tidak mudah bagi KC untuk memutar dana
kelolaan tersebut agar bisa memperoleh keuntungan yang paling tidak cukup untuk
membayar bunga kepada para investor. Tapi kalau kita melihat bahwa sektor batubara perlahan tapi pasti mulai pulih kembali, maka mungkin juga terdapat harapan bahwa pada akhirnya nanti bisnis batubara yang dijalani KC ini kembali pulih, dan mereka juga kembali mampu membayar kewajibannya kepada para investor seperti biasa.
Kemudian terkait PT Cipaganti Citra Graha, Tbk (CPGT) yang listing di bursa, itu
bukan Koperasi Cipaganti/KC, karena tidak mungkin sebuah koperasi bisa IPO
(CPGT ini sebuah PT, bukan koperasi). CPGT merupakan salah satu anak usaha dari
Grup Cipaganti yang khusus bergerak di bidang jasa transportasi, travel
wisata, dan penyewaan alat-alat berat. Sementara untuk bisnis batubara dan
lainnya, itu dipegang oleh anak usaha Grup Cipaganti yang lain lagi (jadi CPGT
sama sekali tidak mengelola bisnis batubara). Sementara KC, karena dia bukan merupakan perusahaan, maka secara struktur perusahaan bukan merupakan bagian dari Grup Cipaganti. Namun KC adalah salah satu pemegang
saham dari CPGT, dalam hal ini sebanyak 4.4% per April 2014.
Grup Cipaganti adalah salah satu grup usaha
paling terkemuka di Indonesia, tapi sekaligus yang paling unik karena mereka juga
mengelola sebuah koperasi, yakni Koperasi Cipaganti ini (meskipun tidak melalui grup-nya), dimana anggotanya
terbuka untuk umum (kalau koperasi milik grup usaha lain kan, biasanya
keanggotaannya terbatas untuk pihak internal, misalnya koperasi karyawan PT
ABCD, dan seterusnya). Jadi sayang sekali kalau reputasinya yang baik selama
ini harus tercoreng hanya karena masalah KC ini. Well, namun bisnis apapun
selalu ada risikonya bukan?
Komentar
Sebagai investor saya ada pertanyaan pak..apakah ada produk atau jenis investasi yang saat ini bs menyaingi properti (tanah/apartemen/townhouse)?
Terima kasih
Putra tampubolon
Saya sudah tahu kalau saya menulis artikel yang agak 'pahit' seperti ini maka akan memperoleh kritik. But please, kritik itu sebaiknya disampaikan dengan lebih rasional.
Pada saat orang bisa dipercaya mungkin ketika koperasi yang bermasalah begini ditangani PKPU harapan untuk menjadi baik itu sangat besar. Cuma masalahnya sekarang ini sudah sangat sedikit orang yang amanah, kelihatannya sulit untuk berpikir optimis. Mohon Pak Teguh dapat memberikan pencerarahan, agar kami para investor ini ada secercah harapan.
terima kasih.