Indofood Sukses Makmur
Indofood Sukses Makmur (INDF), seperti yang anda ketahui merupakan
perusahaan makanan terbesar di Indonesia, bahkan salah satu yang terbesar di
dunia, dengan variasi produk mulai dari minyak goreng, margarin, tepung terigu,
mi instan, makanan ringan, sirup, makanan bernutrisi, penyedap rasa, susu, dan
gula. Melalui anak usahanya yakni Salim
Ivomas Pratama (SIMP), INDF juga merupakan perusahaan perkebunan terbesar
di dunia dari sisi luas lahannya yang mencapai 483 ribu hektar. Jadi yap, INDF ini memang besar sekali. Tapi
penulis cukup terkejut ketika membaca laporan tahunan perusahaan, dimana INDF
ini ternyata masih terus berekspansi untuk menjadi lebih besar lagi. Terakhir,
perusahan milik Grup Salim ini sudah melebarkan sayapnya hingga ke Tiongkok,
dengan mengakuisisi China Minzhong Food
Corp., sebuah perusahaan pengolahan sayuran.
Meski Grup Salim sejak dulu sudah dikenal sebagai pionir di bidang makanan di
Indonesia dengan mendirikan pabrik tepung terigu (dibawah bendera PT Bogasari) pada
tahun 1974, dan kemudian menciptakan mie instan legendaris, yaitu Indomie, pada
tahun 1982, namun geliat mereka di industri makanan baru benar-benar terasa
setelah krisis moneter 1998. Pasca krisis, Grup Salim memutuskan untuk fokus
membesarkan bisnis makanan, yang seluruhnya diletakkan dibawah bendera PT Indofood
Sukses Makmur. Sejak awal tahun 2000-an, INDF telah masuk ke bidang usaha
produksi minyak goreng, margarin, susu, makanan bernutrisi, gula, kecap, dan
penyedap makanan. Sebelumnya pada tahun 1997, Grup Salim juga mulai masuk ke
bidang usaha perkebunan kelapa sawit, minyak goreng, dan margarin, dimana
usaha-usaha ini juga seluruhnya diletakkan dibawah INDF, melalui SIMP.
Logo Indofood dengan slogan barunya, 'The Symbol of Quality Goods' (menggantikan 'Lambang makanan bermutu') |
Kemudian setelah sempat ‘libur’ selama beberapa tahun, pada tahun 2007 INDF
kembali menambah portofolio perkebunannya, termasuk mengakuisisi PT London Sumatera (LSIP) yang
kemudian dijadikan sebagai anak usaha dari SIMP. Tahun 2008, INDF masuk ke
bisnis perkebunan tebu dengan mengakuisisi PT Lajuperdana Indah, dan
mengakuisisi perusahaan susu, PT Indolakto (produsen susu merk Indomilk). Tahun
2010, INDF mendirikan PT Indofood CBP
(ICBP) untuk dijadikan holding
dari anak-anak usahanya yang
bergerak di bidang consumer brand
products (termasuk Indomie) dan meng-IPO-kannya ke bursa. Dan setahun
berikutnya yakni tahun 2011, giliran SIMP yang menggelar IPO. Dari dua IPO-nya
tersebut, Grup Indofood meraup dana segar tak kurang dari Rp10 trilyun, yang
kemudian digunakan untuk melanjutkan ekspansi.
Dan ekspansi tersebut tidak butuh waktu lama untuk segera dieksekusi. Pada
tahun 2012, INDF melalui ICBP mengadakan kerja sama dengan Grup Asahi asal Jepang untuk memasuki bisnis minuman non alkohol di
Indonesia, dengan mendirikan dua perusahaan yang masing-masing bergerak di
bidang produksi dan distribusi minuman. Kerjasama Indofood-Asahi ini pada saat
ini sudah membuahkan hasil, dimana anda bisa dengan mudah menemukan minuman teh
merk ‘Ichi Ocha’ di supermarket dan pasar swalayan. Diluar itu, masih melalui
ICBP, INDF juga memasuki bisnis pembuatan mayones, jaringan restoran, hingga
produksi krim untuk pembuatan kue, rata-rata dengan bekerja sama juga dengan
perusahaan Jepang.
Terakhir, sepanjang tahun 2013 kemarin, INDF mulai ‘go international’
dengan mengakuisisi Companhia Mineira de Açúcare Álcool Participações (susah
amat bacanya), sebuah perusahaan gula di Brazil, mengakuisisi Roxas Holding,
perusahaan gula terbesar di Filipina, dan mengakuisisi China Minzhong Food
Corp., perusahaan budidaya dan pengolahan sayuran di Tiongkok yang sahamnya
terdaftar di Bursa Singapura. Berbeda dengan perusahaan-perusahaan lainnya yang
ditempatkan dibawah ICBP atau SIMP, perusahaan-perusahaan overseas diatas dipegang langsung oleh INDF, atau melalui Indofood
Agri, anak usahanya yang terdaftar di Bursa Singapura. Selain itu, INDF juga
telah menyelesaikan akuisisi atas seluruh saham PT Pepsi-Cola Indobeverages
(yang kemudian berubah nama menjadi PT Prima Cahaya Indobeverages).
Hufftt.. Okay, udah selesai? Ternyata belum! Pada tahun 2014 ini, melalui
SIMP dan ICBP (melalui LSIP boleh dibilang gak ada ekspansi apa-apa karena LSIP
ini cuma ‘cucu usaha’), INDF masih punya segudang rencana ekspansi usaha,
terutama karena dua anak usahanya tersebut masih memegang dana cash yang besar
hasil IPO-nya dulu (per Kuartal I 2014, SIMP memegang cash Rp2.2 trilyun,
sementara ICBP Rp6.3 trilyun). Model bisnis perusahaan yang banyak bermain di fast moving consumer goods, menyebabkan
INDF, terutama melalui ICBP, selalu memiliki cash yang besar untuk diputar
kembali. Sehingga wajar jika ekspansi lebih banyak dilakukan melalui ICBP (pada
awal tahun 2014, ICBP mengakuisisi air minum dalam kemasan dengan merk ‘Club’).
Meski demikian SIMP juga banyak melakukan ekspansi terutama dengan cara
menanami lahan perkebunan yang sudah diakuisisi sebelumnya, dengan tanaman
kelapa sawit, karet, tebu, hingga teh, dan mendirikan pabrik-pabrik untuk
mengolah CPO menjadi minyak goreng dan margarin.
Bimoli dan Palmia, merk minyak goreng dan margarin andalan Indofood |
Sementara INDF-nya sendiri, setelah tahun kemarin sukses mengakuisisi China
Minzhong, maka kedepannya perusahaan akan kembali mengakuisisi perusahaan
lainnya lagi jika memang ada kesempatan, tapi pihak manajemen memang nggak mau
cerita apapun. Diluar itu, pasar Indomie kini bahkan sudah menjangkau hingga
Maroko dan Kazakhstan. Jadi yah, prospek jangka panjangnya memang menarik
sekali, karena pihak manajemen tidak pernah berhenti bekerja untuk membesarkan
perusahaan, selain karena INDF sendiri sejak awal sudah merupakan perusahaan
makanan terbesar dan termapan di tanah air.
Berikut adalah beberapa poin yang menyebabkan INDF ini layak investasi
terutama jika anda merupakan investor besar (atau mewakili investor institusi) yang
nggak mau invest di saham-saham ecek-ecek dan nggak jelas.
- INDF memiliki sejarah yang panjang dan
positif sejak tahun 1970-an sebagai perusahaan makanan paling terkemuka di
tanah air, dimana INDF sejauh ini senantiasa bertumbuh dan tidak pernah
mengalami peristiwa buruk bahkan ketika terjadi krisis moneter 1998.
- INDF dipimpin langsung oleh pemilik
perusahaan, Bapak Anthoni Salim,
yang menempati posisi sebagai direktur utama. Kalau anda perhatikan perusahaan
besar lain yang dimiliki oleh grup-grup besar, jarang ada owner perusahaan yang mau duduk di
jajaran pengurus perusahaan. Contohnya di perusahaan-perusahaan milik Grup
Bakrie, anda jangan harap menemukan nama Aburizal atau Nirwan Bakrie
dijajaran direksi atau komisaris perusahaan. Padahal kalau pake contoh
Warren Buffett, investor besar ini juga ambil bagian dengan menjadi
direktur dari perusahaan-perusahaan yang ia beli/akuisisi, atau dengan kata
lain, ia tidak keberatan untuk turun langsung mengelola perusahaan.
- Untuk efisiensi kinerja, INDF juga memiliki
unit-unit usaha di bidang distribusi termasuk memiliki beberapa unit kapal
untuk logistik. Grup Salim juga sebenarnya memiliki banyak perusahaan di
bidang ritel, sehingga untuk membuat Indomie, misalnya, Grup Salim sudah menguasai
semuanya, mulai dari bahan baku tepung terigu, pabriknya, distribusinya,
hingga toko-tokok yang menjual Indomie-nya, itu semua milik mereka sendiri
(Indomaret dan SuperIndo itu juga milik Grup Salim). Namun hanya unit-unit
usaha distribusi yang diletakkan dibawah INDF.
- Perusahaan rutin membayar dividen dalam jumlah wajar setiap tahunnya, yakni sekitar separuh laba bersih yang diperoleh perusahaan di tahun yang bersangkutan, dan ini menunjukkan manajemen yang berpihak kepada investor. Nilai dividen itu sendiri terus naik dari Rp45 per saham di tahun 2008, menjadi Rp142 untuk tahun buku 2013.
- Return on Equity (ROE) perusahaan senantiasa terjaga di level 15 - 20% setiap tahunnya, padahal ekuitas INDF naik signifikan dalam beberapa tahun terakhir (terutama sejak IPO dua anak usahanya, ICBP dan SIMP). Tahun 2013 kemarin laba perusahaan memang turun karena penurunan harga CPO, dan alhasil ROE-nya juga turun, tapi ditahun-tahun yang lain, termasuk tahun 2014 ini, ROE tersebut tetap berada di level yang bisa dikatakan profitable. Data selengkapnya bisa dilihat di tabel dibawah. Sebelumnya catat bahwa ekuitas yang ditampilkan adalah ekuitas diluar kepentingan non pengendali, dan laba bersih yang ditampilkan adalah laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk.
Year | 2014*) | 2013 | 2012 | 2011 | 2010 | 2009 |
Equity (Rp billion) | 24,228 | 23,649 | 21,209 | 18,676 | 16,785 | 10,149 |
Net Profit (Rp billion) | 1,373 | 2,504 | 3,261 | 3,077 | 2,953 | 2,076 |
ROE (%) | 22.7 | 10.6 | 15.4 | 16.5 | 17.6 | 20.5 |
*) net profit is for first quarter only, the ROE is annualized |
Kalau anda perhatikan, dengan PER 10.9 dan PBV 2.5 kali pada harga saham
6,775, maka INDF adalah salah satu saham blue chip di bursa yang pada saat ini
memang sedang berada pada level harga wajarnya. Saham INDF sendiri cenderung
bergerak stagnan selama setahun terakhir di rentang 6,500 dan 7,500 (INDF
pernah turun hingga dibawah 6,000 pada Agustus 2013 ketika terjadi koreksi
hebat pada IHSG, namun langsung naik lagi), dan itu adalah karena kinerja
perusahaan sepanjang tahun 2013 masih turun akibat penurunan kinerja dari anak-anak
usahanya dibidang perkebunan kelapa sawit dan produk turunannya, karena
turunnya harga CPO. Pada tahun 2012 INDF mencatat laba bersih Rp3.3 trilyun,
yang turun menjadi Rp2.5 trilyun pada tahun 2013. Namun karena sejak awal
valuasi INDF tidak terlalu mahal untuk ukuran saham blue chip, maka sahamnya
pun juga nggak lantas anjlok karenanya.
Kabar baiknya, INDF mengawali tahun 2014 ini dengan cukup baik dimana labanya
kembali naik menjadi Rp1.4 trilyun pada Kuartal I 2014, berbanding Rp722 milyar pada periode yang sama tahun 2013, atau naik 90.1%. Kenaikan tersebut
tentu saja disumbang oleh bisnis perkebunan kelapa sawit yang mulai kembali
sukses menghasilkan laba yang besar setelah harga CPO mulai naik lagi (selain
karena volume produksi CPO milik SIMP dan LSIP juga naik terus). Jika trend kenaikan
ini terus berjalan maka jelas INDF sangat menarik untuk diperhatikan, selain
karena mulai tahun ini INDF memperoleh tambahan pendapatan dari China Minzhong
dimana pada tahun 2013 lalu pendapatan tersebut belum ada, dan itu belum
termasuk potensi tambahan pendapatan dari ekspansi-ekspansi lainnya yang sedang
dan akan dilakukan perusahaan.
However, kalau ada satu hal yang juga perlu diperhatikan adalah posisi
utang INDF yang pada saat ini sudah cukup besar. Berbagai ekspansi yang
dilakukan perusahaan selama beberapa tahun terakhir tentu saja membutuhkan dana
yang besar, sehingga perusahaan memutuskan untuk melepas ICBP dan SIMP ke bursa
saham untuk memperoleh dana total Rp10 trilyun, tapi bahkan itu masih belum
cukup. Jadi INDF juga mengambil utang bank jangka panjang, serta yang terbaru,
perusahaan kembali menerbitkan obligasi senilai Rp2 trilyun untuk melunasi
obligasi sebelumnya. Pada Kuartal I 2014, total liabilitas INDF tercatat Rp42
trilyun, cukup besar dibanding nilai ekuitas perusahaan sebesar Rp24 trilyun. Kalau
kita belajar lagi sejarahnya, Grup Salim sukses mempertahankan INDF ketika
terjadi krisis moneter pada tahun 1998 namun terpaksa melepas Bank BCA (BBCA)
dan Indocement (INTP), karena mereka menanggung utang yang cukup banyak namun
INDF ini tidak termasuk perusahaan yang menanggung utang tersebut.
Tapi saat ini kondisinya jelas sudah berbeda, dimana jumlah utang INDF tidak
bisa lagi dikatakan sedikit. Om Anton mungkin punya pandangan sendiri soal ini,
dimana INDF saat ini memiliki banyak anak-anak perusahaan yang beroperasi diluar
negeri dan itu menurunkan risiko bisnis karena penurunan nilai tukar Rupiah,
karena perusahaan-perusahaan tersebut membukukan pendapatan dan labanya dalam
mata uang di negaranya masing-masing (seperti China Minzhong, yang membukukan
labanya dalam mata uang Renminbi/RMB), sementara kita tahu bahwa krisis moneter
1998 terjadi karena pelemahan Rupiah secara tiba-tiba dari Rp2,500 menjadi
15,000 per US Dollar. Tapi tetap saja, hal ini tetap perlu diperhatikan jika
anda berminat untuk menjadi pemegang saham perusahaan.
Anyway, terkait harga ideal untuk sahamnya, seperti yang penulis katakan
diatas, posisi INDF pada saat ini terbilang wajar, jadi kalau anda mau ‘mengakuisisi’-nya
maka tunggu hingga harganya murah dulu, let say direntang 6,000 – 6,500 dimana
INDF sangat mungkin turun hingga ke posisi tersebut jika IHSG nanti turun, kemudian
selanjutnya anda bisa duduk santai menunggu dia naik sendiri. Target 9,000 bagi
INDF ini terbilang realistis untuk jangka waktu 2 – 3 tahun kedepan, dengan
catatan perusahaan mampu mengelola utang-utangnya dengan baik. Risiko penurunan
kinerja karena penurunan harga CPO untuk saat ini praktis sudah sangat kecil
mengingat harga CPO itu sendiri sudah rendah, selain karena trend-nya mulai
bergerak naik setelah harga CPO ‘istirahat’ selama dua tahun terakhir.
Kemudian jika ada pertanyaan, apakah lebih baik masuk ke INDF ini ataukah
anak usahanya saja? Seperti ICBP, SIMP, atau LSIP? Maka jawabannya adalah, anda
harus lihat valuasinya. Saat ini dari sisi PBV, saham SIMP merupakan yang
termurah diantara semuanya, namun itu karena SIMP memiliki tingkat profitabilitas
yang rendah sejauh ini karena masih banyak dari aset perkebunannya yang belum
menghasilkan (dari nyaris setengah juta hektar lahan perkebunan milik SIMP,
baru separuhnya yang sudah ditanam), selain karena margin dari jualan minyak
goreng dan margarin ternyata lebih kecil dari menjual CPO langsung (anak usaha
SIMP, yakni LSIP, hanya menjual CPO). Kalau dilihat dari kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan laba, atau istilahnya earnings
power-nya, maka ICBP dan LSIP adalah pilihan yang terbaik, namun harganya
pun premium. Jadi kalau mau ambil tengah-tengahnya saja, maka anda mungkin bisa
ambil INDF ini saja, tentunya jika anda bisa masuk di harga yang ideal.
Pada pertengahan tahun 2012, INDF cukup lama tertahan di 4,500-an (sekitar
delapan bulan), padahal itu adalah harga yang cukup murah dengan PBV kurang
dari 2.0 kali (ingat bahwa INDF ini saham blue chip tulen, yang tidak bisa
dihargai terlalu rendah). Dan sekarang, atau hampir dua tahun kemudian, INDF
sudah berada di level 6,500 – 7,000, atau naik sekitar 50%. Hal ini menunjukkan
bahwa kalau kita beli saham bagus di harga murah, maka meski terkadang perlu
menunggu cukup lama, namun toh saham tersebut pada akhirnya akan naik juga. Kabar
baiknya, untuk saat ini masih belum terlambat untuk masuk ke INDF jika
tujuannya adalah untuk investasi jangka panjang, let say untuk 2 – 3 tahun
kedepan.
PT. Indofood Sukses Makmur, Tbk
Rating Kinerja pada Q1 2014: A
Rating Saham pada 6,775: A
Komentar
saya baru mulai belajar untuk menganalisa saham dengan menggunakan laporan keuangan. mengenai INDF diatas, Bapak menyebutkan ROE nya di kisaran 20% tiap tahunnya, tapi saya lihat di annual report 2013 dari data BEI kok ROE nya 9,4% (2013), 14,5% (2012), 17,3% (2011)dengan keterangan 'imbal hasil termasuk kepentingan non pengendali'.
Apa memang ada perbedaan?
terimakasih, mohon infrmasinya
salam
Terima kasih
Tambahan lagi, soal distribusi, Indomarco sbg distributor utama Indofood, adalah perusahaan distribusi terbesar, dengan target waktu itu mempunyai depo di SETIAP kecamatan di indonesia bahkan sampai pelosok pun..