Belajar Valuasi: Kepentingan Non-Pengendali
Beberapa waktu lalu penulis menerima email pertanyaan dari seorang teman,
yang isinya kurang lebih sebagai berikut: ‘Mas Teguh, di artikel tentang Toba
Bara Sejahtra (TOBA), disebutkan bahwa laba bersih TOBA untuk Kuartal I 2014
adalah US$ 7.7 juta. Tapi saya lihat di koran ditulis labanya US$ 12.8 juta.
Mana yang benar?’ Penulis katakan, dua-duanya benar. Lho kok bisa? Well,
penjelasannya sebagai berikut.
Secara keseluruhan, TOBA mencatat laba bersih US$ 12.8 juta pada Kuartal I
2014, dimana dari laba tersebut US$ 7.7 juta diantaranya menjadi milik pemegang
saham perusahaan, atau disebut juga pemilik perusahaan/entitas induk, dan
selebihnya menjadi milik kepentingan
non-pengendali, atau disebut juga kepentingan
minoritas. Ini artinya jika anda memegang 100% saham TOBA, maka laba yang
anda peroleh adalah US$ 7.7 juta, sementara selebihnya merupakan hak milik dari
pihak lain yang turut menyetor modal/aset ke perusahaan tanpa menjadi pemegang
saham perusahaan, dan juga tidak memegang kendali atas operasional perusahaan
(sehingga disebut kepentingan non pengendali).
Lebih jelasnya, kepentingan non pengendali adalah bagian kepemilikan atas anak
perusahaan yang tidak dipegang oleh perusahaan induk, melainkan dipegang oleh
pihak lain. Contohnya, TOBA merupakan induk dari PT Adimitra Baratama
Nusantara, dimana TOBA memegang 51% saham Adimitra, dan 49% sisanya dipegang
oleh pihak lain. Karena TOBA merupakan pemegang saham mayoritas Adimitra, maka
Adimitra dianggap sebagai anak perusahaan dimana aset-aset Adimitra
dikonsolidasikan kedalam aset-aset TOBA (aset-aset Adimitra dianggap sebagai
bagian dari aset-aset TOBA), termasuk 49% aset yang sebenarnya dipegang oleh pihak
lain tadi. Nah, pada laporan keuangan TOBA, 49% aset Adimitra yang dipegang
oleh pihak lain ini dianggap sebagai kepentingan non pengendali.
Perusahaan-perusahaan besar di BEI yang memiliki banyak anak
perusahaan biasanya memiliki akun kepentingan non pengendali di laporan
keuangannya, karena biasanya saham/kepemilikan dari anak-anak perusahaan ini
tidak mereka pegang secara keseluruhan, melainkan sebagian dipegang oleh pihak lain. Ketika
Agung Podomoro Land (APLN) mendirikan Mall Senayan City (Sency), perusahaan
bekerja sama alias patungan dengan beberapa perusahaan lain, namun APLN tetap
menjadi pemegang saham mayoritas dari Sency tersebut (51% atau lebih), sehingga
seluruh aset Sency tetap dikonsolidasikan kedalam aset perusahaan. Namun bagian
kepemilikan atas Sency yang tidak dipegang/dimiliki oleh APLN inilah, yang pada
laporan keuangan APLN dicatat sebagai kepentingan non pengendali.
Yang perlu digaris bawahi disini adalah, aset perusahaan yang merupakan kepentingan non pengendali ini bukan milik pemegang saham. Pada Kuartal
I 2014, APLN mencatat nilai ekuitas Rp7.4 trilyun, dimana Rp1.3 trilyun
diantaranya merupakan kepentingan non pengendali, sehingga bagian ekuitas yang dimiliki pemegang saham APLN adalah
Rp6.1 trilyun. Jadi ketika anda membeli sekian lot saham APLN, misalnya, maka anda
menjadi salah seorang pemilik dari aset bersih APLN yang nilainya Rp6.1 trilyun
tadi, dan bukannya Rp7.4 trilyun, karena terdapat bagian aset APLN sebesar
Rp1.3 trilyun yang bukan merupakan milik perusahaan.
Penulis sendiri baru sadar belakangan ini kalau faktor kepentingan non
pengendali ini sangat penting untuk diperhatikan, sebab bisa menyebabkan misleading dalam menentukan valuasi
saham. Contohnya, Astra
International (ASII) mencatat total ekuitas Rp113.1 trilyun pada Kuartal I
2014, sehingga PBV-nya pada harga saham 7,425 adalah 2.7 kali, alias cukup
murah untuk ukuran saham blue chip. Namun jika kita hanya memperhitungan ekuitas
ASII yang bersih diluar kepentingan non pengendali, yang nilainya Rp88.9
trilyun, maka PBV-nya menjadi 3.4 kali, alias mahal. Secara akuntansi, bisa
jadi metode valuasi ASII yang hanya memperhitungkan ekuitas diluar kepentingan non
pengendali keliru, karena kepentingan non pengendali itu jelas ditulis sebagai
bagian dari ekuitas. However, untuk alasan konservatif, maka penulis sendiri
mulai saat ini hanya mengambil ekuitas diluar kepentingan non pengendali, dalam
menghitung PBV sebuah saham.
Itu terkait ekuitas, yang secara langsung berhubungan dengan PBV suatu
saham. Sementara terkait laba perusahaan, keberadaan kepentingan non pengendali
juga penting untuk diperhatikan. Contohnya TOBA tadi, yang pada Kuartal I 2014
mencatat laba US$ 12.8 juta (laba tahun berjalan, bukan laba komprehensif),
namun hanya US$ 7.7 juta yang menjadi milik pemegang saham perusahaan, atau
istilahnya ‘diatribusikan kepada pemilik entitas induk’. Alhasil, EPS TOBA juga
dihitung berdasarkan laba yang US$ 7.7 juta ini, sehingga EPS-nya adalah US$
0.004 per saham, dan annualized PER-nya
pada harga saham 840 menjadi 4.8 kali.
Jika anda perhatikan, pada laporan keuangan perusahaan manapun, EPS yang ditampilkan
memang sudah dihitung berdasarkan laba bersih yang menjadi milik pemegang saham
perusahaan, diluar kepentingan non pengendali. Jadi angka PER yang anda peroleh
ketika membagi harga sebuah saham dengan EPS perusahaannya adalah sudah tepat.
However, ketika menghitung PBV, masih banyak analis/investor (termasuk penulis
juga sih) yang turut memasukkan ekuitas yang sebenarnya bukan milik pemegang
saham, yakni kepentingan non pengendali tadi, dan alhasil angka PBV yang diperoleh
bisa jadi lebih rendah dibanding yang seharusnya.
Okay, penulis kira penulis sudah menyampaikan apa yang memang perlu disampaikan.
Kita ketemu lagi minggu depan, mungkin soal Koperasi Cipaganti (banyak yang
nanyain, mungkin karena artikel
saya yang ini).
NB: Buletin
analisis IHSG & rekomendasi saham bulanan edisi Mei sudah terbit tanggal 2
Mei kemarin. Anda bisa memperolehnya
disini.
Komentar
1. Pemberian bunga/ bagi hasil-na tidak dicicil beserta pokok-nya(dalam skema investasi trsebut disertai hutang kepada bank)...herannya lagi hutang kepada bank tidak dihitung pengembalian pokok beserta bunga layaknya kredit bank dgn rate bunga 7.5% pa ...(sangat trlalu rendah juga & too good to be true...)
2. dari info via web-na http://www.koperasicipaganti.co.id unsur legalitasnya juga ga ad hubungan dgn PP no 38 thn 1998 ...ga nyambung huahahaha
3. tampilan web-nya pemiliknya sangat narsis menampilkan eksistensi dirinya lewat talk show bayaran (one man show)...manajemen warung....ciri khas fraud banget hehehehe.....
4. sad but true dalam laporan keuangan CPGT terakhir disebutkan utang CPGT terhadap mitra koperasi sesat ini telah di take over oleh Bank bukopin dan segala aset telah disetujui di atas namakan perusahaan bukan koperasi cipaganti pada awalnya ...hehehe total kerugian sbnyak 40 -76 miliar ...hehehehe (salut buat Andianto Setiabudi dgn manuver gold digging and hijacking-na...big thumbs) ....
4. turut berduka buat anggota koperasinya yg akan di bikin kolaps, sayangnya CiPaganti Global Transporindo ga ad yg ad malahan adalah CPGT (CaPee GanTi nama muluuu)...mirip ya akronimnya hehehe...hehehe bung Andianto Setiabudi memang jujur klo bilang entitas CPGT berbeda dgn Cipaganti Global Corporindo .... huahahahahahaha
5. klo dilihat mungkin manuver terakhir dgn semua asset di atas namakan Andianto Setiabudi antara pilihan : memalsukan kematian sperti KARK, membuat bank, atau membuat pailit dan delisting secara terhormat huahahahaha
6. kasus yg terjadi agak lama kemungkinan adalah kasus duit investasi koperasi cipaganti yg kena tipu pasangan suami istri PT keyko Mitra Niaga (penggelapan kendaraan hampir skitar 300 unit) ....hehehe adagium ini kayaknya berlaku : menyemai angin menuai badai ....huahahaha saya rasa nilai kerugian Cipaganti disini ditutupi (kmungkinan lebih besar lagi hehehehe)
CiPaganti Global Transporindo = CPGT = CiPaGanti citra graha = CaPeGanTi nama mulu.....
salam sesat mode on
august
bole tolong di evaluasi tentang saham TAXI.
Penurunan tajam dari puncak 1540 sampe sekarang 1290.
Berapa nilai wajar PER sektor TAXI ini ya?
Terima kasih dan selamat malam.
1. memang harus hati2 bila acuan analisa hanya dari Lap. Keuangan format .pdf yg di download dari situs idx. Karena Total Ekuitas masih memasukkan kepentingan non pengendali. Seharusnya analisa harus menggunakan lebih dari satu referensi sumber data. Bisa dicoba pakai software dari e-trading securitites, disitu total ekuitasnya tidak memasukkan minority interest (Non pengendali). alias terpisah antara akun total ekuitas dan akun minority interest. Di software itu juga data BV (book Value) dan PBV (Price to Book Value) sudah ada, dan angkanya akurat.
2. Mengenai pertanyaan ANONIM (tgl 6/5/2014)tentang UNTR saya coba jelaskan secara sederhana:
Laba tahun berjalan adalah laba total (termasuk milik non pengendali/ minority interest)
Tahun 2013 Anak-anak usaha UNTR mengalami rugi (beberapa ada yg untung, beberapa rugi, tapi secara total masih merugi)
Sehingga kerugian anak operasional anak usaha UNTR membebani keuntungan sang induk (yakni UNTR)
Laba UNTR sendiri (Yakni bukan laba konsolidasi) adalah lebih besar daripada 4.833.699 (anggap saja untung 5.000.000). Akan tetapi karena UNTR memiliki PROPORSI kepemilikan mayoritas thd anak2 usaha yg merugi, sehingga laba totalnya (juga laba konsolidasinya) menurun menjadi 4.833.699 itu tadi.
Jadi bukan kerugiannya dibebankankan ke non pengendali.
Sedangkan angka (34.921) adalah PROPORSI kerugian anak usaha yg dibebankan ke pemilik minoritas/ non pengendali.
Jadi Kerugian Anak usaha di proporsi sesuai persentase kepemilikan saham. misalnya 51% kerugian anak usaha menjadi beban UNTR, 49% (atau 34.921)menjadi beban non pengendali
Demikian semoga membantu.
Mohon koreksi bila salah
Tovan (085389250629)
sesuai dengan yang diterangan, berarti apakah net income dari TOBA hanyalah sebesar US$ 7,7juta (hanya entitas induk) ? ataukah net incomenya sebesar US$12,8juta (entitas induk + non pengendali)?