Is It Bullish Again, or What?
Kemarin Jumat tanggal 21 Februari 2014, IHSG ditutup di posisi 4,646,
sehingga secara year to date, indeks sudah naik 8.7% sepanjang tahun 2014 ini. Secara
psikologis, posisi IHSG pada saat ini mungkin membuat anda bingung: Apakah dia
naik terlalu cepat sehingga nanti pada akhirnya dia akan jatuh, or it’s just
the beginning of another bullish period? Bagaimana kalau nanti dia sukses
menembus level 5,000 lagi seperti April tahun lalu? Nah, kalau di blog ini
biasanya penulis rutin memberikan semacam ‘obat penenang’ setiap kali pasar anjlok
seperti yang
terjadi pada Agustus lalu agar anda tidak panik, maka mulai tahun ini
penulis juga mungkin akan memberikan semacam ‘shock therapy’ setiap kali pasar mengalami euforia.
Intinya sih dengan mengajak anda melihat IHSG dari analisis fundamentalnya, dan
bukannya dari penurunan atau kenaikannya. Okay, kita langsung saja.
Seperti yang pernah penulis sampaikan pada catatan
awal tahun, seluruh indeks-indeks saham di dunia, termasuk IHSG, pada
dasarnya akan terus naik dalam jangka panjang. Namun kadang-kadang dalam
periode waktu tertentu kenaikan tersebut terlalu cepat, sehingga selanjutnya diperlukan
penurunan sejenak untuk menetralisir kenaikan yang terlalu cepat tersebut.
Makanya setiap kali IHSG turun, istilahnya disebut koreksi, alias untuk mengembalikan IHSG itu sendiri ke posisi yang
seharusnya. Pada waktu-waktu tertentu, penurunan tersebut hanya sedikit
sehingga tidak terasa. Namun pada waktu-waktu yang lain, IHSG bisa mengalami penurunan
yang lebih curam dibanding biasanya. Biasanya semakin tinggi atau semakin cepat
kenaikan yang dialami oleh IHSG sebelumnya, maka akan semakin dalam koreksi
yang dialami kemudian. Kebanyakan orang hanya memperhatikan bahwa pada tahun
1998 dan 2008, IHSG jatuh berantakan, tanpa memperhatikan bahwa pada
tahun-tahun sebelumnya, dia telah naik dengan sangat cepat hingga membuat semua
orang ketika itu berpikir bahwa membeli saham adalah cara yang cepat dan mudah
untuk menjadi kaya.
However, kenaikan signifikan yang dialami IHSG tidak selalu berarti dia akan segera anjlok tak lama kemudian. Pada
tahun 2009, IHSG secara keseluruhan naik 87%, tertinggi sepanjang sejarah. Tapi
apakah itu berarti pada tahun berikutnya dia langsung jeblok? Ternyata tidak. Pada
tahun 2010 IHSG masih naik dengan cepat, kali ini 46%, demikian pula di
tahun-tahun sebelumnya ia terus naik hingga akhirnya terhenti di tahun 2013
dimana pada tahun tersebut IHSG akhirnya turun, namun itupun hanya turun 1%.
Sebaliknya, penurunan ekstrim yang terjadi pada IHSG juga tidak selalu
berarti bahwa selanjutnya dia akan segera memasuki periode bullish kembali.
Pada tahun 1997, indeks anjlok 44.3%, dipicu oleh pelemahan Rupiah dan
lain-lain. Lalu bagaimana pada tahun 1998? Ternyata masih lanjut turun, meski
pada akhir tahun mulai pulih sehingga secara keseluruhan, IHSG pada tahun 1998 tersebut
hanya turun 1%. Dan seterusnya.
Intinya, anda tidak bisa langsung menyimpulkan bahwa IHSG akan segera naik
hanya karena dia sudah turun banyak sebelumnya, atau sebaliknya, menyimpulkan
bahwa IHSG akan segera turun hanya karena dia sudah naik banyak sebelumnya.
Contoh diatas menggambarkan pergerakan IHSG dalam jangka panjang, yakni
tahunan, dimana untuk jangka panjang sekalipun ternyata kita tidak bisa
menyimpulkan bahwa ‘indeks tuh kalau sudah naik, ya turun’, apalagi dalam
jangka pendek?
Kalau begitu bagaimana caranya agar kita mengetahui bahwa IHSG nantinya
akan berhenti naik, atau justru akan melanjutkan kenaikannya? Well, penulis
jujur harus katakan bahwa, tidak ada cara untuk mengetahui hal itu secara
persis, namun ada satu pendekatan yang bisa kita pakai, yakni seperti biasa, pendekatan
value. Pada bulan September 2008,
saham pujaan rakyat Indonesia yakni Bumi Resources (BUMI) telah anjlok dari
8,450 hingga 3,000-an, dan ketika itu semua orang berteriak bahwa BUMI sudah
murah! Alasannya? Ya sebelumnya kan BUMI di 8,000-an, dan sekarang harganya
sudah kurang dari separuhnya! Masa iya sih harga segitu belum cukup murah?
Namun demikian, ada satu orang yang tidak percaya begitu saja dengan metode
analisis ‘saham ini sudah turun lebih dari separuhnya, jadi dia sudah murah’.
Orang itu adalah Gita Wirjawan. Ketika orang-orang mulai memborong BUMI di
harga 3,500-an hingga sahamnya sempat hampir naik lagi ke 4,000-an, Mr. Gita
tetap pasang posisi wait and see. Dan beberapa saat kemudian, ketika BUMI
akhirnya berada dibawah level 1,000, Mr. Gita mulai membelanjakan uangnya,
ketika itu dengan cara mengambil alih sekian persen saham BUMI yang dipegang
oleh Bakrie & Brothers (BNBR), dan sebagai gantinya Mr. Gita menggunakan
koneksinya ke Bank JP Morgan untuk me-refinancing
utang BNBR yang ketika itu jatuh tempo. Tak sampai setahun kemudian, BUMI naik
sampai hampir 3,000-an, dan ketika itulah Mr. Gita menuai hasil dari
kesabarannya.
Nah, penulis tidak tahu berapa harga wajar BUMI ketika itu, namun yang
jelas Mr. Gita tentunya memiliki perhitungan sendiri hingga ia bisa
menyimpulkan bahwa BUMI belum cukup murah di harga 3,000-an, tak peduli meski ia
sebelumnya sudah turun banyak. BUMI baru murah jika diharga dibawah 1,000, dan
ketika itulah ia akhirnya masuk.
Contoh lainnya adalah yang dialami penulis sendiri. Pada tahun 2010,
Resource Alam Indonesia (KKGI) melakukan stocksplit, dan tak lama kemudian sahamnya
langsung terbang dari 950 ke 1,700-an. Seorang teman meminta penulis untuk
menganalisisnya, dan hasilnya penulis menemukan bahwa
perusahaan batubara kecil ini punya kinerja yang sangat bagus, namun valuasinya
pada harga 1,700 tersebut masih sangat murah, sehingga penulis berani membelinya, tak peduli meski dia sebelumnya sudah
naik hampir dua kali lipat. Dan ternyata, KKGI ini kemudian sukses terbang
sampai 8,000 (sayang ketika itu penulis nggak punya akses pinjaman dana ke JP
Morgan, kalau nggak saya mungkin sudah mencalonkan diri sebagai Presiden). Penulis
pernah membahas hal ini disini.
Intinya, sekali lagi, kita tidak bisa memperkirakan pergerakan IHSG (atau
saham tertentu) hanya karena ia sudah naik atau turun banyak sebelumnya. Yang
penting adalah valuasi dari IHSG itu sendiri, apakah sudah wajar atau tidak. Dan anda bisa melihat valuasi tersebut di
website IDX (www.idx.co.id). Caranya
dihalaman muka website, klik tab ‘publikasi’ disebelah kiri, lalu klik lagi ‘statistik’.
Dihalaman berikutnya, anda akan melihat angka rata-rata PER dan PBV dari
seluruh saham di BEI. Saat ini, PER dan PBV IHSG adalah masing-masing 16.1 dan
2.4 kali.
Sebagian besar dari anda mungkin sudah tahu informasi diatas. Termasuk informasi
bahwa posisi PER
dan PBV di BEI dalam kondisi pasar yang normal adalah masing-masing 12 – 15
kali, dan 2.0 – 2.2 kali. That means? IHSG pada saat ini sedikit overvalue,
sehingga kemungkinannya untuk turun lebih besar dari naik. Believe or not, the
analysis is that simple! Analis sekuritas biasanya secara panjang lebar memaparkan
tabel-tabel dan grafik yang memusingkan dalam menjelaskan posisi IHSG sekaligus
memprediksi apakah selanjutnya ia akan naik atau turun, termasuk mencoba
menjelaskan bagaimana pengaruh penyelenggaraan Pemilu terhadap IHSG. Namun dari
sudut pandang seorang investor, again, the analysis is that simple.
Meski demikian, tetap ada hal lain yang harus anda perhatikan. Ingat bahwa
PER adalah perbandingan harga saham dengan perolehan laba perusahaan, sementara
PBV adalah adalah perbandingan harga saham dengan nilai aset bersih (modal,
atau ekuitas) perusahaan. Ini artinya jika perusahaan-perusahaan di BEI sedang
mengalami kemunduran kinerja, dimana banyak diantara mereka yang labanya turun
atau bahkan merugi sehingga ekuitasnya juga ikut turun (karena defisit), maka
PER atau PBV yang rendah tidak selalu berarti bahwa posisi saham tersebut sudah
murah, dan demikian pula hal-nya dengan IHSG, PER dan PBV-nya yang rendah tidak
selalu berarti bahwa posisinya sudah wajar (atau undervalue).
Namun berdasarkan pengalaman, hanya ada satu periode dimana
perusahaan-perusahaan di BEI mengalami penurunan kinerja secara bersamaan,
yakni ketika terjadi krisis moneter 1998 (tidak seperti Amerika, sejarah IHSG
baru dimulai pada tahun 1982, jadi kita belum banyak mengalami krisis). Jadi
bisa dibilang pada tahun itulah, meski rata-rata PER dan PBV di BEI sempat amat
sangat rendah (IHSG sempat anjlok sampai level 200-an), namun pemulihannya
memerlukan waktu yang cukup panjang, dimana IHSG baru mulai berlari lagi di
tahun 2002. Sementara ketika terjadi krisis global 2008, beberapa perusahaan
memang mengalami kemunduran kinerja, namun jika dirata-ratakan kinerja para emiten
di BEI ketika itu masih normal dan juga masih bertumbuh, dan itu pula sebabnya
pasar langsung tancap gas pada tahun berikutnya.
Dan untungnya untuk tahun 2013 kemarin, diluar sektor komoditas yang masih
terpuruk, sektor-sektor lainnya no problemo, termasuk pada saat ini Rupiah juga
mulai pulih ke level 11,000-an. Anda bisa cek laporan-laporan keuangan
perusahaan yang lagi pada keluar, rata-rata bagus kok.
Berdasarkan analisis sederhana inilah, kita bisa mengatakan bahwa IHSG di
level 4,200-an, seperti yang terjadi Agustus dan Desember 2013 lalu, terbilang
murah, atau paling tidak wajar, karena ketika itu PER dan PBV-nya di posisi
masing-masing 16.9 dan 2.2 kali, sehingga itulah saatnya untuk belanja saham.
Okay, dari sisi PER memang tampak masih mahal, tapi penulis menganggap bahwa
angka PER tersebut mungkin keliru karena terlalu tinggi untuk ukuran PBV yang
hanya 2.2 kali, mengingat rata-rata ROE dari sepuluh emiten terbesar di BEI
masih cukup tinggi yakni 27.1%, selain karena ketika IHSG di level 5,200-an,
PER dan PBV-nya masing-masing 19 koma sekian dan 2.7 kali (jadi bagaimana
mungkin PER-nya cuma turun sedikit, padahal IHSG sudah turun hampir 1,000
poin?). Sehingga dalam hal ini yang penulis perhatikan adalah PBV-nya.
Statistik IHSG di hari perdagangan saham terakhir di tahun 2013. Klik untuk memperbesar |
Tapi yang terpenting adalah, ingat bahwa ketika itu, terutama di bulan
Agustus, sentimen-sentimen negatif masih banyak beredar, termasuk orang-orang
yang meramalkan bahwa IHSG akan ke 2,500 juga masih berkeliaran, terutama ketika indeks melanjutkan ‘teror’nya sampai 3,800-an. Namun anda tidak perlu mempedulikan suara-suara pesimis seperti itu. Kalau mau jujur,
ketika itu bisa saja IHSG lanjut anjlok sampai 3,600, 3400, atau berapapun, but trust me, sedalam apapun penurunannya, pada akhirnya dia akan kembali ke posisi wajarnya.
Dan pada kasus koreksi pasar kali ini, posisi wajar IHSG tersebut sukses
dicapai hanya dalam waktu beberapa bulan saja.
Okaaay, tapi sekarang pertanyaannya, bagaimana kedepannya? IHSG masih akan
lanjut naik atau gimana nih?
However, kalau dalam jangka pendek, terdapat beberapa komponen lain yang juga
sebaiknya anda perhatikan diluar faktor value.
Salah satunya, masuknya dana asing. Memang, kalau dalam jangka panjang,
masuk atau keluarnya dana asing tidak
berpengaruh terhadap pergerakan IHSG. Namun dalam jangka pendek, dalam hal
ini kurang dari satu tahun, masuknya mereka bisa mendorong IHSG keatas, dan sebaliknya
jika mereka keluar, maka pasar akan bubar. Contoh paling gampang lihat saja
tahun 2013 kemarin.
Sementara sejauh ini, sejak awal tahun 2014, asing sudah masuk (net buy) total Rp9 trilyun ke bursa, dan
ini sangat bertolak belakang dengan posisi asing sepanjang tahun 2013 kemarin
yang mencatatkan net sell Rp20.6
trilyun. Adakah yang aneh dengan hal ini? Nggak, itu wajar kok. Selama kurun
waktu 1997 hingga 2013, asing hanya pernah dua kali mencatatkan net sell, yakni
pada tahun 2005 dan 2013 kemarin. Penulis tidak tahu apa penyebab asing keluar
pada tahun 2005 tersebut, apakah karena tapering atau lainnya, tapi yang jelas
di tahun-tahun berikutnya mereka tetap masuk kembali, dan demikian pula IHSG
naik terus (kecuali di tahun 2008, tentu saja). Jadi kenapa sekarang ini asing
masuk lagi ke bursa? Ya karena mereka perlu membelanjakan uangnya setelah
kemarin mereka banyak cuci gudang, itu saja! Dan berhubung tahun 2014 masih
cukup panjang, maka kedepannya mereka masih bisa belanja lagi karena jika
dirata-ratakan, asing belanja saham-saham di BEI senilai Rp15 – 20 trilyun
setahun. Ini artinya, IHSG masih bisa naik lagi jika mereka masih melanjutkan shopping-nya. Karena meski valuasi indeks pada
saat ini sudah agak mahal, namun belum semahal ketika IHSG di level 5,200-an,
dimana ketika itu PBV-nya, seperti yang sudah disebut diatas, mencapai 2.7
kali.
Tapi jika dalam beberapa waktu kedepan mereka keluar dulu sebagian maka
yaaa.. IHSG juga akan rehat dulu sejenak.
Bagi anda yang berlangganan buletin
bulanan, anda tentunya sudah membaca penjelasan soal asing diatas di
buletin edisi Januari 2014 kemarin, termasuk penjelasan soal Rupiah yang pada
saat ini mulai pulih ke level 11,000-an per US Dollar (yang oleh beberapa analis dijadikan sebagai alasan penguatan IHSG). Untuk saat ini, posisi wajar IHSG kalau
menurut penulis masih di kisaran 4,400-an, sudah termasuk mempertimbangkan
kinerja terbaru dari para emiten di Kuartal IV 2013 (terakhir PT Timah/TINS). IHSG
mungkin bisa naik hingga diatas level tersebut (dan memang terjadi bukan?),
atau sebaliknya, turun hingga dibawah level tersebut, namun pada akhirnya ekuilibriumnya
akan tetap disitu, setidaknya hingga musim keluarnya laporan keuangan berikutnya.
So now, you know what to do. Kalau yang penulis lakukan sendiri adalah tetap meng-hold beberapa pegangan saham alias gak jualan, namun sisa cash yang ada juga ditahan dulu, alias nggak dipake belanja. Just remember, entah IHSG mau naik setinggi apapun, atau sebaliknya dia mau
turun serendah apapun, tapi toh pada akhirnya dia akan balik lagi ke posisi
wajarnya, dan pengalaman tahun 2013 kemarin memang membuktikan hal tersebut. Posisi wajar IHSG biasanya akan berubah/meningkat seiring dengan
perkembangan kinerja dari para emiten didalamnya, namun itu tentu perlu waktu. Let
say, suatu hari nanti IHSG akan menembus angka keramat 10,000, tapi jika itu
terjadi pada minggu depan, bulan depan, atau bahkan tahun depan, maka anda akan
tahu bahwa itu terlalu cepat. Simple, isn’t it?
NB: Penulis membuat buku ‘superinvestor’ dan CD rekaman seminar. Anda bisa memperolehnya disini.
Komentar
disclaimer: on.
Kristo
Bullish it's over? I don't think so..
Please be wise yah, nobody can forecast the market.. :)