Mengenal 'Strategi Kontrarian'

Di artikel dua minggu lalu penulis menyebutkan bahwa Lo Kheng Hong adalah tipikal investor yang kontrarian, dimana ia melakukan apa yang justru orang lain menghindarinya, misalnya membeli saham yang orang kebanyakan menganggapnya sebagai saham sampah. Nah, kalau berdasarkan pengalaman penulis sendiri, memang ada yang menarik dari istilah ‘kontrarian’ ini, dan kita akan membahasnya disini.

Secara istilah, kontrarian berarti ‘melawan’. Investopedia mendefinisikan kontrarian sebagai gaya investasi yang melawan arah pasar, dengan cara membeli aset/saham yang memiliki kinerja perusahaan yang buruk, dan menjualnya nanti ketika kinerjanya menjadi baik dan biasanya sahamnya juga naik. Dasar pemikirannya adalah bahwa kita hanya bisa membeli saham pada harga yang benar-benar terdiskon, jika perusahaannya itu sendiri sedang mencatatkan kinerja yang buruk, atau jika pasar sedang turun. Namun berhubung pasar tidak turun setiap hari, maka dalam kondisi pasar yang normal atau bullish, pilihan untuk membeli saham pada harga murah cenderung terbatas pada saham-saham dengan fundamental yang buruk. Sebab jika kita hendak invest pada perusahaan yang memiliki performa cemerlang, maka kemungkinan kita harus membayar pada harga premium, yakni harga yang mencerminkan PER dan PBV yang tinggi, dan itu tentu saja tidak sejalan dengan konsep value investing.

However, hati-hati dengan kalimat ‘saham dengan fundamental yang buruk’, karena sebenarnya kalimat yang lebih tepat adalah ‘saham dengan fundamental yang sedang buruk’. Kata 'buruk' disini juga jangan diartikan sebagai benar-benar buruk, melainkan hanya tidak terlalu bagus saja. Contohnya, terkadang sebuah perusahaan dengan historis yang amat sangat cemerlang sekalipun bisa mengalami masa-masa dimana bisnisnya sedang sulit, dimana penjualan turun, laba turun, dan sahamnya pun ikut turun. Analogi mudahnya mungkin seperti Manchester United, yang meski di masa lalu sangat menguasai Liga Inggris dan juga sempat menjuarai Liga Champions, namun untuk tahun ini mereka lagi seret prestasi seiring dengan bergantinya tampuk kepelatihan dari Opa Alex ke Om Moyes.

Tapi apakah itu kemudian membuat MU seketika berubah menjadi klub sepakbola kelas teri? Kecuali anda adalah pendukung Arsenal, Chelsea, Liverpool, ataupun Manchester City, maka tentu saja jawabannya adalah, tidak! MU tetap merupakan klub besar, namun sekarang ini dia memang sedang mengalami masa-masa sulit.

Nah, seandainya MU ini memiliki saham yang terdaftar di bursa saham tertentu, maka tahun ini hampir pasti sahamnya tersebut akan anjlok. Namun bagi para investor kontrarian, mereka mungkin melihat bahwa ini justru merupakan kesempatan untuk masuk ke MU di harga murah, karena cepat atau lambat seharusnya prestasi MU akan pulih kembali.

Catatan: Manchester United Plc, perusahaan pemilik klub Manchester United, sejak tahun 2012 lalu memang terdaftar di NYSE. Anda bisa melihat pergerakan sahamnya di Yahoo Finance dengan kode MANU. Dalam setahun terakhir ini sahamnya sudah turun 10.3%, dengan fluktuasi yang tajam (sepertinya sahamnya akan naik jika MU menang, tapi langsung anjlok lagi begitu di pertandingan berikutnya dia kalah).

Tapi tentu saja, terdapat pertaruhan disini dimana, satu, tidak ada yang tahu kapan MU akan kembali menempati peringkat pertama di klasemen Liga Inggris, dan dua, bagaimana jika prestasi MU yang seret seperti sekarang ini berlanjut untuk seterusnya? Kita tidak pernah tahu soal itu bukan? Benar, karena itulah kita harus kembali ke faktor valuasi. Jika MU ternyata menjadi klub papan tengah untuk seterusnya, maka kalau dalam investasi saham sungguhan, itu seperti perusahaan yang setelah bisnisnya terpuruk, selanjutnya ia tetap tidak mampu untuk pulih dan mencetak laba kembali.

Tapi jika dalam sepakbola hanya terdapat satu kondisi dimana sebuah klub mengalami penurunan prestasi, dimana itu bisa langsung dilihat dari posisi mereka di tabel klasemen, maka kalau di perusahaan, terdapat setidaknya tiga macam kondisi penurunan fundamental/kinerja perusahaan yang biasanya menyebabkan harga saham yang bersangkutan ikut turun. Pertama, laba dan ekuitas perusahaan masih tumbuh, namun tidak tumbuh setinggi sebelumnya, biasanya karena masa-masa keemasan perusahaan/sektornya memang sudah lewat. Jika saham dari perusahaan yang bersangkutan sebelumnya dihargai sangat tinggi oleh pasar karena kinerja cemerlang di masa lalu, maka kondisi seperti ini akan menyebabkan saham tersebut akan turun, tapi biasanya tidak sampai menyebabkannya benar-benar murah, melainkan hanya balik lagi ke harga yang memang seharusnya.

Kedua, laba perusahaan tumbuh secara negatif alias turun, dan ini juga biasanya akan ditanggapi negatif oleh investor sehingga saham yang bersangkutan akan turun. Namun para investor yang disebut ‘kontrarian’ tadi biasanya menyukai saham yang mengalami kondisi nomor dua ini, karena meski laba perusahaannya tampak turun, namun ekuitas perusahaan masih naik karena adanya tambahan saldo laba ditahan. Jadi dalam hal ini meski harga saham yang bersangkutan menjadi turun karena valuasinya menjadi tampak mahal dari sisi PER (karena EPS-nya turun), namun dari sisi PBV valuasinya cenderung tetap, bahkan menjadi lebih murah.

Kalau yang penulis perhatikan sendiri, seringkali terjadi kasus dimana sebuah saham dihargai premium (PBV-nya tinggi, mencapai 4 atau bahkan 5 kali), karena kinerja perusahaannya sangat bagus dengan laba bersih yang besar dan naik signifikan dibanding periode sebelumnya. Contohnya? Erajaya Swasembada (ERAA). Pada tahun 2012, ERAA mencatatkan kinerja yang terbilang sangat bagus, dan alhasil sahamnya naik terus hingga sempat bertengger di posisi 3,500, yang mencerminkan PBV sekitar 4.5 kali, dimana kalau menurut penulis sendiri itu adalah valuasi yang tidak masuk akal. Namun setelah perusahaan mengalami penurunan laba pada tahun 2013 ini, sahamnya seketika anjlok hingga sempat menyentuh posisi 940, sebelum kemudian gak kemana-mana di level 1,000-an. Nah, anda tahu kenapa ERAA tidak melanjutkan penurunannya melainkan berhenti di 1,000-an? Ya karena pada harganya tersebut, valuasinya sudah sangat terdiskon untuk ukuran perusahaan yang sebenarnya masih mencetak laba signifikan (ROE ERAA pada Kuartal III 2013 tercatat 12%, masih lebih baik dibanding bunga obligasi), yakni dengan PBV hanya 1.2 kali. Jadi kecuali Rupiah melanjutkan pelemahannya sampai Rp15,000 per Dollar, sehingga ERAA juga pada akhirnya mengalami kerugian, maka sahamnya nggak akan turun lebih dalam lagi.


And by that I mean, jika anda termasuk yang percaya bahwa kinerja ERAA pada akhirnya nanti akan meningkat kembali, maka sekarang inilah saat yang tepat untuk masuk, kemudian lihat hasilnya 1 – 2 tahun kemudian. Tidak hanya ERAA, saat ini di BEI banyak terdapat perusahaan lainnya yang juga punya kinerja cemerlang di masa lalu, namun pada tahun 2013 kemarin kinerja mereka lagi agak seret, sehingga sahamnya pun turun, tapi bagi investor tertentu hal itu justru menjadi kesempatan untuk belanja pada harga diskon.

Ketiga, laba perusahaan tidak hanya turun, melainkan berbalik menjadi kerugian besar, tidak hanya pada satu tahun/satu periode tertentu tertentu melainkan berkepanjangan. sehingga ekuitas perusahaan juga pada akhirnya ikut turun karena tergerus defisit. Dan ini adalah kondisi yang paling buruk, dimana investor kemudian bisa mengasumsikan bahwa perusahaan akan habis sama sekali, tak peduli meski dia punya kinerja di masa lalu yang mengesankan sekalipun. Kondisi ketiga inilah yang hanya investor kontrarian tertentu yang berani masuk, karena meski saham yang bersangkutan turun sampai PBV-nya dibawah 1 kali sekalipun (yang itu berarti harga sahamnya sudah lebih murah dari nilai seluruh aset bersih perusahaan), namun ekuitas perusahaan juga tumbuh secara negatif alias turun, dalam kondisi tertentu bahkan hingga mengalami defisiensi modal seperti Bumi Resources (BUMI).

However, sejarah membuktikan bahwa investor kontrarian tipe ekstrim ini (yang membeli saham yang mengalami kondisi nomor tiga) seringkali tetap sukses juga pada akhirnya, meski ia harus menunggu selama bertahun-tahun. Jangan salah, beberapa investor terkenal seperti Sandiaga Uno juga termasuk kontrarian tipe ekstrim ini, dimana ia membeli banyak perusahaan yang nyaris atau bahkan bangkrut sama sekali di tahun 1998, tapi toh pada akhirnya ia sukses besar ketika kinerja perusahaan-perusahaan tersebut pulih dan ia bisa menjualnya pada harga premium.

Namun jika anda adalah tipikal investor pasif seperti layaknya penulis (yang tidak turut campur dalam pengelolaan perusahaan), maka strategi nomor tiga ini (membeli perusahaan bangkrut) tidak disarankan. Perhatikan bahwa Sandi Uno tidak membeli perusahaan kemudian selanjutnya duduk santai sepanjang hari, melainkan sibuk membenahi manajemen, atau dengan kata lain turut campur dalam pengelolaan perusahaannya. Dan terkadang pula ada perusahaan tertentu yang meski sudah diupayakan setengah mati agar bisa kembali profit, namun toh tetap saja perusahaan tersebut tidak sanggup bangkit kembali. Ini artinya pilihan strategi kontrarian nomor tiga ini memiliki risiko yang cukup tinggi, sekaligus membutuhkan keahlian dalam pengelolaan perusahaan, plus tentunya dana yang besar, karena untuk bisa mengendalikan sebuah perusahaan maka anda harus membeli sahamnya dalam jumlah yang tidak sedikit.

Strategi kontrarian, dari sisi perilaku pasar

Pembahasan tentang strategi kontrarian yang ditulis diatas adalah terkait fundamental dari perusahaan yang bersangkutan, dimana investor kontrarian membeli saham yang kinerja perusahaannya justru sedang turun, selama valuasinya masuk akal. Karena seringkali saham yang memiliki fundamental bagus dihargai terlalu tinggi oleh pasar, seiring dengan tingginya ekspektasi investor akan masa depan dari perusahaan yang bersangkutan.

Diluar itu, ada pula strategi kontrarian yang memanfaatkan fluktuasi pasar, dalam hal ini koreksi IHSG. Perhatikan bahwa dalam kondisi normal, seringkali kita harus sedikit ‘mengalah’ untuk memperoleh saham yang nggak bagus-bagus amat kalau kita fokus pada upaya untuk memperoleh saham pada valuasi yang serendah-rendahnya, karena barang-barang yang bagus semuanya dilabeli ‘best seller’, sehingga harganya pun selangit. Tapi bagaimana kalau dalam kondisi pasar yang sedang anjlok? Yaa istilahnya bahkan koleksi baju Mango pun akan dihargai sama dengan baju-baju di toko Mangga Dua bukan? Sehingga dalam kondisi seperti inilah, kita nggak perlu lagi mengalah soal kualitas fundamental dari saham yang kita beli.

Karena itulah, jika investor kebanyakan mengalami euforia-nya ketika IHSG sedang tinggi-tingginya, maka value investor mengalami euforia-nya justru ketika indeks saham anjlok, dan itu sebabnya mereka kemudian disebut ‘kontrarian’, karena perilaku mereka sepenuhnya berbeda dengan perilaku pasar pada umumnya.

Padahal, mereka bukannya dengan sengaja berperilaku berbeda dengan pasar, melainkan hanya berperilaku yang sewajarnya. Sekarang pakai logika saja: Awal tahun kemarin, Pertamina tiba-tiba saja menaikkan harga gas Elpiji ukuran 12 kg secara sepihak menjadi Rp140,000. Lalu bagaimana reaksi konsumen? Apakah mereka kemudian menjadi bersuka cita karenanya? Tentu saja tidak! Yang ada para ibu rumah tangga, para pemilik rumah makan, dan masyarakat pada umumnya memprotes keras kenaikan harga tersebut. Dan setelah diselingi dengan sedikit drama, Pertamina akhirnya mengalah dan ‘menurunkan’ kenaikan harga Elpiji tersebut menjadi Rp117,000.

Sementara di pasar saham, yang terjadi justru sebaliknya! Pada April 2013 lalu harga-harga saham terus naik, sehingga IHSG juga terus naik sampai sempat menembus 5,000. Dan bagaimana reaksi pasar ketika itu, yakni justru ketika hampir tidak ada saham yang cukup murah untuk dibeli? Apakah ketika itu ada investor yang protes bahwa saham-saham sudah pada kelewat mahal? Anda tahu sendiri jawabannya.

However, sudah tentu, menjadi berbeda itu tidaklah mudah. Kalau anda adalah satu-satunya orang waras ditengah sekumpulan orang-orang gila, maka suka atau tidak, anda-lah orang gila-nya. Tantangan dalam menjalankan strategi investasi kontrarian seperti yang sudah dibahas diatas, baik dari sisi fundamental perusahaan maupun fluktuasi pasar, adalah tidak adanya support dari siapapun disekitar anda, karena anda mungkin benar-benar sendirian. Pada tahun 2007, Gita Wirjawan sempat bertengkar hebat dengan para rekan kerjanya di JP Morgan, karena ia bersikeras bahwa IHSG sudah sangat tidak rasional dan akan segera jatuh, sementara rekan-rekannya terus saja tenggelam dalam kegilaan euforia pasar ketika itu. Hal ini pula yang akhirnya menyebabkan Gita memutuskan keluar dari JP Morgan pada April 2008, untuk kemudian mendirikan perusahaan investasinya sendiri, Ancora Group, pada tahun yang sama. And yes, ia kemudian sukses besar setelah memborong banyak saham-saham murah ketika IHSG jatuh berantakan pada tahun 2008 tersebut.

Nah, jadi bagaimana? Tertarik untuk mengikuti jejak Om Gita? Well, kalau iya dan ternyata anda sukses, maka tolong jangan sia-siakan karier investasi anda yang cemerlang tersebut dengan ikut-ikutan mencalonkan diri sebagai Presiden, it’s wasting time.

Komentar

Anonim mengatakan…
Seruu.. Mencerahkan.. Bravo mas Teguh.
xiaoyu mengatakan…
Pak Teguh, sekarang investasi di KRAS apa bisa dibilang kontrarian?

Prospek KRAS 1-2 tahun ini bagaimana?
Anonim mengatakan…
Well, jika anda menganalogikan kejatuhan saham MU dengan digantinya manajer (saya menyebut manajer bukan pelatih, karena banyak hal yang ditangani bukan hanya hal pelatihan), hal ini sama dengan sebuah perusahaan yang kehilangan direkturnya, hal ini sangat krusial.
Berbeda jika MU hanya kehilangan pemain sekalipun itu Beckham bahkan CR7, MU akan tetap sanggup bertahan karena faktor manajer.
Anyway thanks tulisannya mas Teguh, always inspired.
Unknown mengatakan…
Tulisan yang mencerahkan.
Khusus bagian akhir tulisan, ttg mr. Gita.. what a nice KICK !!!
bukan hanya Andy Noya yng punya Kick Andy.. om Teguh Juga lho,
namanya..... Kick Teguh ! ^.^'
Anonim mengatakan…
Kontrarian... dari dalam atau dari luar , internal atau eksternal , mikro atau makro bahkan pertalian kesemuanya yang menciptakan situasi tidak bersahabat, tidak menyenangkan , tidak kondusif namun di sisi lain menjanjikan (entah itu rahmat atau kiamat).

Pada prinsipnya , saya sangat setuju dengan point-point yang ditekankan, bahwa menjadi seorang kontrarian yang aktif (berperan) membutuhkan tidak hanya "nyali" yang besar , namun tentunya juga modal yang kuat dan kemampuan manajemen yang baik (atau setidaknya mempunyai tim yang baik untuk itu) , bahwa membalikkan situasi atau keadaan entitas dengan nafas kembang kempis tentu bukan perkara membalikkan telapak tangan...

Sulit namun tentu rewardnya akan jauh lebih besar dibandingkan dengan "kontrarian" pasif yang lebih banyak bergantung pada situasi pasar. Apalagi bila menggabungkan keduanya, pasar yang panik terjerembab dan menangguk para pesakitan...murah meriah memang namun juga resikonya luar biasa.

High risk , high income ... rule of thumb

= MaMba =
Anonim mengatakan…
http://www.imq21.com/news/read/207567/20140206/071939/Mengenal-Strategi-Investor-Kontrarian.html. Mas Teguh, ini tulisan anda, atau team anda? thx. KakBull.
Teguh Hidayat mengatakan…
@Anonymous Tulisan di Imq21 itu tulisan wartawan yg copy paste artikel saya ini. Oke deh nanti saya bilang ke mereka untuk berhenti copy paste

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?