Catatan Awal Tahun 2014
Senin kemarin, tanggal 30 Desember 2013, IHSG ditutup di posisi 4,274.
Mengingat pada tanggal yang sama tahun sebelumnya, IHSG ditutup di posisi
4,317, maka secara keseluruhan sepanjang tahun 2013 ini IHSG telah turun
sebesar 1.0%. Penurunan tersebut memang tampak kecil, hanya satu persen. Namun
jika dihitung dari posisi puncaknya yakni 5,251 yang dicapai pada Mei lalu,
maka IHSG sudah turun 18.6%, alias sudah turun lumayan signifikan.
Pola pergerakan IHSG sepanjang tahun 2013 ini mengingatkan penulis akan
situasi yang kurang lebih sama yang terjadi pada indeks saham Dow Jones pada
tahun 1987, yang kemudian dikenang sebagai crash of 1987 (penulis baru masuk pasar tahun 2009, tapi saya sudah lumayan hafal dengan sejarah krisis ekonomi dan stock market crash sejak kasus Tulip Mania di abad ke-17). Ketika itu, pada awal
tahun Dow dibuka di posisi 1,897, kemudian secara perlahan tapi pasti dia
terus naik hingga mencapai puncaknya pada bulan Agustus di posisi 2,722, atau
naik 43.5% hanya dalam waktu kurang dari sepuluh bulan.
However, setelah lewat Agustus, Dow mulai bergerak turun, namun masih
dengan persentase penurunan yang wajar. Hingga akhirnya pada bulan Oktober
1987, dipicu oleh berita bahwa tentara Iran menyerang pangkalan militer Amerika
Serikat di Kuwait, Dow mulai turun secara terus menerus, hingga puncaknya
terjadi pada hari Senin tanggal 19 Oktober 1987, dimana Dow anjlok sebanyak 22.6% hanya dalam satu hari! Tanggal 19
Oktober itulah yang kemudian dikenal sebagai ‘black monday’. Penurunan indeks sebesar 22.6% tersebut
meninggalkan trauma psikologis yang sangat signifikan di benak para investor,
karena bahkan pada koreksi besar pada Dow Jones di tahun 1929 sekalipun, yang
kemudian memicu great depression di tahun 1930-an, Dow Jones tidak pernah sampai turun
sebanyak itu dalam satu hari.
Pergerakan Dow Jones ketika terjadi Black Monday of 1987. Klik gambar untuk memperbesar |
Mungkin itu pula sebabnya, pada bulan Desember 1987, sebanyak 33 ekonom
terkenal dari seluruh dunia berkumpul di Washington DC, untuk membahas ‘krisis’
tersebut. Dan mereka kemudian memprediksi bahwa perekonomian Amerika dan
juga dunia akan mengalami masa-masa yang amat sulit dalam beberapa tahun
kedepan, mungkin sama sulitnya seperti krisis besar yang terjadi di tahun 1930-an.
Tapi apakah prediksi tersebut menjadi kenyataan? Ternyata tidak. Masih di
bulan Desember 1987, Dow malah justru merangkak naik, hingga akhirnya menutup tahun
1987 di posisi 1,939, atau masih naik sebesar 2.2% dibanding posisi awal tahun.
Kemudian sepanjang tahun 1988 dan 1989, sama sekali tidak terjadi gejolak
perekonomian yang sebelumnya dikhawatirkan. Malah yang terjadi, Dow terus saja naik
secara perlahan hingga akhirnya mencatat new
high lagi pada akhir tahun 1989. Ini artinya, jika ada investor yang membeli
saham tertentu di bursa Amerika pada bulan Agustus 1987, yakni ketika posisi
Dow Jones sedang tinggi-tingginya, maka dengan catatan saham tersebut bergerak
seiring pergerakan indeks, investor tersebut akan mengalami potential loss sebesar hampir 30% pada
akhir tahun 1987. Namun jika ia tetap meng-hold sahamnya, maka
investor tadi akan kembali mencatatkan kinerja portofolio yang positif dalam waktu tak sampai dua tahun kemudian.
Studi Kasus
Jika dibandingkan dengan kondisi pasar saham Indonesia di tahun 2013, maka
koreksi Dow Jones di tahun 1987 tersebut tampak jauh lebih buruk karena Dow,
pada akhir tahun, ditutup turun 28.8% dibanding posisi puncaknya, sementara
IHSG di akhir tahun 2013 ‘hanya’ turun 18.6%. Selain itu
seperti yang sudah disebut diatas, koreksi Dow di tahun 1987 juga sangat
meninggalkan trauma psikologis karena adanya penurunan sebesar lebih dari 20%
sekaligus hanya dalam satu hari, yang merupakan penurunan terbesar sepanjang
sejarah indeks Dow Jones, bahkan hingga hari ini. Sementara IHSG? Pada tahun
2013 ini, penurunan terbesar (dalam satu hari) tercatat hanya 5.6% pada tanggal
16 Agustus 2013, alias masih belum ada apa-apanya dibanding rekor 8.9% pada
tahun 2011, dan juga penurunan-penurunan ekstrim lainnya yang pernah terjadi di
tahun 2008 dan 1998.
Maksud penulis adalah, jika pada tahun 2013 ini IHSG sempat teruuuuss naik
sampai lebih tinggi dari 5,250, katakanlah sampai menyentuh level 6,100 (naik
40% dibanding posisi awal tahun), kemudian entah itu di bulan September,
Oktober, atau November, IHSG akhirnya jatuh dan balik lagi ke posisi 4,200,
termasuk sempat jeblok 20% dalam satu hari, maka bagaimana kira-kira reaksi
para investor???
Tapi berhubung IHSG tidak sempat naik sampai 6,100 tadi, melainkan langsung
turun setelah menyentuh level 5,250, dan juga tidak terdapat penurunan yang
amat dramatis dalam satu hari, maka reaksi para investor ketika IHSG balik lagi
ke posisi 4,200-an pada akhir tahun, relatif masih normal. Suara-suara pesimis
yang mengatakan bahwa IHSG akan turun lebih dalam lagi tentu saja akan tetap
ada, namun tidak sampai ada sekumpulan ekonom yang memprediksi bahwa ‘Tahun
2014 dan selanjutnya akan menjadi tahun-tahun yang berat bagi perekonomian
nasional, mungkin sama beratnya seperti krisis 1998’.
Jadi poinnya disini adalah, jika IHSG sempat naik sampai 6,100 dan bukannya
hanya 5,250, maka meskipun pada akhirnya IHSG turun ke posisi yang sama, yakni
4,200-an, namun reaksi pasar, koran dan media, investor, hingga pemerintah, pasti akan jauh lebih dramatis,
termasuk anda sendiri mungkin akan mulai berpikir bahwa Indonesia benar-benar
sedang dilanda krisis. Dan orang-orang yang mengatakan bahwa indeks akan turun sampai 2,500 akan lebih bersemangat dalam menebar 'terornya', tentunya dengan argumennya masing-masing.
Nah, sekarang gantian skenarionya dibalik. Jika sepanjang tahun 2013 ini
IHSG hanya sempat naik sampai posisi 4,500 sebagai posisi tertingginya, kemudian
turun hingga ke posisi sekarang, maka bagaimana kira-kira reaksi pasar?
Contoh diatas membuktikan bahwa para investor seringkali lebih melihat
posisi indeks saham dari sisi psikologis, dari sisi emosional! Dan bukan dari
sisi valuasi. Ketika IHSG jeblok
sampai posisi 1,111 pada Oktober 2008, sangat sedikit investor yang mampu untuk tetep berpikir jernih, yang
mampu melihat bahwa posisi tersebut sudah sangat rendah sehingga justru
merupakan kesempatan untuk memborong saham di harga diskon! Kenapa demikian?
Karena sebelum terjadinya koreksi, IHSG sempat terus naik sampai posisi 2,810,
sehingga ketika IHSG turun sampai posisi 1,111, maka penurunannya sudah
mencapai lebih dari 60%, dan itu tentu saja penurunan yang luar biasa ekstrim.
Jika saja ketika itu IHSG hanya naik sampai katakanlah posisi 2,000, dan
bukannya sampai 2,810, maka mungkin istilah ‘Krisis 2008’ juga tidak akan
pernah ada.
Kesimpulannya, kita bisa mengatakan bahwa jika IHSG naik
terlalu tinggi, maka itu justru jadi nggak bagus buat IHSG itu sendiri
kedepannya. Sementara sebaliknya, jika IHSG turun dan terus turun, entah karena
krisis atau apapun, maka itu justru bagus karena potensi keuntungan yang bisa
diperoleh ketika pada akhirnya dia naik lagi, menjadi jauh lebih besar!
Karena sekali lagi pada akhirnya, indeks-indeks saham di seluruh dunia akan
terus naik. Pada tahun 1987 lalu Dow Jones sempat menyentuh posisi 2,722
sebagai posisi all time high-nya,
sebelum kemudian terkoreksi besar-besaran sekaligus menimbulkan prediksi bahwa
akan terjadi another great depression. Tapi
berapa posisi Dow Jones sekarang???
Karena itulah, meski tahun 2013 ini adalah untuk kali pertama IHSG kembali turun
sejak krisis 2008, namun tidak usah khawatir karena itu bukan akhir dari segalanya.
Malah justru, ini adalah restart yang
sangat baik untuk tahun 2014 dan selanjutnya! Just remember, kinerja pada
emiten di BEI telah terus meningkat baik dari sisi laba maupun ekuitas
sepanjang tahun 2013 ini, dimana nilai ekuitas dari 10 emiten terbesar di BEI
telah naik rata-rata 10.9% hingga Kuartal III kemarin, atau 14.5% jika
disetahunkan. Dan mengingat bahwa pada akhir tahun 2013 ini IHSG ditutup di
posisi yang justru lebih rendah dibanding posisinya pada awal tahun, maka itu
berarti valuasi saham-saham di BEI pada
saat ini sudah lebih rendah dibanding valuasinya pada setahun yang lalu.
Bagi para investor yang mampu untuk tetap fokus pada sisi value, maka hal inilah yang penting, dan bukan soal apakah sebelumnya IHSG
sempat naik sampai 4,500, 5,250, atau 6,100 sekalipun, atau soal apakah
nantinya IHSG akan kembali turun atau naik lagi. So, tetap optimis, gak usah khawatir
akan apapun, just let it flow!
Happy new year! Keep the spirit, it’s January!
Komentar
saya banyak setuju dengan apa yang di uraikan oleh pak Teguh
Sangat di sayangkan letter anual nya baru tersedia sepulah tahun lagi untuk punlik.... kelamaan
ditunggu ulasan2 menarik yang lain nya