Antara Wismilak dan Sido Muncul

Dalam analisis fundamental, salah satu indikator yang biasa penulis pakai untuk mengetahui apakah perusahaan sudah cukup mapan atau tidak, adalah dengan melihat posisi saldo laba perusahaan, atau disebut juga laba ditahan (retained earnings). Simpelnya jika sebuah perusahaan memiliki saldo laba yang besar, yang merupakan akumulasi dari perolehan laba dimasa lalu, maka perusahaan tersebut sudah mapan, terbukti dengan adanya akumulasi laba tersebut. Contohnya? Kalbe Farma (KLBF). Pada Kuartal III 2013, KLBF mencatat posisi saldo laba Rp7.6 trilyun, berbanding modal disetornya yang hanya sebesar Rp508 milyar. Ini artinya nilai modal yang disetor pemegang saham KLBF hanya Rp508 milyar, namun akumulasi keuntungan yang dikumpulkan perusahaan selama ini sudah jauh lebih besar dibanding modal disetor itu sendiri.

Itu sebabnya jika anda perhatikan-perusahaan yang sahamnya masuk kategori blue chip, yang rata-rata memang sudah mapan dan settle, biasanya saldo labanya juga besar. Berikut data posisi saldo laba dibandingkan dengan modal disetor perusahaan, dari 10 emiten terbesar di BEI. Sebelumnya harap catat bahwa jika selama ini perusahaan-perusahaan dibawah ini tidak pernah membagikan dividen, maka nilai saldo laba mereka akan jauh lebih besar lagi.

Saham
Saldo Laba (A)
Modal Disetor (B)
Rasio (A/B)
(Rp milyar)
(Rp milyar)
(x)
ASII
70,921
3,163
22.4
HMSP
9,718
544
17.9
BBCA
54,144
7,116
7.6
TLKM
55,477
7,343
7.6
UNVR
5,338
172
31.0
BMRI
54,229
28,869
1.9
BBRI
64,968
8,941
7.3
PGAS
1,878 (US$ juta)
501
3.7
SMGR
16,995
2,051
8.3
GGRM
27,169
1,016
26.7

Catatan: Modal disetor BMRI menjadi yang paling besar diantara semuanya karena sekitar dua tahun lalu perusahaan menggelar right issue untuk memperkuat posisi CAR.

Semakin mapan sebuah perusahaan, maka semakin besar peluang bahwa perusahaan akan terus maju pantang mundur kedepannya (akan terus beroperasi dengan lancar), sekaligus semakin kecil risikonya untuk kolaps alias bangkrut. Karena itulah jika anda menyukai saham-saham yang berisiko rendah, maka pilihannya ya saham-saham blue chip diatas, tinggal tentukan saja idealnya masuk di harga berapa. Jika anda berinvestasi pada saham-saham bluechip, maka boleh dibilang faktor risikonya hanya terkait risiko pasar, dimana jika IHSG turun maka dia akan turun, namun disisi lain hampir tidak ada risiko korporasi sama sekali, dimana kinerja perusahaannya hampir pasti akan aman-aman saja sepanjang tahun. Itu pula sebabnya dalam kondisi pasar yang sedang turun, maka pilihan terbaik akan selalu ada di saham-saham blue chip, karena ketika pada akhirnya nanti IHSG pulih kembali, maka biasanya (meski nggak selalu) saham-saham blue chip inilah yang akan lebih dahulu naik, kemudian baru disusul oleh saham-saham second liner.

Anyway, sebenarnya bukan itu yang hendak penulis bahas disini, tapi balik lagi ke masalah ‘kemapanan perusahaan’ tadi. Jadi intinya, belakangan ini penulis baru sadar bahwa masalah saldo laba ini nggak selalu bisa dijadikan sebagai satu-satunya patokan dalam menilai apakah sebuah perusahaan sudah mapan atau belum. Sebuah perusahaan bisa saja memiliki saldo laba yang nol, dan itu tidak selalu karena dia belum pernah menghasilkan laba bersih sebelumnya, melainkan bisa saja karena perusahaan selalu membagikan seluruh laba bersihnya tersebut sebagai dividen, jadi nggak ada yang disimpan sebagai saldo laba.

Dan kecenderungan seperti ini biasanya terjadi pada perusahaan yang bisnisnya fokus hanya pada satu bidang usaha, terkadang juga hanya pada satu atau beberapa jenis produk, dengan ukuran perusahaan yang cukup besar tapi tidak sebesar Astra International dkk. Pihak pemegang saham memang sengaja menarik seluruh laba bersih yang diperoleh perusahaan setiap tahunnya, karena mereka tidak memiliki niatan lebih lanjut untuk mengembangkan perusahaan. Sebab sebuah perusahaan hanya akan menyimpan labanya sebagai saldo laba (menggunakan hanya sebagian labanya untuk membayar dividen, atau bahkan tidak membayar dividen sama sekali), jika mereka membutuhkan dananya untuk menambah modal, untuk ekspansi dan memperluas usaha.

Lalu apa saja contohnya perusahaan yang mungkin sudah mapan, meskipun saldo labanya kecil? Sejauh ini yang penulis temukan baru ada dua: Wismilak Inti Makmur (WIIM), dan Sido Muncul (SIDO). Pada Kuartal III 2013, posisi saldo laba WIIM adalah Rp243 milyar, berbanding modal disetor perusahaan sebesar Rp515 milyar, sudah termasuk tambahan modal dari IPO-nya kemarin (modal disetor WIIM sebelum IPO-nya hanyalah Rp210 milyar).

Nah, jika melihat saldo laba WIIM yang hanya sedikit lebih besar dibanding modal disetornya (modal sebelum IPO), maka tampak bahwa WIIM ini masih merupakan perusahaan baru, yang akumulasi labanya masih kecil.

Logo PT Wismilak

Tapi benarkah demikian? Mungkin nggak juga. Dalam lima tahun terakhir, yakni sejak tahun 2008, pendapatan serta laba bersih perusahaan senantiasa naik terus. Tapi selama itu pula, posisi saldo laba WIIM hanya naik dan turun di kisaran Rp100 – 150 milyar (jadi kalau naik, kesininya turun lagi). Pada tahun 2011, laba WIIM melonjak dari Rp27 milyar di tahun 2010, menjadi Rp130 milyar. Namun pada tahun 2011 tersebut, saldo laba WIIM justru turun dari Rp147 menjadi 137 milyar. Nah, menurut anda apalagi penyebabnya jika bukan karena perusahaan membagikan dividen dalam jumlah besar? Sebab ketika itu posisi utang WIIM sama sekali tidak berkurang, melainkan justru bertambah.

Oh iya, saya lupa menyebutkan bahwa posisi saldo laba sebuah perusahaan bisa saja tidak meningkat meskipun perusahaan memperoleh laba besar dalam satu tahun, karena perusahaan tersebut harus membayar pokok hutangnya (dalam laporan laba rugi, beban yang disertakan dalam laporan adalah beban bunga utang, jika perusahaan memiliki utang bank atau obligasi). Tapi dalam kasus WIIM di tahun 2011, hal itu tidak terjadi.

Dan kalau mengingat sejarah perusahaan yang sudah beroperasi selama 50 tahun, termasuk sudah memiliki merk rokok yang terkenal di seantero nusantara, maka rasa-rasanya tidak mungkin jika selama 50 tahun tersebut, saldo laba yang dikumpulkan WIIM ternyata hanya sebesar modal pokoknya. Yang lebih mungkin adalah, selama ini WIIM selalu menghabiskan labanya untuk dividen, sehingga posisi saldo labanya kemudian hanya menjadi segitu-gitu saja. Hal ini juga bisa dilihat dari posisi saldo laba WIIM di Kuartal III 2013, yang melonjak menjadi Rp243 milyar dibanding periode yang sama tahun 2012, yang hanya Rp142 milyar. Penyebabnya? Karena dari saldo labanya di tahun 2012, para pemegang saham WIIM hanya mengambil Rp7.6 milyar untuk dividen, atau hanya mengambil sedikit sekali, sementara selebihnya tetap disimpan. Sepertinya pihak manajemen mulai mengambil kebijakan pengelolaan perusahaan yang ekspansif setelah perusahannya sendiri go public. Jika pada tahun 2013 ini WIIM kembali tidak membagikan dividen kecuali sedikit, maka pada tahun 2014 nanti saldo labanya akan melonjak kembali.

Dalam hal ini penulis kemudian berandai-andai: Jika selama 50 tahun ini para pemegang saham di WIIM tidak pernah mengambil dividen, atau mengambil dividen namun tidak sampai 100% perolehan laba bersih setiap tahunnya, maka berapa kira-kira posisi ekuitas WIIM pada saat ini?

Karena itulah, WIIM mungkin tidak bisa dikategorikan sebagai perusahaan start-up, melainkan perusahaan yang sudah mapan, dimana jika dalam lima dekade sebelumnya (sejak tahun 1963) perusahaan mampu mencetak laba dan menghasilkan dividen yang terus meningkat bagi pemegang sahamnya, maka seharusnya perusahaan juga tidak akan mengalami kesulitan untuk melakukan hal yang sama setidaknya dalam satu dekade kedepan. Jika ada faktor risiko yang bisa membatalkan asumsi ini adalah bahwa tim manajemen WIIM pada saat ini berbeda dengan sebelumnya, sehingga mereka juga belum tentu bisa bekerja sebaik pendahulunya (kepemilikan atas WIIM telah berpindah tangan sejak awal tahun 2000-an). However, kalau melihat perkembangan kinerja perusahaan dalam tiga tahun terakhir, maka track record dari orang-orang baru ini terbilang cukup baik.

Lalu bagaimana dengan SIDO?

Seperti halnya WIIM, SIDO juga memiliki historis yang cukup panjang, yakni berdiri dan beroperasi sejak tahun 1970, sehingga usianya kini mencapai 43 tahun (pada akhir tahun 2013). Bahkan jika dihitung sejak pendiri perusahaan, Ibu Rahkmat Sulistio, membuka usaha pembuatan jamu dirumahnya sejak tahun 1940, maka usia SIDO adalah 73 tahun. Dengan track record kinerja yang panjang, serta kualitas produk yang bahkan sudah menembus pasar mancanegara, maka seharusnya SIDO sudah merupakan perusahaan berukuran besar dengan posisi saldo laba yang juga besar.

Namun pada laporan keuangan terakhirnya per tanggal 31 Juli 2013, posisi saldo laba SIDO hanyalah Rp228 milyar, sangat kecil dibanding nilai modal disetor (belum termasuk tambahan modal disetor dari IPO) sebesar Rp1.4 trilyun. Namun tidak sulit untuk langsung menemukan bahwa akumulasi laba bersih yang dikumpulkan SIDO selama 43 tahun ini sebenarnya jauh lebih besar dari Rp228 milyar tersebut. Pada tahun 2011, posisi saldo laba SIDO adalah Rp440 milyar, sementara modal disetornya hanya Rp36 milyar. Namun pada tahun 2012, pemilik perusahaan yakni Keluarga Sulistio mengambil dividen dalam jumlah besar dari perusahaan, kemudian menyetornya kembali ke perusahaan dalam bentuk modal disetor sebesar Rp1.1 trilyun (sehingga modal disetor SIDO melonjak menjadi Rp1.4 trilyun).

Lalu dari mana pihak pemilik memiliki dana sebesar Rp1.1 trilyun tersebut? Ya kemungkinan besar dari akumulasi perolehan dividen atas SIDO itu sendiri di masa lalu. Sejauh yang penulis amati, Keluarga Sulistio tidak memiliki usaha lain diluar SIDO (atau mungkin ada, tapi yang paling besar ya SIDO ini), dan mereka juga bukan tipikal grup usaha yang sering melakukan leverage (mengambil utang, atau membentuk equity partnership, seperti yang biasa dilakukan grup-grup konglomerasi besar di Indonesia), melainkan hanya mengelola perusahaan dengan biasanya saja, yakni bikin jamu Tolak Angin, kemudian menjualnya, that’s it.

Karena itulah, jika SIDO bisa mencetak rata-rata pertumbuhan laba sebesar 20% saja dalam satu dekade kedepan, seperti track recordnya dalam lima tahun terakhir, maka nilai riil SIDO bisa jadi jauh lebih besar dibanding nilai buku alias aset bersihnya pada saat ini (baca lagi soal nilai intrinsik). Sebenarnya, CAGR laba bersih SIDO sejak tahun 2009 hingga 2012 adalah 60%, alias sangat luar biasa, namun penulis tidak menganggap bahwa SIDO akan bisa mempertahankan pencapaian tersebut dalam satu dekade kedepan, karena akan ada banyak peristiwa yang terjadi dalam sepuluh tahun tersebut, sehingga angka rata-rata pertumbuhan sebesar 20 persen-lah, yang lebih realistis.

Jika dibanding dengan WIIM, SIDO juga lebih mapan dimana itu bisa dilihat dari kebijakan dividen perusahaan, dimana SIDO akan membagikan dividen sebesar minimal 20% laba bersihnya setiap tahun, sementara WIIM akan membagikan dividen maksimal 30% laba bersihnya. Ini artinya jika anda menyukai dividen, maka boleh pilih SIDO. Sementara jika anda menyukai perusahaan yang lebih berpeluang untuk tumbuh secara signifikan, maka WIIM lebih cocok. Dan yap, WIIM memang lagi banyak proyek untuk menjadi perusahaan rokok yang lebih besar dari sebelumnya. Paling mudah, hal itu bisa dilihat dari kapasitas produksi rokoknya yang pada saat ini sudah mencapai 3.5 milyar batang per tahun dan masih terus meningkat, dari sebelumnya (sebelum IPO) sebanyak 2.5 milyar batang per tahun. Sebenarnya, SIDO juga tidak mau kalah dimana perusahaan berencana untuk meningkatkan kapasitas produksi Jamu Tolak Angin hingga 100% alias dua kali lipat pada tahun 2015, namun belum ada informasi soal kapasitas produksi dari produk-produk lainnya, apakah akan turut ditingkatkan atau tidak (SIDO juga memproduksi minuman energi Kuku Bima, minuman kesehatan termasuk esteemje, permen kunyit asam, susu jahe dll).

Anyway, jika kita lebih melihat faktor tingkat kemapanan perusahaan sebagai pertimbangan utama pengambilan keputusan, maka SIDO jelas lebih baik, selain karena perusahaan juga tidak memiliki pesaing yang berarti jika mereka hendak memperluas usahanya, dan ini berbeda dengan WIIM yang notabene hanya pemain kecil jika dibanding trio HM Sampoerna, Gudang Garam, hingga Djarum.

Tapi bagaimana dengan valuasi sahamnya? Nah, dalam hal ini justru WIIM yang lebih baik. Pada Kuartal III 2013, posisi ekuitas WIIM tercatat Rp760 milyar. Sementara pada harga saham 650, market cap WIIM adalah Rp1.3 trilyun, dan itu artinya PBV-nya 1.8 kali. Angka ini terbilang sangat murah untuk ukuran saham consumer goods, dan hanya bisa dikalahkan oleh Tiga Pilar Sejahtera Food (AISA), tapi WIIM jelas lebih memiliki sejarah dibanding AISA yang benar-benar masih merupakan start-up company (sejarah AISA sebagai perusahaan bihun sudah dimulai sejak tahun 1959, namun langkah perusahaan sebagai perusahaan makanan yang besar dan terintegrasi baru mulai dirintis pada tahun 2008).

Sedangkan SIDO? Posisi ekuitas SIDO pasca IPO-nya adalah kurang lebih Rp2.5 trilyun. Dengan harga saham 760, maka market cap SIDO adalah Rp11.4 trilyun, dan itu berarti PBV-nya 4.6 kali. Okay, seperti yang pernah penulis sampaikan sebelumnya, valuasi SIDO ini mungkin tidak bisa dijustifikasi sebagai ‘mahal’, karena toh Kalbe Farma (KLBF) lebih mahal lagi, dan valuasi SIDO juga tidak bisa disetarakan dengan WIIM karena fundamentalnya secara keseluruhan lebih bagus. But still, based on my experince, saham dengan harga premium seperti SIDO ini akan lebih mudah jatuh dibanding saham lain yang valuasinya lebih rendah, jika sewaktu-waktu nanti kinerjanya ternyata tidak sesuai harapan, atau jika ada bad news tertentu. I think, SIDO baru akan atraktif jika PBV-nya sudah di kepala tiga (tiga koma sekian kali), yang itu berarti di harga 550 - 650.

At the end, both stocks are good selections which represent well-regarded consumer goods companies. Baik WIIM maupun SIDO sangat menarik untuk pilihan investasi tidak hanya karena keduanya merupakan perusahaan consumer, tetapi juga karena keduanya memiliki nama besar, dan karena kalau berdasarkan kinerja historis maupun terbarunya, kedua perusahaan memiliki performance yang sangat baik. Jika anda termasuk yang concern pada faktor value, maka WIIM lebih menarik. Namun jika dibandingkan dengan KLBF, maka jelas, SIDO lebih menarik.

PT Wismilak Inti Makmur, Tbk
Rating Kinerja pada Kuartal III 2013: AA
Rating saham pada 650: AA

PT Industri Jamu & Farmasi Sido Muncul, Tbk
Rating Kinerja pada 31 Juli 2013: AA
Rating saham pada 760: BBB

Komentar

Anonim mengatakan…
Pak Teguh, tapi akhir tahun kemarin saham WIIM sempat masuk kategori UMA. Ada pengaruhnya tidak pak?
Teguh Hidayat mengatakan…
Saya nggak tahu kenapa BEI menganggap ada UMA di WIIM, karena tidak ada kejanggalan apapun dalam transaksi perdagangan WIIM, baik dari sisi perubahan harga maupun volume perdagangannya. Jadi saya pikir gak ada pengaruh apa-apa.
Anonim mengatakan…
pak teguh, pasar udah bullish nih 2 hari ini. bagaikan kodok loncat, udah dijual susah dibuyback lagi. chatbox nya diaktifin lagi donk :)
Tks
Anonim mengatakan…
Nice artikel bro teguh,tlong dibahas juga klw bisa untuk saham2 industri tekstil macam SRIL dan TRIS..thank you..
SahamTerbang mengatakan…
Alhamdulillah Saya udah pilih SIDO sejak di harga 730
Rizki mengatakan…
Mas Teguh, tolong ulasan mengenai prospek PNBS donk. yang listing di bursa per hari ini. sepertinya cukup menarik.tapi saya ndak begitu yakin karena saya blm mengerti 100% setelah baca prospektusnya.

Sama kalau boleh APLN. Atau mungkin saya terlewat karena emiten ini kan sudah lama IPO. sedangkan saya new comer di bursa.
Anonim mengatakan…
Kondisi WIIM dan SIDO setelah IPO memang beda jauh. Dulu ketika habis IPO tdk investor asing yg beli saham WIIM. Malah waktu itu WIIM kalah dgn saham WSKT, yg IPO nya hampir bersamaan dan fundamental WSKT kalah dibanding WIIM. Saat ini bisa dilihat di data perusahaan sekuritas, saham SIDO sangat banyak dibeli investor asing. Apa karena tdk ada saingan jual jamu, atau karena SIDO akan mengembangkan bisnisnya di bidang obat-obatan. Kadang saya heran, WIIM yg punya nama besar.. tapi harga sahamnya tdk berkembang. Padahal sdh cukup lama melantai di bursa. Nah itulah bursa saham...TA.
Unknown mengatakan…
saya lbh milih SIDO krn prospek di lapangannya lbh cerah menurut saya..obat2an kimia makin mahal shg org2 akan cari alternatif spt jamu/herbal dan jamu/herbal jg sdh semakin mendunia

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?