Konsultasi: Buyback Saham, Dividen, dan Pemberitaan Emiten
1. Pak Teguh, saya dengar Semen
Baturaja (SMBR) melakukan aksi buyback. Itu maksudnya apa sih? Dan apa
pengaruhnya terhadap kinerja perusahaan?
Pada tanggal 17 September 2013, manajemen SMBR mengumumkan bahwa jika dibutuhkan,
mereka siap untuk melakukan aksi buyback saham alias pembelian kembali saham
perusahaan di bursa, dalam rangka menjaga harga sahamnya agar tetap stabil.
Keputusan tersebut diambil setelah pada penghujung bulan Agustus 2013, IHSG
terkoreksi secara sangat signifikan sementara saham SMBR sendiri turun dari 560
ke 360. Jumlah dana yang disiapkan untuk aksi buyback tersebut adalah maksimal
Rp102 milyar, yang diambil dari posisi kas perusahaan (per Kuartal II 2013,
SMBR memiliki cash lebih dari Rp1.5 trilyun, hasil dari IPO-nya).
Yang perlu dicatat disini adalah bahwa perusahaan hanya akan melakukan
buyback tersebut jika dibutuhkan, yakni jika saham SMBR turun secara tidak
terkendali. Jadi jika pergerakan SMBR masih normal, maka mereka tidak akan melakukannya
buyback tersebut. Tapi jika mereka benar-benar melakukan buyback secara
maksimal, maka posisi kas perusahaan akan berkurang sebesar Rp102 milyar. Jika
dana cash tersebut bersifat urgent untuk
operasional perusahaan, untuk membiayai kegiatan ekspansi tertentu, atau
membayar utang yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat, maka kegiatan usaha
perusahaan mungkin akan terganggu. Namun dalam kasus SMBR, dana cash Rp102
milyar tersebut diambil dari ‘dana nganggur’ yang baru akan digunakan dalam
beberapa waktu kedepan untuk membangun pabrik semen baru di Baturaja, dimana
pabrik itu sendiri dijadwalkan baru akan beroperasi pada tahun 2016. Jadi dalam
hal ini aksi buyback tersebut tidak akan berpengaruh apapun terhadap kinerja
SMBR, namun diharapkan akan mampu menjaga harga sahamnya dari penurunan lebih
lanjut akibat volatilitas pasar.
Kalau yang penulis perhatikan, perusahaan-perusahaan BUMN umumnya cukup
sigap dalam berupaya menjaga harga sahamnya agar tidak turun terlalu rendah,
termasuk tidak keberatan jika mereka harus keluar dana untuk melakukan hal itu
(melalui buyback). Contohnya waktu puncak krisis global tahun 2008 lalu,
konsorsium BUMN secara bersama-sama menyiapkan dana Rp4 trilyun untuk membeli
kembali saham-saham BUMN di bursa. Para BUMN ini ketika itu berani untuk
memborong saham-saham BBRI, SMGR, dkk pada harga bawah, karena mereka cukup
yakin bahwa valuasi saham-saham tersebut ketika itu sudah sangat rendah jika
dibandingkan dengan kualitas fundamental perusahaan, sehingga pada akhirnya
nanti mereka akan naik juga. Dan ternyata memang benar.
Tapi disisi lain mungkin itu pula sebabnya dua perusahaan BUMN, yakni
Krakatau Steel (KRAS) dan Garuda Indonesia (GIAA), tidak pernah mengumumkan
bahwa mereka akan melakukan buyback, karena kinerja perusahaannya sampai
sekarang masih amburadul, sehingga perusahaan belum bisa menentukan berapa
sebenarnya nilai wajar sahamnya. GIAA memang pernah juga berniat melakukan
buyback, tapi dibatalkan. Sementara KRAS, rencana buybacknya hanya bersifat
rumor.
Diluar BUMN, grup usaha tertentu seringkali tidak mau melakukan hal yang
sama (buyback). Pada tahun 2008, alih-alih menyiapkan sejumlah dana untuk
keperluan buyback, Grup Bakrie meminta kepada pihak BEI untuk mensuspen saham
Bumi Resources (BUMI) agar tidak anjlok lebih dalam lagi, dan BEI menurut.
Namun hal ini kemudian diketahui oleh Menteri Keuangan ketika itu, Sri Mulyani,
yang kemudian dengan murka memerintahkan agar suspensi itu dicabut. Alhasil BUMI benar-benar anjlok
dari 8,000 sampai 400-an, dan itulah awal konflik Grup Bakrie dengan Ibu Sri
Mul. Nah, menurut anda, siapa yang bersalah dalam kasus ini?
Lebih lanjut soal buyback, bisa dibaca disini.
2. Saya ingin berinvestasi jangka
panjang, dan saya juga ingin bisa hidup hanya dari dividen. Jadi kalau boleh
saya tahu, saham apa saja yang membagikan dividen dalam jumlah besar setiap
tahun?
Kalau yang dimaksud dengan ‘dividen dalam jumlah besar’ itu adalah
perusahaan membagikan dividen dalam persentase yang besar dibanding total laba
bersihnya dalam satu tahun, maka jawabannya adalah saham-saham consumer,
seperti UNVR, INDF, HMSP, dan semacamnya. Untuk UNVR, mereka bahkan membagikan
dividen sebanyak 100% laba bersihnya setiap tahun. Perusahaan lain yang membagikan
dividen dalam jumlah besar (dibanding perolehan labanya) adalah
perusahaan-perusahaan BUMN, tentunya yang punya kinerja bagus seperti BBRI,
BMRI, SMGR, JSMR, dan PTBA.
Hanya masalahnya jika dibandingkan dengan harga sahamnya, jarang sekali ada
saham yang membagikan dividen dalam jumlah besar secara konsisten dari tahun ke tahun. Maksud penulis, terkadang
beberapa perusahaan membagikan dividen dengan nilai jumbo pada tahun tertentu,
katakanlah sebesar Rp200 per saham padahal harga sahamnya sendiri cuma Rp1,000
(dividend yield-nya 20%), tapi pada tahun berikutnya mereka gak bagiin dividen
lagi.
Kalau ada sebuah perusahaan yang membagikan dividen sebesar 7 – 9%
dibanding harga sahamnya secara rutin setiap tahun, maka itu sudah bagus
sekali, tapi itupun sangat jarang.
Tapi bukankah nilai dividen yang kita terima bisa naik terus dari tahun ke
tahun, seiring dengan naiknya laba perusahaan? Ya, memang. Beberapa perusahaan
memang membagikan dividen dengan jumlah yang naik terus setiap tahunnya,
sehingga pada tahun tertentu modal kita sudah kembali hanya dari dividennya
saja, dan belum termasuk keuntungan dari kenaikan harga sahamnya. Contohnya
jika anda beli saham Astra International (ASII) di tahun 1998, dan masih
memegangnya sampai sekarang, maka dividen yang anda terima sudah jauuuh lebih
besar dari modal yang anda keluarkan untuk membeli sahamnya. Contoh yang lebih
ekstrim lagi adalah UNVR, dimana jika anda membelinya di tahun 1982 dan masih
memegangnya sampai sekarang, maka keuntungan dividen yang anda peroleh bahkan
jauh lebih besar dibanding jika anda memegang ASII.
Tapi jujur saja, siapa sih investor yang membeli ASII di tahun 1998 lalu,
dan memegangnya sampai sekarang? Bagaimana jika pada tahun 1998 tersebut yang
ia beli adalah BLTA, misalnya? Maksud penulis, di BEI memang terdapat beberapa
saham seperti ASII dan UNVR, yang membagikan dividen dalam jumlah besar secara
terus menerus. Tapi jika dibandingkan dengan jumlah seluruh saham di BEI, maka
saham-saham super ini jumlahnya sangat sedikit, dan diperlukan lebih dari
sekedar kemampuan berinvestasi dan kesabaran yang luar biasa untuk bisa
menemukan saham seperti ini, kemudian tetap memegangnya selama bertahun-tahun.
Pada akhirnya, capital gain jauh
lebih menarik ketimbang dividen, karena beberapa hal: 1. Capital gain, atau
keuntungan atas kenaikan harga saham, kalau di Indonesia itu bebas pajak.
Sementara jika anda menerima dividen, maka itu dipotong pajak antara 10 hingga
15%, 2. Dividen hanya dibayarkan pada waktu-waktu tertentu, sementara kita bisa
merealisasikan capital gain, alias menjual saham yang kita pegang, pada waktu
kapanpun selama harganya cocok, dan 3. Fakta sejarah membuktikan bahwa
investor-investor sukses di seluruh dunia bisa menjadi kaya raya karena capital
gain, bukan dividen. Hingga saat ini pun, Warren Buffett setiap tahunnya hanya
menerima dividen dalam jumlah yang lebih kecil ketimbang kenaikan nilai aset
Berkshire Hathaway, kecuali tentunya pada tahun-tahun dimana pasar sedang
turun, seperti tahun 2001 dan 2008.
Karena itulah, jika anda adalah seorang investor jangka panjang, namun sebaiknya
jangan terlalu berharap untuk bisa living
by dividend. Karena jika anda suatu hari nanti benar-benar bisa hidup hanya
dari dividen, maka keuntungan yang anda peroleh dari kenaikan nilai aset dari
perusahaan-perusahaan yang sahamnya yang anda pegang (capital gain), pasti jauh
lebih besar ketimbang dividen yang anda terima itu sendiri. Dan ketika capital
gain (yang besar) itu diperoleh, maka anda hanya perlu mengambilnya sebanyak sebagian
kecil saja untuk kebutuhan sehari-hari, sementara selebihnya bisa digunakan
untuk investasi lagi. Warren Buffett selama ini hanya hidup dari gaji sebesar
US$ 100,000 atau sekitar Rp1 milyar saja per tahun. Jika ia memutuskan untuk
mengubah gaya hidupnya dan menghabiskan katakanlah US$ 10 juta (Rp100 milyar)
per tahun untuk pesta dan hura-hura, maka itu tetap saja tidak akan berpengaruh
sama sekali terhadap total kekayaan/asetnya, karena untuk menghabiskan seluruh
kekayaannya senilai US$ 40 milyar, Buffett perlu hidup hingga 4,000 tahun lagi
(which is impossible).
3. Saya baca di inilah dot com,
katanya Erajaya Swasembada (ERAA) memperoleh utang sebesar Rp2 trilyun. Itu
benar apa cuma rumor? Dan jika benar, bagaimana kira-kira pengaruhnya terhadap
kinerja perusahaan?
Ketika anda membaca berita bahwa sebuah perusahaan melakukan aksi korporasi
tertentu, entah itu di surat kabar atau internet, maka untuk memastikan apakah
berita itu benar atau cuma rumor, anda bisa membuka www.idx.co.id, kemudian klik IDXNet (yang warnanya merah). Di
halaman berikutnya (halaman pengumuman
emiten), anda masukkan kode saham yang anda cari di kotak ‘kode’, misalnya
dalam hal ini ERAA, kemudian klik tombol ‘Cari’. Kemudian nanti akan muncul
seluruh pengumuman resmi yang
dirilis oleh ERAA, termasuk soal utang tadi, jika memang beritanya benar.
Berikut adalah tampilan halaman idx.co.id setelah penulis memasukkan kode ERAA
dan mengklik tombol ‘cari’, klik untuk memperbesar.
Setelah anda download file-nya (berbentuk PDF), maka anda kemudian bisa
membaca pengumumannya. Berikut adalah tampilan dari pengumumannya tersebut,
klik untuk memperbesar:
Kalau baca pengumumannya sih, ERAA bersama beberapa anak usahanya baru saja
memperoleh plafon pinjaman dari Bank BCA sebesar maksimal Rp2 trilyun, tapi
bukan berarti ERAA sudah mencairkan seluruh pinjaman tersebut, melainkan baru
akan dicairkan nanti dengan jumlah sesuai kebutuhan. Sayangnya belum ada
informasi soal akan dipakai untuk apa dana pinjaman tersebut, tapi biasanya
informasi detailnya akan disampaikan di laporan keuangan terbarunya nanti.
Nanti deh, kita akan bahas lebih detail soal bagaimana cara menganalisis utang
perusahaan, apakah menguntungkan bagi perusahaan atau tidak.
Nah, terus bagaimana jika saya membaca berita tertentu tentang emiten
tertentu, tapi setelah dicari pengumuman resminya malah nggak ada? Kalau begitu
maka kemungkinan besar beritanya cuma rumor, sebab tidak atau belum ada
konfirmasi resmi dari perusahaan yang bersangkutan, sehingga anda tidak perlu
memperdulikannya. Kalau penulis sendiri setiap kali mendengar berita penting
tentang emiten tertentu, maka hal pertama yang dilakukan adalah mengeceknya ke
website IDX. Itu pula sebabnya penulis bisa mengatakan bahwa informasi buyback
SMBR adalah benar karena ada pengumuman resminya, sementara buyback KRAS
hanyalah rumor. Tindakan ‘meminta konfirmasi langsung dari perusahaan’ ini penting
agar kita tidak terjebak oleh rumor-rumor yang mungkin dengan sengaja
dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu.
Beberapa orang teman mengeluh bahwa berbeda dengan berinvestasi atau
trading saham di negara maju seperti Amerika Serikat, investasi saham di
Indonesia lebih sulit karena informasi yang tersedia jauh lebih terbatas, dan
seringkali pula kita kesulitan untuk membedakan mana informasi yang benar dan
yang tidak. Well, sebenarnya kalau anda mau meluangkan waktu untuk meng-explore website www.idx.co.id, maka semua informasi yang anda
butuhkan terkait emiten/saham tertentu, semuanya ada disitu, dan informasinya juga
valid karena bersumber langsung dari perusahaannya sendiri, bukan bersumber
dari wartawan atau pihak ketiga lainnya. Anyway, berdasarkan contoh diatas,
maka setidaknya kini anda sudah bisa membedakan mana berita yang sungguhan, dan
mana berita yang cuma bersifat rumor.
Lebih lanjut soal cara menganalisis pemberitaan di media, baca lagi artikelnya disini.
Lebih lanjut soal cara menganalisis pemberitaan di media, baca lagi artikelnya disini.
Komentar