Apa Itu Tapering? Dampaknya ke Indonesia?
Bulan Desember ini mungkin menjadi ‘bulan harap-harap cemas’ bagi para
investor dan trader (meski bagi investor tertentu, mereka cemas setiap bulan, setiap hari),
karena terdapat banyak isu yang dikhawatirkan bakal menyebabkan IHSG rontok
lagi, padahal posisi IHSG sendiri sudah sangat rendah. Salah satu isu tersebut
adalah masalah tapering, dan memang soal tapering itulah yang akan kita bahas di artikel kali
ini.
Sebelum kita masuk ke pembahasan soal tapering, saya ingin terlebih dahulu
mengomentari soal kenaikan BI Rate, yang terakhir sudah mencapai 7.50% (dan
masih bisa naik lagi). Kenaikan BI Rate, seperti yang anda ketahui, bertujuan
untuk mengurangi jumlah uang Rupiah yang beredar, dimana itu diharapkan akan mampu
menekan tingkat inflasi (baca lagi penjelasannya disini)
sekaligus menguatkan kembali nilai Rupiah, yang pada saat ini sudah sempat
menembus level Rp12,000-an per US Dollar. Jadi jika dilihat dari sisi ini maka
kenaikan BI Rate sebenarnya bagus buat perekonomian.
Tapi disisi lain kenaikan BI Rate juga bisa berdampak pada melambatnya
pertumbuhan ekonomi, karena bisa menyebabkan bank-bank menjadi lebih ketat
dalam menyalurkan kreditnya, termasuk juga ke sektor properti (kredit KPR).
Kenaikan tingkat suku bunga karena kenaikan BI Rate juga bisa menyebabkan usaha
perbankan menjadi lebih rawan terhadap risiko kredit macet, yang pada akhirnya
menyebabkan bank yang bersangkutan menjadi merugi. Tapi sejauh ini hal tersebut
tidak terbukti dimana secara historis, kinerja sektor perbankan dalam jangka
panjang tetap saja bagus, tak peduli BI Rate naik atau turun (baca
penjelasannya disini).
Karena itulah, ketika BI Rate entah itu dinaikkan, tetap, atau diturunkan,
sebenarnya tidak bisa langsung ditafsirkan apakah akan berdampak baik atau
buruk terhadap perekonomian. Kenaikan BI Rate bisa berarti baik jika tujuannya
tercapai sementara ‘efek samping’ yang dihasilkan tidak terlalu signifikan.
Disisi lain, kenaikan BI Rate juga bisa berarti buruk jika gagal mencapai
tujuannya, sementara efek samping yang dihasilkan malah lebih dominan.
Tapi jika kita mengasumsikan bahwa orang-orang di BI tentunya sangat paham
tentang arah kebijakan moneter, maka berapapun posisi BI Rate pada saat ini dan
juga posisi BI Rate di masa yang akan datang, maka itu adalah yang terbaik bagi
perekonomian nasional, atau setidaknya begitulah menurut Agus Marto dkk.
Intinya adalah, mau BI Rate berada di posisi 5%, 6%, 7%, atau berapapun, maka
itu adalah yang paling sesuai dengan situasi ekonomi Indonesia. I mean, anda
tentu sepakat bahwa Agus Marto bukanlah tipe pengangguran banyak omong macam
Farhat, atau politisi tukang debat macam Ruhut, melainkan dia memang ngerti ekonomi.
Okay, lalu apa hubungan hal ini dengan Tapering?
Istilah ‘tapering’ sebenarnya merupakan istilah dalam dunia olahraga, yaitu
situasi dimana sang atlet beristirahat/mengurangi porsi latihan pada satu hari
persis sebelum pertandingan. Misalnya jika Mike Tyson akan tanding tinju pada
tanggal 5 Juni, maka tentu ia akan dengan disiplin berlatih jauh-jauh hari
sebelumnya, bisa sampai berbulan-bulan sebelum pertandingan. Tapi persis satu
hari sebelum pertandingannya, yakni pada tanggal 4 Juni, ia akan beristirahat
total, mungkin dengan hanya menonton televisi seharian dirumah. Kondisi
istirahat itulah yang disebut dengan tapering.
Sementara dalam dunia ekonomi khususnya moneter, tapering adalah
pengurangan pembelian obligasi oleh Federal Reserve (The Fed, bank sentral
Amerika). Jadi awalnya, dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, The Fed
mencetak uang Dollar dalam jumlah tertentu untuk kemudian disalurkan ke
masayarkat, dengan cara membeli obligasi yang diterbitkan perusahaan-perusahaan.
Kebijakan ini dikenal dengan istilah quantitative
easing (QE). Dengan meningkatnya uang beredar di masyarakat, maka diharapkan
tingkat konsumsi dll juga akan meningkat, yang pada akhirnya menumbuhkan
perekonomian.
Jumlah uang baru yang dicetak dan disalurkan mencapai US$ 80 milyar setiap
bulannya, atau ada juga yang bilang US$ 85 milyar. Sudah tentu, The Fed tidak
bisa terus menerus menyalurkan uang sebanyak itu ke pasar, karena bisa
menyebabkan inflasi dan melemahkan nilai mata uang US Dollar itu sendiri.
Jadi setelah mencapai batas tertentu, penyaluran uang tersebut harus dikurangi, dan inilah yang
dimaksud dengan tapering. Kenapa disebut tapering? Ya karena tujuannya untuk
‘mengistirahatkan’ perekonomian setelah sebelumnya didorong untuk ‘berlatih’
terus menerus. Berlatih untuk apa? Untuk bisa bertumbuh. Ketika perusahaan/masyarakat
Amerika menerima duit dari The Fed, maka itu bukan berarti perekonomian secara
otomatis bisa langsung tumbuh lagi, melainkan masyarakat harus memutar uang
tersebut untuk konsumsi, investasi dll, kemudian baru perekonomian akan tumbuh.
Upaya masyarakat dalam ‘memutar’ uang itulah, seperti contohnya pengusaha yang segera
membangun pabrik setelah memperoleh pinjaman bank, yang bisa dianalogikan
sebagai ‘latihan’ untuk tujuan untuk meningkatkan taraf hidup mereka sendiri,
dan pada akhirnya menumbuhkan perekonomian negara secara keseluruhan.
Tapi sudah tentu, seperti halnya atlet olahraga sungguhan, masyarakat juga
harus beristirahat dari kegiatan ‘memutar uang’ ini setelah beberapa waktu
tertentu, dan itulah kenapa tapering ini diperlukan. Sebab jika The Fed terus
menerus menyalurkan uang baru ke masyarakat sementara masyarakat itu sendiri sudah
‘kecapean’, maka uang baru tersebut tidak akan membantu menumbuhkan
perekonomian, melainkan hanya akan menyebabkan inflasi.
Jadi sedikit berbeda dengan kenaikan BI Rate dimana tujuannya adalah untuk
mengurangi jumlah uang Rupiah yang beredar, tapering ini bertujuan untuk
mengurangi kenaikan dari jumlah uang Dollar yang beredar (jadi The Fed tetap
menyalurkan/menambah jumlah uang Dollar yang beredar masyarakat, hanya saja
jumlah penambahannya yang dikurangi). Namun kekhawatiran pasar tetap sama: Jika
jumlah uang yang beredar berkurang, maka artinya tidak ada uang baru yang bisa
dibelanjakan, dan itu bisa menghambat perekonomian. Alhasil ketika BI Rate
bulan lalu dinaikkan, IHSG langsung jatuh. Demikian pula jika nanti tapering
benar-benar jadi diberlakukan, maka Dow Jones bisa jatuh juga. Dan jika Dow
udah jatuh, biasanya IHSG akan ikut terseret turun.
Tapi apakah kejatuhan/penurunan indeks saham tersebut terjadi untuk jangka
waktu yang cukup panjang ataukah hanya sementara? Well, itulah yang kita nggak
tahu. Kalau pake contoh IHSG, posisi BI Rate kita pada saat ini sudah sangat
jauh dibanding posisi awalnya sebelum mulai dinaikkan, yakni 5.75% (sekarang
sudah 7.50%), dan alhasil IHSG juga sudah turun lumayan dalam jika dibandingkan
dengan posisi puncaknya yakni 5,200-an (malah sempat sampai 3,900, tapi
langsung naik lagi). Meski satu hal yang juga perlu dicatat disini adalah bahwa
IHSG bisa naik sampai 5,200 pada April lalu lebih karena didorong oleh euforia masuknya
dana asing, ketimbang faktor fundamental.
Sementara untuk Dow Jones, karena tapering itu sendiri sampai sekarang
masih belum diberlakukan, maka indeksnya masih naik terus. Tapi sejak meredanya
isu ‘United States Shutdown’ beberapa waktu lalu, sudah banyak pengamat/analis
yang mengingatkan akan ‘bahaya-nya’ tapering ini. Well, kalau kita baca lagi
penjelasan diatas, sebenarnya tapering itu justru akan berdampak positif. Jika
nanti The Fed akhirnya memberlakukan tapering, maka itu berarti Amerika sudah sampai pada kondisi dimana
tapering itu diperlukan. Jika sampai sekarang The Fed belum memberlakukan
tapering, maka itu berarti tapering tersebut belum dibutuhkan. As simple as
that, and nothing is to worry about.
However, ini bukan berarti Dow Jones tidak akan terkoreksi sewaktu-waktu
nanti, entah ketika tapering itu akhirnya diberlakukan, atau ditunda lagi.
Kalau anda cek valuasi saham-saham yang menjadi komponen Dow, banyak
diantaranya yang sudah mencatat PER diatas 20 kali, alias sudah mahal. Sebagai
perbandingan, rata-rata PER di BEI saat ini, untuk kesepuluh saham dengan
kapitalisasi pasar terbesar diluar UNVR dan HMSP (sebab dua saham ini
naudzubilah mahalnya), adalah kurang dari 11 kali.
Karena itulah kalau dari sisi valuasi, Dow memang rawan untuk terkoreksi,
meski tentunya kita tidak tahu kapan itu akan terjadi. Tapi intinya adalah,
soal tapering itu sama sekali tidak menjadi masalah, dimana itu hanyalah cerita
lainnya lagi setelah Euro Crisis, Greek Crisis, Debt Ceiling, Fiscal Cliff, dan
United States Shutdown. Trust me, nanti setelah cerita tapering ini menghilang
dengan sendirinya pasti akan ada cerita lainnya lagi, dan cerita lainnya lagi,
dan begitu terus sampai.. selamanya, yakni selama pasar saham itu sendiri ada.
Jika anda termasuk yang masih mudah khawatir oleh cerita-cerita seperti ini, maka
tenang saja, nanti juga anda akan terbiasa kok :)
Anyway, melalui blog ini penulis akan berusaha untuk terus menyampaikan update mengenai isu-isu terbaru terkait perekonomian nasional maupun global, so just stay tune.
Anyway, melalui blog ini penulis akan berusaha untuk terus menyampaikan update mengenai isu-isu terbaru terkait perekonomian nasional maupun global, so just stay tune.
Komentar
Mohon pencerahannya y Pak.
Btw, Pak, I regret I couldn't meet you in the Investor Summit. Maklum Pak, PNS g bebas keluar kantor di jam kerja. :(
Best regards,
Ikbal
-clara