PGAS, dan Kebijakan Open Access
Perusahaan Gas Negara (PGAS) melaporkan kenaikan laba bersih sebesar 4.0%
pada periode Sembilan Bulan 2013, dan secara umum kinerjanya pada periode
tersebut masih bisa dikatakan sangat baik. Namun yang menarik untuk dicermati
terkait perusahaan BUMN ini mungkin bukan terkait kinerjanya tersebut. Beberapa
hari lalu beredar berita di media bahwa Pemerintah melalui BPH Migas akan
memberlakukan kebijakan open access, dimana seluruh infrastruktur gas, dalam hal ini pipa-pipa gas yang
ada di Indonesia nantinya akan bisa digunakan oleh semua pihak, tidak hanya
PGAS.
Jadi ketika nanti kebijakan open access
ini diberlakukan (atau memang sudah), maka praktis PGAS akan kehilangan
keistimewaannya sebagai perusahaan yang memonopoli bidang distribusi dan
transmisi gas di tanah air, sehingga kinerjanya bisa jadi bakal turun. Hal
inilah yang membuat saham PGAS kemudian diselimuti sentimen negatif, dan sejauh
ini sudah turun 8.7% dalam tiga minggu terakhir.
Tapi benarkah open access ini akan menekan kinerja PGAS, atau seperti yang
dikatakan salah seorang pengamat, PGAS bisa bangkrut? Sebelum kesana, seperti
biasa mari kita pelajari lagi PGAS ini sejak awal.
PGAS, seperti yang anda ketahui, merupakan perusahaan yang bergerak di bidang
distribusi/perdagangan gas, dimana gas itu sendiri dibeli dari
beberapa produsen, seperti Pertamina dan ConocoPhilips. Yang dimaksud dengan
distribusi gas adalah penyaluran gas melalui truk tangki, tabung gas dll ke
pelanggan-pelanggan di kawasan industri, kawasan komersial, dan perumahan.
Distribusi gas juga bisa dilakukan melalui jaringan pipa-pipa berukuran kecil
yang menghubungkan stasiun penyimpanan gas milik perusahaan, dengan pabrik,
rumah dll yang menjadi konsumen gas tersebut.
Selain distribusi, PGAS juga memiliki usaha di bidang transmisi gas, atau disebut juga transportasi gas, yakni jasa
penyaluran gas melalui pipa-pipa khusus berukuran besar dan bertekanan tinggi, dimana
perusahaan memperoleh pendapatannya dari fee
yang dibayar perusahaan produsen gas yang mengalirkan gas-nya melalui
pipa-pipa tersebut. Jadi dalam hal ini PGAS mirip seperti Jasa Marga yang
membangun jalan tol, kemudian memungut bayaran dari mobil-mobil yang melintasi
jalan tol tersebut.
Bagan lini usaha PT Perusahaan Gas Negara (Persero), Tbk. |
Berbeda dengan pipa distribusi, pipa transmisi didesain untuk mampu
menyalurkan gas dalam jumlah besar secara terus menerus. Karena itulah biaya
pembangunannya sangat mahal, dan alhasil PGAS sampai saat ini baru memiliki
beberapa jaringan pipa transmisi saja di Indonesia, biasanya dengan bekerja
sama/patungan dengan perusahaan lain. Jaringan pipa transmisi pertama milik
perusahaan selesai dibangun pada tahun 1998, yang menghubungkan tambang gas
milik ConocoPhillips di Grissik, Sumatera Selatan, dan pembangkit listrik di
Duri, Riau. Dan untuk membangun jaringan pipa tersebut, PGAS bekerja sama dengan
ConocoPhillips itu sendiri. Sementara jaringan pipa transmisi kedua selesai dibangun tahun 2007, yang menghubungkan lapangan gas milik Pertamina di Pagardewa, Sumatera Selatan, dan pembangkit listrik milik Krakatau Steel di Cilegon, Banten.
Karena perusahaan hingga saat ini belum memiliki banyak jaringan pipa
transmisi, maka sekitar 80% pendapatan perusahaan masih berasal dari usaha
distribusi gas, dan hanya kurang dari 20% yang berasal dari usaha transmisi. Hingga
Kuartal III 2013, PGAS mencatat pendapatan US$ 2.2 milyar, dimana US$ 2.0 milyar
berasal dari usaha distribusi gas, dan hanya US$ 141 juta yang berasal dari
usaha transmisi (sisanya berasal dari eksplorasi minyak dan gas). Untuk kedepannya porsi pendapatan ini kemungkinan belum akan berubah, mengingat belakangan ini perusahaan lebih fokus pada upaya untuk memperoleh sumber pasokan gas milik sendiri, ketimbang membangun jaringan pipa transmisi baru.
Okay, sekarang kita ke masalah open access.
Diatas tadi disebutkan bahwa untuk bidang usaha transmisi gas, PGAS
memperoleh pendapatannya dari fee yang
dibayar perusahaan produsen gas yang mengalirkan gas-nya melalui pipa-pipa
tersebut. Nah, inilah yang dimaksud dengan open
access, dimana perusahaan produsen gas diperbolehkan menggunakan pipa
transmisi milik PGAS untuk mengalirkan gas-nya, tentunya dengan membayar ‘ongkos
jalan tol’. Sebelumnya, ketika peraturan soal open access ini belum diberlakukan,
produsen gas boleh dibilang terpaksa menjual gas-nya ke PGAS, untuk PGAS jual lagi ke
konsumen. Tapi setelah peraturan terkait open access ini berlaku, maka para
produsen gas ini bisa langsung menjual gas ke konsumen, dan cukup membayar fee saja
ke PGAS sebagai penyedia jasa pipa transmisi.
Selama ini peraturan open access tersebut hanya berlaku untuk pipa-pipa
transmisi. Namun mulai tanggal 1 November 2013 kemarin, open access juga
berlaku untuk pipa-pipa distribusi. Ini artinya produsen gas yang selama ini
menjual gas-nya ke PGAS, sekarang ini bisa menjual gas langsung ke konsumen dan
hanya perlu membayar fee penggunaan pipa ke PGAS.
Masalahnya adalah, jika kita pakai data dua tahun terakhir (2012 dan 2013),
usaha transmisi gas yang dijalani PGAS selama ini (yang sudah menerapkan open
access) ternyata mengalami kerugian,
dimana pendapatan yang diperoleh lebih kecil dibanding beban penyusutan dll. Ketika
PGAS selama ini selalu mencatat laba yang besar setiap tahun, maka itu adalah
karena usaha distribusi gas yang dijalani perusahaan selalu mencatat keuntungan
dengan margin yang signifikan, yakni hampir 50% dari pendapatan. Dan margin
sebesar itu bisa dicapai karena perusahaan nyaris memonopoli pasar distribusi gas di Indonesia, dengan pangsa pasar mencapai 83% di tahun 2012.
Jadi pertanyaannya adalah, setelah kebijakan open access ini berlaku juga
untuk pipa-pipa distribusi, maka apakah PGAS akan tetap mampu meraup laba besar
dari usaha distribusinya? Ataukah justru juga mengalami kerugian seperti yang
dialami lini usaha transmisi selama ini?
Peraturan terkait open access untuk pipa-pipa distribusi ini sebenarnya
sudah diteken oleh Menteri ESDM, Purnomo Yusgiantoro, pada tahun 2009 lalu, namun
pemberlakuannya ditunda hingga deadline
tanggal 31 Oktober 2013 kemarin. Kemungkinan hal ini pula yang mendorong PGAS
selama beberapa tahun terakhir ini berusaha untuk memperoleh pasokan gas
sendiri, agar mereka juga bisa menjadi produsen gas, tidak hanya distributor.
Dan sejauh ini upaya tersebut memang mulai membuahkan hasil. Pada Juni 2013,
PGAS sukses mengakuisisi 25% kepemilikan saham (atau disebut juga participating interest) pada Blok Ujung Pangkah,
dengan nilai akuisisi US$ 265 juta. Blok Ujung Pangkah merupakan blok migas yang terletak di
bagian timur Pulau Madura, sekitar 50 kilometer dari Kota Surabaya, dan
dikelola oleh Hess Corp., yang memegang 75% sahamnya. Sejauh ini hingga Kuartal
III 2013, blok migas ini baru menghasilkan pendapatan sebesar US$ 17 juta bagi
PGAS, tapi tidak menutup kemungkinan kedepannya akan menghasilkan pendapatan
yang lebih besar lagi.
Kesimpulannya, berikut adalah beberapa poin yang perlu anda perhatikan jika
anda tertarik untuk membeli, atau memang sudah memegang saham PGAS ini:
- Kebijakan open access hampir bisa dipastikan
akan menghilangkan status PGAS sebagai perusahaan monopoli di bidang distribusi
gas, dimana produsen-produsen gas tidak perlu lagi menjual gas mereka ke
PGAS, melainkan bisa mendistribusikannya sendiri.
- Meski hal ini mungkin akan mengganggu kinerja
PGAS, namun seharusnya tidak akan sampai bikin perusahaan jadi bangkrut
seperti yang dikatakan beberapa orang. Sebab dari kebijakan open access
ini PGAS tetap memperoleh pendapatan dari fee penggunaan pipa-pipa gas,
tinggal bagaimana perusahaan mengefisienkan pengeluarannya agar tidak
sampai rugi lagi.
- Disisi lain, PGAS sejak Juni kemarin sudah punya lini usaha baru, yakni sebagai produsen minyak dan gas dari bagian kepemilikannya atas Blok Ujung Pangkah, dan seharusnya lini usaha baru ini akan mampu berkontribusi positif terhadap laba perusahaan. Selain itu jika memang nanti ada kesempatan untuk mengakuisisi blok migas lainnya, maka PGAS tidak akan mengalami kesulitan dari sisi pembiayaan mengingat posisi cash perusahaan terbilang melimpah, yakni US$ 904 juta per Kuartal III 2013.
Satu hal lagi yang perlu anda ingat adalah, kalau terkait pergerakan sahamnya
sendiri, ini bukan kali pertama saham PGAS dihantam badai berita negatif. Pada Januari
2007 lalu, saham PGAS sempat anjlok 23% dalam satu hari karena keluarnya berita
bahwa manajemen perusahaan terlambat dalam melaksanakan komersialisasi salah
satu pipa transmisinya yang baru selesai dibangun. Pada September 2011, saham
PGAS juga sempat turun berkepanjangan hingga nyaris 50% dari posisi puncaknya,
karena kabar bahwa perusahaan mengalami kesulitan dalam memperoleh pasokan gas
untuk dijual (penulis pernah membahasnya disini).
Namun faktanya sampai saat ini PGAS masih mencatat kinerja yang bagus dan
juga bertumbuh. Dan salah satu pendorong pertumbuhan tersebut, diluar akuisisi
perusahaan terhadap blok minyak, adalah karena PGAS terus memperluas jaringan
pipa distribusinya. Sepanjang tahun 2013 ini saja perusahaan tengah membangun
jaringan pipa di setidaknya tiga wilayah yakni Batam, Semarang, dan Bitung –
Cimanggis (Jawa Barat). Pada akhirnya, potensi pertumbuhan industri gas di
Indonesia memang masih sangat terbuka, dimana dari ujung Sabang sampai Merauke,
jumlah jaringan pipa gas entah itu yang dimiliki PGAS atau perusahaan lainnya,
masih sangat sedikit. Dan PGAS sebagai perusahaan distributor gas pertama dan
tertua di tanah air (PGAS didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1859), tentunya akan selalu menjadi pemimpin dalam pembangunan
jaringan pipa-pipa gas tersebut.
Tapi memang, jika sentimen negatif terkait open access ini terus
berkelanjutan dan tidak ‘happy ending’, maka saham PGAS bisa kembali melanjutkan
penurunannya, sebab PBV PGAS pada saat ini tercatat 4.4 kali, dan kalau gak salah pada tahun 2011 PGAS sempat terus turun hingga PBV-nya tinggal 2 koma
sekian kali. Tapi penulis bisa katakan bahwa dalam kondisi normal, secara
fundamental PGAS ini layak dihargai pada harga yang mencerminkan PBV 5 kali,
yang itu berarti valuasi sahamnya pada saat ini, terlepas dari kekhawatiran
bahwa kinerjanya bakalan tertekan, terbilang murah.
Diluar itu, kalau menurut penulis sendiri, berhubung Menteri ESDM sekarang
ini bukan lagi Bapak Purnomo Yus melainkan Bapak Jero Wacik, maka ada
kemungkinan peraturan terkait kebijakan open access ini bisa dinegosiasikan
kembali, atau bahkan dibatalkan. Terbukti kalau kita baca di media, mulai ada
suara-suara bahwa BPH Migas tidak bisa memaksa PGAS untuk menerapkan open
access, melainkan hanya bisa mengatur (mengatur apa ‘mengatur’ nih??) Tapi yah,
ini cuma asumsi.
PT Perusahaan
Gas Negara (Persero) Tbk
Rating kinerja
pada Q3 2013:
AA
Rating saham
pada 4,975: A
Komentar
Note: data hanya contoh buat ilustrasi.
Sebelum Open Access:
Sales (ke customer): 500 Miliar
Cost (ke produsen gas): 200 Miliar
Gross Profit: 300 Miliar
Gross Margin: 60%
Expenses (Depresiasi, administrasi, staff): 150 Miliar
Tax: 50 Miliar
Profit: 100 Miliar
Net Margin: 20%
Setelah Open Access:
Sales (ongkos ke produsen gas): 100 Miliar
Cost (Depresiasi & staff): 30 Miliar
Gross Profit: 70 Miliar
Gross Margin: 70%
Expense: 50 Miliar
Tax: 5 Miliar
Profit: 15 Miliar
Asumsi nya adalah:
1. Perusahan butuh waktu buat menurunkan expense (staff cost).
2. Kapasitas perusahaan sudah terlanjur disediakan buat bisnis yg omzet nya besar.
Dengan Open Access bisnis perusahaan menjadi bisnis yg marginal (biaya dari produsen gas).