Kenapa Harus Takut sama Asing?

Minggu lalu, tepatnya pada hari Selasa tanggal 12 November, Bank Indonesia (BI) kembali menaikkan BI Rate menjadi 7.50%, dan keputusan tersebut segera direspon negatif oleh pasar. Pada hari selasa tersebut dan disusul keesokan harinya, IHSG turun hingga total kembali ke level 4,200-an, dimana tekanan terbesar dialami oleh saham-saham perbankan dan properti, yang diperkirakan akan terkena imbas langsung dari kenaikan BI Rate tersebut. Ketika artikel ini ditulis IHSG sudah mulai naik lagi ke posisi 4,366, namun masih belum kembali ke posisi sebelum turun.

Namun yang mungkin lebih menarik untuk dicermati adalah kembali keluarnya dana asing dalam jumlah gila-gilaan, yakni total sekitar Rp4 trilyun hanya sepanjang November ini saja. Sebenarnya karena keluarnya asing tersebut penulis kira IHSG seharusnya bisa turun hingga lebih rendah dari posisinya saat ini, namun ternyata dia masih mampu bertahan di level 4,300-an. Dan kalau berkaca pada fakta bahwa asing sepanjang tahun 2013 sudah keluar sebesar Rp15.4 trilyun, dimana ini adalah untuk kali pertama sejak tahun 2005 asing mencatatkan net buy negatif, bahkan hingga sebesar itu, maka harusnya IHSG berada di posisi yang jauh dibawah posisinya pada saat ini, jika benar asing ‘menguasai’ pasar saham kita.

Fakta inilah yang kemudian membuat penulis berpikir, benarkah asing menguasai pasar saham Indonesia? Benarkah naik turunnya IHSG ditentukan oleh keputusan para bule ini dalam membeli atau menjual saham, sementara investor lokal tidak berdaya sama sekali?

Atau jangan-jangan itu semua cuma mitos?

Karena itulah, penulis kemudian buka-buka lagi data statistik perdagangan saham di BEI di masa lalu, terutama bagian foreign net buy alias nilai dana asing yang masuk dalam satu tahun, dan data kenaikan/penurunan IHSG dalam satu tahun tersebut. Berikut rekap-nya:

Year
Net Foreign Buy
Composite Growth (%)
1997
0.4
(44.3)
1998
5.1
(0.9)
1999
12.1
70.1
2000
0.8
(38.5)
2001
4.5
(5.8)
2002
7.9
8.4
2003
9.9
62.8
2004
18.8
44.6
2005
(15.4)
16.2
2006
17.3
55.3
2007
32.6
52.1
2008
18.7
(50.6)
2009
13.3
87.0
2010
21.0
46.1
2011
24.3
3.2
2012
15.9
12.9
2013*)
(15.4)
1.8

Catatan:
  1. Net foreign buy dalam trilyun Rupiah. Kalau angkanya merah berarti negatif alias net sell. Sementara kenaikan/penurunan IHSG (composite growth) adalah dalam persen.
  2. Datanya dimulai dari tahun 1997 karena data untuk tahun-tahun sebelum itu tidak tersedia (mungkin ada sih kalau nyari, tapi data diatas udah cukup lah).
  3. Data untuk tahun 2013 adalah hingga penutupan pasar tanggal 18 November.

Okay, kita mulai dari tahun 1997. Seperti yang anda tahu, ketika itu IHSG sedang dilanda koreksi terbesarnya sepanjang sejarah akibat krisis moneter (IHSG mulai ada sejak tahun 1982), dan IHSG menutup tahun 1997 dengan turun 44.3% dibanding posisi pada awal tahun. Pada situasi ini mungkin para investor ketika itu berpikir bahwa asing ramai-ramai keluar dari pasar. Tapi faktanya pada tahun 1997 tersebut asing masih mencatatkan net buy sebesar Rp400 milyar (0.4 trilyun). Jangan salah, meski untuk saat ini Rp400 milyar tersebut tampak kecil, namun ketika itu, itu adalah jumlah dana yang sangat besar.

Tahun 1998 pasar masih diselimuti sentimen negatif akibat krisis dan sempat melanjutkan penurunannya, namun pada empat bulan terakhir mampu bangkit sehingga secara keseluruhan hanya turun tipis 0.9%. Pada tahun ini asing lebih gencar masuk ke bursa sebesar total Rp5.1 trilyun. Tahun 1999, IHSG rebound signifikan dan menutup tahun tersebut dengan kenaikan 70.1%, sementara net buy asing tercatat Rp12.1 trilyun.

Berikutnya, pada tahun 2000 dan 2001, asing masih tetap belanja saham meski nilainya turun dibanding tahun 1999, yakni Rp0.8 trilyun di 2000, dan Rp4.5 trilyun di 2001. Namun pada dua tahun tersebut, IHSG kembali jeblok masing-masing 38.5% di tahun 2000, dan 5.8% di tahun 2001.

Jadi kalau kita pakai data tahun 1997 – 2001, bisa disimpulkan bahwa ketika asing meningkatkan nilai pembeliannya, maka indeks akan naik. Sementara ketika asing mengurangi belanjanya (jadi masih beli saham, hanya jumlahnya tidak sebanyak sebelumnya), maka indeks turun signifikan.

Namun poinnya adalah, selama periode lima tahun tersebut asing sama sekali tidak keluar, malah jika diakumulasikan mereka telah membeli saham senilai total Rp22.9 trilyun. Tapi selama periode tersebut IHSG turun dari posisi 721 di awal tahun 1997, menjadi 392 pada akhir tahun 2001, atau secara keseluruhan telah turun 45.6% selama lima tahun. Jika berkaca pada ‘mitos’ bahwa net buy asing seharusnya menyebabkan indeks naik, maka penurunan IHSG ketika asing melakukan net buy tersebut menjadi tidak bisa dijelaskan.

Okay lanjut. Pada tahun 2002, 2003, dan 2004, asing masih terus belanja saham, dan kali ini IHSG beneran ikut naik sampai menembus level psikologis 1,000 di akhir tahun 2004. Namun pada tahun 2005, asing memutuskan untuk keluar sehingga pada tahun tersebut mereka tercatat melakukan net sell sebesar Rp15.4 trilyun. Sementara IHSG? Apakah ikut turun? Ternyata tidak. Pada tahun 2005 tersebut IHSG dengan pedenya terus melaju, dan ditutup di posisi 1,163 pada akhir tahun, atau menguat 16.2%.

Jadi sekali lagi, jika sebelumnya yakni pada periode 1997 – 2001, masuknya asing tidak mampu menolong IHSG untuk setidaknya tidak turun, maka pada tahun 2005 ketika asing ini keluar, IHSG tetap terus maju pantang mundur.

Pada tahun 2006 dan 2007, IHSG kembali naik signifikan masing-masing diatas 50%. Dan memang, pada periode dua tahun tersebut asing juga kembali belanja jor-joran. Tapi pada tahun 2008, kondisinya kembali berbalik, dimana indeks jeblok sampai lebih dari separuhnya hingga menghapus kenaikan yang terjadi dua tahun sebelumnya.

Dan apakaaaaah asing juga ramai-ramai keluar pada tahun 2008 tersebut? Ternyata tidak! Asing masih net buy ketika itu, bahkan cukup besar yakni Rp18.7 trilyun. Jadi siapa sebenarnya yang berbondong-bondong keluar dari pasar pada tahun 2008 tersebut? Ya investor lokal alias kita sendiri! Kemungkinan indeks pada tahun 2008 bisa turun sampai sedalam itu karena banyaknya peristiwa force sell yang dialami investor lokal yang belanja saham pake margin, sehingga mereka dipaksa menjual sahamnya dan itu turut membuat indeks turun semakin dalam. Kalau anda masih ingat, tahun 2007 - 2008 adalah tahun dimana saham-saham Bakrie sedang jaya-jayanya, dimana Bumi Resources (BUMI) sempat berada di posisi 8,000, dan ketika itu banyak investor yang memegangnya pake duit margin.

Namun berbeda dengan kasus 1998, market crash di tahun 2008 hanya berlangsung sebentar (sekitar sembilan bulan), dan pada tahun 2009 IHSG kembali melejit hingga mencatat rekor kenaikan 87.0%. Sementara posisi net buy asing ketika itu? Malah turun dibanding tahun 2008, yakni hanya Rp13.3 trilyun.

Dan seterusnya, dan seterusnya. Jika anda kembali menganalisis tabel diatas hingga periode tahun 2013, maka anda akan menemukan fakta bahwa net buy atau net sell asing tidak memiliki korelasi/hubungan dengan kenaikan atau penurunan IHSG. Jika asing jualan maka itu bukan berarti pasar akan turun, dan jika asing belanja, maka itu juga bukan berarti pasar akan naik. Dalam jangka sangat pendek memang mereka sekilas tampak mempengaruhi pasar. Namun dalam jangka panjang sangat jelas bahwa sebenarnya investor lokal-lah, yang lebih dominan terhadap pergerakan indeks.

Dan kalau kita pakai data nilai transaksi perdagangan saham berdasarkan jenis investornya, yakni asing versus lokal, maka sejak tahun 1997 sampai sekarang, investor lokal hampir selalu lebih dominan dibanding investor asing. Berikut datanya, angka dalam persentase, sebelumnya catat bahwa untuk tahun 2013 datanya adalah hingga penutupan pasar tanggal 18 November.

Year
Foreign (%)
Local (%)
1997
52
48
1998
42
58
1999
35
65
2000
20
80
2001
11
89
2002
8
92
2003
28
72
2004
41
59
2005
41
59
2006
30
70
2007
22
78
2008
27
73
2009
25
75
2010
31
69
2011
31
69
2012
43
57
2013*)
42
58

Okay, perhatikan bahwa kecuali untuk tahun 1997, setiap tahunnya nilai perdagangan saham oleh investor lokal selalu lebih besar dibanding investor asing, termasuk untuk tahun 2013 ini. Jika dirata-ratakan selama 17 tahun terakhir ini, maka dari nilai transaksi perdagangan saham sebesar katakanlah Rp3 trilyun dalam satu hari, maka hanya kurang dari Rp1 trilyun yang dilakukan oleh asing, sementara selebihnya yakni Rp2 trilyun tetap dilakukan oleh investor lokal.

Nah, jadi berikut adalah kesimpulan dari pembahasan kita kali ini:

  1. Pergerakan asing tidak berpengaruh terhadap pergerakan indeks. Dalam jangka pendek mereka mungkin berpengaruh, tapi dalam jangka waktu tahunan tetap investor lokal yang lebih dominan.
  2. Satu-satunya pengaruh yang dihasilkan oleh asing adalah reaksi berlebihan yang dilakukan oleh investor lokal dalam menanggapi pergerakan mereka. Ini bisa dilihat pada kasus tahun 1997 – 2001, dimana selama periode tersebut asing terus masuk namun sempat ‘mengerem’ di tahun 2000 dengan hanya mencatatakan net buy Rp0.8 trilyun, tapi IHSG pada tahun tersebut malah anjlok hingga hampir 40%.
  3. Kenaikan atau penurunan IHSG (termasuk juga kenaikan dan penurunan saham-saham) tidak selalu karena faktor fundamental, namun pada akhirnya faktor fundamental tersebut tetap berpengaruh signifikan. Pada tahun 2008 IHSG seharusnya tidak turun sampai sedalam itu, karena ketika itu perekonomian nasional sebenarnya masih relatif baik-baik saja (tidak seperti tahun 1998). Tapi karena banyaknya kasus force sell, dan mungkin juga penyebab lainnya, maka jadilah IHSG ketika itu turun terus sampai posisi angka cantik yakni 1,111. Namun pada tahun berikutnya yakni 2009, saham-saham segera naik kembali ke posisi wajarnya masing-masing, dan alhasil tahun 2009 menjadi tahun dengan kenaikan IHSG paling tinggi sepanjang sejarah, sebagai ‘kompensasi’ atas ‘penurunan berlebihan’ yang terjadi setahun sebelumnya.

Balik lagi ke soal asing. Kalau kita perhatikan, baik BEI maupun OJK seperti membiarkan asing keluar masuk bursa, dan ini berbeda dengan istrumen investasi lain seperti properti, surat utang negara, obligasi, hingga deposito, dimana aktivitas investor asing di instrumen-instrumen investasi tersebut dibatasi dengan berbagai peraturan. Namun hal ini mungkin bukan karena kedua otorita bursa tersebut pengangguran, melainkan justru disengaja karena nilai transaksi perdagangan saham di Indonesia masih kurang likuid. Sebagai gambaran, rata-rata nilai transaksi perdagangan di BEI untuk seluruh saham adalah Rp5 trilyun atau setara kurang lebih US$ 500 juta per hari. Dan berapa nilai transaksi perdagangan di bursa New York? I don’t know, tapi kalau kita ambil contoh saham Exxon Mobil, nilai transaksi perdagangannya adalah US$ 1.5 milyar per hari! Atau tiga kali lebih besar dibanding nilai transaksi seluruh saham di BEI (padahal itu baru satu saham doang, belum seluruh saham yang menjadi komponen Bursa New York).

Exxon Mobil, perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di dunia

Karena itulah, keberadaan asing di BEI diperlukan untuk menjaga likuiditas pasar. Diatas disebutkan bahwa dari nilai transaksi harian sebesar Rp3 trilyun, Rp1 trilyun diantaranya dilakukan oleh asing. Jika asing ini dilarang trading saham, maka nilai transaksi harian tersebut akan berkurang cukup signifikan menjadi hanya Rp2 trilyun saja, dan itu jelas seret banget. Kalau dilihat dari sisi ini maka wajar jika kemudian pergerakan asing ini ada juga pengaruhnya kalau dalam jangka pendek (trading harian, mingguan, hingga bulanan). Tapi dalam jangka panjang, tetap lokal yang lebih dominan.

Kalau menurut penulis sendiri, jika nanti jumlah investor/trader lokal di BEI sudah cukup banyak (sekarang baru kurang dari 1% dari jumlah penduduk), maka mungkin barulah ketika itu gerak gerik asing akan dibatasi. Tapi sebelum itu, ingat bahwa kita sebenarnya nggak perlu takut sama asing, sama sekali. Kalau mereka mau keluar ya silahkan, kalau mau masuk pun ya monggo. I don’t care.

NB: Penulis membuat buku elektronik (ebook) berisi kumpulan rekomendasi saham dari 30 saham pilihan di BEI. Anda bisa memperolehnya disini.

Komentar

robot mengatakan…
Pak Teguh sepertinya baru beberapa hari yang lalu anda mengatakan market kita sedang menuju resesi...

apakah sekarang sudah berubah pandangannya pak...

klo dari artikel di atas kok sepertinya kontradiksi dengan peryataan anda tentang resesi beberapa saat yang lalu....tks
Teguh Hidayat mengatakan…
@robot Resesi bisa terjadi kapan aja pak, IHSG juga bisa naik atau turun kapan aja. Tapi intinya itu gak ada hubungannya dengan keluar atau masuknya dana asing. Artikel ini adalah tentang dana asing, bukan tentang optimisme atau pesimisme saya terkait pasar.

Tapi ngomong2, saya tidak pernah bilang kalo market akan resesi (itu sih kerjaan papahlauren). Kalo di forum diskusi diatas, waktu itu memang ada yang nanya apakah ekonomi bakal resesi, dan saya jawab resesi bisa terjadi kapan saja, bukan akan terjadi resesi.
rickybun mengatakan…
terima kasih untuk informasinya,pas banget apa yang sedang saya pikirkan belakangan ini dalam menentukan arah pasar, sukses selalu pak teguh, bener2 artikelnya di muat dengwn bukti.. salut..
KGB mengatakan…
ASING SELALU MENANG TUAN ...
Anonim mengatakan…
ASING VS ASENG
Anonim mengatakan…
LKH dan penganutnya yang menang
AMJ mengatakan…
Menurut saya simpel saja. Dana asing kembali ke Amerika untuk mengejar keuntungan besar dari Dow Jones dan S&P 500 yg terus mencetak All Time High. Ekonomi Amerika sedang membaik sedangkan Indonesia sedang memburuk gara2 demo buruh, dollar naik dan politisi dan pejabat yang buruk perilakunya. Roda kehidupan berputar. Itu saja..
Anonim mengatakan…
Bos....data anda yang anda paparkan berdasarkan statistik BEI kurang valid karena data tersebut total transaksi, pasar reguler + pasar negoisasi,
Data Pasar Reguler 2012 = 10571160 M
Data Pasar Reguler 25 Nov 2013 = -21704465 M
Teguh Hidayat mengatakan…
@Anonymous Data diatas jelas valid kok. Tapi bahkan kalau data yang kita ambil adalah data pergerakan dana asing di pasar reguler saja, dan gak menghitung yang di pasar nego (dan juga pasar tunai), maka kesimpulannya tetap sama: Asing gak berpengaruh apapun terhadap pasar, kecuali dalam jangka pendek.

Sebab kalau asing ini di pasar reguler udah net buy negatif sebesar 21.7 trilyun (lebih besar dari 15.4 trilyun diatas), maka harusnya IHSG juga jatuh lebih dalam lagi dari posisinya sekarang, jika benar mereka punya pengaruh.
Pengamat Market mengatakan…
Maaf Pak Teguh data ini inflow dan outflow asing bapak dapatkan dari mana ya ?!!

Boleh saya minta sourcenya.

Terima kasih sebelumnya
indra771130 mengatakan…
Bagaimana pengaruh Foreign Net buy pada saham murni, bukan IHSG
Panji Tumanggor mengatakan…
Pak Teguh, saya baru buka website bapak karena membeli dua buku bapak.

Saya mau ajak diskusi mengenai pergerakan asing ini. Jika asingnya net buy dan ihsg malah turun, bukan kah itu malah keuntungan bagi si asing? artinya dia dapat membeli saham-saham dalam keadaan murah. Dan begitu sebaliknya, ketika net buy asing negatif tapi ihsg malah naik, bukannya itu keuntungan bagi si asing? artinya mereka jualan di harga atas. Kalau bapak bisa ambil data, trus menghitung rata-rata pembelian asing saat ihsg turun dan harga rata-rata jual asing saat ihsg naik, saya yakin asing untung. Seperti kita, saat mau membeli barang-barang bagus, kita maunya saat harganya murah, dan saat kita mau jualan kita mau harganya naik. Bagaimana menurut bapak? Jadi jika digabungkan dengan FA, maka ketika kita memperoleh suatu saham yang bagus dan harganya murah, kita bisa melihat net buy asing, jika harganya terus turun dan asingnya net buy terus, artinya saham tersebut juga sedang dikumpulkan oleh asing. Dan bisa menjadikan kita, tambahan informasi bahwa saham yang kita analisa, ternyata di incar juga oleh asing.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?