Pelemahan Rupiah, dan Pengaruhnya Terhadap Emiten Properti
Kalau melihat nature bisnisnya,
fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing, dalam hal ini US Dollar,
sebenarnya tidak berpengaruh terhadap kinerja perusahaan/emiten properti
mengingat mereka memperoleh pendapatannya dalam mata uang Rupiah, dan membayar
biaya-biaya seperti biaya kontraktor atau biaya pembelian lahan dalam mata uang
Rupiah juga (beberapa perusahaan properti ada juga yang impor bahan bangunan,
tapi nilainya biasanya kecil). Tapi ceritanya jadi lain jika perusahaan yang
bersangkutan memiliki utang dalam mata uang Dollar, dimana nilai beban bunga
yang harus dibayarkan maupun nilai pokok utang itu sendiri menjadi sangat
dipengaruhi oleh naik turunnya nilai Rupiah terhadap Dollar.
Saat ini di BEI terdapat setidaknya lima perusahaan properti yang punya
utang dalam mata uang Dollar. Mereka adalah Alam Sutera Realty (ASRI), Lippo
Karawaci (LPKR), Kawasan Industri Jababeka (KIJA), Modernland Realty (MDLN),
dan Bakrieland Development (ELTY). Kecuali ELTY yang punya utang dimana-mana, keempat
perusahaan properti lainnya menerbitkan utang dengan mata uang Dollar tersebut
dalam bentuk obligasi jangka panjang yang diterbitkan di Singapura. Berikut
adalah detailnya:
Perusahaan
|
Jumlah Unit
Obligasi
|
Total Nilai Utang
|
Bunga
|
Jatuh Tempo
|
(Jutaan US Dollar)
|
(%)
|
|||
LPKR
|
5
|
653
|
6.12 - 9.00
|
2019 - 2020
|
ASRI
|
2
|
385
|
6.95 - 10.75
|
2017 - 2020
|
KIJA
|
1
|
175
|
11.75
|
2017
|
MDLN
|
1
|
150
|
11.00
|
2016
|
Catatan:
- Kecuali untuk MDLN (baca keterangan no 3), total
nilai utang adalah per tanggal 30 September 2013. Setelah dikonversikan ke
dalam mata uang Rupiah dan disajikan di laporan keuangan masing-masing,
angkanya menjadi cukup besar karena pada tanggal tersebut kurs Rupiah
berada di salah satu level terendahnya yakni Rp11,613 per USD.
- KIJA berencana untuk menerbitkan obligasi
baru untuk melunasi obligasi lama, senilai US$ 350 juta. Obligasi tersebut
akan jatuh tempo tahun 2020 dengan tingkat bunga yang lebih rendah (sekitar
6 – 7%), namun belum ada kepastian kapan obligasi tersebut akan
diterbitkan.
- MDLN menerbitkan obligasinya pada tanggal 25
Oktober 2013, sehingga obligasi diatas belum dimasukkan dalam laporan
keuangan terbarunya. MDLN tadinya berniat menerbitkan obligasi senilai US$
300 juta, namun yang bisa direalisasi hanya separuhnya. Pada tanggal
obligasinya terbit, kurs Rupiah berada di level yang cukup rendah yakni
Rp11,142, sehingga jika nanti Rupiah menguat hingga melewati level
tersebut maka MDLN akan memperoleh keuntungan kurs. Saat ini Rupiah masih
berada di level Rp11,486 per Dollar.
Kecuali MDLN, ketiga perusahaan properti lainnya menerbitkan obligasi
ketika Rupiah masih berada di level Rp9,000-an per Dollar. Sehingga ketika saat
ini Rupiah melemah ke level Rp11,000-an, maka baik LPKR, ASRI, maupun KIJA bisa
dipastikan mengalami penurunan laba akibat kerugian kurs, baik yang sudah direalisasi (bunga obligasi yang sudah dibayarkan), maupun belum (bunga yang belum dibayarkan, dan
juga nilai pokok utang yang belum dibayarkan). Pada laporan keuangan terbaru milik
KIJA, yakni untuk periode Kuartal III 2013, kedua jenis rugi kurs tersebut
(yang sudah direalisasi maupun belum) sama-sama disajikan sebagai akun beban
yang mengurangi nilai laba perusahaan, dan alhasil laba KIJA tampak turun tajam
dari Rp281 milyar menjadi hanya Rp97 milyar saja.
Namun penulis mungkin perlu menggaris bawahi kata ‘tampak’ disini, karena
sejatinya laba KIJA tidak benar-benar turun mengingat utang obligasinya yang
USD 175 juta tadi belum dibayar melainkan dibayarnya nanti tahun 2017, sehingga
kerugian kurs akibat penurunan nilai obligasi tersebut (nilainya sekitar Rp300
milyar) sama sekali belum terealisasi, atau dengan kata lain perusahaan tidak
benar-benar mengeluarkan dana sebesar Rp300 milyar tersebut. Hal itu juga bisa
dilihat dari beban pajak KIJA yang tercatat Rp65 milyar pada Kuartal III 2013,
atau masih naik dibanding pajak untuk periode yang sama tahun 2012 sebesar Rp58
milyar. Jika laba KIJA benar-benar turun, maka seharusnya nilai pajaknya juga
turun.
Sementara pada laporan keuangan LPKR, hanya kerugian kurs yang sudah
direalisasi yang dicantumkan di laporan keuangan, sehingga laba bersihnya masih
bisa tertulis naik signifikan. Setelah penulis pelajari, hal itu karena
manajemen LPKR sudah melindungi nilai
obligasinya menggunakan fasilitas non
deliverable USD call spread option dengan beberapa bank asing, sehingga
perusahaan menganggap bahwa potensi kerugian kurs akibat penurunan nilai Rupiah
ketika nanti pokok obligasinya dibayarkan di tahun 2019 dan 2020, menjadi bisa
dihilangkan. Alhasil pada laporan keuangan LPKR, kerugian kurs yang belum
direalisasi tadi digantikan oleh beban untuk membayar jasa penggunaan fasilitas
spread option tadi, yang nilainya
jauh lebih kecil.
Sedangkan KIJA tidak memiliki/menggunakan fasilitas lindung nilai tersebut,
sehingga kerugian kurs yang belum direalisasi tetap disajikan di laporan
keuangan. Tapi perusahaan punya satu alasan khusus kenapa mereka melakukan itu
(tidak menggunakan fasilitas lindung nilai untuk obligasinya), kita akan
membahasnya dibawah.
Satu perusahaan lagi, yakni ASRI, hingga artikel ini ditulis belum merilis
laporan keuangan terbarunya. Namun kabar baik bagi anda yang memegang sahamnya,
berhubung sejak awal ASRI sudah melindungi nilai obligasinya (menggunakan
fasilitas call spread option juga),
maka kemungkinan besar laba perusahaan di Kuartal III nanti masih akan naik,
karena kerugian kurs yang belum direalisasikan tidak akan turut dicantumkan di
laporan keuangannya.
Okay, lalu apa itu yang dimaksud dengan non
deliverable USD call spread option?
Jika anda mencari penjelasan tentang istilah tersebut di Google, maka anda
tidak akan menemukan penjelasan dengan bahasa yang mudah. Tapi biar penulis
langsung menjelaskannya dengan contoh option
yang memang sudah dilakukan oleh ASRI untuk salah satu obligasinya yang jatuh
tempo tahun 2017, senilai US$ 150 juta. Pada Juni 2012, ASRI menggunakan
fasilitas call spread option yang disediakan oleh beberapa bank di Singapura,
dimana perusahaan memiliki opsi/hak untuk membeli Dollar dari bank pada rentang
harga antara Rp9,400 hingga 11,000 per Dollar, dengan nilai pembelian maksimum
US$ 100 juta alias Rp9.4 hingga 11 trilyun. Fasilitas opsi ini akan berakhir (expired) pada 2017 (sama dengan ketika
obligasinya jatuh tempo), dan perusahaan dibebankan biaya transaksi sebesar
1.3% per tahun dari total nilai transaksi jual beli yang dilakukan.
Kemudian pada tanggal 30 Juni 2013, alias tanggal berakhirnya laporan keuangan
periode Kuartal II 2013 (soalnya ASRI belum merilis LK untuk Kuartal III),
Rupiah melemah dan berada di posisi Rp9,929 per Dollar. Karena ASRI bisa
mengeksekusi hak-nya untuk membeli Rupiah pada harga terendah yakni Rp9,400,
maka terdapat selisih Rp529 disini (9,929 dikurangi 9,400), yang setelah dikali
USD 100 juta menjadi Rp52.9 milyar, atau kita bulatkan menjadi Rp53 milyar. Dana sebesar Rp53 milyar
tersebut kemudian dianggap sebagai aset
keuangan, yang bisa dicairkan sewaktu-waktu jika nanti dibutuhkan.
Karena ada tambahan aset dari timbulnya aset keuangan tadi, maka di neraca
perusahaan, posisi aset/aktiva menjadi meningkat sebesar Rp53 milyar, sementara
posisi kewajiban/pasiva juga meningkat karena nilai utang obligasi ASRI dalam
mata uang Rupiah meningkat karena pelemahan Rupiah tadi (jadi jatuhnya impas).
Jika Rupiah tetap di posisi Rp9,929 per Dollar hingga berakhirnya masa kontrak option pada 27 Maret 2017, dimana
obligasinya juga jatuh tempo pada tanggal tersebut, maka ASRI bisa membayar
lunas obligasinya meski nilai obligasi tersebut meningkat, karena perusahaan
punya dana yang sudah disiapkan berupa aset keuangan senilai Rp53 milyar tadi.
However, penulis sendiri dalam hal ini masih bingung akan dua hal. Pertama,
nilai option yang dipegang ASRI cuma
USD 100 juta, padahal nilai obligasinya USD 150 juta. Kalau gitu masih ada
kelebihan nilai obligasi yang belum dilindungi dong? Terus tadi disebutkan
bahwa spread-nya adalah antara Rp9,400
hingga 11,000 per Dollar. Tapi berhubung sekarang Rupiah sudah di level
11,400-an, jadinya gimana tuh? Anda yang ahli option mungkin bisa menjelaskan?
Tapi apapun itu, karena adanya fasilitas lindung nilai ini maka proyeksi
kerugian (atau keuntungan) yang mungkin dialami ASRI karena pelemahan (atau
penguatan) nilai Rupiah terkait dengan nilai utang obligasinya, menjadi tidak
disertakan dalam laporan laba ruginya. Namun ASRI tetap mencantumkan biaya
penggunaan fasilitas lindung nilai tadi sebesar Rp13 milyar, sebagai bagian
dari pendapatan/beban lain-lain. Ini artinya ASRI tetap harus keluar biaya
untuk melindungi nilai obligasinya, meski nilainya lebih kecil dari manfaat lindung
nilai yang diperoleh (Rp13 versus 53 milyar).
Sementara KIJA? Karena perusahaan sama sekali tidak menggunakan fasilitas
lindung nilai, maka proyeksi bahwa perusahaan harus mengeluarkan dana ekstra
sebesar sekitar Rp300-an milyar untuk melunasi obligasinya pada tahun 2017
nanti (jika posisi kurs Rupiah ketika itu sama dengan kurs Rupiah tanggal 30
September 2013), langsung dibukukan pada laporan keuangannya sebagai rugi kurs.
Disisi lain jika nanti Rupiah menguat hingga melewati kurs ketika obligasinya
diterbitkan, yakni Rp9,493, maka rugi kurs Rp300 milyar tadi akan berbalik
menjadi laba kurs, tapi sekali lagi, laba tersebut hanya bersifat pembukuan
alias gak ada duitnya.
Lalu kenapa KIJA tidak meng-hedging obligasinya?
Karena obligasi tersebut digunakan untuk membiayai proyek pembangkit listriknya
di Kota Jababeka (atau lebih tepatnya untuk refinancing/membayar utang bank
yang digunakan untuk membangun pembangkit listrik tersebut), dimana pembangkit
listrik itu memperoleh pendapatannya
dalam mata uang US Dollar. KIJA melalui anak usahanya, PT Bekasi Power,
pada Januari 2013 kemarin sudah meneken kontrak penjualan listrik dengan PT PLN
untuk 20 tahun kedepan, dengan nilai penjualan USD 105 juta per tahun, dengan
EBITDA-nya (bagi anda yang belum hafal, EBITDA itu kurang lebih sama dengan
laba bersih sebelum pajak) kira-kira USD 24 juta. Dan jika sebelumnya usaha
pembangkit listrik KIJA ini masih menderita kerugian, maka pada Kuartal III
barusan, KIJA sudah mulai meraih laba bersih meski masih kecil, yakni (setelah
dirupiahkan) Rp33 milyar. But this is progressing.
Pembangkit listrik milik PT Bekasi Power, anak usaha KIJA |
Karena itulah, maka tanpa menggunakan fasilitas lindung nilai-pun, obligasi
KIJA sudah terlindungi dengan sendirinya karena kini perusahaan sudah punya income dalam mata uang USD, plus
perusahaan sama sekali tidak perlu mengeluarkan biaya untuk hedging. Secara riil, pada Kuartal III
2013 kinerja KIJA masih sangat bertumbuh dengan pendapatan yang naik hampir dua
kali lipat, dan demikian pula dengan laba bersihnya jika saja tidak ada beban
rugi kurs seperti yang sudah kita bahas diatas.
Hanya memang jika nanti perusahaan jadi menerbitkan obligasi anyar senilai
USD 350 juta, dimana salah satunya digunakan untuk melunasi obligasi
sebelumnya, maka sudah pasti KIJA juga akan menggunakan fasilitas lindung nilai
seperti hal-nya ASRI dan LPKR. Untuk perusahaan properti yang satu lagi, yakni
MDLN, pihak perusahaan sudah menjelaskan di prospektus obligasinya bahwa mereka
akan juga menggunakan fasilitas lindung nilai untuk melindungi nilai
obligasinya dari risiko pelemahan nilai tukar Rupiah.
Anyway, yang jelas KIJA ini di laporan keuangannya tetap saja tertulis
bahwa labanya jadi anjlok gara-gara rugi kurs, dan itu turut menyebabkan
sahamnya jatuh belakangan ini. Dalam jangka pendek KIJA praktis hanya bisa naik
jika nanti pihak perusahaan mengumumkan bahwa mereka akan mengikuti langkah
ketiga emiten lainnya dalam melindungi nilai obligasinya, atau jika Rupiah kembali
menguat ke setidaknya 10,000-an.
Tapi dalam jangka panjang terutama jika kita melihatnya dari sisi valuasi,
maka diantara keempat emiten properti yang dibahas di artikel ini, KIJA
merupakan yang termurah bahkan ketika sahamnya masih di harga 300. Jika anda
baru mau masuk maka bisa tunggu sampai nanti kondisi membaik (baca: Rupiah
menguat), sementara jika anda sudah pegang maka disarankan untuk hold.
NB: Buku kumpulan analisis saham (Ebook Kuartalan)
edisi Kuartal III 2013 sudah terbit. Anda bisa memperolehnya
disini.
Komentar
Sedikit pandangan mengenai Call Spread Option ASRI yang bung tuliskan di atas (bahwa gambaran ini adalah secara umum atau general dan data hanya berdasarkan apa yang bung sampaikan di atas , karena saya tidak tahu persis mengenai lindung nilai yang dilakukan ASRI)
Pertama non deliverable USD , berarti ada major currency dan minor currency , major usd dan minor rupiah , dengan kata lain transaksi adalah dalam denominasi USD.
Kedua Call spread option, berarti ada hak dan kewajiban ketika opsi diambil , yaitu wajib menjual ketika membeli ketika nilai underlying (USD) melewati ambang batas atas (11.000)
Ketiga rentang 9400 - 11000 , Secara umum/general diartikan bahwa ASRI mempunyai hak eksekusi call yang menguntungkan (in the money) di 9400 yang muncul ketika harga pasar USD melewati 11000/dollar.
Dengan kata lain , ketuntungan yang bisa diperoleh ASRI juga terbatas pada ambang batas short strike yaitu 11000 - ambang bawah long strike yaitu 9400 - premium net (membeli posisi option) - komisi.
Bila kita menyampingkan segala aturan atau kesepakatan mengenai waktu dan juga komisi , bila ASRI melakukan opsi pada saat ini maka keuntungan maksimum (full US$100 juta) yang bisa diperoleh ASRI dari option ini adalah : (didenominasi ke rupiah - settlement dalam dollar) :
1100 M - 940 M - 13 M = 147 M (sebelum komisi)
Demikian gambaran umumnya , bahwa perbedaannya dengan Bull Call Option biasa adalah biaya (premium) yang lebih murah dengan keuntungan yang terbatas (limited) pada selisih ambang batas atas dan bawah. Sedangkan nilai real-nya bisa berbeda dengan kalkulasi di atas dikarenakan oleh keterbatasan pengetahuan saya tentang deal option ASRI yang disepakati juga pemahaman tentang option yang jauh dari kata ahli.
Cheers,
MaMba
apakah hal ini dapat dijadikan indikator tingkat kesehatan / fundamental dari masing-masing emiten? karena toh kreditor pasti akan memberikan bunga relatif rendah untuk emiten yang dianggap bagus dan sebaliknya bunga lebih tinggi bagi emiten yang dianggap lebih berisiko.
kemudian apakah hal ini dapat dijadikan acuan bagi investor untuk lebih memilih suatu emiten dibanding emiten lainnya?
SALAM,
Terima kasih