TiPhone Mobile Indonesia, dan Erajaya
Sekitar setahun lalu, tepatnya pada bulan Agustus 2012, penulis mulai
mengamati saham-saham di sektor yang sebelumnya tidak begitu populer: Sektor
ritel khusus produk telepon selular/ponsel dan aksesorisnya, dan voucher pulsa.
Ketika itu dari beberapa saham di sektor ini, seperti Trikomsel Oke (TRIO),
Erajaya Swasembada (ERAA), TiPhone Mobile (TELE), Skybee (SKYB), hingga Global
Teleshop (GLOB), pilihannya jatuh pada ERAA. Dan ERAA memang tidak
mengecewakan, dimana kinerjanya terus meningkat sehingga sahamnya pun terus
naik dari ketika itu di 2,200, hingga sempat mencapai puncaknya di posisi
3,500, Mei lalu. Artikel selengkapnya bisa baca lagi disini.
Sayangnya memasuki tahun 2013 kinerja ERAA malah anjlok, sehingga sahamnya
tidak hanya kembali lagi ke posisi 2,000-an, tapi terus bablas sampai balik
lagi ke harga IPO-nya, yakni 1,000-an. Penurunan kinerja tersebut sangat jelas
penyebabnya yakni pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar, dimana itu
menjadi salah satu risiko utama dari bisnis ERAA sebagai perusahaan distributor
ponsel. Jadi praktis, sejak kuartal I lalu penulis keluar dan tidak lagi
memperhatikan saham ini, begitu pula dengan sektornya.
Hingga kemarin seorang teman meminta analisis TELE, dan sepertinya saham
yang tadinya tidak menarik ini, sekarang justru jadi lebih menarik ketimbang
ERAA (ERAA sebenarnya masih menarik karena statusnya sebagai the largest
distributor for smartphone in Indonesia. Tapi kita harus menunggu kinerjanya
plus lagi dulu, termasuk nunggu Rupiah pulih lagi, mungkin tahun depan). Karena
itulah kita akan membahas TELE disini, here we go!
Sejarah TELE dimulai pada tahun 1992, ketika pemiliknya, Mr. Hengky
Setiawan, membuka toko pulsa dan ponsel pertamanya di Jakarta, setelah
sebelumnya berbisnis jual beli ponsel bekas dari tangan ke tangan. Lima tahun
kemudian yakni pada tahun 1997, Mr. Hengky memperoleh kepercayaan dari Telkomsel
untuk menjadi distributor voucher pulsa dan kartu perdana Telkomsel.
Kesepakatan tersebut melahirkan Telesindo Shop, dan Telesindo resmi berbadan
hukum (menjadi PT Telesindo Shop) pada tahun 2001.
Selanjutnya di tahun 2006, Mr. Hengky sekali lagi memperoleh kepercayaan
dari PT XL Axiata, yang ketika itu masih bernama PT Excelcom, untuk menjadi
distributor voucher pulsa XL, sehingga pada tahun tersebut pengusaha yang dikenal karena memiliki kapal pesiar ini mendirikan perusahaan keduanya, PT Excel Utama. Dua tahun berselang yakni pada tahun 2008, Mr. Hengky memperoleh hak
distributor untuk ponsel Tiongkok merk TiPhone di Indonesia, sehingga
didirikanlah PT TiPhone Mobile Indonesia. Dan pada tahun 2010, Mr. Hengky masuk
ke bisnis service ponsel dan content provider, dengan mendirikan PT
Setia Utama Service dan PT Media Aplikasi.
Ekspansi terus berlanjut. Pada tahun 2011, seluruh perusahaan yang disebut
diatas dikonsolidasikan dibawah PT TiPhone, untuk kemudian dibawa ke lantai
bursa alias IPO pada tahun 2012, dengan kode TELE. Dan per April 2013, TELE
sudah memiliki tak kurang dari 146 outlet, 92 service center, dan 180 ribu
reseller aktif di seluruh Indonesia.
Logo PT TiPhone Mobile dengan slogannya, 'time to connect' |
Secara umum, berikut adalah beberapa lini bisnis yang dijalani TELE hingga
saat ini:
- Distributor kartu perdana (starter pack) dan voucher pulsa
Telkomsel, Telkom Flexi, dan XL Axiata.
- Distributor dan retail partner untuk produk-produk ponsel merk TiPhone, Blackberry,
Samsung, LG, Nokia, HTC, dan iPhone, dengan porsi ponsel merk TiPhone masih
merupakan yang terbesar.
- Layanan service center, dan
- Bisnis aplikasi serta content provider. Tapi hingga tahun 2013 ini, lini bisnis aplikasi dan content provider ini belum berhasil mencatatkan pendapatan.
Pada tahun 2012 lalu, sekitar 90% dari pendapatan TELE berasal dari penjualan
kartu perdana dan voucher pulsa. Namun memasuki tahun 2013, seiring dengan
meningkatnya portofolio merk ponsel yang dijual perusahaan, proporsi pendapatan perusahaan berubah menjadi 70% voucher pulsa, dan 30% ponsel (sampai saat ini pendapatan
perusahaan dari bisnis service center masih sangat kecil). Nilai
pendapatan perusahaan dari bisnis distribusi ponsel sangat mungkin akan kembali
meningkat setelah pada Juni dan awal Oktober kemarin, TELE resmi mengakuisisi
dua perusahaan yang masing-masing merupakan importir ponsel merk iPhone dan
Samsung. Well, sepertinya kini TELE tidak bisa lagi dipandang sebelah mata
sebagai distributor ponsel low-end seperti TiPhone, karena perusahaan kini juga
mulai jualan ponsel-ponsel kelas atas. However, hingga Semester I 2013 lalu pendapatan
TELE masih didominasi oleh penjualan voucher pulsa. Sementara sebagai
distributor ponsel, TELE masih jauh dibanding ERAA yang merupakan perusahaan
distributor ponsel terbesar di tanah air.
Namun menariknya, kita tentu tahu bahwa salah satu penyebab kenapa ERAA
mencatat penurunan laba bersih di Semester I 2013 lalu adalah karena pelemahan
Rupiah. Sementara TELE tidak mengalami dampak yang sama karena perusahaan lebih
banyak menjual voucher pulsa (yang bukan diperoleh dari impor). Ini berarti
jika suatu hari nanti TELE lebih banyak memperoleh pendapatannya dari distribusi
ponsel, alias sama seperti ERAA, maka justru kinerjanya akan menjadi sangat mudah
dipengaruhi oleh fluktuasi Rupiah.
Tapi terlepas dari itu, TELE menawarkan prospek pertumbuhan yang sangat
menarik. Pasca akuisisinya terhadap importir iPhone dan Samsung
pada tahun ini, di tahun 2014 mendatang TELE mentargetkan pendapatan dari
penjualan ponsel sebesar Rp4.5 trilyun, dari hanya sekitar Rp1 trilyun pada
tahun 2013 ini. Setelah ditambah pendapatan dari penjualan kartu perdana dan voucher
pulsa sebesar sekitar Rp9 trilyun, maka TELE berpotensi meraup pendapatan
Rp13.5 trilyun pada tahun 2014. Dengan asumsi bahwa TELE bisa mempertahankan
margin laba bersihnya sebesar 3%, maka itu berarti laba bersih TELE di tahun
2014 akan menjadi Rp405 milyar. Margin laba bersih itu sendiri seharusnya akan
meningkat pada tahun 2014 mendatang, katakanlah menjadi 4 – 5%, mengingat
keuntungan dari jualan ponsel lebih besar ketimbang keuntungan dari jualan pulsa.
Sebagai ilustrasi, pada Semester I 2013, margin laba operasional TELE dari
penjualan ponsel mencapai 11.6%, sementara margin dari penjualan pulsa cuma
2.8%.
Jadi jika margin 4 – 5% tadi terealisasi, sementara TELE sendiri sukses
mencatatkan pendapatan sebesar Rp13.5 trilyun sepanjang tahun 2014 mendatang,
maka perusahaan akan mencetak laba bersih di kisaran Rp540 – 675 milyar.
Mengingat posisi equity TELE pada saat ini hanyalah Rp1.8 trilyun, maka itu
tentu saja merupakan angka laba bersih yang sangat besar untuk ukuran
perusahaan distributor. Di artikel tahun lalu penulis mengatakan bahwa TELE ini
hanya akan menarik jika perusahaan mampu memperoleh hak distribusi untuk
merk-merk ponsel diluar TiPhone, dan ternyata mereka sukses melakukannya
(kemungkinan berkat upaya dari Mr. Hengky sendiri secara personal, karena
beliau ini memang dikenal nyentrik dan supel). Terakhir, ini semua masih belum
termasuk potensi pendapatan dari bisnis aplikasi dan content provider, yang
hingga saat ini masih dalam tahap pengembangan.
Namun sudah tentu, angka-angka diatas hanyalah proyeksi kasar yang bisa
saja keliru. Sementara kalau kita bertindak sebagai value investor dengan melihat valuasi sahamnya pada saat ini, maka TELE
bersaing ketat dengan ERAA sebagai saham ponsel yang paling menarik di BEI
(dari sisi valuasinya). Berikut adalah data PER dan PBV untuk kelima saham
ritel ponsel dan pulsa di BEI, berdasarkan posisi harga terakhir mereka per
tanggal 16 Oktober.
Stock
|
Price
|
PER
|
PBV
|
TELE
|
495
|
11.8
|
2.1
|
GLOB
|
1,320
|
10.3
|
3.4
|
ERAA
|
1,220
|
13.6
|
1.4
|
TRIO
|
1,400
|
12.3
|
3.4
|
SKYB
|
500
|
125.0
|
1.2
|
Nah, jika anda perhatikan, TRIO dan SKYB sejak awal tidak layak invest karena
fundamentalnya tidak meyakinkan, dimana TRIO memiliki utang yang segunung,
sementara SKYB gagal dalam mencatat laba yang konsisten (plus perusahaannya
juga nggak pernah kedengaran akan melakukan aksi ekspansi tertentu). Jadi
kandidatnya tinggal TELE, GLOB dan ERAA. Dari sisi manajemen, GLOB adalah anak
usaha TRIO, sehingga meski perusahaan ini sejatinya mampu menampilkan
fundamental yang bagus, namun kualitas pengelolaan perusahaannya agak
meragukan.
Hal yang sepenuhnya berbeda ditampilkan oleh TELE dan ERAA, dimana keduanya
merupakan grup usaha yang konservatif serta fokus pada pengembangan usaha itu
sendiri, tanpa pernah menggelar right issue, menerbitkan obligasi, atau
semacamnya (ERAA kemarin menerbitkan saham baru dalam rangka MESOP, tapi
jumlahnya cuma 20 juta lembar). Jadi praktis, kalau anda mau berinvestasi di
sektor ritel khusus produk ponsel dan voucher pulsa ini, maka pilihannya kalau
nggak TELE ya ERAA. Selain itu di sektor ini memang hanya dua saham tersebut
yang volume transaksi perdagangannya cukup likuid.
Kemudian kalau dari sisi prospek, seperti yang sudah kita bahas diatas,
TELE pada hari ini jelas lebih menarik. Tapi kalau dari sisi valuasi maka mungkin ERAA lebih
menarik dengan PBV hanya 1.4 kali (dengan ukuran kinerjanya pada saat ini, maka
ERAA di harga 2,000-an memang mahal. Tapi sekarang kan dia cuma 1,000-an!). Sebab
ERAA biar bagaimanapun merupakan perusahaan distributor ponsel terbesar di
tanah air, dengan jaringan distribusi yang jauh lebih baik dibanding pesaing-pesaingnya,
termasuk TELE. Kinerjanya yang menurun pada tahun ini lebih disebabkan karena
adanya faktor risiko yang tidak terhindarkan, yakni pelemahan Rupiah tadi,
sementara bisnis jualan ponsel dan pulsa (ERAA juga jualan pulsa, meski nggak banyak)
yang dijalani perusahaan secara umum masih lancar dan nggak ada masalah. Jadi
jika nanti Rupiah kembali bergerak stabil, mungkin tahun depan, maka seharusnya
laba ERAA juga akan kembali meningkat.
However, ini bukan berarti TELE tidak bisa menyalip ERAA suatu saat nanti.
ERAA, seperti yang kita ketahui, bisa menjadi perusahaan distributor ponsel nomor
satu di Indonesia karena kepemilikannya terhadap PT Teletama Artha Mandiri
(TAM), yang merupakan distributor Blackberry terbesar di tanah air. Sementara
saat ini trend Blackberry di Indonesia mulai tergeser oleh Android (Samsung),
dan itu sebabnya TELE kemarin mengakuisisi importir Samsung, bukan Blackberry.
Jika ERAA, atau dalam hal ini TAM, tidak segera ‘do something’ terkait hal ini, maka bisa jadi
pada tahun 2014 mendatang kinerja perusahaan tetap tidak membaik karena mulai ‘diganggu’
oleh TELE dan lainnya.
Kesimpulannya, jika cukup yakin dengan prospek yang ditawarkan TELE, maka
saham ini cukup layak invest terutama jika anda bisa masuk di harga yang
mencerminkan PBV kurang dari 2.0 kali, yang itu berarti 450. Target harganya?
Let say 1,000 dalam setahun kedepan, tentunya dengan catatan jika target
pendapatannya sukses dicapai. Penulis tentu tidak perlu lagi mengingatkan anda bahwa
berinvestasi di saham seperti TELE ini lebih mengandung risiko ketimbang invest
di saham-saham defensif seperti consumer goods, dimana peningkatan ataupun penurunan kinerja
TELE di masa mendatang akan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor.
Sementara jika anda lebih tertarik ke ERAA, maka saham ini mungkin baru
akan menarik jika pada Kuartal I 2014 mendatang labanya kembali positif. Disisi
lain jika anda sejak awal sudah masuk ke ERAA ini, maka menjualnya di harga
sekarang praktis tidak disarankan, karena saham ini, berdasarkan harganya pada
saat ini, merupakan yang paling murah di sektornya, terutama jika
mempertimbangkan nama besar perusahaannya. Kalau anda bertanya kepada Warren Buffett
ketika ia masih muda dulu (sebelum ia bertemu dengan Charlie Munger di tahun
1980-an), maka Buffett kemungkinan akan lebih memilih ERAA dibanding TELE.
Sebab di tahun 1964 ia pernah mengatakan, ‘Berinvestasi pada saham-saham yang murah
menawarkan keuntungan yang wajar setelah satu hingga tiga tahun. Seringkali
alasan untuk membeli saham murah tersebut baru muncul belakangan, entah karena kinerja perusahaan yang membaik setelah
beberapa waktu, adanya tawaran akuisisi, atau terjadinya perubahan
psikologis pasar terhadap terhadap saham tersebut.’
Well, tapi saham manapun yang anda pilih, harap ingat selalu bahwa investasi anda
tidak akan langsung menghasilkan keuntungan yang signifikan hanya dalam satu atau
dua hari. Selain itu berhubung sebentar lagi kita akan memasuki musim laporan keuangan untuk periode Kuartal III 2013, maka mungkin ada baiknya jika anda menunggu hingga kedua perusahaan merilis laporan keuangan terbarunya masing-masing sebelum mengambil keputusan mau masuk kemana, just to be sure.
Komentar
begitu juga dengan voucher pulsa, saya perhatikan beberapa bulan belakangan, orang cenderung melakukan isi pulsa melalui bank. melalui ATM atau internet banking (harga lebih murah dan bisa melakukan isi pulsa kapan dan dimana saja).
sehingga perlu dicermati perkembangan bisnis voucher pulsa, disamping marketnya sudah cukup mature, sehingga potensi untuk berkembang cukup sulit dan adanya alternatif pembelian voucher yang berpotensi mengurangi pangsa pasar