Kriteria Saham yang Layak untuk Invest, dari sisi Produk Perusahaan

Empat tahun lalu, ketika penulis untuk pertama kalinya mempelajari laporan-laporan keuangan perusahaan, penulis mengira bahwa kinerja dari perusahaan-perusahaan properti akan jauh lebih bagus dibanding perusahaan-perusahaan dari sektor lainnya. Penyebabnya adalah perusahaan properti jualan produk rumah, kantor, dll yang harganya tinggi, yakni mencapai ratusan juta bahkan milyaran Rupiah per unitnya, sehingga pendapatannya pun pasti besar. Sementara untuk perusahaan seperti Indofood, misalnya, berapa sih besarnya keuntungan dari menjual Indomie seharga Rp1,000 per bungkusnya? (di tahun 2009, harga Indomie masih sekitar seribuan). Dari penampilan para penjualnya pun, bisa kita lihat bahwa agen-agen properti biasanya tampak perlente dan pake dasi, alias jauh lebih meyakinkan ketimbang penampilan ibu-ibu berdaster yang menjual Indomie di warung-warung kelontong.


Namun setelah mengecek beberapa laporan keuangan, ketika itu penulis malah menemukan bahwa laba bersih/return on equity yang dicatat Indofood ternyata jauh lebih besar ketimbang laba bersih dari beberapa perusahaan properti, seperti Bumi Serpong Damai, Lippo Karawaci, dan Summarecon. Okay, di tahun 2009 sektor properti memang belum booming seperti sekarang. Tapi saat inipun, ketika mulai banyak emiten properti yang mencatat ROE diatas 20%, namun tetap saja kinerja mereka secara umum tidak pernah lebih baik dibanding sektor perusahaan yang menjual ‘produk recehan’ seperti Unilever, Mayora, Kalbe Farma, dan Indofood CBP. Anda bisa lihat sendiri, produk termahal yang dijual Unilever hanyalah shampoo merk TRESemme dengan harga sekitar Rp16,000 per botol ukuran sedang. Sementara Bumi Serpong Damai? Produk ‘termurah’ yang mereka jual adalah rumah kecil dengan harga Rp250 - 300 jutaan, di kawasan Kota Wisata Bekasi (Kalau di BSD City-nya sendiri jangan harap ada rumah yang harganya segitu).

Tapi intinya adalah, bagaimana mungkin suatu produk yang harganya hanya beberapa ribu perak bisa lebih menguntungkan ketimbang produk seharga ratusan juta Rupiah? Dan jawabannya, dimana penulis yakin anda juga sudah mengetahuinya, adalah terletak di omzet! Sebuah perusahaan properti belum tentu bisa menjual rumah setiap hari, dan pangsa pasarnya juga terbatas pada lokasi sekitar rumah itu sendiri. Sementara perusahaan consumer goods yang menjual sabun mandi, sabun cuci piring, dan shampoo, setiap hari pasti ada saja pembelinya, dan mereka bisa menjual produknya ke mana saja dan ke siapa saja, tergantung kemampuan jaringan distribusinya. Ketika seseorang menggunakan sabun mandi merk Lifebuoy (salah satu merk sabun milik Unilever) kemudian cocok dengan sabun tersebut, misalnya, maka kedepannya ia akan kembali membelinya, secara terus menerus. Jadi meski keuntungan dari penjualan satu batang sabun terbilang kecil, namun akumulasi keuntungan yang diperoleh Unilever dari pembelian secara berulang-ulang dan terus menerus itulah, yang menyebabkan perusahaan kemudian meraup untung besar setiap tahunnya.

Sementara ketika seseorang membeli rumah, kemudian merasa nyaman tinggal di rumah tersebut, maka itu bukan berarti besok-besok dia akan beli rumah lagi. Tidak hanya rumah, ketika seseorang membeli mobil dan merasa puas dengan mobil tersebut, maka bukan berarti dia nanti akan beli lagi. Intinya adalah, untuk perusahaan yang menjual produk dengan harga jual yang tinggi, maka meski keuntungan yang dihasilkan per penjualan mungkin cukup besar, namun omzet/volume penjualan itu sendiri biasanya jauh lebih kecil ketimbang volume penjualan barang-barang jenis fast moving.

Dan berdasarkan pengalaman penulis menganalisis selama ini, kinerja dari perusahaan-perusahaan yang menjual ‘produk recehan’ nyaris selalu lebih baik ketimbang perusahaan-perusahaan yang menjual produk dengan harga tinggi. Secara umum, berikut ini adalah kriteria perusahaan/emiten yang memiliki kinerja bagus dan biasanya juga konsisten dalam jangka panjang (sehingga sahamnya layak untuk investasi), jika dilihat dari sisi produk yang dihasilkan perusahaan. Kriteria berikut diurutkan berdasarkan tingkat prioritasnya.

1. Harga produknya murah

Terkait hal ini sudah kita bahas diatas. Harga produk yang murah juga menyebabkan produk tersebut menjadi terjangkau oleh semua kalangan, sehingga pangsa pasarnya otomatis lebih luas ketimbang produk dengan harga jual yang lebih tinggi.

Namun apakah ‘produk murah’ selalu berarti barang-barang consumer goods seperti sabun mandi dan sabun cuci piring? Untungnya nggak juga. Ketika anda membuka rekening tabungan di bank, kemudian anda dibebankan biaya administrasi yang hanya sebesar Rp15,000-an per bulan, maka juga bisa dikatakan bahwa layanan perbankan termasuk produk yang harganya murah. Ketika anda menonton televisi di rumah dan memperoleh banyak sekali tayangan-tayangan film dll secara gratis, dan sebagai gantinya anda hanya perlu menyaksikan iklan, maka perusahaan stasiun televisi/media juga merupakan perusahaan dengan harga produk yang murah. Dan ketika anda membayar biaya sebesar seratus ribuan  per bulan untuk membeli pulsa telepon dan internet (untuk anak-anak sekolah, ada juga paket seharga Rp25,000 per bulan) maka perusahaan telekomunikasi juga termasuk perusahaan yang menghasilkan produk murah.

Tentunya terdapat unsur subjektivitas dalam mendeskripsikan ‘murah’ atau ‘mahal’ disini. Anda mungkin tidak akan mempermasalahkan pengeluaran sebesar seratus atau dua ratus ribu per bulan untuk biaya internet, tapi bagi orang lain bisa jadi itu adalah jumlah uang yang besar. Karena itulah ketika sebuah perusahaan menjual produk yang harganya (menurut anda) murah, maka bukan berarti perusahaan tersebut menawarkan kinerja yang bagus serta konsisten dalam jangka panjang, kecuali jika produknya tersebut memenuhi syarat berikutnya lagi:

2. Dibutuhkan orang banyak secara terus menerus

Pernahkah anda membeli lem superglue, misalnya untuk memperbaiki sandal jepit yang putus? Penulis kebetulan pernah. Harganya? Murah, cuma enam ribu Rupiah di toko bangunan. Tapi jika anda kemudian bertanya seberapa sering penulis membeli lem tersebut, maka jawabannya adalah penulis seumur-umur hanya pernah membelinya sebanyak satu kali itu saja. Malah setelah memperbaiki sandal tadi sisa lemnya masih cukup banyak, sehingga jika nanti sandalnya putus lagi, maka penulis masih bisa pake lem yang itu saja, alias gak perlu beli lagi.

So, meski harga produknya sama-sama murah, namun dalam hal ini jelas bahwa omzet penjualan produk lem diatas tidak akan selancar omzet penjualan sabun mandi atau Indomie. Semua orang tentu perlu mandi, namun tidak semua orang harus memperbaiki sesuatu dengan lem. Dan jika orang-orang perlu mandi setiap hari, maka ketika seseorang harus memperbaiki sandal menggunakan produk lem tersebut (seperti penulis tadi), namun orang tersebut tidak akan memperbaiki sandalnya setiap hari.

Poin ‘dibutuhkan orang banyak secara terus menerus’ ini, dalam beberapa kasus terkadang lebih penting dalam menentukan konsistensi kinerja perusahaan yang memproduksi produk yang bersangkutan dalam jangka panjang, ketimbang sekedar harga produk yang murah. Contohnya anda mungkin tahu bahwa investasi di pom bensin, meski membutuhkan nilai investasi yang tinggi serta juga tidak menawarkan break even point dalam waktu singkat, namun menawarkan pendapatan yang konsisten serta risiko yang rendah. Hal ini karena semua orang, baik langsung maupun tidak langsung, membutuhkan bensin dan solar secara terus menerus, tak peduli berapapun harganya. Buktinya, meski dari jaman eyang Harto sampai sekarang harga bensin secara umum naik terus, tapi toh tingkat konsumsi bensin nggak pernah turun. Jika kemarin harga bensin jenis premium dinaikkan dari Rp4,500 menjadi Rp10,000 per liter, misalnya, maka orang-orang tetap akan membelinya.

Dalam hal inilah subjektivitas terkait apakah harga bensin dianggap mahal atau murah, itu sudah tidak penting lagi. Karena tak peduli meski anda menganggap bahwa harga bensin sebesar Rp6,500 adalah mahal, namun toh anda akan tetap membelinya, karena mobil/motor anda dirumah nggak mungkin diisi air.

3. Bisa diproduksi secara massal dengan biaya yang rendah

Ketika sebuah produk memenuhi syarat harga yang terjangkau oleh semua kalangan, serta dibutuhkan orang banyak secara terus menerus, maka produk tersebut hanya membutuhkan satu syarat lagi untuk bisa menghasilkan omzet penjualan yang besar bagi perusahaan yang bersangkutan, yakni: Bisa diproduksi dalam jumlah massal. Sebab jika sebuah perusahaan tidak mampu memproduksi produknya dalam jumlah yang banyak, maka bagaimana mungkin omzet penjualannya bisa menjadi besar?

Tapi untungnya syarat yang ini mungkin tidak terlalu penting untuk diperhatikan mengingat untuk barang-barang yang sifatnya pabrikan (dibuat di pabrik), seperti barang-barang elektronik, obat-obatan, rokok, semen, dll, maka barang tersebut hampir pasti bisa diproduksi secara massal. Jika produk tersebut bersifat jasa, seperti misalnya jasa perbankan, maka jumlah produksinya bisa lebih massal lagi. Untuk menyediakan layanan perbankan di suatu kecamatan, misalnya, maka sebuah bank cukup membuka kantor cabang disitu, dan selanjutnya tinggal pintar-pintar tim marketingnya saja dalam memasarkan produk tabungan dan kredit ke masyarakat sekitar.

Namun ketika sebuah produk bisa diproduksi secara massal, sehingga omzet penjualannya menjadi besar, maka itu bukan berarti laba perusahaan otomatis menjadi besar pula. Pendapatan yang besar dari penjualan sebuah produk hanya akan menghasilkan laba yang besar jika biaya produksinya terkendali atau kalau bisa sekecil-kecilnya, sehingga kemudian diperoleh margin laba bersih yang besar.

Karena itulah, syarat terakhir dari sebuah produk yang ideal adalah, produk tersebut tidak hanya harus bisa diproduksi secara massal, namun juga bisa diproduksi dengan biaya yang rendah. Jika anda perhatikan di BEI, beberapa sektor yang selama ini biaya produksinya rendah, atau dalam hal ini dilihat dari margin laba bersihnya yang besar, adalah sektor consumer goods, perbankan, multifinance alias pembiayaan, asuransi, semen, pakan ternak, tambang termasuk batubara, perkebunan kelapa sawit, dan otomotif serta komponennya.

Sementara sektor-sektor lainnya rata-rata memiliki margin laba yang rendah, termasuk sektor properti dan konstruksi juga baru sekarang-sekarang aja marginnya cukup besar. Untuk beberapa sektor seperti industri kimia dan kabel, margin perusahaan-perusahaan di sektor tersebut terbilang kecil karena kebutuhan bahan baku mereka kebanyakan diperoleh dari impor pada harga beli yang cukup mahal, karena industri di dalam negeri belum bisa menyuplai.

Disisi lain untuk beberapa sektor tertentu, margin mereka yang besar juga bisa tertekan sewaktu-waktu jika pendapatan mereka sendiri turun ketika harga jual produknya jatuh. Dan inilah dialami oleh sektor batubara, dimana harga batubara dalam dua tahun terakhir ini terus turun hingga ke level dimana biaya produksinya sudah hampir lebih besar dari nilai jual batubara itu sendiri. Kemungkinan alasan inilah yang menyebabkan Buffett tidak menyukai saham-saham komoditas, yakni karena margin laba perusahaannya sama sekali tidak stabil dalam jangka panjang.

Okay, I think that’s all. Dengan demikian ketika anda hendak membeli sebuah saham untuk investasi jangka panjang, maka coba pelajari jenis produk yang dihasilkan perusahaannya. Apakah harganya murah dan terjangkau semua kalangan? Dibutuhkan orang banyak secara terus menerus? Dan bisa diproduksi secara massal dengan biaya yang rendah? Sebenarnya tidak hanya untuk invest jangka panjang, untuk trading pun sebaiknya kita memilih saham dengan kriteria produk yang demikian, karena biasanya fundamentalnya bagus sehingga risiko loss-nya pun rendah.

Lalu terkait contoh perusahaan yang produknya memenuhi ketiga kriteria yang tadi dibahas, anda pasti sudah mengetahuinya berdasarkan ilustrasi-ilustrasi yang digambarkan diatas. Tapi disini penulis akan memberikan satu contoh perusahaan yang tidak listing disini, melainkan di Bursa Nasdaq di Amerika, yakni Google, Inc. Check this out:

  1. Harga produk: Tidak hanya murah, tapi bahkan gratis! Lebih dari 90% produk Google bisa diperoleh/digunakan oleh orang-orang diseluruh dunia secara gratis. Dan untuk produk yang berbayarnya pun, harganya tidak pernah terlalu mahal, melainkan hanya di kisaran US$ 5 – 25 per produk.
  2. Dibutuhkan orang banyak secara terus menerus: Ketika seseorang mulai menggunakan internet, maka tidak bisa tidak, ia akan menggunakan layanan yang disediakan Google secara terus menerus, mulai dari search engine, email, Youtube, Google Map, dll. Blog yang sedang anda baca inipun merupakan salah satu layanan dari Google, yakni Blogger. Dan ya, penulis menggunakannya setiap hari, tidak bisa tidak.
  3. Bisa diproduksi secara massal dengan biaya produksi yang murah: Jika Indofood mungkin bisa pusing ketika harga gandum (bahan baku tepung terigu) naik, maka Google sama sekali tidak perlu memikirkan biaya ‘bahan baku’ dalam membuat produk-produknya, karena berbagai jenis layanannya secara otomatis bisa diperoleh/digunakan oleh semua orang diseluruh dunia selama orang tersebut tinggal di daerah yang ada sinyal internetnya. Biaya terbesar yang dikeluarkan Google hanylaha untuk pengembangan produk. Tapi sekali produk tersebut jadi dan berfungsi, maka kesananya perusahaan tinggal panen pendapatan, nyaris tanpa perlu mengeluarkan biaya produksi sama sekali.
Karena jenis produknya secara sempurna memenuhi ketiga kriteria diatas, maka tak heran jika Google kemudian menjadi salah satu perusahaan yang paling ‘sakti’ di Amerika, karena disisi lain perusahaan ini dikelola oleh tim manajemen yang super-brilian. Harga sahamnya pun, penulis ingat ketika di tahun 2009 lalu posisinya masih di US$ 400-an per lembar. Tapi sekarang? Sudah menembus US$ 1,000! Jika anda termasuk investor yang suka berinvestasi di saham-saham overseas, maka Google adalah salah satu saham bluchip yang boleh anda pertimbangkan.

Sayangnya ketika sebuah perusahaan memproduksi jenis produk yang memenuhi kriteria diatas, maka biasanya harga sahamnya pun selangit, karena perusahaannya umumnya memiliki fundamental yang bagus. Google sendiri pun pada harga saham US$ 1,011, PER-nya mencapai 27.5 kali. Malah kalau penulis perhatikan justru inilah kelemahan utama dari saham-saham yang produk perusahaannya memenuhi tiga kriteria diatas: Produknya tersebut memang murah, tapi harga sahamnya sendiri amat mahal.

Koleksi 'produk murah' yang diproduksi oleh 'perusahaan mahal'. Anda tidak perlu menebak-nebak, perusahaan mana yang dimaksud

Karena itulah kalau penulis sendiri tidak terlalu ngotot dalam menerapkan ketiga kriteria diatas dalam memilih saham, melainkan memberikan toleransi. Misalnya untuk perusahaan ritel spesialis voucher pulsa, seperti yang kita bahas di artikel minggu lalu, harga produknya memang murah dan dibutuhkan orang banyak secara terus menerus. Namun disisi lain biaya produksinya sangat mahal karena perusahaan mengambil voucher pulsa tersebut dari perusahaan lain, bukan bikin sendiri. Jadi produk dari perusahaan voucher pulsa ini tidak memenuhi kriteria produk diatas secara menyeluruh.

Tapi karena harga sahamnya pun tidak terlalu mahal, maka sahamnya tetap layak invest. Malah dalam kasus ketika valuasi sebuah saham memang benar-benar murah, maka kita tidak perlu lagi memperhatikan apakah produk yang dihasilkan perusahaan memenuhi ketiga kriteria diatas atau tidak, selama profitabilitas dan lain-lainnya bagus. Disisi lain jika anda menemukan saham yang valuasinya belum begitu mahal, sementara produk yang dijual perusahaan memenuhi ketiga kriteria diatas dan fundamental perusahaannya sendiri terbilang bagus, then what are you waiting for?

Anyway, ‘kriteria produk’ ini baru merupakan salah satu poin yang harus anda perhatikan dalam memilih sebuah saham, dimana masih ada poin-poin lainnya yang juga harus anda perhatikan, salah satunya kriteria manajemen. Kebetulan penulis sudah menulis artikelnya disini. Untuk poin lainnya lagi, kita akan bahas kapan-kapan.

Komentar

Anonim mengatakan…
Ini artikel sangat menambah wawasan ilmu fundamental lagi, dari sisi produk, terima kasih atas sharing ilmunya yang berharga Pak Teguh, ditunggu lo artikel edukatif seperti ini selanjutnya.
Hendra mengatakan…
Plus kl bs monopoli lebih enak pak.. Tp kenapa jsmr monopoli ruas2 tol ga naik2 ya malah stagnant, padahal memenuhi kriteria pak teguh plus monopoli ?
Anonim mengatakan…
EKAD dan CLPI banget tuh pak teguh
GKK mengatakan…
Terima kasih buat ulasan yg menarik bang Teguh.

Saya ada invest di saham BUDI yg menurut saya memenuhi 3 kriteria di atas, akan tetapi menurut laporan keuangan kinerjanya tidak ada pertumbuhan yg signifikan dr tahun ke tahunnya.

Kalau boleh saya minta analisa mendalam ttg saham BUDI ini, terima kasih.
Anonim mengatakan…
Jesse Livermore berkata : "Terlalu Banyak Informasi, Maka Akan Timbul Terlalu Banyak Pertimbangan. Sedikit Informasi, Investasi pun Membabi Buta. Yang terbaik adalah Sabar dan Menabung"
Bobby Hamasaki mengatakan…
Pak, tlg bahas PROD katanya delisting tgn 2009 di harga 2,200 an.. Misalkan kita investor ritel pegang PROD itu saat delisting.. Apa pas delisting itu kabar buruk buat kita krn sahamnya jadi saham mati. Enga bisa dijual atau diapa2kan. Lalu skrang ini Unilever Body Care mau go private dgn beli 1,7% saham publik. Saya heran, go privatenya thn 2013 ini, lalu pas delisting 2009 itu enga go private? jeda 4 thnnya gmn kbr sahamnya? lalu katanya sahamnya mau dibeli 200,000 an per lembar artinya 100% lipat dr harga delisting. Apa itu kabar baik buat saya? krn sahamnya enga jadi saham mati tp malah laku ratusan kali lipat. Mohon penjelasannya. Thx
Anonim mengatakan…
Saya tidak begitu setuju dengan kriteria di atas. Menurut saya kondisi tiap industri berbeda sehingga tidak bisa jadi patokan dimana industri dengan harga produk scara nominal lebih murah maka industri tersebut lebih bagus.
Itu pun harus diperhatikan industri tersebut dalam tahap lifecycle mana.
Yang lebih dapat ditekankan adalah kita dapat melihat return prushaan tersebut dari ROE yg = profit margin x asset turn over x equity laverage. Dimana yang dikatakan pak teguh produk murah dan skala besar belum tentu lebih bagus dari skala yang lbih kecil namun profit margin yang jauh lebih besar daripada consumer goods.
Unknown mengatakan…
emang, paling aneh JSMR, koq sahamnya datar2 aja, pdahal digunakan org banyak plus monopoli. pak teguh, bgai mana comment anda???

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?