Ketika Amerika Mengalami Shutdown

Tanggal 1 Oktober kemarin, Pemerintah Amerika Serikat mengumumkan penutupan (shutdown) kantor-kantor pemerintah setelah pihak House of Representatives (kalau di Indonesia, DPR) tidak juga menyelesaikan penyusunan anggaran untuk tahun fiskal 2014, yang memang dimulai pada tanggal 1 Oktober tersebut. Menurut Presiden Barack Obama, hal ini dikarenakan ‘perang politik’ antara dirinya dengan pihak The House. Tapi apapun itu, shutdown ini telah menyebabkan setidaknya 800 ribu pegawai negeri di lingkungan kantor Pemerintah Amerika, baik sipil maupun militer, telah dirumahkan (dirumahkan, bukan dipecat) hingga kegiatan Pemerintahan dibuka kembali. Pertanyaannya tentu saja, what’s next?

Ketika disebutkan bahwa Amerika ‘shutdown’, maka bukan berarti negara adidaya ini bubar, melainkan hanya kantor-kantor pemerintahannya saja yang ditutup, itupun terbatas di kantor pemerintah pusat (jadi pemerintah di negara-negara bagian tetap berjalan). Misalnya jika di hari-hari biasa, kantor Small Business Administration/SBA (kalau di Indonesia, Kementerian Koperasi dan UKM) melayani pemberian pinjaman kepada usaha kecil, maka selama masa shutdown ini kegiatan pemberian pinjaman itu dihentikan, seiring dengan dirumahkannya 62% pegawai di departemen SBA tersebut.

Demikian pula untuk kantor-kantor departemen lainnya, rata-rata 60 – 90% pegawainya dirumahkan, tentunya tanpa menerima gaji. Dan dari sekitar 1.3 juta pegawai yang masih bekerja di seluruh departemen, mereka juga bisa dipastikan akan menerima pengurangan atau penundaan pembayaran gaji, setidaknya sampai pihak The House menyelesaikan penyusunan anggaran.

Lalu bagaimana efek dari shutdown ini terhadap perekonomian Amerika? Nah, sekarang bayangkan anda adalah seorang PNS di Amerika. Anda, tiap bulannya menerima gaji sekian US Dollar, dan uang itu dipakai untuk pengeluaran rutin seperti kebutuhan sehari-hari dan cicilan rumah, serta sisanya untuk asuransi dan ditabung. Jika dalam satu bulan ternyata gaji tersebut tidak dibayar, maka otomatis pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari harus dihemat, cicilan rumah ada kemungkinan ditunda dulu pembayarannya, dan tabungan di bank harus dicairkan. Jika ini terjadi pada 800 ribu pegawai negeri sekaligus, maka bisa dibayangkan berapa penurunan omzet yang dialami toko sembako, berapa jumlah tagihan KPR yang macet, dan berapa jumlah dana tabungan yang di­-rush dari bank dan perusahaan asuransi.

Paragraf diatas menggambarkan potensi terhambatnya perputaran ekonomi karena menurunnya konsumsi dari para pegawai negeri. Sementara di pihak swasta, juga terdapat banyak perusahaan yang turut merumahkan sejumlah pegawainya, karena perusahaan-perusahaan ini sebelumnya menerima pesanan/order dari Pemerintah, tapi shutdown ini secara otomatis membatalkan hampir seluruh order-order tersebut. United Technologies, Sikorsky Aircraft, dan Pratt & Whitney adalah beberapa perusahaan yang merumahkan sebagian pegawainya, karena mereka tidak bisa lagi menyuplai pesawat terbang dan kebutuhan militer lainnya ke Departemen Pertahanan AS, setelah Departemen itu sendiri sekarang ditutup.

Berbagai efek domino yang disebabkan oleh shutdown ini tentu saja mempengaruhi perekonomian Amerika Serikat secara keseluruhan. Jumlah gaji yang seharusnya diterima oleh para pegawai negeri, tapi mereka tidak menerimanya karena adanya shutdown ini, mencapai lebih dari US$ 1 milyar per pekan. Ditambah dengan ‘hilangnya’ gaji pegawai swasta dan lain-lain, menurut Moody’s Analytics, dalam sebulan kedepan perekonomian Amerika akan menderita kerugian sekitar US$ 55 milyar. Goldman Sach’s memperkirakan bahwa PDB Amerika akan turun 0.9% karena shutdown ini, dan pertumbuhan ekonomi Amerika, menurut koran Los Angeles Times, akan tertekan menjadi 1.2 – 1.3%, dari 1.6% pada saat ini.

Namun potensi terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi tersebut mungkin tidak terlalu menarik untuk diperhatikan. Sebab jika pertumbuhan ekonomi Amerika benar-benar turun menjadi 1.2%, misalnya, maka angka tersebut masih dikisaran rata-rata pertumbuhan ekonomi Amerika selama 5 tahun terakhir ini. Pada tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Amerika sempat minus/negatif karena efek dari krisis mortgage, dan ketika itu barulah terjadi krisis global. Tapi di tahun-tahun lainnya, pertumbuhan ekonomi Amerika selalu positif dengan rentang 0.9 – 3.3% per tahun. Jadi ketika pertumbuhan tersebut diproyeksi turun menjadi 1.2 – 1.3% karena adanya shutdown ini, maka sepertinya tidak ada yang menganggap bahwa itu adalah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Karena itulah, pada tanggal 1 Oktober ketika shutdown ini diumumkan, para investor di pasar saham Amerika tetap tenang-tenang saja, dan Dow Jones cs ketika itu malah naik.

However, ini bukan berarti ceritanya sudah selesai.

‘United States Shutdown’ yang terjadi kemarin merupakan salah satu klimaks dari perseteruan politik antara Presiden Barack Obama, yang merupakan kader Partai Demokrat, dengan House of Representatives, yang dipimpin oleh Partai Republik. Perseteruan politik antara kedua kubu ini, yakni Demokrat dan Republik, memang sudah terjadi sejak awal sejarah Amerika Serikat pada tahun 1700-an. Namun khusus untuk era Pemerintahan Obama, perseteruan itu mulai memanas sejak tahun 2011 (Obama menjabat Presiden sejak tahun 2009), yang ditandai dengan perdebatan di kongres terkait debt ceiling. Debt ceiling adalah batas maksimum jumlah utang Pemerintah Amerika Serikat, dimana batas maksimum tersebut ditentukan oleh kongres (gabungan antara The House dan Senat). Jika jumlah utang Pemerintah terus naik hingga mencapai batas maksimumnya, maka pihak kongres harus menaikkan batas tersebut (menaikkan debt ceiling), atau Pemerintah Amerika akan mengalami default (gagal bayar).

Nah, sebelum kita masuk ke bagian perseteruan politik antara Obama dan The House, pertama-tama kita bahas dulu tentang debt ceiling itu sendiri.

Pertama-tama, posisi utang Pemerintah Amerika per Oktober 2013 adalah US$ 16.7 trilyun. Tentunya akan timbul pertanyaan, Amerika sebenarnya berhutang kepada siapa? Jawabannya adalah utang sebesar US$ 16.7 trilyun tersebut mencerminkan jumlah mata uang US Dollar yang beredar di seluruh Amerika, dan juga seluruh dunia, pada saat ini. Uang tersebut tidak dicetak oleh Pemerintah Amerika sendiri, melainkan dicetak oleh Federal Reserve/The Fed. Sehingga secara teknis bisa dikatakan bahwa uang sebesar US$ 16.7 trilyun tersebut adalah utang Amerika terhadap bank sentralnya sendiri.

Kemudian, anggaran belanja Pemerintah Amerika, setiap tahunnya dibiayai oleh dua hal, yakni pajak yang ditarik dari warganya, dan ‘utang’. Jika anggaran belanja Pemerintah pada satu tahun tertentu adalah US$ 1 trilyun, sementara penerimaan pajak untuk tahun yang sama adalah juga US$ 1 trilyun, maka Amerika tidak perlu berhutang. Tapi jika dalam satu tahun tertentu anggaran belanja Pemerintah lebih besar dari penerimaan pajaknya, maka Pemerintah harus mengambil utang, dalam hal ini meminta The Fed untuk mencetak uang baru. Jika uang baru yang dicetak tersebut bernilai US$ 100 milyar, misalnya, maka dikatakan bahwa Pemerintah Amerika mengambil pinjaman/utang (tapi tidak disebutkan sebagai ‘utang kepada The Fed’) sebesar US$ 100 milyar. Nah, ketika Pemerintah hendak mengajukan kepada The Fed untuk ‘meminjam’ dana sebesar sekian, maka mereka harus memperoleh persetujuan dari kongres.

Yang dimaksud dengan kongres adalah rapat yang digelar di Washington, dimana peserta rapatnya adalah para anggota dewan dan senator, dari The House dan Senat (kalau di Indonesia seperti DPR dan MPR, sementara kongres itu sendiri kurang lebih seperti rapat paripurna). Kongres ini memiliki wewenang penuh untuk menentukan batas maksimum (debt ceiling) jumlah utang yang boleh dimiliki Pemerintah Amerika. Jadi ketika saat ini utang Pemerintah sudah mencapai batas maksimalnya, yakni US$ 16.7 trilyun, maka apakah batas tersebut dinaikkan kembali menjadi US$ 18 trilyun, atau US$ 20 trilyun, atau malah tidak dinaikkan sama sekali, itu terserah keputusan yang dihasilkan oleh kongres, biasanya melalui jajak pendapat alias voting.

Setiap kali jumlah utang Pemerintah menyentuh batas debt ceiling-nya, sementara disisi lain anggaran belanja yang ada tidak bisa sepenuhnya dibiayai oleh pajak, maka Pemerintah harus ‘setor muka’ ke The House dan Senat, untuk mengajukan agar debt ceiling tersebut dinaikkan, sehingga mereka melalui Department of Treasury bisa meminta The Fed untuk mencetak uang baru. Nah, ketika Pemerintah berada dalam posisi ‘memohon’ kepada The House dan Senat inilah, yang kemudian menjadi lobi-lobi politik diantara semua pihak. Biasanya pihak The House, terutama jika mereka kebetulan dipimpin oleh Partai yang berseberangan dengan Partai pemerintah, akan meminta syarat yang macam-macam kepada Presiden, jika Presiden sebagai pimpinan Pemerintah menginginkan agar debt ceiling tersebut dinaikkan.

Dan memang itulah yang terjadi pada masa Pemerintahan Obama. Obama, yang berasal dari Partai Demokrat, secara otomatis berseberangan secara politik dengan pihak The House, yang dipimpin oleh Partai Republik. Perseteruan antara Obama dan The House pertama kali mencuat pada tahun 2011 lalu, dimana jumlah utang Amerika ketika itu sudah mencapai batas debt ceiling-nya, yakni US$ 14.3 trilyun, tapi disisi lain Pemerintah sedang butuh utang karena anggaran belanja negara hanya 60% yang dibayai oleh pajak. Biasanya pihak The House melalui kongres tanpa ba bi bu akan langsung menaikkan batas debt ceiling tersebut, sehingga Pemerintah seperti biasa bisa nyamperin kantor The Fed lagi. Namun ketika itu, The House, karena alasan tertentu, menunda keputusan untuk menaikan debt ceiling. Deadline untuk menaikkan batas maksimum utang, yang sebelumnya tanggal 31 Mei 2011, menjadi molor hingga waktu yang belum ditentukan. Dan ketika itulah pasar saham dunia mulai wanti-wanti tentang kemungkinan bahwa Amerika akan default atau semacamnya, padahal sebenarnya itu semua cuma politik.

Pada saat itu Presiden Obama harus bekerja keras untuk melobi pihak The House, termasuk untuk ‘sungkem’ ke juru bicaranya (‘juru bicara’ disini mungkin lebih tepat kalau disebut sebagai ketua DPR), John Boehner. Dan akhirnya, pada tanggal 2 Agustus 2011, Pemerintah dan kongres memperoleh kesepakatan tentang kenaikan debt ceiling. Berikut adalah poin-poin kesepakatan tersebut.

  1. Debt ceiling langsung dinaikkan sebesar US$ 400 milyar, dan Presiden Obama bisa meminta tambahan kenaikan sebesar maksimum US$ 2 trilyun dalam beberapa wakyu berikutnya.
  2. Jumlah total pengeluaran Pemerintah dalam sepuluh tahun kedepan akan dikurangi, dimana nilai pengurangan tersebut lebih besar dari kenaikan debt ceiling itu sendiri. Beberapa departemen yang akan dipotong anggarannya adalah Departemen Pertahanan, Department of Homeland Security, Department of Veteran Affairs, dan National Nuclear Security Administration.
John Boehner. Sumber: politico.com

Tiga hari kemudian, pada tanggal 5 Agustus 2011, Standard & Poor’s (S&P), salah satu dari tiga lembaga rating paling terkemuka di dunia (dua lainnya adalah Fitch dan Moody’s), untuk pertama kalinya dalam sejarah menurunkan rating utang Amerika dari AAA menjadi AA+. Penurunan rating inilah yang ketika itu seketika mengguncang pasar saham, dimana Dow Jones jeblok 5.6% dalam sehari, dan langsung diikuti oleh penurunan bursa-bursa saham lainnya di seluruh dunia, termasuk IHSG.

However, penurunan rating yang dilakukan S&P tidak berkaitan langsung dengan kenaikan debt ceiling. Pada April 2011, atau beberapa bulan sebelum debt ceiling dinaikkan, S&P sebenarnya sudah mengumumkan bahwa mereka kemungkinan akan menurunkan rating Amerika Serikat, dengan pertimbangan bahwa Amerika mengalami defisit sebesar 11% dibanding PDB-nya, dan jumlah utangnya kini mencapai lebih dari 80% PDB, dimana dua indikator tersebut relatif buruk jika dibandingkan dengan negara-negara lain dengan rating AAA.

Situasi Debt Ceiling, pada Saat Ini

Setelah debt ceiling dinaikkan pada tanggal 2 Agustus 2011, Presiden Obama bisa kembali dengan leluasa menjalankan roda pemerintahan. Namun pada akhir tahun 2012, jumlah utang Pemerintah kembali mentok di batas maksimum-nya, sehingga debt ceiling harus segera dinaikkan kembali sebelum deadline tanggal 31 Desember, atau Pemerintah harus melakukan pemotongan anggaran serta menaikkan pajak secara besar-besaran, yang dikenal dengan fiscal cliff. Untungnya setelah kembali melewati perdebatan alot dengan para anggota dewan, akhirnya keluar keputusan ‘darurat’ yang menyebutkan bahwa deadline yang tadinya tanggal 31 Desember 2012 menjadi ditunda hingga waktu yang belum ditentukan, dan debt ceiling itu sendiri dinaikkan dari US$ 16.4 menjadi 16.7 trilyun (naik sebesar US$ 300 milyar).

(Btw mungkin ada pertanyaan, kenapa selama Pemerintahan Obama pengeluaran negara selalu lebih besar dari penerimaan pajak, sehingga debt ceiling lagi-lagi harus dinaikkan? Jawabannya adalah karena pada tahun 2001 dan 2003, pada masa Pemerintahan Presiden Bush, terdapat Undang-Undang terkait pemotongan pajak, yang dikenal dengan istilah ‘Bush Tax Cuts’. Pemotongan pajak inilah, yang setelah terakumulasi selama bertahun-tahun, menyebabkan penerimaan pajak Pemerintah Amerika terus turun, sementara disisi lain anggaran belanja cenderung tetap bahkan naik.)

Setelah fiscal cliff teratasi, Obama secara intensif terus menghubungi pihak The House untuk menaikkan debt ceiling kembali (karena kenaikan US$ 300 milyar tadi masih terlalu kecil), namun pihak The House juga terus meminta syarat-syarat tertentu. Pada Mei 2013 lalu, Presiden Obama dengan tegas mengajukan syarat-syarat yang akan ia penuhi jika pihak kongres mau menaikkan debt ceiling, yakni: Nothing! Dan pihak The House meresponnya dengan memberikan tiga opsi berikut:

  1. Debt ceiling akan dinaikkan dalam jangka panjang, dalam artian Pemerintah Amerika boleh mengambil utang dalam jumlah berapapun hingga masa jabatan Obama berakhir. Tapi syaratnya adalah proyek pemerintah terkait jaminan sosial dan jaminan kesehatan (medicare dan medicaid) harus diprivatisasi, alias diserahkan kepada pihak swasta.
  2. Debt ceiling akan dinaikkan dalam jangka menengah, yakni Pemerintah Amerika boleh mengambil utang hingga tahun 2015. Syaratnya adalah Pemerintah harus memotong subsidi makanan, menekan inflasi, mereformasi perpajakan, dan membatasi pemberian jaminan kesehatan bagi masyarakat.
  3. Debt ceiling akan dinaikkan dalam jangka pendek, yakni hingga pertengahan tahun 2014. Syaratnya adalah Pemerintah harus mengurangi pengeluaran negara untuk jaminan sosial, menaikkan batas usia pensiun, dan menghapuskan subsidi pertanian.
Waktu berlalu, Obama tetap bertahan pada pendiriannya, sementara The House juga ngotot terkait syarat-syarat diatas. Hingga akhirnya pada tanggal 1 Oktober 2013, setelah Department of Treasury sudah hampir kehabisan duit karena mereka belum bisa mengajukan utang baru, Obama memutuskan untuk ‘shutdown’. Sekitar 800 ribu pegawai negeri dirumahkan, dan karenanya Pemerintah bisa menghemat anggaran untuk gaji pegawai, namun Pemerintah Amerika masih harus menggaji sekitar 1.3 juta pegawai lainnya yang masih bekerja (meski dengan penundaan, atau pemotongan). Ini artinya jika pihak Obama hingga satu atau dua bulan kedepan tidak juga mampu melobi The House untuk menaikkan debt ceiling, maka hampir bisa dipastikan akan ada shutdown lanjutan.

Dan jika ‘shutdown perdana’ yang saat ini sudah berlaku, seperti sudah dibahas diatas, diperkirakan tidak akan berdampak terlalu buruk terhadap perekonomian Amerika, maka shutdown kedua nanti, jika terjadi, hampir bisa dipastikan akan ditanggapi lebih serius oleh pasar saham. Fitch Ratings juga sudah mengingatkan bahwa jika debt ceiling ini terus menerus ditunda kenaikannya, maka mereka juga bisa saja menurunkan rating utang Amerika, seperti yang pernah dilakukan oleh S&P di tahun 2011.

So, What’s Next?

Tentunya tidak pernah ada yang tahu apakah pihak The House pada akhirnya akan menaikkan debt ceiling, termasuk Presiden Obama sendiri. Tapi bahkan jika debt ceiling tersebut jadi dinaikkan, dan Amerika terhindar dari shutdown lanjutan, maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah Fitch akan tetap mempertahankan rating utang Amerika di level tertinggi, atau mengikuti jejak S&P untuk menurunkan rating tersebut? Sebab pada saat ini jumlah utang Amerika sudah melebih PDB-nya dengan rasio 101%, dan rasio utang terhadap PDB tersebut bisa menjadi lebih besar lagi, mungkin menjadi 110 – 120%, andaikata debt ceiling dinaikkan. Seperti yang dikatakan S&P, ketika jumlah utang suatu negara sudah mencapai lebih dari 80% PDB-nya, maka tidak seharusnya negara yang bersangkutan memiliki rating AAA sebagai rating tertinggi.

Tapi yang penting sekarang kita sudah mengetahui poin-poin utama yang akan menentukan arah pasar, yakni: 1. Kelanjutan negosiasi anggaran/debt ceiling antara Obama dan The House, apakah akan berakhir baik atau buruk, dan 2. Rating terbaru dari Fitch, apakah tetap tinggi atau turun. Skenario terbaiknya adalah The House akhirnya menaikkan debt ceiling tanpa syarat, dan Fitch tidak jadi menurunkan rating Amerika. Sementara skenario terburuknya, tentu saja, pihak The House berhasil memaksa Obama untuk memotong anggaran belanja negara disana-sini (termasuk medicaid), terjadi shutdown tahap dua, dan Fitch menurunkan rating Amerika.

Nah, jadi menurut anda sendiri, kira-kira skenario mana yang terjadi? Sekedar untuk mengingatkan, pada konflik Obama vs The House di bulan Agustus 2011 lalu, yang terjadi adalah skenario terburuk, sehingga pasar saham anjlok besar-besaran ketika itu, termasuk IHSG sempat drop 8.88% dalam sehari. Tapi untuk konflik di bulan Desember 2012 kemarin (fiscal cliff), yang terjadi adalah skenario terbaik, dan IHSG malah rally terus hingga mencapai puncaknya di bulan Mei 2013.

Well, tapi skenario manapun yang terjadi, yang jelas posisi IHSG sendiri pada saat ini masih cukup mahal dengan rata-rata PER 20.5 kali pada harga 4,419. IHSG pada periode Januari – Mei 2013 kemarin bisa terus naik hingga tembus 5,200-an hanya karena didorong oleh banyaknya dana asing yang masuk, dan bukan karena faktor fundamental (dalam jangka pendek, fundamental kita sekarang ini sedang sedikit goyah, baca lagi gambaran pekonomian Indonesia). Sementara pada saat ini dana asing tersebut sudah keluar dan belum mau masuk lagi (karena isu tapering dll). Disisi lain Dow Jones juga belum mengalami periode koreksi tahunannya setelah terakhir terkoreksi pada November 2012 lalu. Beberapa poin analisa diatas mengindikasikan bahwa pasar kemungkinan masih akan turun, dan tahun 2013 mungkin akan menjadi tahun pertama sejak tahun 2008 lalu, dimana posisi IHSG di akhir tahun ditutup lebih rendah dibanding awal tahun.

Namun kalau ada poin yang mungkin bisa mengubah skenario diatas (bahwa IHSG akan turun lagi), maka itu adalah potensi masuknya dana dari investor-investor lokal. Ketika artikel ini ditulis, posisi net foreign buy di BEI sepanjang tahun 2013 tercatat minus Rp9.8 trilyun, yang itu berarti jumlah dana asing yang masuk sepanjang tahun 2013 sudah keluar lagi hingga habis, dan dana asing yang masuk di tahun 2012 telah turut berkurang sebesar Rp9.8 trilyun. Pada akhir tahun 2012, posisi IHSG adalah 4,317, dan posisi tersebut bisa dicapai salah satunya karena ada sekian trilyun dana asing yang masuk (tepatnya Rp15.8 trilyun). Dan sekarang, mengingat dana asing tersebut sudah berkurang sebesar Rp9.8 trilyun, maka posisi IHSG pada saat ini seharusnya lebih rendah dibanding posisi 4,317 tadi bukan?

Tapi nyatanya IHSG masih stabil berada di posisi 4,418. Artinya, posisi dana asing yang keluar telah digantikan oleh masuknya dana lokal. Jika kita nonton televisi, sekarang ini BEI mulai sering menayangkan iklan untuk mendorong masyarakat untuk berinvestasi di saham. Jadi ada kemungkinan bahwa jumlah investor lokal di pasar, termasuk jumlah dana lokal itu sendiri, telah meningkat signifikan. Jika kondisi ini terus berlanjut (investor lokal terus masuk) maka bukan tidak mungkin kita akan sampai pada situasi dimana posisi asing tidak lagi begitu berpengaruh terhadap naik turunnya indeks, karena posisi investor lokal menjadi lebih dominan, dan IHSG bisa naik kembali ke posisi 5,000-an tanpa perlu menunggu asing masuk lagi ke pasar. We’ll see.

NB: Penulis menyelenggarakan seminar investasi saham di Jakarta, pada hari Sabtu tanggal 12 Oktober 2013. Keterangan selengkapnya baca disini.

Komentar

Anonim mengatakan…
Sungguh artikel yang sangat menarik dan menambah wawasan. Tetap lanjut share2 tulisan2 berbobot lainnya, trims Pak Teguh
Anonim mengatakan…
Kekuatan Currency adalah pada Trust , dan hal inilah satu-satunya kekuatan tersisa dari USA , karena selama komoditas minyak diperdagangkan dengan USD atau yang kita kenal dengan Petrodollar maka dengan sendirinya demand akan USD akan tetap tinggi, karena semuanya membutuhkan dollar untuk membeli minyak maupun komoditas penting lainnya.

Suatu hal yang kurang dipahami oleh khalayak ramai , termasuk di negeri ini adalah imbas yang dihasilkan oleh kebijakan monetize dari The Fed selama ini , disertai bunga 0% yang membuat bank-bank besar sebagai pemegang US note/Bond atau surat berharga lainnya harus memutar uang dengan menempatkan pada pasar/market dengan yield yang lebih tinggi, dan salah satunya adalah negeri kita, pasar modal kita yang kita telah saksikan begitu cepat merangsek naik dan terjun bebas di lain waktu. So , lalu apa hasilnya bunga rendah tersebut dengan CTRL+P
USD oleh The Fed ? Pertumbuhan artifisial, yang dinikmati oleh pemilik modal yang besar, bank-bank skala Internasional, dan para elite sementara golongan menengah dan kecil semakin terhimpit oleh kenaikan upah yang minim , kebijakan offshore perusahaan-perusahaan raksasa, inflasi etc.

Sekarang mari kita lihat dampak Shutdown, suatu keterpaksaan dikarenakan kebuntuan kesepakatan politik terkait perekonomian dan seperti yang kita tahu , ini bukan yang pertama kalinya dan pada era Clinton bahkan hingga 21 hari. Pengaruh dari Shutdown adalah temporer meski dengan sendirinya akan memangkas pertumbuhan seperti yang diutarakan artikel di atas.

Penghematan sebesar 400 juta USD/hari tetap tidak akan cukup banyak membantu Treasury bila pagu batas utang tidak dinaikkan pada Oktober nanti. Bahwa menurut data dari GS (Goldman) Batas utang US harus dinaikkan pada 17 Oktober nanti, karena bila tidak Treasury akan kehabisan dana untuk membiayai kewajiban pemerintah paling lama hingga akhir Oktober. Pada tanggal 1 November dibutuhkan 60 milyar USD untuk membayar segala obligasi pemerintah dan pada saat itu Treasury tidak mempunyai cukup cash dan berarti bukan hanya masalah likuiditas namun solvabilitas, adapun bila hal tersebut sampai terjadi maka tidak ada pilihan lain selain memprioritaskan beberapa kewajiban di atas kewajiban lain, namun hal ini bukan berarti tanpa akibat karena seperti yang diutarakan di atas , its about trust ! dan kepercayaan akan hilang dengan sendirinya yang kemudian saat panic button ditekan akan menciptakan chaos di pasar uang yang ramai dan heboh. (Bayangkan bila China , Jepang dan negara asing lain yang memegang +/- 5.5 Triliun US Treasury melepasnya ke pasar....epic)

Skenario di atas tentu diharapkan tidak terjadi dan kesepakatan politik dapat ditempuh sehingga batas utang US ditingkatkan pada batasan tertentu , resiko yang dihadapi terlalu besar meski idealisme kedua kubu terutama menyangkut obamacare sangat keras bertentangan. Well, bilapun batasan utang ditingkatkan namun kita tahu bahwa "gali lubang tutup lubang" bukanlah suatu hal yang bisa terus bertahan, pertumbuhan melalui stimulus utang hanya akan mengakibatkan tingkat kebutuhan utang yang lebih besar dikemudian hari untuk mengerek pertumbuhan. Seperti kita melihat pertumbuhan suatu perusahaan yang disertai pertumbuhan utang yang signifikan, akal sehat kita akan mengatakan "unsustainable"


=MaMba=
Anonim mengatakan…
mas teguh akun ariston dibuka plisss
202.67.45.34
thank u before
Anonim mengatakan…
Pak Teguh mau tanya. dari kemungkinan kemungkinan yang di sebutkan di atas koq tidak ada kemungkinan terjadinya default.
apakah yang di maksud shut down kedua itu artinya hampir mendekati default.
soalnya saya baca2 berita2 banyak yang memberitakan tentang kekhawatiran terjadinya default.
terima kasih.
Anonim mengatakan…
202.67.45.39#sthash.hKjCyUgx.dpuf
mas teguh yang baik tolong dong ip ariston dibuka, trima kasih. met idul adhaa
Teguh Hidayat mengatakan…
Saya nggak pernah mem-banned akun chatango atas nama ariston. Alamat IP yg anda sebutkan itu atas nama Dokterbobo.
Vee mengatakan…
Pembahasan yang menarik dari sisi topik juga bahasa.Terima kasih pak...smoga terus bisa membuat tulisan seperti ini:)
agi mengatakan…
Terima kasih Pak. Selain terkait dengan krisis ekonomi yang menimpa Amerika Serikat. Saat ini Maret 2014, Obama juga terkait dengan Facebook. Pendiri Facebook, Mark Zuckerberg mengungkapkan bahwa dirinya frustasi lantaran laporan yang menyebut National Security Agency (NSA) memata-matai pengguna Facebook. Lebih lanjut seperti yang diberitakan di website iyaa.com , kalau Badan intelijen Amerika Serikat ini juga dilaporkan menyamar sebagai server Facebook atau melakukan tindakan spoofing (menipu). Dilansir Engadget, Jumat (14/3/2014), laporan mengungkap dokumen NSA yang menunjukan bagaimana mereka menginfeksi 'jutaan' komputer dengan malware dan menyamar sebagai server Facebook.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?