Siloam Hospital
Siloam International Hospitals (SILO) adalah anak usaha tidak langsung dari
Lippo Karawaci (LPKR), yang secara khusus bergerak di industri rumah sakit. Jadi pada awalnya LPKR, entah
secara langsung ataupun melalui anak-anak usahanya (termasuk Lippo
Cikarang/LPCK), membangun kawasan-kawasan pemukiman yang terintegrasi (township) dengan berbagai fasilitas umum
didalamnya, seperti universitas, sekolah, mall, gedung-gedung perkantoran,
rumah sakit, bahkan hingga taman pemakaman (San Diego itu punyanya LPKR juga,
lokasinya gak jauh dari township milik LPCK di Cikarang). Tujuannya adalah agar
para penghuni township tersebut tercukupi semua kebutuhannya, sehingga mereka nggak
perlu kemana-mana lagi.
Kemudian lambat laun, Grup Lippo sebagai
pemilik LPKR tidak hanya sukses dalam membangun kawasan-kawasan pemukiman tadi,
tetapi juga sukses dalam menonjolkan brand
dari fasilitas-fasilitas umum didalamnya. Salah satu fasilitas umum
tersebut adalah Universitas Pelita
Harapan (UPH), yang kini menjadi salah satu universitas swasta paling elit
di Indonesia. Sementara satunya lagi adalah fasilitas umum yang akan kita bahas
di artikel ini, yakni Rumah Sakit Siloam atau lebih sering disebut Siloam Hospital. Siloam pada saat ini
sudah boleh dinobatkan sebagai rumah sakit swasta terbesar di Indonesia, dengan
jaringannya yang tersebar dari Jambi hingga Manado. Meski RS Siloam lebih
banyak ditemukan di dalam township-township milik LPKR, namun beberapa
diantaranya berlokasi di wilayah umum seperti pusat kota, dan sudah tentu, Siloam
terbuka untuk menerima pasien dari mana saja, nggak harus dari penghuni Lippo
Karawaci atau Lippo Cikarang.
Salah satu gedung Rumah Sakit Siloam di Semanggi, Jakarta |
Mungkin karena branding-nya yang kuat, maka ketika perusahaan pengelola Siloam Hospital, PT Siloam International Hospitals (SILO), menggelar IPO, banyak investor yang menanyakan soal prospeknya ke penulis. Well, penulis sendiri kebetulan belum pernah dirawat disana. Malah, saya seumur-umur belum pernah dirawat di RS manapun, kalau pusing cuma minum bodrex aja. Tapi kalau denger cerita dari temen-temen, emang katanya di Siloam bagus meski agak mahal. But at least gak usah jauh-jauh ke Singapur lah, ntar repot jenguknya.
Balik lagi ke prospek SILO. Selain karena
brandingnya, investor mungkin tertarik dengan saham ini karena kelihatannya dia
bergerak di industri farmasi dan
kesehatan, jadi mungkin
prospeknya mirip-mirip sama Kalbe Farma (KLBF) gitu. Tapi benarkah demikian?
Sayangnya tidak. Kalau dari model usahanya yakni membangun dan
mengelola rumah sakit, maka SILO ini lebih merupakan perusahaan properti jenis sewa
ketimbang farmasi, dimana perusahaan memperoleh pendapatannya dari sewa ruangan rawat inap, sewa ruangan operasi dll, dan bukan dari jualan obat (jualan obat juga sih, tapi keuntungannya kecil
karena obatnya ngambil dari distributor farmasi, bukan bikin sendiri). Jadi mirip seperti hotel atau mall, hanya fokus pada menyediakan tempat
bagi pasien, dokter, perawat
dll untuk bertemu dan melakukan
transaksi (kalau hotel kan nyedian kamar tidur dan ruang meeting, sementara mall nyediain tempat belanja, nongkrong, dan rekreasi). Dikatakan
sebagai ‘perusahaan properti jenis sewa’, karena SILO tidak pernah membangun
rumah sakit untuk kemudian dijual, melainkan untuk mereka gunakan sendiri untuk disewakan ke pasien dll,
dalam bentuk sewa ruangan.
Karena itulah, meski merk ‘Siloam’ sudah lumayan dikenal sebagai merk rumah
sakit swasta nomer satu di Indonesia, namun anda jangan membayangkan
bahwa kinerja SILO ini sama bagusnya seperti perusahaan-perusahaan farmasi, melainkan lebih mirip perusahaan
properti jenis sewa (mall, hotel, sewa apartemen) dalam hal margin labanya yang
kecil dibanding ekuitas (ROE-nya kecil). Sebelumnya sekedar informasi, kalau
anda perhatikan kinerja dan laba dari perusahaan-perusahaan properti yang
meningkat signifikan satu dua tahun belakangan ini, mereka labanya bisa gede
begitu karena menjual berbagai jenis properti, mulai dari perumahan, kawasan
industri, apartemen, hingga gedung-gedung perkantoran, pada harga jual yang
tinggi. Alhasil mereka untung besar.
Sementara laba dari sewa properti? Kecil.
Seperti sewa mall (sewa unit-unit toko di dalam mall-nya), sewa kantor, hingga
sewa apartemen, itu semuanya kecil, namun bersifat recurring alias berulang (ini berbeda dengan jualan rumah yang
kalau rumah tersebut udah laku, maka si developer harus bikin rumah yang
lainnya lagi kalau pengen tetep dapet pendapatan). Jika anda punya toko baju
dan menyewa ruangan toko di sebuah mall, misalnya, maka anda setiap tahun akan
secara rutin membayar sewa ke pengelola mall-nya, belum termasuk biaya maintenance dan service setiap bulan. Sekilas pendapatan dari sewa tersebut tampak
besar karena selain sewa per unit tokonya cukup mahal, sebuah mall tentunya gak
hanya berisi satu toko. Namun karena pemilik mall juga harus mengeluarkan biaya
yang tidak kalah besarnya untuk operasional (listrik untuk AC dan lampu-lampu
yang dinyalakan secara terus menerus, itu aja udah berapa coba?), maka pada
akhirnya keuntungannya menjadi kecil.
Lalu bagaimana dengan rumah sakit? Sama saja.
Kalau kita ambil contoh SILO, pada tahun 2012 perusahaan mencatat pendapatan
masing-masing Rp1.8 trilyun. Sementara labanya? Cuma Rp52 milyar, sehingga
margin laba bersihnya (laba bersih dibandingkan pendapatan) hanya 2.9%. Di tahun 2011 dan 2010 pun, margin laba bersih tersebut
masing-masing cuma 3.0 dan 7.0%. Margin SILO bisa menjadi kecil begitu karena
perusahaan mengeluarkan banyak sekali biaya, yang terbesar tentunya untuk membayar
jasa tenaga medis (dokter dll), dan untuk membayar supplier obat-obatan. Plus, SILO juga ternyata membayar sewa penggunaan properti rumah sakit ke induknya, LPKR, karena
sebelas dari tiga belas unit rumah sakit yang dikelola SILO dimiliki oleh LPKR,
bukan oleh mereka sendiri.
So, agak sulit untuk memperkirakan bagaimana
perolehan laba bersih SILO kedepannya, karena jika pendapatan mereka turun
sedikit saja maka laba bersihnya bisa langsung berbalik minus alias rugi. Kalau penulis sendiri lebih melihat SILO ini
sebagai unit usaha Grup Lippo yang meski tidak begitu menghasilkan keuntungan,
namun keberadaannya sebagai fasilitas umum akan melengkapi township-township
milik LPKR, dan tentunya akan meningkatkan nilai jual dari properti-properti di
dalamnya.
However, poin menarik dari SILO ini mungkin bukan terletak pada fundamentalnya.
Anda mungkin hafal dengan saham Sarana
Meditama Metropolitan (SAME), yang juga merupakan saham rumah sakit, karena SAME
ini adalah perusahaan pengelola Rumah Sakit Omni. Sejak IPO-nya pada Januari
2013 lalu, SAME terus naik dari harga perdananya 400 hingga sekarang sudah
mencapai.. 3,000-an! Ini berarti SAME sudah naik lebih dari tujuh kali lipat
hanya dalam waktu delapan bulan! Koreksi IHSG juga sama sekali tidak
berpengaruh dimana kalau dihitung sejak Juni lalu, SAME malah naik 50%.
Tidak ada faktor fundamental yang bisa menjelaskan kenaikan SAME ini.
Valuasi sahamnya pun, pada harganya saat ini, terbilang tidak masuk akal dengan
PER 96 kali. Namun mungkin hal ini juga yang membuat beberapa orang berpikir
bahwa SILO mungkin bisa seperti SAME. Poin menarik dari IPO SILO adalah bahwa perusahaan,
atau dalam hal ini salah satu pemegang saham utamanya, akan menunjuk Ciptadana
Sekuritas sebagai agen stabilisasi untuk menjaga harga SILO di market. Salah satu
pemegang saham SILO juga akan meminjamkan sahamnya kepada Ciptadana untuk
keperluan stabilisasi tersebut. Nah, bagi beberapa orang, ‘stabilisasi’ ini
bisa bermakna bahwa sahamnya akan dijaga agar tidak turun, atau bahkan akan
terus dikerek naik. Yap, stabilisasi, atau istilahnya bandar-bandaran saham
tersebut, memang diperlukan mengingat IPO SILO ini amat sangat mahal. Pasca IPO,
jika harga sahamnya sukses bertahan di 9,000-an (harga IPO SILO 9,000), maka SILO
akan memiliki market cap sekitar Rp10.4 trilyun. Padahal ekuitas bersih
perusahaan, sudah termasuk ditambah dana hasil IPO-nya, hanya Rp1.7 trilyun.
Diluar itu, persis Selasa kemarin, LPKR sebagai induk SILO mengumumkan
bahwa mereka sukses dalam menawarkan saham SILO ke investor global di
Singapura, Hong Kong, dan London, dimana investor global tersebut setuju untuk
membeli 49.1 juta lembar saham SILO, atau setara dengan 31.5% saham SILO yang
dilepas dalam rangka IPO-nya. Sekilas, hal ini juga semakin menguatkan sentimen
‘stabilisasi’ tadi. Gak mungkin lah para investor global ini, yang tentunya merupakan
para investor kelas kakap, mau beli saham SILO pada harga segitu mahalnya kalau
Lippo sebagai pemilik SILO tidak menjamin bahwa sahamnya tidak akan turun.
Tapi yah, jika anda membeli SILO ini berdasarkan asumsi-asumsi diatas, maka
itu lebih mirip spekulasi, karena kita jadi nggak tau akan dibawa kemana saham
SILO ini, kecuali jika anda kenal sama bandarnya. So at the end, I don’t
recommend this stock, tapi kalau sekedar nonton sih bolehlah. Jika tidak ada
halangan, SILO akan tayang perdana pada hari Kamis, tanggal 12 September
mendatang.
Komentar
Alhamdulillah... Lucky you. Anda diberi kesehatan tak ternilai dari Tuhan.
Good review on SILO. Saya baru tau kalo RS ternyata kos-kosan buat orang sakit. Thumbs up!
Apakah bisnis yang dilakukan sama seperti IPO SILO pada tahun 2014 lalu pak?