Adi Sarana Armada
Bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di perkotaan, katakanlah seperti di
Jakarta, ada dua hal yang sudah dianggap sebagai kebutuhan primer. Yang pertama tentunya rumah (atau apartemen), dan yang kedua adalah kendaraan bermotor, entah
itu mobil ataupun sepeda motor. Dan itu sebabnya, rata-rata warga Jakarta
memiliki keduanya (rumah dan mobil, atau minimal motor). Dari sisi manfaat,
maka kedua barang tersebut memiliki kegunaan yang sama besarnya, dimana rumah adalah
tempat untuk tidur, mandi, dan nyuci piring, sementara mobil adalah alat transportasi untuk
bolak balik rumah dan kantor, termasuk untuk mengajak keluarga menghabiskan
akhir pekan di Taman Buah Mekarsari.
Itu dari sisi manfaat. Sementara dari sisi investasi, maka rumah adalah
investasi yang baik, namun tidak demikian halnya dengan mobil. Alasannya adalah
karena seperti yang pasti anda sudah hafal, harga rumah dalam jangka panjang
biasanya naik terus, sementara harga mobil justru turun.
Bagi masyarakat kebanyakan, turunnya harga mobil dalam jangka panjang biasanya
tidak jadi masalah, karena toh yang mereka cari adalah manfaatnya. Namun bagi
perusahaan, pembelian aset berupa mobil dan kendaraan bermotor lainnya untuk
kegiatan operasional terkadang bisa menjadi masalah, dimana
penurunan/penyusutan nilai mobil tersebut bisa menyebabkan penurunan aset
perusahaan secara keseluruhan, mengingat harga mobil tidaklah murah (beda
dengan harga komputer, misalnya). Padahal yang namanya perusahaan, mereka harus
terus bertumbuh setiap tahun, yang salah satunya bisa dilihat dari pertumbuhan
asetnya.
Karena itulah, kalau di negara-negara maju, pada saat ini sudah banyak
perusahaan yang lebih memilih untuk menyewa
mobil ketimbang membelinya. Kalau di Indonesia, trend penyewaan mobil oleh
perusahaan ini belum begitu populer. Namun khusus untuk industri
telekomunikasi, sejak beberapa tahun ini sudah berkembang bisnis penyewaan
menara telekomunikasi, dengan dua pemain utamanya yakni Sarana Menara Nusantara
(TOWR), dan Tower Bersama Infrastructure (TBIG). Dengan adanya bisnis penyewaan
menara telekomunikasi ini, maka kedua belah pihak, yakni perusahaan
telekomunikasi (Telkom dll) dan perusahaan pemilik menara, sama-sama
diuntungkan, dimana Telkom gak perlu keluar duit buat bangun menara baru,
sementara perusahaan pemilik menara bisa memperoleh untung ganda karena adanya
dua atau tiga penyewa yang menggunakan menara yang sama.
Namun, perusahaan yang menyediakan jasa penyewaan menara telekomunikasi
tentunya hanya dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan telekomunikasi. Sementara
perusahaan penyewaan mobil? Well, mengingat bahwa sepertinya hampir semua
perusahaan di Indonesia membutuhkan mobil untuk operasionalnya, mulai dari
mobil pick up, minibus, truk, mobil travel, hingga bus besar, maka peluang
pasarnya otomatis menjadi sangat luas.
Dan mungkin hal inilah yang ditangkap oleh Grup Triputra, yang sejak tahun 2003 lalu masuk ke bisnis penyewaan
kendaraan untuk pelanggan institusi/korporat melalui salah satu anak
perusahaannya, Adira Rent, yang di tahun 2010 berubah nama menjadi Adi Sarana Armada (ASSA). ASSA ini
kemudian menggelar IPO pada November 2012 kemarin, dan sejauh ini merupakan
satu dari hanya dua perusahaan penyewaan mobil yang sahamnya terdaftar di BEI
(satunya lagi Cipaganti/CPGT). Seperti halnya CPGT yang tidak melulu memperoleh
pendapatannya dari bisnis sewa kendaraan, ASSA juga memiliki bisnis jual beli
kendaraan bekas, dan jasa pengangkutan barang. Pada Semester I 2013, bisnis
jual beli kendaraan bekas menyumbang 23% pendapatan ASSA, sedangkan jasa
pengangkutan barang 13%, sehingga kalau dijumlah menjadi 36%, alias cukup
signifikan.
Logo PT Adi Sarana Armada, Tbk |
Nah, meski diatas disebutkan bahwa industri penyewaan mobil untuk pelanggan
korporat belum menjadi trend di Indonesia, sehingga prospek pertumbuhan pasarnya
masih terbuka lebar, namun pemain di industri ini sejatinya sudah sangat
banyak. Meski demikian, ASSA memiliki keunggulan dibanding perusahaan-perusahaan
lainnya yang sejenis (termasuk CPGT), berkat posisinya yang sudah cukup mapan
sebagai perusahaan terbesar kedua di Indonesia di bidang penyewaan mobil, dibelakang
PT Serasi Auto Raya, atau yang lebih dikenal dengan nama TRAC. Jumlah armada
kendaraan milik ASSA sendiri telah meningkat dengan pesat dari hanya 800 unit
di tahun 2003, menjadi lebih dari 11,000 unit pada saat ini (dan masih akan
bertambah lagi). Pertumbuhan ASSA yang cepat tersebut kemungkinan karena
pemilik Grup Triputra, yakni Theodore Permadi Rachmat (TPR), memang merupakan pengusaha
spesialis industri kendaraan bermotor. TPR merupakan direktur utama PT Astra
International (ASII) selama 18 tahun, yakni dari tahun 1984 hingga 2002, dan
juga merupakan kerabat dari pendiri Grup Astra, William Soeryadjaya. TRAC
sendiri, yang notabene menjadi pesaing utama ASSA, merupakan anak usaha dari
ASII, sehingga boleh dibilang bahwa penguasa industri otomotif di Indonesia
merupakan orang-orang yang itu-itu saja.
Cara Kerja Perusahaan
Meski perusahaannya tergolong mapan, namun pada laporan keuangan
terakhirnya untuk periode semester I 2013, ASSA mencatat total kewajiban Rp1.2
trilyun, yang menjadikannya mencatat DER 1.6 kali, karena total ekuitasnya
hanya Rp776 milyar, itupun setelah mendapat Rp500 milyar lebih dari IPO-nya. Point pentingnya disini adalah, dari kewajibannya sebesar
Rp1.2 trilyun tersebut, lebih dari Rp1 trilyun diantaranya merupakan utang bank
jangka panjang. Kemungkinan, sampai kapanpun ASSA tidak akan pernah bisa
mengurangi utang banknya tersebut, karena untuk membeli mobil dari dealer,
perusahaan selalu membutuhkan utang dari bank tersebut. Jadi sistem kerjanya
begini:
- Pertama, ASSA membeli mobil dari dealer, menggunakan
dana yang dipinjam dari bank. Kenapa harus pake pinjaman bank? Karena
kalau pake duit sendiri, dapet mobilnya cuma sedikit. ASSA juga harus
membayar asuransi dalam jumlah yang lumayan untuk manajemen risiko (sama seperti
kalau anda beli mobil).
- Mobil tersebut kemudian disewakan, atau
digunakan sebagai kendaraan untuk mengangkut barang, sehingga perusahaan
memperoleh pendapatan. Pendapatan tersebut kemudian akan langsung dikurangi
beban penyusutan, bunga pinjaman, dan asuransi, belum termasuk beban-beban
umum lainnya. Alhasil, margin keuntungan ASSA menjadi sangat kecil. Dalam
lima tahun terakhir, ASSA rata-rata hanya mampu mencatat net profit margin
(laba bersih dibandingkan pendapatan), sebesar 1 atau 2% saja, termasuk
mencatat laba bersih minus alias rugi pada tahun 2007 dan 2009. Pada Semester
I 2013 ini, margin tersebut membaik menjadi 8.7%, namun belum ada jaminan
bahwa itu akan berlanjut di masa-masa yang akan datang.
- Setelah periode waktu tertentu, mobil-mobil
yang sudah berumur akan dikirim ke showroom untuk dijual sebagai mobil
bekas, sehingga perusahaan memperoleh pendapatan lagi. Menariknya, bisnis
jual beli mobil bekas ini ternyata malah lebih menguntungkan ketimbang
bisnis sewa mobil. Pada Semester I 2013, ASSA meraup laba bersih Rp20
milyar dari jual beli mobil bekas, atau sedikit lebih tinggi dibanding
laba dari sewa mobil sebesar Rp19 milyar. Padahal, pendapatan ASSA dari
sewa mobil mencapai Rp330 milyar, atau jauh lebih besar dibanding
pendapatan dari jual beli mobil bekas sebesar Rp113 milyar. In fact,
margin laba bersih ASSA yang sebesar 8.7% tadi adalah karena tertolong
oleh bisnis jual beli mobil bekas, sementara margin dari bisnis sewa
mobilnya tetap sangat kecil.
- Setelah mobil lama dijual, perusahaan beli
mobil baru lagi menggunakan pinjaman bank, dan prosesnya balik lagi dari
nomor 1 diatas.
Kesimpulannya, meski prospek bisnisnya mungkin menarik mengingat belum semua
perusahaan di Indonesia meng-outsourcing-kan mobil untuk operasionalnya, seperti
yang saat ini sudah menjadi trend di negara maju, namun bisnis sewa mobil ini
praktis cukup berisiko. Ketika terjadi suku bunga naik, maka bunga pinjaman akan
naik, dan beban perusahaan untuk membayar bunga pinjaman bank akan meningkat. Skenario
terburuknya adalah beban bunga tersebut cukup besar hingga menggerus laba
hingga habis bahkan minus, dan mungkin itu sebabnya ASSA sempat mengalami
kerugian di masa lalu. Masalahnya adalah, sampai kapanpun ASSA kemungkinan akan
tetap memiliki utang bank dalam jumlah besar di neracanya, mengingat itu tadi: Perusahaan
nggak mungkin belanja mobil pake duit sendiri, atau cuma bisa dapet sedikit.
Termasuk TRAC sendiri, perusahaan penyewaan mobil yang lebih mapan dengan
ukuran aset tiga kali lebih besar dari ASSA, namun utang banknya tetep
aja segunung.
Risiko lainnya adalah terkait beban penyusutan mobil yang nilanya bisa jadi
lebih besar dari pendapatan, terutama jika perusahaan tidak mampu mengutilisasi
armadanya secara maksimal (banyak mobilnya yang nganggur karena gak ada
penyewa, padahal penyusutan tadi jalan terus). Plus, beban premi asuransi juga
bisa naik sewaktu-waktu jika Indonesia berada dalam kondisi sosial/ekonomi/politik
yang kurang kondusif. Alhasil, dengan demikian kita bisa mengatakan bahwa
bisnis penyewaan mobil merupakan bisnis dengan margin yang kecil, dan berisiko
tinggi pula. Well, doesn’t sound too good, right?
Mungkin itu pula sebabnya, sepanjang semester pertama tahun 2013 ini ASSA
menggenjot bisnis jual beli mobil bekas, yang ternyata lebih menguntungkan
ketimbang bisnis sewa mobil. Nilai pendapatan ASSA dari bisnis jual beli mobil
bekas pada semester I 2013 meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding
periode yang sama tahun 2012. Kalau kata seorang temen penulis sendiri yang kebetulan
punya usaha showroom mobil, bisnis jual beli mobil bekas memang lebih hot
ketimbang jual beli mobil baru, ataupun sewa mobil. Alasannya adalah karena
sebuah mobil bekas yang sama bisa berpindah-pindah tangan beberapa kali dengan
harga jual yang tidak terlalu jauh berbeda. Sementara ketika mobil baru dijual kembali
oleh pemiliknya sebagai mobil bekas, maka biasanya harganya langsung jatuh.
Sementara bisnis sewa kendaraan? Masalahnya ya itu tadi: Kalau lagi masa-masa
sulit dimana jumlah penyewanya nggak banyak, maka pendapatan perusahaan jadi
seret, tapi penyusutan jalan terus. Padahal disisi lain kita dituntut untuk
memperbaharui armada setiap beberapa waktu sekali (jual mobil lama, lalu beli
lagi yang baru, bukan yang bekas), karena konsumen tentunya lebih seneng
menyewa Kijang Innova yang masih gress, ketimbang menyewa Kijang Kapsul, apalagi
Kijang doyok.
Terkait Sahamnya
Pada Semester I 2013 barusan, ASSA melaporkan kenaikan laba bersih hingga
lebih dari 300%, dan mungkin hal ini menarik minat banyak investor untuk
membelinya, termasuk karena sahamnya sendiri sudah turun banyak setelah
sebelumnya stabil di rentang 475 – 500. Pada harganya saat ini yaitu 305, ASSA
hanya mencetak PER 11.7 kali, dan PBV 1.3 kali, tampak sangat murah untuk
perusahaan yang baru saja mencetak kenaikan laba bersih hingga empat kali
lipat. Secara teknikal, ASSA juga tampak sudah rebound setelah sebelumnya menyentuh
posisi terendahnya di 260. Dan jika nanti dia berhasil tembus 315, maka saham
ini berpeluang untuk melanjutkan kenaikannya, sehingga pada saat ini ASSA cukup
cocok untuk trading.
Namun jika untuk invest, well, I prefer other stocks. Diatas dikatakan
bahwa menyewa kendaraan sudah merupakan trend bagi perusahaan-perusahaan di
negara maju, tapi yang perlu digaris bawahi disini adalah kata ‘maju’-nya. Bisnis
sewa mobil mungkin bisa sukses di negara seperti Amerika, Inggris, hingga
Kanada, karena disana suku bunga kredit bank tergolong rendah, dan harga
mobilnya juga rendah karena pajaknya nggak semahal disini. Sementara di Indonesia,
yang terjadi adalah kebalikannya, dimana bunga bank masih mahal, dan harga
mobil baru juga mahal. Karena, suka atau tidak, kita disini masih merupakan
negara berkembang.
Meski demikian, terlepas dari prospek jangka panjangnya yang masih abu-abu,
jika nanti di periode laporan keuangan berikutnya ASSA kembali mencatat
lompatan laba, entah itu karena perusahaan kembali memperbesar porsi
pendapatannya dari bisnis jual beli mobil bekas, atau karena bisnis sewa mobil
mulai mencatat margin yang bagus karena perusahaan berhasil memaksimalkan
armada anyarnya hasil belanja pake duit hasil IPO-nya dulu (per tanggal 15 Juli
2013, ASSA sudah menghabiskan dana hasil IPO-nya sebesar Rp511 milyar, terutama
untuk menambah armada), maka barulah saham ini bisa anda lirik. Sementara kalau
berdasarkan laporan keuangannya yang sudah dirilis untuk periode Kuartal II
2013 (atau Semester I 2013) barusan, maka ASSA belum cukup menarik. Karena, ROE ASSA yang sebesar 11.1% tentu saja tidak cukup atraktif bagi saham yang memiliki risiko bisnis yang cukup tinggi.
PT Adi Sarana Armada, Tbk
Rating Kinerja pada Q2 2013: BBB
Rating Saham pada 305: A
Komentar
salam sukses
Kira2 gambarannya begini
Ekonomi melambat = bukannya pasar buat rental dan used car ?? Kalo penurunan kinerja sektor lain juga bakal kena juga kok.. resiko rata2 emiiten bukan ASSA aja
Krismon = bunga mencekik tapi inflasi mengangkat harga barang termasuk mobil .. krredit macet ?? Sell mobil nya .. ga laku ?? Berarti ekonomi parah..dan tentunya bukan assa aja yg drop emiten lain babak belur juga
@anonim perubahan kebijakkan dalam negeri yg seperti apa dolo ??? Kalo asumsi yg ga jelas..tidak bisa di masukkan sebagai faktor resiko :))
Pendapat saya only :)) disclaimer on ..
ASSA menggunakan straight line untuk depresiasi nya, padahal kendaraan sewa lebih tepat menggunakan double decline karena harga jual mobil jatuh lebih besar di tahun2 awal.
Tambahan lagi, arus kas ASSA minus terus, baik untuk operasi maupun investasi. gak pernah positif. Dengan demikian mereka akan terpaksa menambah hutang bank terus2an. Rawan terpukul jika bunga bank naik.
Peluang growth pun terbatas, karena mereka harus terus menambah kendaraan sewa untuk mempertahankan tingkat growth yg sekarang, berarti tambah hutang bank lagi.