Prospek AISA Pasca Masuknya KKR
Tanggal 22 Juli kemarin, Tiga Pilar
Sejahtera Food (AISA) melaporkan bahwa pada dua hari sebelumnya yaitu
yanggal 20 Juli, beberapa main
shareholder setuju untuk menjual sahamnya ke Kohlberg Kravis Roberts (KKR), salah satu perusahaan private equity
terbesar di dunia, sebanyak 9.5% dari total jumlah saham yang ditempatkan dan
disetor penuh. Nilainya? Tidak disebutkan, namun ada yang bilang US$ 40 juta. Bagi
AISA, masuknya KKR akan membantu perusahaan untuk berkembang lebih maju lagi,
dimana KKR akan menempatkan satu orang perwakilannya di dewan komisaris
perusahaan. Sementara bagi KKR, akuisisi ini adalah langkah kecil mereka untuk
masuk ke industri consumer goods di Indonesia.
Seperti yang sudah dibahas di artikel minggu kemarin, jika menilik cara
bisnis perusahaan private equity (PE) seperti KKR ini, maka tidak heran jika
mereka memilih masuk ke AISA dalam rangka menjajal bisnis consumer goods di
Indonesia, dan bukannya masuk ke Unilever Indonesia (UNVR) atau Mayora (MYOR).
Karena, sebuah PE akan selalu lebih tertarik untuk masuk pada perusahaan start-up (perusahaan yang baru dirintis,
dengan pengalaman kurang dari 5 tahun) yang mengandung risiko tinggi, namun
sekaligus menawarkan pertumbuhan luar biasa (jika bisnisnya sukses), ketimbang
masuk ke perusahaan yang sudah mapan dan ‘aman’. Yup, jika dibandingkan dengan
banyak perusahaan consumer lainnya di Indonesia, AISA memang tergolong masih
baru. Kalau melirik sejarah awalnya sebagai perusahaan produsen bihun jagung,
maka AISA sudah berpengalaman sejak penghujung tahun 1950-an. Tapi kalau kita
melihat kiprah perusahaan di industri makanan yang terintegrasi (bihun jagung,
mie kering, makanan ringan/snack, minyak goreng, hingga beras), maka AISA baru
merintisnya sejak tahun 2008, termasuk AISA juga baru masuk ke bisnis
perdagangan beras pada tahun 2010 kemarin.
Namun fakta menariknya ada dua. Satu, sejauh ini AISA merupakan
satu-satunya perusahaan di BEI yang bermain di bisnis beras, sehingga saham ini
terbilang limited edition, alias anda
nggak bisa beli saham lain kalau anda tertarik dengan bisnis beras ini. Dan
dua, AISA juga tidak main-main dengan bisnis barunya tersebut, dimana
perusahaan merencanakan untuk memiliki setidaknya delapan belas pabrik
penggilingan beras di sentra-sentra padi di Indonesia pada tahun 2016, dari
hanya dua pabrik pada tahun 2012 lalu. Dari sisi brand development, AISA juga banyak meluncurkan merk beras baru,
termasuk memperkuat merk beras ‘Ayam Jago’ sebagai flagship product perusahaan. Kalau yang penulis perhatikan sendiri,
beras ayam jago ini sudah banyak beredar di warung-warung kelontong rumahan di
Jakarta, dan iklannya juga sudah cukup sering nongol di televisi.
Sedangkan untuk bisnis makanan ringannya, perusahaan juga banyak melakukan
ekspansi dengan cara yang sama, yaitu meluncurkan banyak merk-merk baru untuk
produk mie kering, bihun, dan snack-nya, diluar meningkatkan distribusi untuk
merk-merk snack yang sudah ada seperti snack Taro, dan permen Gulas.
Snack 'Taro', salah satu merk snack andalan PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk |
Dan ngomong-ngomong, persis setahun yang lalu, penulis sudah pernah
membahas AISA ini (ini link
artikelnya), dimana ketika itu kesimpulannya adalah bahwa kita masih harus
menunggu kalau mau invest di perusahaan ini, karena ketika itu AISA ini benar-benar masih
start-up banget, alias belum ada track recordnya. Sekarang ini, setelah lewat
setahun, bagaimana perkembangannya? Well, so far so good! Setahun lalu, AISA
membajak seorang eksekutif Orang Tua Grup yang bernama Jo Tjong Seng, untuk
dijadikan direktur branding dan marketing perusahaan. Dan hasilnya? Kalau yang
bisa penulis lihat sendiri, produk-produk snack AISA sekarang sudah mulai banyak
variasinya, dan cukup sukses bersaing dengan pemain lama seperti Garuda Food
dan Siantar Top, dimana itu bisa dilihat dari banyaknya produk snack AISA di
toko-toko kelontong rumahan di Jakarta, Bandung, dan Cirebon.
Sementara dari sisi kinerja keuangan, AISA mencatat laba bersih Rp75 milyar
pada Q1 2013, tumbuh 39.3% dibanding periode sebelumnya. Honestly, ini belum
bisa dijadikan justifikasi bahwa AISA telah tumbuh dengan cepat dalam setahun
terakhir, melainkan masih tumbuh dengan biasa-biasa saja. Namun dengan PBV yang
dibawah 2 kali pada harga 1,310, maka valuasinya pun belum begitu mahal,
terutama jika dibandingkan dengan consumer goods lainnya yang lebih mapan. Jadi
jika nanti AISA bisa kembali mencetak laba yang lebih tinggi, dan perusahaan memang
cukup berpeluang untuk mencapai hal tersebut, maka dengan sendirinya sahamnya
akan naik signifikan dan tidak akan turun lagi.
So, pertanyaannya sekarang, jika AISA ini ‘cukup berpeluang untuk mencapai
hal tersebut’, maka seberapa besar peluangnya?
Jika hal ini ditanyakan kepada KKR, maka mereka sudah menjawabnya dalam
rilisnya: ‘Indonesia berpeluang untuk masuk ke dalam daftar sepuluh negara dengan ukuran perekonomian/GDP terbesar di dunia pada tahun 2030, dan sektor consumer-nya bisa menjadi terbesar ketiga di dunia
pada tahun 2050. Ini adalah peluang yang atraktif. Sementara terkait AISA-nya
sendiri, kami memandang bahwa ini adalah perusahaan yang bagus dengan ambisi
untuk tumbuh. Dan kami senang untuk bermitra dengan tim manajemen yang kompeten
untuk membantu mendorong pertumbuhan tersebut.’
Simpelnya, KKR memandang bahwa AISA: 1. Beroperasi di Indonesia, negara
dengan potensi pertumbuhan yang menarik, 2. Bermain di sektor yang menawarkan
pertumbuhan paling tinggi, yaitu consumer goods, 3. Perusahaannya cukup bagus,
minimal punya ambisi untuk tumbuh menjadi besar, dan 4. Manajemennya juga
bagus. Dengan kriteria yang tampaknya cukup lengkap, maka seberapa besar peluang AISA untuk menjadi perusahaan consumer goods yang mapan suatu saat nanti? Well, berapapun itu, yang jelas peluang tersebut tidaklah kecil, setidaknya menurut KKR.
Secara khusus, KKR sendiri melalui salah seorang eksekutifnya, Henry McVey,
memaparkan analisis terkait mengapa Indonesia menarik untuk investasi, melalui
artikel yang dipublikasikan di halaman muka website perusahaan, www.kkr.com. Intinya, McVey menganggap bahwa
Indonesia, dilihat dari perkembangan makronya, menawarkan prospek investasi
yang menarik, setidaknya hingga 5 – 7 tahun kedepan, dengan sektor pendorongnya apalagi
kalau bukan consumer goods.
However, kalau melihat fakta bahwa investasi KKR di Indonesia masih sangat
sedikit, dalam hal ini melalui AISA (US$ 40 juta tentu kecil sekali dibanding
dana kelolaan KKR yang hampir mencapai US$ 80 milyar), maka mungkin KKR juga
masih sekedar testing aja dulu, dan belum berani guyur terlalu banyak. Sebelumnya
dikabarkan bahwa investasi KKR di perusahaan consumer goods di India tidak
begitu sukses, dimana GDP growth di India ternyata tidak kencang seperti
sebelumnya, melainkan justru melambat, sama seperti halnya Tiongkok belakangan
ini.
Okay, lalu Mas Teguh, bagaimana dengan pendapat anda sendiri tentang AISA
ini? Well, kalau bagi penulis sendiri, investasi di consumer goods merupakan investasi
tradisional yang menawarkan keuntungan stabil dalam jangka panjang dengan risiko
yang terbatas. Masalah terbesarnya adalah, di market anda akan kesulitan
menemukan saham consumer bagus dengan harga yang wajar, karena rata-rata mereka
udah selangit semua harganya (UNVR gak usah ditanya lagi deh). Penulis menjadi
tertarik dengan AISA ini karena sahamnya relatif masih murah,
paling tidak jika dibanding saham consumer goods lainnya, meski memang kinerja
perusahaannya belum sebaik MYOR, apalagi UNVR. Perusahaannya pun masih
tergolong ‘kemarin sore’, yang masih harus struggling
dengan utang yang berjibun untuk menjaga momentum pertumbuhannya. Berdasarkan
informasi terakhir yang dirilis perusahaan, AISA berencana untuk menerbitkan
obligasi Rp1 trilyun untuk refinancing utang-utang jangka panjangnya.
Meski demikian, sejauh ini (sejak 2010) AISA sudah cukup mampu mencatat
pertumbuhan yang stabil, sehingga dengan demikian kita sudah boleh sedikit berasumsi
bahwa pertumbuhan tersebut akan berlanjut di tahun-tahun yang akan datang,
terlebih setelah adanya campur tangan KKR dalam tim manajemen. Dan jika asumsi
tersebut kemudian menjadi kenyataan, maka dengan sendirinya nilai perusahaan
akan meningkat signifikan dalam jangka panjang, demikian pula sahamnya akan
naik terus.
Kesimpulannya, jika anda masuk ke AISA, maka anda adalah seperti KKR tadi:
Lebih suka masuk ke perusahaan start up, memiliki risiko yang relatif tinggi (salah satu risiko AISA terkait dengan utangnya yang cukup besar), namun
disisi lain menawarkan potensi pertumbuhan yang tinggi pula. Sekedar catatan,
cara berinvestasi tersebut berkebalikan dengan policy-nya Berkshire Hathaway,
yaitu: Hanya membeli perusahaan yang mapan, memiliki risiko rendah, dan
menawarkan potensi pertumbuhan yang stabil (yang penting stabil aja, gak usah terlalu tinggi).
Namun faktanya adalah, jika Berkshire merupakan salah satu perusahaan
investasi terbesar dan tersukses di dunia, maka demikian pula hal-nya dengan
KKR. Tapi disisi lain, jangan lupakan juga fakta bahwa hanya karena Berkshire
dan KKR ini perusahaan investasi super-besar, bukan berarti mereka tidak bisa
melakukan kesalahan investasi, seperti yang dilaporkan kemarin di India. So,
wanna join the train?
Komentar
saya sapat memastikan bahwa AISA ini layak dikoleksi untuk 5tahun kedepan.. dengan catatan bahwa harga terigu tidak naik diatas 10%, mengingat perusahaan ini sangat bergantung akan kebutuhan terigu untuk kelangsungan produksi..
Anyway, it's good to wait and see before we speculated.
Salam,
Kroco