Daftar Landbank Emiten Properti
Salah satu metode analisis fundamental untuk saham-saham properti adalah dengan
melihat kepemilikan landbank milik
perusahaan. Yang dimaksud dengan landbank adalah tanah kosong yang akan dikembangkan kemudian (kadang disebut juga ‘tanah
mentah’). Semakin banyak cadangan landbank yang dimiliki sebuah perusahaan
properti, maka biasanya saham perusahaan yang bersangkutan akan dianggap lebih
menarik. Dasar pemikirannya adalah karena biasanya harga properti berupa tanah/lahan
akan terus naik seiring waktu, bahkan jika tanah tersebut tidak diapa-apakan, sehingga
nilai perusahaan pemilik tanah tersebut juga akan terus meningkat. Sementara jika
diatas tanah tadi dibangun perumahan, misalnya, maka perusahaan properti yang
bersangkutan akan memperoleh kenaikan nilai yang lebih tinggi lagi.
Dan ngomong-ngomong, sejauh yang bisa penulis pelajari tentang sektor properti ini, penulis
belum memperoleh kesimpulan tentang apakah benar terdapat hubungan antara
kepemilikan landbank dengan nilai perusahaan/emiten properti, atau dalam hal
ini kenaikan harga sahamnya. Tapi baiklah, dalam hal ini kita anggap saja bahwa
semakin banyak jumlah landbank, maka semakin menarik pula prospek pertumbuhan
dari perusahaan properti yang bersangkutan. Jadi pertanyaannya sekarang, berapa
hektar luas landbank yang dimiliki oleh tiap-tiap emiten di BEI pada saat ini? Dan perusahaan/emiten mana yang memiliki landbank paling besar?
Untuk menjawabnya, berikut adalah daftar landbank dari sepuluh emiten
properti terbesar di BEI dari sisi aset. Data diurutkan berdasarkan ukuran aset
perusahaan per tanggal 31 Maret 2013, dari yang terbesar (LPKR), hingga yang
terkecil (DILD).
Company
|
Assets
|
Landbank
(value)
|
Landbank
(area)
|
Land
Price
|
Rp
billion
|
Rp
billion
|
Hectares
|
(Rp
thousand per m2)
|
|
LPKR
|
27,293
|
951
|
740
|
129
|
BSDE
|
17,806
|
7,458
|
3,955
|
189
|
APLN
|
15,888
|
1,139
|
425
|
268
|
CTRA
|
15,638
|
2,291
|
1,489
|
154
|
ASRI
|
13,581
|
4,520
|
1,461
|
309
|
SMRA
|
11,272
|
1,985
|
912
|
218
|
PWON
|
8,046
|
0
|
0
|
-
|
KIJA
|
7,452
|
2,908
|
2,923
|
99
|
BKSL
|
6,305
|
1,224
|
740
|
165
|
DILD
|
6,270
|
2,914
|
1,905
|
153
|
Catatan:
1. Emiten terbesar kedua di BEI (setelah LPKR) adalah Bakrieland Development
(ELTY). Namun hingga analisis ini ditulis, ELTY belum merilis laporan
keuangannya untuk periode Kuartal I 2013.
2. Sementara emiten terbesar kesepuluh (setelah KIJA) adalah Duta Pertiwi (DUTI).
Namun mengingat status DUTI sebagai anak usaha dari BSDE, dan saham DUTI
sendiri tidak likuid, maka DUTI tidak disertakan di tabel diatas.
Oke, perhatikan. Berdasarkan data diatas, siapakah emiten pemilik landbank
terluas diantara sembilan emiten properti lainnya? Benar sekali, Bumi Serpong Damai (BSDE), perusahaan
properti milik Grup Sinarmas. Kepemilikan lahan BSDE yang mencapai hampir empat
ribu hektar, sebagian besar (2,318 hektar) terletak kawasan pengembangan BSD
City, Serpong, Tangerang. Sementara selebihnya terletak di Grand Wisata (Bekasi),
Benowo (Surabaya), Grand City (Balikpapan), Cibubur, dan Karawang. Harga rata-rata
tanah kosong milik BSDE terbilang cukup tinggi (Rp189,000 per meter persegi),
karena lokasinya yang sangat strategis yaitu di Serpong, tepatnya arah barat
daya dari lokasi pusat kota BSD City, dimana harga tanah di BSD City sendiri
juga sudah selangit.
Monumen Lambang BSD City, Serpong |
Sementara posisi kedua sebagai pemilik landbank terluas ditempati oleh Kawasan Industri Jababeka (KIJA), dengan kepemilikan landbank terutama di Tanjung Lesung (Pandeglang, Banten), dan Kota Jababeka (Cikarang). Jika dibandingkan dengan di Serpong, harga tanah di Tanjung Lesung dan Cikarang memang relatif masih rendah. Namun harga tanah di dua lokasi tersebut, khususnya di lokasi yang dimiliki oleh KIJA, bisa naik berkali-kali lipat jika perusahaan berhasil memperluas kawasan Kota Jababeka, dan membangun kawasan wisata bertaraf internasional di Pantai Tanjung Lesung. Kalau dalam waktu dekat ini, pengembangan kawasan yang bisa dan memang sedang dikerjakan adalah di Kota Jababeka, sementara Tanjung Lesung merupakan rencana jangka panjang perusahaan.
Kemudian, gelar sebagai perusahaan pemilik tanah kosong dengan harga termahal
dipegang oleh Alam Sutera Realty (ASRI),
dengan rata-rata harga tanah Rp309,000 per meter persegi. Penyebabnya adalah karena
ASRI baru saja membeli sebidang tanah seluas sekitar 20 hektar di Kecamatan
Pinang, Tangerang, dari perusahaan properti lainnya yaitu Modernland Realty
(MDLN), dengan harga premium, yakni Rp2 juta per meter. Entah apa pertimbangan
manajemen hingga berani membayar pada harga setinggi itu, namun kalaupun tanpa
tanah yang dibeli dari MDLN tersebut, rata-rata harga tanah milik ASRI masih di
kisaran dua ratus ribuan per meter persegi. Saat ini ASRI adalah ‘penguasa’ Kawasan
Pasar Kemis dan Pinang, dan dua-duanya terletak di Tangerang, tak jauh dari
Serpong.
Oke, lanjut. Kalau anda perhatikan kembali tabel diatas, ternyata ada satu
emiten properti yang nggak punya landbank sama sekali. Dia adalah Pakuwon Jati (PWON). Penulis sendiri
agak bingung kenapa perusahaan properti asal Surabaya ini nggak punya cadangan
tanah kosong, namun mungkin itu karena mereka adalah spesialis pengembang
kawasan properti terpadu dalam ruang yang sempit di tengah kota besar, yang
biasa disebut dengan superblok. Superblok
adalah area seluas 2 hingga 3 hektar saja (atau maksimal 5 hektar) yang terdiri
dari mall, menara-menara perkantoran, apartemen, hingga hotel. Dan untuk
membangun proyek properti seperti ini memang tidak dibutuhkan tanah yang luas,
karena bangunannya berbentuk vertikal keatas (gedung pencakar langit, alias
high rise building).
Meski demikian, dalam hal ini bukan berarti PWON nggak punya aset berupa
tanah kosong. Namun dalam laporan keuangan perusahaan, aset tanah kosong itu
disebut sebagai ‘tanah matang’ (bukan tanah mentah), alias tanah yang sudah
mulai dikembangkan. Kalau anda baca lagi tabel kepemilikan landbank diatas,
seluruh landbank yang tercantum merupakan tanah yang sama sekali belum
dilakukan pengembangan apapun terhadapnya (kecuali mungkin dipagerin), alias
masih berupa tanah yang benar-benar kosong. Kebetulan pada periode Kuartal I
2013 ini, PWON sedang tidak memiliki aset tanah berupa landbank tersebut.
Nah, jika anda kritis, maka anda akan bertanya: Jika yang dimaksud dengan
landbank adalah aset tanah mentah, lalu dimana kita bisa melihat aset tanah matang, termasuk tanah matang
milik PWON diatas? Jawabannya, di persediaan
real estate. Di laporan keuangannya, setiap emiten properti mencantumkan
kepemilikan persediaan aset real estate, yaitu aset yang terdiri dari tanah
matang, bangunan dalam penyelesaian, hingga bangunan yang sudah siap jual. Berikut
datanya:
Company
|
Inventories
|
Rp
billion
|
|
LPKR
|
11,224
|
BSDE
|
3,255
|
APLN
|
1,671
|
CTRA
|
3,306
|
ASRI
|
2,754
|
SMRA
|
2,841
|
PWON
|
1,210
|
KIJA
|
665
|
BKSL
|
938
|
DILD
|
1,574
|
Ternyata, Lippo Karawaci (LPKR) bukan hanya merupakan perusahaan properti
terbesar di BEI dari sisi aset, tetapi juga merupakan perusahaan terbesar dari
sisi kepemilikan persediaan real estate. Secara keseluruhan, LPKR memiliki
persediaan senilai Rp11.2 trilyun, yang terdiri dari kawasan pembangunan kota (urban development), kawasan apartemen
dan pusat perbelanjaan, medical center,
hotel, restoran, dan infrastruktur rekreasi dan olahraga. Sebagian besar dari
persediaan real estate tersebut terletak di Jabodetabek, namun ada juga yang
terletak di Karawang, Bali, hingga Makassar. Yup, areal operasional LPKR tidak
hanya di Karawaci saja, melainkan tersebar dari Medan hingga Manado,
baik melalui perusahaannya sendiri maupun melalui anak-anak usahanya. Dua
perusahaan properti yang listing di bursa, yakni Lippo Cikarang (LPCK) dan
Gowa Makassar Tourism Development (GMTD), juga merupakan anak usaha dari LPKR
ini.
Sementara perusahaan pemilik persediaan real estate terkecil adalah KIJA,
dan ini agak kontras dengan cadangan landbank-nya yang merupakan kedua terluas
setelah BSDE. Namun mengingat bahwa KIJA sama sekali belum melakukan
pengembangan apapun terhadap tanah kosongnya yang terletak di wilayah perluasan
Kota Jababeka, Cikarang, apalagi yang di Tanjung Lesung, maka hal ini bisa
dipahami.
Terakhir, satu lagi pertanyaan yang harus dijawab adalah, bagaimana status
dari lahan landbank maupun persediaan real estate yang dimiliki oleh kesepuluh
perusahaan properti diatas? Apakah aset-aset tersebut diperoleh menggunakan
utang, ataukah menggunakan uang sendiri? Nah, jika kita hendak memperinci
bagaimana kesepuluh emiten properti diatas memperoleh tiap-tiap asetnya
masing-masing, entah itu aset landbank, tanah matang, hingga bangunan, maka analisisnya
akan membutuhkan waktu lama, karena data yang harus dicek kelewat banyak.
Karena itulah, yang penulis perhatikan disini hanyalah data utang yang mengandung bunga (istilahnya interest
bearing debt) dari tiap-tiap emiten, dalam hal ini utang bank dan obligasi. Dan
berikut datanya:
Company
|
Assets
|
Debts
|
Debt
to Asset Ratio
|
Rp
billion
|
Rp
billion
|
(%)
|
|
LPKR
|
27,293
|
7,349
|
26.9
|
BSDE
|
17,806
|
1,035
|
5.8
|
APLN
|
15,888
|
4,391
|
27.6
|
CTRA
|
15,638
|
1,468
|
9.4
|
ASRI
|
13,581
|
4,326
|
31.9
|
SMRA
|
11,272
|
1,388
|
12.3
|
PWON
|
8,046
|
2,460
|
30.6
|
KIJA
|
7,452
|
2,018
|
27.1
|
BKSL
|
6,305
|
617
|
9.8
|
DILD
|
6,270
|
1,009
|
16.0
|
Perhatikan, yang penting untuk diperhatikan di tabel diatas mungkin jumlah
utang dari tiap-tiap emiten, melainkan berapa persentase utang tersebut
terhadap aset. Dan ternyata, yang terbesar adalah ASRI, dimana utang bank dan
obligasinya tercatat total Rp4.3 trilyun, dan itu mencapai 31.9% dari total asetnya yang
sebesar Rp13.6 trilyun. ASRI sendiri dalam satu tahun terakhir memang
menerbitkan dua obligasi di Singapura, senilai masing-masing US$ 175 dan 225
juta, dimana dananya digunakan untuk mengakuisisi landbank di Pasar Kemis dan Pinang,
Tangerang, dan itu sebabnya ASRI memiliki cadangan landbank yang cukup luas.
Well, entahlah, tapi kalau penulis sendiri melihat tindakan leverage yang dilakukan ASRI ini sedikit
nekad ya, karena tentunya tidak ada jaminan bahwa sektor properti akan terus
booming seperti sekarang ini hingga 5 – 10 tahun kedepan. Tapi mungkin pihak
manajemen perusahaan punya pendapat berbeda.
Sementara beberapa emiten properti yang utangnya terbilang kecil adalah
BSDE, Ciputra Development (CTRA), dan Sentul City (BKSL). BSDE sendiri memang
tidak membutuhkan dana dari pinjaman bank ketika mulai menambah kepemilikan
aset-aset landbank dan real estate-nya sejak tahun 2010 lalu, karena di tahun
2010 tersebut perusahaan meraup modal sekitar Rp5 trilyun dari proses right
issue-nya, dengan pembeli siaganya ketika itu adalah Grup Sinarmas sendiri
(melalui Sinarmas Sekuritas). Mungkin Grup Sinarmas sejak tahun 2010 tersebut sudah
melihat peluang bahwa industri properti di Indonesia bakal booming dalam
beberapa tahun kedepan, dan hal itu kemudian memang terbukti.
Okay, jadi kesimpulannya? Ya silahkan anda simpulkan sendiri. However, karena
untuk memilih saham properti yang bagus tidak bisa hanya dilakukan dengan
melihat jumlah landbank, aset real estate, hingga jumlah utang dari tiap-tiap perusahaan,
maka artikel ini sejatinya belum bisa menjadi panduan untuk memilih saham mana
yang terbaik dari kesepuluh saham properti diatas. Tapi mudah-mudahan, data-data
yang disajikan disini bisa menjadi informasi tambahan bagi anda yang berminat
untuk berinvestasi di saham properti, dimana analisis yang lebih lanjutnya bisa
anda kerjakan sendiri di rumah.
Komentar
terima kasih
Bagaimana perusahaan menghitung harga dari tanah matang?
Apakah dari biaya 'pematangan lahan tersebut' plus harga tanah mentah?
atau dari harga pasar di area tersebut?
Terus 'Land Price' dari harga tanah mentah itu dilihat dari harga pasar saat laporan dikeluarkan atau dari harga perolehan tanah?
Terima kasih.