KMI Wire & Cable
Saham-saham di sektor kabel mungkin menjadi menarik bagi sebagian investor,
setelah para emiten di sektor tersebut menunjukkan peningkatan kinerja yang
signifikan dalam setahun terakhir ini. Sepanjang tahun 2012 kemarin, keenam
perusahaan kabel yang listing di bursa mencatat total laba bersih Rp536 milyar,
tumbuh 55.8% dibanding tahun 2011. Dari sisi profitabilitas, angka laba
tersebut sebenarnya tidak terlalu besar mengingat total aset perusahaan-perusahaan
kabel di BEI mencapai Rp6.6 trilyun, sehingga rata-rata Return on Asset (ROA)
di sektor kabel ini hanya 8.6%, sedikit dibawah standar penulis sebesar minimal
10%. However, sektor kabel ini tetap menarik untuk diperhatikan mengingat
prospeknya terkait pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Btw, berikut adalah rangkuman kinerja perusahaan kabel untuk periode tahun
penuh 2012 lalu. Harga saham yang tercantum adalah harga penutupan tanggal 29 April
2013 kemarin.
Stocks
|
Price
|
Liquidity
|
PER
|
ROA (%)
|
net profit grwth (%)
|
equity grwth (%)
|
VOKS
|
1,520
|
0.2
|
8.6
|
8.7
|
32.9
|
21.4
|
SCCO
|
6,500
|
0.7
|
7.9
|
11.4
|
54.6
|
26.0
|
KBLI
|
290
|
5.1
|
9.3
|
10.8
|
96.5
|
17.4
|
IKBI
|
1,500
|
0.0
|
12.0
|
5.0
|
244.8
|
4.7
|
KBLM
|
194
|
0.1
|
9.2
|
3.3
|
25.4
|
8.3
|
JECC
|
2,025
|
0.2
|
9.6
|
4.5
|
7.0
|
12.1
|
Catatan:
- Liquidity dalam milyar Rupiah. Semakin besar
angkanya maka sahamnya semakin likuid
- Rasio profitabilitas yang digunakan disini
adalah ROA, bukan ROE (Return on Equity), karena mayoritas perusahaan
kabel memiliki kewajiban/utang yang cukup besar dengan DER diatas 1 kali, kecuali
IKBI dan KBLI
- Data diatas diurutkan berdasarkan aset
perusahaan, dari yang terbesar hingga terkecil
- Berikut adalah nama lengkap dari tiap-tiap
emiten: Voksel Electric (VOKS), Supreme Cable (SCCO), KMI Wire & Cable
(KBLI), Sumi Indo Kabel (IKBI), Kabelindo Murni (KBLM), dan Jembo Cable
(JECC).
Perhatikan, dari sisi likuiditas, saham-saham kabel terbilang tidak likuid
dengan rata-rata nilai transaksi nggak nyampe Rp1 milyar per harinya, kecuali
KBLI. Beruntung, dari sisi profitabilitas dan pertumbuhan, KBLI juga merupakan
yang paling menarik dibanding saham-saham kabel lainnya. Sehingga praktis,
kalau anda tertarik dengan sektor kabel ini, maka pilihannya ya cuma KBLI ini
saja. SCCO mungkin cukup menarik juga, apalagi valuasinya juga masih sedikit
lebih murah ketimbang KBLI. Namun likuiditasnya yang kurang encer menyebabkan pergerakan
sahamnya kurang mulus, dan sulit diprediksi secara teknikal.
Anyway, mengingat saat ini kita sudah memasuki musim keluarnya laporan
keuangan (LK) untuk periode Kuartal I 2013, dimana sejauh ini baru KBLI yang
sudah merilis LK-nya, maka selanjutnya kita akan membahas soal KBLI ini
KMI Wire & Cable
PT Kabel Metal Indonesia Wire & Cable, Tbk (KBLI) merupakan perusahaan
kabel yang sudah berdiri sejak lama di Indonesia, tepatnya pada tahun 1972,
ketika itu dengan bekerja sama dengan perusahaan asal Jerman, Kabel-und
Metallwerke AG. Pabrik pertama milik perusahaan berlokasi di Cakung, Jakarta
Timur, seluas 10 hektar, dan hingga kini menjadi satu-satunya pabrik milik
perusahaan.
Suasana pabrik kabel milik PT KMI Wire & Cable di Cakung, Jakarta Timur |
Saat ini KBLI memproduksi dua jenis kabel berdasarkan bahan bakunya, yakni
kabel tembaga dan kabel alumunium, dengan komposisi 64% tembaga dan 36%
alumunium. Sementara berdasarkan fungsinya, KBLI memproduksi tiga jenis kabel,
yakni kabel listrik tegangan rendah, kabel listrik tegangan menengah, dan kabel
telepon. Dari pendapatan perusahaan sebesar Rp589 milyar pada Kuartal I 2013,
Rp509 milyar diantaranya berasal dari penjualan kabel listrik tegangan rendah.
Salah satu pelanggan utama perusahaan tentu saja PT PLN. Namun jika
di-breakdown, KBLI lebih banyak menjual produknya ke perusahaan swasta, entah
itu pabrik industri, tambang minyak, perusahaan properti, dan perusahaan
konstruksi pekerjaan umum (infrastruktur).
Btw berikut adalah ringkasan kinerja KBLI dalam kurun waktu 2008 – 2012
Year
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
Equity (Rp billion)
|
208
|
230
|
656
|
720
|
845
|
Sales Volume (thousand ton)
|
21
|
12
|
14
|
21
|
26
|
Revenue (Rp billion)
|
1,732
|
822
|
1,228
|
1,842
|
2,273
|
Net Profit (Rp billion)
|
27
|
21
|
48
|
64
|
125
|
Kabar baiknya, kinerja KBLI cukup konsisten dengan terus mencatatkan
pertumbuhan sejak tahun 2009. Penurunan yang terjadi di tahun 2009 (dibanding
tahun 2008) bisa dipahami mengingat ketika itu sedang terjadi krisis global.
Trend positif inilah yang kemudian mendorong perusahaan untuk mulai berekspansi
kembali, dengan cara meningkatkan kapasitas produksi. Pada tahun 2012, KBLI
meningkatkan kapasitas produksinya dari 27 ribu ton kabel, menjadi 33 ribu ton.
Dan pada tanggal 2 April 2013 kemarin, KBLI memperoleh pinjaman dari Bank
BCA sebesar Rp50 milyar untuk modal kerja, dan US$ 5 juta untuk pembelian bahan
baku pembuatan kabel, sudah termasuk fasilitas forex forward line (FFL) untuk menjaga harga bahan baku tembaga dan
alumunium dari fluktuasi Rupiah terhadap US Dollar (soalnya kebanyakan bahan
bakunya berasal dari impor). Jika prosesnya berjalan lancar, maka KBLI
berpeluang untuk meningkatkan utilisasi pabriknya hingga 100% (33 ribu ton)
pada tahun 2013 ini, atau meningkat 28.8% dibanding tahun 2012 sebesar 26 ribu
ton. Jika kita pakai kinerja perusahaan pada Kuartal I 2012, dimana pendapatan
KBLI tumbuh 16.7%, dan labanya juga naik 11.7% (ini adalah catatan kinerja KBLI
sebelum memperoleh pinjaman dari Bank BCA), maka target diatas terbilang cukup
realistis. Well, kita lihat saja perkembangan berikutnya nanti.
Diluar memaksimalkan kapasitas produksi yang sudah ada, KBLI juga punya
rencana untuk mendirikan pabrik baru, kali ini untuk memproduksi kabel tegangan
tinggi, yang dijadwalkan akan rampung seluruhnya dalam kurun waktu 3 tahun
kedepan. Namun sejauh ini rencana tersebut masih diatas kertas dan belum ada
realisasi apapun.
Kesimpulannya, KBLI ini cukup menarik terutama jika anda menganggap bahwa
sektor infrastruktur di Indonesia akan terus berkembang dalam beberapa waktu
kedepan, terutama karena KBLI juga memiliki beberapa nilai plus berikut:
Satu. Persaingan di industri kabel di Indonesia belakangan ini sangat
ketat, dengan hadirnya 32 perusahaan kabel lokal (hingga pertengahan tahun
2012), belum termasuk membanjirnya kabel impor dari Tiongkok. Namun KBLI
memiliki keunggulan dari sisi brand, dimana salah satu merk kabel milik
perusahaan, yakni ‘Kabelmetal’, sudah sangat dikenal konsumennya sejak tahun
1974.
Dan dua, Terdapat prospek meningkatnya permintaan kabel dari PLN, jika
proyek pembangkit listrik 10,000 Megawatt tahap I dan II berjalan lancar.
Kebetulan, KBLI sejak dulu sudah merupakan pemasok kabel utama bagi PLN.
Sayangnya, risiko dari bisnis kabel yang dijalani KBLI ini juga terbilang lumayan. Jika anda perhatikan, margin laba bersih KBLI terbilang kecil
dibanding pendapatannya, padahal dia ini produsen, bukan distributor.
Penyebabnya adalah karena harga bahan baku tembaga dan alumunium yang cukup
mahal, karena KBLI harus membelinya dari perusahaan asing alias impor, karena
di Indonesia belum ada perusahaan lokal yang mampu memproduksi logam tembaga
dan alumunium dalam jumlah besar (ada Tembaga Mulia Seamanan/TMAS, produsen
logam tembaga, tapi itu juga kecil). Ini agak ironis memang, mengingat
Indonesia sebenarnya merupakan salah satu produsen bijih tembaga terbesar di
dunia (terutama berasal dari Papua, milik Freeport). Namun bijih tembaga
tersebut hampir seluruhnya dikirim keluar negeri untuk diolah menjadi logam
tembaga, kemudian baru dijual kembali kesini. Alhasil, jadilah
perusahaan-perusahaan kabel termasuk KBLI harus mengimpor bahan baku logam tembaganya.
KBLI sebenarnya memiliki unit usaha di bidang pembuatan kawat tembaga dan kawat
alumunium, namun tetap saja logam tembaga dan alumuniumnya harus beli dari
pihak luar.
Nah, kalau penulis diskusi dengan beberapa orang teman yang mengerti
masalah ini, memang dari dulu masalah Indonesia itu ya disitu: Tidak berkembangnya industri hulu,
salah satunya karena ketiadaan infrastruktur. Kita mungkin sangat mahir dalam
hal menggali aneka jenis barang tambang yang dikandung bumi pertiwi Indonesia,
seperti minyak dan gas, batubara, nikel, emas, hingga tembaga. Namun untuk
mengolahnya menjadi barang siap pakai, kita belum mampu. Coba anda
perhatikan, mayoritas perusahaan-perusahaan tambang di Indonesia mayoritas
hanya bisa menjual hasil galiannya dalam bentuk mentah, langsung ke perusahaan
luar negeri. Demikian pula dengan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa
sawit, dimana meski Indonesia notabene merupakan produsen CPO terbesar di dunia,
namun kita sama sekali belum mampu membuat produk-produk turunan dari CPO,
kecuali minyak goreng doang.
Padahal di sisi industri hilir, pertumbuhannya sangat pesat, termasuk juga
kebutuhan akan kabel meningkat terus seiring dengan berkembangnya sektor
properti dll. Namun karena tidak ada penopangnya (industri hulu), maka
perusahaan-perusahaan kabel di Indonesia hanya menikmati margin yang kecil.
Risikonya disini adalah, jika kabel impor asal Tiongkok terus saja masuk, maka
KBLI juga akan mengalami kesulitan,
mengingat kalau dari sisi harga jual KBLI pasti kalah telak, karena harga kabel
milik KBLI jauh lebih mahal. Ya gimana gak lebih mahal? Di Tiongkok sana bahan
baku gampang, tenaga kerja juga murah, sehingga harga produk-produk kabel dan
sebagainya juga bisa ditekan serendah-rendahnya. Sementara di Indonesia? Udah
nyari bahan bakunya susah, para buruhnya juga cuma bisa mewek minta naik gaji
mulu.
Risiko lainnya, jika Rupiah melemah signifikan terhadap US Dollar, dan jika
harga logam tembaga dan alumunium dunia tiba-tiba bergejolak naik, maka margin
laba KBLI bisa dipastikan akan tertekan hebat. Dua risiko ini seharusnya bisa
diminimalisir jika Indonesia memiliki industri hulu yang kuat, dimana kita
tidak tergantung impor dan juga bisa menentukan harga komoditas kita sendiri.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Dan sebenarnya karena hal inilah, penulis dari dulu nggak pernah suka
saham-saham industri manufaktur, termasuk salah satunya industri kabel ini. Masalahnya bukan terletak di pasar industri kabel, melainkan ketersediaan bahan baku dan risiko terjadinya perubahan ekonomi makro. Karena faktanya, dari dulu perekonomian Indonesia lebih banyak ditopang oleh konsumsi, dan baru sekarang-sekarang ini saja turut ditopang oleh investasi, tapi investasi itupun belum banyak yang menyentuh infrastruktur, industri, ataupun manufaktur, melainkan lebih banyak ke sektor jasa (asuransi, dll).
Namun memang, itu kalau kita bicara sektor manufaktur secara umum. Sementara kalau kita melihat KBLI ini secara lebih spesifik, maka KBLI ini memiliki beberapa poin menarik: 1. Statusnya sebagai
perusahaan kabel dengan kinerja terbaik di BEI saat ini, 2. Pihak manajemen yang tampak sedang bekerja keras untuk mengembangkan usahanya, dan 3. Track record pertumbuhan perusahaan yang cukup baik, termasuk momentum kuasi
reorganisasi pada tahun 2011. So, dengan asumsi bahwa pengembangan usaha yang
dilakukan kedepannya akan berjalan lancar, maka kinerja KBLI akan kembali
meningkat di masa mendatang, dan sahamnya juga akan terus naik. Target terdekat
sekitar 350. Jika anda sudah memegangnya sejak awal (sejak di 200-an), boleh
hold, tapi penulis tidak merekomendasikan saham ini jika anda baru mau masuk di
harga sekarang.
Terakhir, jika anda sudah memegangnya, maka jangan lupa untuk mengamati
fluktuasi harga tembaga dan alumunium (terutama tembaga) di London Metal
Exchange. Penulis belum mengeceknya sih, tapi seharusnya kenaikan harga tembaga
bisa berimbas negatif terhadap saham KBLI (dan juga saham-saham kabel lainnya).
Saat ini harga copper tercatat US$ 7,079 per ton, relatif rendah dibanding
puncaknya beberapa waktu lalu di kisaran US$ 9,000-an per ton.
PT KMI Wire & Cable, Tbk
Rating kinerja pada 1Q13: BBB
Rating saham pada 290: BBB
Komentar