Greenwood Sejahtera: Update
Greenwood Sejahtera (GWSA) adalah salah satu dari sekian banyak
perusahaan properti di Indonesia yang sedang menikmati masa jaya sektor
properti dalam 2 – 3 tahun terakhir ini, dimana berdasarkan laporan keuangan
terbarunya untuk tahun penuh 2012, GWSA mencatat laba bersih Rp434 milyar.
Angka tersebut tumbuh dua kali lipat lebih dibanding tahun 2011, dan
mencerminkan ROA 20.9%. Berdasarkan analisis fundamental sederhana, data
tersebut tentu menarik. Tapi yang lebih menarik lagi adalah valuasi sahamnya,
dimana berdasarkan harga sahamnya saat ini yaitu 300, PER GWSA tercatat hanya
5.5 kali. Dan tidak seperti saham-saham properti lainnya yang terus naik
sepanjang setahun terakhir, saham GWSA sejauh ini hanya naik 50 poin dibanding
harga perdananya (250) ketika IPO pada Desember 2011 lalu. So what’s wrong?
Penulis sendiri mulai mengamati saham ini sejak setahunan yang lalu, dan
pernah membahasnya juga di blog ini (ini linknya,
artikelnya ditulis persis setahun yang lalu). Intinya ketika itu penulis
mengatakan bahwa dalam jangka panjang GWSA berpeluang naik minimal ke level
400. Namun sekarang, setelah lewat setahun, posisi tertinggi yang pernah
dicapai GWSA hanya 315. Disisi lain kalau kita lihat kinerjanya, GWSA tetap tumbuh
seperti yang diharapkan, sehingga saham ini tetap layak untuk dicermati.
Anyway, berikut ini adalah hal-hal yang sebaiknya anda ketahui tentang
GWSA, kita akan membahasnya secara poin per poin.
Kumpulan Logo Properti milik PT Greenwood Sejahtera, Tbk |
1. Proyek utama perusahaan: The City Center
GWSA adalah pemilik dari proyek The
City Center (TCC), yang berlokasi di Tanah Abang, Jakarta Pusat. TCC
merupakan kawasan superblock yang
terdiri dari tiga menara perkantoran, tiga menara apartemen yang dibangun
diatas sebuah mall, dan satu gedung serbaguna berlantai 72 yang akan
difungsikan sebagai perkantoran, hotel bintang lima, apartemen, dan ruang
convention center. Proyek ini sudah mulai dikerjakan sejak tahun 2008, dan
dijadwalkan akan selesai secara penuh pada tahun 2015. Update terakhir, salah
satu menara yaitu Office Tower One, sudah dibuka dan mulai beroperasi secara
komersial sejak Desember 2012 lalu.
Kalau diperhatikan, progress dari proyek TCC ini terbilang lambat. Sekarang
sudah memasuki tahun 2013, namun baru satu dari tiga menara perkantoran yang
sudah beroperasi, sementara dua lainnya masih dalam proses pembebasan tanah
untuk kemudian baru dibangun gedung diatasnya. Untuk pembangunan tiga menara
apartemen dan satu gedung jumbo berlantai 72, kemungkinan perusahaan akan
membutuhkan waktu yang lebih lama lagi untuk merealisasikannya, mengingat
perusahaan belum punya cukup dana untuk membiayainya (waktu perusahaan
menggelar IPO dulu, duitnya cuma cukup untuk beli tanahnya saja). Intinya,
penulis ragu kalau proyek TCC bisa sepenuhnya selesai pada tahun 2015 ini (dan
ternyata benar, perusahaan merevisi target penyelesaian TCC secara penuh menjadi
tahun 2018).
Btw, mungkin ada pertanyaan, mungkinkah GWSA akan menggelar right issue
untuk memperoleh dana untuk membiayai kelanjutan proyek TCC? Jawabannya tidak,
setidaknya untuk sekarang ini. Berdasarkan hasil RUPS terakhir perusahaan pada tanggal
13 Juni 2012, sudah diputuskan bahwa GWSA akan menerbitkan obligasi untuk
membiayai TCC. Mengingat bahwa utang GWSA masih sangat kecil (DER-nya terakhir tercatat
25.7%), maka penerbitan obligasi ini tentunya nggak jadi masalah.
2. Proyek properti lainnya
Diluar TCC, GWSA masih memiliki beberapa proyek properti lagi, dan beberapa
diantaranya sudah beroperasi secara penuh. Berikut daftarnya, termasuk juga TCC:
Proyek
|
Jenis
Proyek
|
Lokasi
|
Kepemilikan
(%)
|
The
|
Superblok
|
Tanah
Abang,
|
100.0
|
The Peak
Apartment
|
Apartemen
|
Sudirman,
|
55.0
|
Emporium
Hotel
|
Hotel
|
Pluit,
|
70.8
|
Emporium
Mall
|
Mall
& Ballroom
|
Pluit,
|
47.2
|
Superblok
|
Kuningan,
|
40.0
|
|
Superblok
|
Senayan,
|
27.4
|
|
Festival
CityLink
|
Hotel,
Mall & Ballroom
|
30.0
|
|
Lindeteves
|
Glodok,
|
23.0
|
Karena dari kedelapan proyek diatas hanya proyek TCC, The Peak Apartment,
dan Emporium Hotel (Holiday Inn Hotel) yang kepemilikannya lebih dari 50%, maka
di laporan keuangannya, GWSA hanya mencantumkan pendapatan konsolidasian yang
berasal dari ketiga proyek diatas, yang pada tahun penuh 2012 tercatat sebesar
Rp714 milyar, naik 178.6% dibanding tahun 2011. Kenaikan tersebut terutama
karena tambahan pendapatan dari penjualan dan penyewaan unit-unit perkantoran
dari Office Tower One, dan juga dari The Peak Apartment (yang sudah beroperasi
secara penuh). Sementara proyek Hotel Emporium masih dalam tahap pembangunan,
namun dijadwalkan akan mulai beroperasi pada tahun 2013 ini.
Nah, poin menariknya adalah, jika ketiga proyek diatas (TCC, The Peak
Apartmen, Hotel Emporium) merupakan proyek yang masih dalam tahap pembangunan
(The Peak Apartment juga baru selesai dibangun kemarin), maka proyek-proyek
lainnya yang dimiliki GWSA secara minoritas (kurang dari 50%) rata-rata sudah
selesai dan sudah beroperasi. Kebetulan, penulis sendiri sudah mengunjungi dan
melihat proyek-proyek tersebut secara langsung, mulai dari Mall Emporium, Mall
Kuningan City, Mall Senayan City, Festival CityLink di Bandung, hingga
Lindeteves (ITC Lindeteves sekarang jadi lebih bagus), dan semuanya sudah
beroperasi secara penuh. Kalau ada yang masih mengganjal mungkin Mall Kuningan
City. Terakhir penulis kesana masih banyak ruang toko yang belum memperoleh
tenant. Tapi harusnya sekarang mall ini sudah mulai ramai, secara lokasinya
strategis sekali yaitu di Jalan Prof. Dr. Satrio, yang disebut-sebut sebagai
Orchard Road-nya Indonesia.
Sepanjang tahun 2012, GWSA memperoleh bagian laba bersih sebesar Rp153
milyar dari kelima proyek yang dimiliki secara minoritas diatas. Bagian laba
bersih inilah yang kemudian menyebabkan laba bersih GWSA mencapai Rp434 milyar,
meski pendapatannya cuma Rp714 milyar. Jika pendapatan dari kelima proyek
tersebut dikonsolidasikan, maka GWSA mungkin akan mencatat pendapatan sekitar
Rp2 – 3 trilyun.
Mungkin ada pertanyaan, kalau GWSA hanya memegang saham dari Senayan City
dll secara minoritas, lalu siapa pemegang saham mayoritasnya? Jawabannya adalah
Grup Agung Podomoro. Nah,
partnership antara GWSA dan Agung Podomoro inilah yang membuat saham GWSA ini
menjadi menarik. Let say, kalaupun GWSA gagal menyelesaikan mega proyek
TCC-nya, maka perusahaan tetap akan memperoleh pendapatan dari proyek-proyek
lainnya yang dimiliki bersama dengan Agung Podomoro. Dan mengingat bahwa
sebagian besar pembangunan Senayan City dan lainnya memang sudah kelar, maka
kita tentu tidak perlu khawatir soal progress pembangunannya lagi, alias
tinggal menikmati hasilnya.
Btw penulis menyebut Senayan City di artikel ini berkali-kali karena ada
pengalaman pribadi. Waktu itu ketika main kesana, nyari parkirnya susah
setengah mati, dan begitu berhasil masuk ke mall-nya, it’s very crowded inside,
mungkin bahkan lebih ramai dibanding Pasar Tanah Abang. Menurut penulis ini aneh
sekali, karena sepertinya kok gak ada sesuatu yang benar-benar istimewa di mall
ini? Isinya sama saja seperti mall-mall lain. Tapi apapun itu, kalau sebuah
mall bisa ramai begitu maka tentunya pendapatannya besar sekali. Dari parkirnya
saja bisa ratusan juta Rupiah per hari. Karena itulah ketika itu penulis langsung
ingat sama saham GWSA ini (ingat sama APLN juga sih).
3. Owner perusahaan
Ultimate shareholder dari GWSA adalah seorang pengusaha bernama Harry Gunawan Ho. Jika dibanding dengan
nama-nama beken di industri properti seperti Trihatma Haliman, Ciputra, hingga
Eka Tjipta Widaja, maka Mr. Harry jelas bukan siapa-siapa, dan mungkin hal
inilah yang menyebabkan nama dan brand
Greenwood Sejahtera tidak sepopuler Agung Podomoro, Ciputra Development, atau
Bumi Serpong Damai. Lebih jauh, mungkin hal pula yang menyebabkan harga saham
GWSA cenderung stagnan. Jika anda perhatikan, masuknya dana asing ke bursa
akhir-akhir ini (yang menyebabkan IHSG naik terus) lebih banyak menyasar ke
saham-saham, entah saham properti atau lainnya, yang perusahaan/emitennya punya
kredibilitas yang baik serta nama perusahaannya cukup dikenal oleh publik.
Sementara kalau anda baca data kepemilikan saham GWSA per tanggal 28 Februari
lalu, kepemilikan asing di GWSA tercatat 13.7 juta lembar, dan itu hanya 0.18%
dari seluruh saham GWSA yang berjumlah 7.8 milyar lembar.
Lalu siapa itu Mr. Harry? Berdasarkan wawancaranya dengan Koran Investor
Daily, Harry Gunawan Ho adalah pengusaha manufaktur dan trading, yang pada
tahun 2003 banting setir menjadi pengusaha properti, dengan mendirikan GWSA ini
(atau lebih tepatnya mengakuisisi, karena status perseroan GWSA sudah ada sejak
tahun 1990). So, GWSA memang merupakan perusahaan properti yang tergolong masih
sangat muda, dan belum punya reputasi. Proyek TCC sendiri merupakan mega-proyek
pertama milik perusahaan, setelah sebelumnya hanya menangani proyek-proyek
kecil.
Pertanyaannya mungkin sekarang, gimana ceritanya Mr. Harry bisa ber-partner
dengan perusahaan properti sebesar Agung Podomoro? Mungkinkah ada orang lain
lagi di GWSA selain beliau?
4. Perkara hukum
Sejak GWSA memulai proyek TCC pada tahun 2008, perusahaan sudah menghadapi
serangkaian gugatan dan tuntutan hukum dari pihak-pihak tertentu (biasanya ahli
waris tanah), terkait sengketa beberapa bidang tanah yang merupakan bagian dari
proyek TCC. Hal ini juga tercantum di prospektus perusahaan ketika menggelar IPO,
dimana salah satu poin risikonya adalah risiko adanya tuntutan hukum dari pihak
ketiga terkait dengan kepemilikan dan status tanah yang menjadi lokasi proyek.
Sepanjang periode 2008 – 2012, GWSA telah menerima sekurang-kurangnya enam
kali gugatan hukum. Sebagian besar dari kasus hukum tersebut dimenangkan
perusahaan, namun gugatan yang terakhir, yang putusan pengadilannya keluar pada
tanggal 19 Januari 2013, dimenangkan oleh penggugat. Belum ada keterangan dari
manajemen GWSA mengenai apa tindakan selanjutnya terkait hal ini, namun
kemungkinan terburuknya perusahaan terpaksa harus melakukan pencadangan kerugian,
yang itu berarti laba GWSA di tahun 2013 ini akan sedikit tertekan. Berdasarkan
putusan pengadilan, GWSA harus membayar ganti rugi sebesar Rp2 milyar kepada
penggugat, plus Rp10 juta setiap hari hingga GWSA melaksanakan tuntutan
penggugat untuk memindahkan blower pendingin
ruangan/AC (untuk unit-unit AC di gedung Office Tower One) dari tanah yang
dianggap sebagai milik penggugat. Well, bukan jumlah uang yang serius penulis
kira, tapi masalahnya tetap saja: Blower AC itu tidak mungkin dipindahkan
karena itu berarti perusahaan harus men-setting ulang seluruh AC di Office
Tower One, atau bahkan konstruksi awal dari gedung itu sendiri. Jadi
kemungkinan GWSA akan mengajukan kasasi lagi, atau bernegosiasi dengan
penggugat.
Terkait gugatan hukum ini, maka menjadi menarik untuk melihat bagaimana
efeknya nanti terhadap laporan keuangan GWSA di Kuartal I 2013. Karena kalau
berkaca pada laporan keuangan GWSA di Tahun Penuh 2012, GWSA tidak sampai mengeluarkan
biaya atau mengalami kerugian apapun karena tuntutan-tuntutan hukum yang
terjadi, karena mereka memang menang terus di pengadilan. Tapi untuk Q1 2013
mendatang, perusahaan mungkin harus melakukan pencadangan kerugian. However,
kalau melihat laba bersih GWSA yang mencapai ratusan milyar Rupiah, maka pencadangan
kerugian sebesar Rp2 – 3 milyar seharusnya tidak akan begitu berpengaruh.
Kesimpulan
Kesimpulannya, berikut ini adalah beberapa poin yang menyebabkan saham GWSA
ini menarik:
- Perusahaan
memiliki lini bisnis properti yang terdiversifikasi, mulai dari gedung
perkantoran, apartemen, hotel, convention center, trade center, ballroom, dan
tentunya mall. Sebagian besar properti-properti milik perusahaan terletak
di lokasi yang sangat bagus dan strategis, termasuk TCC yang berlokasi
persis di jantung Kota Jakarta. Dalam hal ini meski nama ‘Greenwood
Sejahtera’ kurang dikenal masyarakat luas, namun anda para warga Jakarta
pasti sudah hafal dengan Kuningan City, Senayan City, atau Mall Emporium.
- Kinerjanya
sangat baik, dengan potensi pertumbuhan yang masih sangat terbuka jika
proyek-proyek properti milik perusahaan satu per satu selesai dibangun dan
mulai beroperasi, yang paling dekat tentunya Hotel Emporium. Diluar itu,
GWSA hampir bisa dipastikan akan secara rutin menerima kenaikan bagian
laba bersih dari proyek-proyek properti yang dimiliki secara minoritas, salah
satunya dari Kuningan City yang mulai beroperasi baru-baru ini.
- Harga sahamnya masih murah, dan itu bisa dijelaskan karena belum ada investor asing yang meliriknya. Bagi investor fundamentalis, ini tentu kesempatan. Anda nggak perlu mengandalkan masuknya asing agar saham yang anda pegang menjadi naik, karena yang lebih penting sebenarnya adalah peningkatan nilai/value dari perusahaan yang ada dibalik saham itu sendiri.
Disisi lain, jika anda tertarik dengan GWSA ini maka anda juga harus
mempertimbangkan hal-hal berikut:
- GWSA
mungkin akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan TCC-nya secara penuh,
mengingat itu adalah proyek yang terbilang sangat ambisius untuk ukuran
sebuah perusahaan yang notabene baru berdiri kemarin sore. Untuk sekarang
kita lihat saja dulu, apakah perusahaan mampu menyelesaikan pembangunan TCC
Tahap Satu (tiga menara perkantoran) hingga tahun 2014 atau 2015 nanti.
- Berbagai
tuntutan hukum yang diterima GWSA mungkin tidak akan terlalu berpengaruh
terhadap kinerja keuangan, tapi sudah pasti akan berpengaruh terhadap
kredibilitas dan nama baik perusahaan. Padahal kita tahu bahwa GWSA pada
saat ini sedang berjuang untuk menciptakan reputasi yang baik. Jika hal ini
terus berlanjut, maka para investor baik asing maupun lokal juga akan berpikir
dua kali untuk membeli sahamnya.
- Saat ini
beberapa pihak menganggap bahwa mulai terjadi bubble properti di
Indonesia. Jika anggapan itu benar, dan suatu saat bubble tersebut
meletus, maka GWSA akan menjadi salah satu perusahaan properti yang tertimpa
dampaknya lebih dahulu, mengingat GWSA bermain di sektor properti high-end
nan mewah yang rentan terhadap perubahan perekonomian.
Diluar poin-poin diatas, ada beberapa hal lagi yang penulis perhatikan terkait
GWSA ini. Pertama, setelah sideways selama setahun penuh, GWSA akhirnya tembus
300 juga. Kalau pake contoh saham APLN, yang selama dua tahun mandek di rentang
320 – 380, tapi langsung ngacir setelah menembus level psikologis 400, maka
GWSA juga mungkin akan mengalami hal yang sama. Toh lagipula untuk saat ini
tidak ada alasan bagi saham ini untuk turun lagi ke posisi semula, kecuali
mungkin jika nanti IHSG terkoreksi.
Kedua, valuasi sahamnya yang murah (PER 5.5 kali) bisa menjadi lebih murah
lagi jika laba bersih GWSA di Q1 2013 nanti kembali naik. Dan ketiga,
berdasarkan prospektusnya, GWSA akan membagikan dividen sebesar 30% dari
perolehan laba bersih, mulai tahun 2012 ini. Jika RUPS-nya nanti menyetujui hal
tersebut, maka para pemegang saham akan menerima dividen Rp17 per lembar saham,
lumayan bukan? Jika kedua hal tersebut terealisasi (kinerja di Q1 2013 naik,
dan ada pembagian dividen dalam jumlah besar), maka target harga bagi GWSA ini
masih sama seperti setahun lalu: 400-an.
PT Greenwood Sejahtera, Tbk
Rating Kinerja pada FY12: AAA
Rating Saham pada 300: A
Komentar
Kalau saya lihat saham-saham property yang naik signifikant adalah emiten-emiten yang memiliki land-banknya (tanah) yang luas, bukan seperti penjualan perkantoran atau apartement.
Hal ini bisa kita pahami, karena memang harga tanah itu naik dari tahun ke tahun, sedangkan harga bangunan termasuk ke penyusutan.
Ini yang saya amati harga ASRI, LPCK, BEST yang melaju lebih cepat dibandingkan dengan APLN.
Any ways ini hanya sekedar pendapat saya saja... Keep posting..
Pak Teguh, Kalo boleh request mohon diulas mengenai Surya Semesta Internusa (SSIA). Saya ada rencana mau start collect saham ini
SSIA ini merujuk dari LK FY2012 kemarin laba bersihnya naik 170% lebih YoY2011 dan tergolong murah menurut saya untuk ukuran saham property (PER-nya di kisaran 10x). Sound interesting..
Sebelumnya disampaikan terima kasih