Emas, Properti, Saham = Investasi, atau Spekulasi?
Beberapa hari lalu, Pemerintah Siprus mengumumkan akan menjual cadangan
emas mereka secara bertahap senilai 400 juta Euro, sebagai bagian dari
penyelamatan perekonomian negeri Gunung Olimpus. Dan entah ada hubungannya atau
tidak, beberapa saat kemudian harga emas di pasar futures New York langsung anjlok hingga sekarang berada posisi US$
1,351 per oz. Jika dihitung dari posisi puncaknya yaitu US$ 1,908 pada Agustus
2011 lalu, maka harga emas sudah turun 29.2%. Well, jika dilihat dari persepsi
bahwa IHSG pun kalau memasuki musim koreksi biasanya akan turun sebesar 20 –
25% dari posisi puncaknya, maka saat ini boleh dibilang yang sedang mengalami
koreksi adalah emas.
Pasca penurunan harganya, berbagai pihak termasuk institusi besar sekelas J.P.
Morgan kemudian mencoba menjelaskan penyebab dari gejolak harga emas tersebut,
tapi kita tidak akan membahas hal itu karena setelah penulis pelajari sendiri,
analisisnya cenderung ngawur (atau mungkin analisisnya terlalu canggih sehingga
justru penulis sendiri-lah yang nggak ngerti? But whatever lah, I don’t invest
in gold anyway). Disini kita akan mencoba mempelajari emas ini dari awal lagi.
Okay, kita mulai saja.
Emas sejak dulu dikenal sebagai instrumen hedging, yaitu instrumen untuk melindungi aset dari penurunan nilai
karena inflasi dan lain-lain. Jika anda punya duit nganggur dan bingung mau
ditaruh dimana, karena bunga deposito juga masih lebih kecil ketimbang tingkat
inflasi, maka uang tersebut bisa disimpan dalam bentuk emas. Berbeda dengan
properti, harga emas lebih terjangkau (karena anda bisa membelinya sebanyak
minimal 1 gram saja, atau bahkan kurang dari itu), dan karenanya lebih likuid
(mudah dijual/dicairkan menjadi uang cash) ketimbang aset properti seperti
tanah, sawah, atau bangunan.
Emas Batangan produksi PT Aneka Tambang, Tbk |
Karena fungsi aslinya yang memang hanya untuk hedging, maka emas tidak
menawarkan pertumbuhan dari nilai aset
yang ditanamkan, melainkan hanya kenaikan harga saja (penjelasan lebih detilnya
baca lagi artikel-artikel terdahulu di blog ini, search aja). Karena itulah jika
dibandingkan dengan investasi pada aset bertumbuh seperti saham, perusahaan,
sawah, peternakan hingga perkebunan, maka investasi pada emas kurang menguntungkan
karena kenaikan nilainya hanya mampu mengalahkan tingkat inflasi saja.
Disisi lain emas juga memiliki tingkat risiko yang rendah, karena memiliki
nilai yang pasti yaitu berdasarkan beratnya, yang tidak akan pernah berubah
sampai kapanpun. Maksud penulis, jika anda beli emas seberat 10 gram di tahun
1990, maka pada hari ini berat emas tersebut akan tetap 10 gram, tidak menyusut
atau berkarat sedikitpun, dan akan tetap menjadi 10 gram hingga selamanya. Hal
ini berbeda dengan investasi pada properti yang bisa mengalami penyusutan, atau
pada saham, yang bisa mengalami penurunan nilai secara signifikan jika kinerja
perusahaan yang bersangkutan mengalami kemunduran atau bahkan bangkrut.
Namun, itu dulu. Saat ini emas sudah memiliki banyak fungsi selain fungsi
aslinya untuk hedging seperti yang sudah kita bahas diatas. Dan salah satu
fungsi yang berkembang pesat belakangan ini adalah untuk trading. Investor, atau lebih tepatnya trader, bisa mengambil
keuntungan dari fluktuasi harga emas, dengan cara membelinya di harga rendah
kemudian menjualnya di harga tinggi, tak lama kemudian. Dalam hal ini emas
kemudian menjadi mengandung risiko, yaitu
jika si trader gagal menjualnya pada harga yang lebih tinggi. Dan itulah
sebabnya ketika harga emas baru-baru ini turun, maka para trader-nya langsung
kelimpungan. Kurang lebih sama saja lah seperti para pemain saham setiap kali
IHSG rontok.
Tapi bagaimana dengan investor sungguhan yang tetap menjadikan emas ini
sebagai instrumen/alat untuk hedging dan menyimpan aset? Ya mereka adem ayem
aja, kecuali mungkin mereka yang membeli emasnya pas di harga yang tinggi, maka
mungkin mereka agak nyesel juga. Sebagai contoh, penulis sendiri kemarin sempat
beli gelang seberat 3 gram buat si kecil di rumah seharga Rp1.6 juta. Kalau penurunan
harga emas yang terjadi belakangan ini turut berpengaruh terhadap harga
perhiasan emas yang dijual di toko-toko, maka harga gelang tersebut mungkin ikut
turun juga menjadi sekitar Rp1.2 juta. Tapi apa penulis kemudian menjadi rugi?
Ya nggak lah, karena sejak awal gak pernah ada niat untuk menjual kembali gelang
tersebut pada harga yang lebih tinggi. Malah jika harga emas beneran turun,
maka mungkin besok-besok kami akan mampir ke toko emas lagi, mumpung diskon!
Berspekulasi dengan emas
Nah, seperti yang sering sekali sudah kita bahas berkali-kali di blog ini,
mau invest atau trading (di saham, emas, atau lainnya), maka itu boleh-boleh
saja. Yang tidak boleh adalah spekulasi.
Dalam kaitannya dengan kegiatan trading, spekulasi adalah cara trading yang
mengejar keuntungan ekstra-besar namun dengan mengambil risiko kerugian yang
tidak kalah besarnya (istilahnya high risk high gain, tapi dalam pengertian
yang lebih esktrim). Caranya? Dengan menggunakan dana yang tidak kita miliki, alias pinjaman, alias utang!
Sayangnya cara ‘berinvestasi’ di emas yang berkembang belakangan ini memang
justru mengarah pada spekulasi yang menggunakan utang tersebut, bahkan meski
para pelakunya menolak bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah spekulasi.
Salah satunya, Kebun emas. Kebun
emas adalah metode yang berkembang sejak tahun 2007 lalu, dimana anda bisa
memperoleh emas dalam jumlah besar dengan cara memanfaatkan fasilitas gadai yang disediakan Pegadaian atau
bank. Intinya begini, kalau dalam investasi emas biasa, anda hanya akan
memperoleh 10 gram emas jika membelinya senilai Rp5 juta (dengan asumsi
harganya Rp500,000 per gram). Tapi dengan memanfaatkan fasilitas gadai, anda
bisa memperoleh emas 100 gram dengan modal hanya Rp14 juta (cara lebih
detailnya coba search di google, intinya adalah melakukan gadai emas yang sama
secara berulang-ulang).
Tapi yang patut dicatat disini adalah, tambahan emas sebanyak 90 gram tadi
merupakan pinjaman dari pihak
Pegadaian/bank, sehingga emas yang benar-benar anda miliki tetap saja cuma 10
gram.
Dalam ‘investasi biasa’, jika dalam setahun harga emas naik 25% dari
Rp500,000 menjadi Rp625,000 per gram, misalnya, maka keuntungan yang anda peroleh
dari modal sebesar Rp5 juta adalah Rp1.25 juta (25% dari Rp5 juta). Tapi dalam
metode kebun emas ini keuntungan anda bisa mencapai Rp12.5 juta alias sepuluh kali lipat, karena emas yang
anda pegang kan bukan 10 gram, melainkan 100 gram. Tentunya, keuntungan
tersebut masih kotor karena belum dikurangi biaya administrasi dan biaya
gadai (yang sebenarnya merupakan bunga,
kadang disebut juga sebagai ‘biaya titip’) yang harus anda bayar ke pihak
Pegadaian. Tapi dengan asumsi bahwa biaya-biaya tersebut lebih rendah dari keuntungan
karena kenaikan harga emas, maka total keuntungan bersih yang anda peroleh
tetap akan lebih tinggi ketimbang investasi emas dengan ‘cara biasa’.
Namun, itu kalau harga emas naik. Kalau harga emas turun seperti sekarang,
bagaimana tuh? Ya tentunya kerugian yang anda derita juga akan menjadi berlipat
ganda, mengingat anda nggak bisa menggadaikan emas selamanya (harus ditebus
setelah beberapa waktu tertentu), atau beban bunga tadi akan terus bertambah
besar seiring waktu. So, dalam kondisi seperti ini maka para ‘investor emas’
yang menggunakan metode kebun emas ini bisa dipastikan akan kelimpungan.
Sementara investor emas tradisional? Ya mungkin justru berpikir bahwa sekarang
adalah saatnya untuk mampir ke toko emas lagi, untuk memilih-milih anting,
cincin, dan kalung buat dikoleksi.
Sekarang ini metode kebun emas sudah sangat berkembang dengan berbagai
modifikasinya, yang tujuannya tetap sama: Untuk meraup keuntungan yang besar,
dan lebih besar lagi, dan kalau bisa dalam waktu singkat, dan biasanya dengan tetap
menggunakan cara pinjaman alias utang tadi. Pada tahap ini, emas sudah
kehilangan fungsinya sebagai instrumen hedging, karena sudah dijadikan alat
untuk ‘meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya’.
Selain metode kebun emas dan berbagai pengembangannya diatas, sejak dulu
emas juga merupakan salah satu komoditas yang biasa diperdagangkan di bursa derivatif atau futures, bersanding dengan
komoditas-komoditas lainnya seperti perak, minyak, batubara, dan CPO. Intinya,
anda bisa meraih keuntungan dari membeli kontrak emas pada harga murah, untuk
kemudian dijual lagi beberapa saat kemudian pada harga tinggi. Ketika anda
membeli emas di bursa derivatif, anda tidak benar-benar memperoleh emasnya,
karena dalam sistem kontrak, emas itu baru akan diserahkan kepada si pembeli
dalam waktu 3 bulan setelah transaksi pembeliannya dilakukan. Nah, dalam jangka
waktu 3 bulan itulah, anda bisa menjual kontrak emas itu kembali, biasanya pada
harga yang lebih tinggi, karena semakin mendekati masa penyerahan emas,
biasanya harga kontraknya akan semakin naik. Karena inilah, sebagian besar dari
orang-orang yang aktif melakukan aktifitas trading emas di bursa derivatif,
mereka tidak benar-benar hendak membeli emasnya, melainkan hanya untuk
memperoleh keuntungan jika berhasil menjualnya kembali pada harga yang lebih
tinggi.
Disisi lain risikonya tentu saja tetap ada, yaitu jika harga kontrak emasnya
keburu turun sebelum si trader sempat menjualnya, sehingga ia akan menderita
kerugian.
Nah, pada trading emas yang normal, kerugian tersebut mungkin tidak akan
terlalu signifikan, dan itu merupakan bagian dari risiko yang masih bisa ditolerir, sebagai kompensasi dari
potensi keuntungan yang mungkin bisa diraih. Tapi jika si trader menggunakan
fasilitas margin (pinjaman) yang
disediakan oleh brokernya untuk membeli emas lebih banyak lagi, maka kerugian
itu bisa berlipat ganda. Well, ceritanya jadi sama seperti kebun emas diatas
bukan?
Berspekulasi di Saham dan Properti
Seperti yang anda ketahui, di saham juga anda bisa melakukan trading selain
berinvestasi. Dan diluar keduanya, anda bisa mencoba berspekulasi juga.
Caranya? Well, saat ini sekuritas manapun sudah menyediakan fasilitas margin
yang bisa anda gunakan setiap saat, untuk meraih keuntungan yang lebih besar
lagi dari biasanya. Dari sisi definisi bahwa spekulasi adalah kegiatan jual
beli saham yang dilakukan tanpa perhitungan yang matang sebelumnya, maka
trading menggunakan fasilitas margin memang bukan spekulasi, karena anda tetap mengerjakan analisis dan
perhitungan yang mendalam terlebih dahulu sebelum melakukan pembelian sahamnya bukan?
Tapi dari sisi definisi bahwa spekulasi adalah kegiatan yang mengharapkan keuntungan besar dengan
mempertaruhkan risiko yang besar pula, maka trading dengan cara seperti itu
jelas merupakan spekulasi. Dengan cara ini maka anda bisa untung besar ketika
market bullish, tapi anda akan menderita kerugian yang lebih besar lagi ketika
market bearish, karena si sekuritas akan tetap menarik bunga dari dana yang
anda pinjam, tidak akan peduli apakah anda untung atau rugi.
Penulis sendiri sebagai investor kadang-kadang melakukan trading juga,
dengan tetap memperhatikan aspek fundamental, tentu saja. Tapi kalau harus pake
margin? Wah, jangan sampai deh. Penulis sudah terlalu sering mendengar cerita orang-orang
yang portofolio-nya, atau bahkan hidupnya hancur berantakan gara-gara
memelihara sifat serakahnya dengan
cara trading saham dll pake utang atau semacamnya, dan jujur saja, I don’t want
to be one of them.
Nah, itu di saham. Kalau di properti bagaimana? Sejatinya, properti seperti
tanah, rumah, ruko, dan apartemen juga merupakan instrumen hedging, sama seperti
emas, karena sifatnya yang tahan inflasi. Tapi jika anda membeli properti untuk
tujuan hedging, maka keuntungannya pun akan kecil. Karena itulaaaaah.. orang-orang
kemudian berusaha mengembangkan cara-cara yang aneh-aneh yang pada intinya agar
seorang ‘investor’ bisa memiliki banyak properti dalam waktu singkat, beli
properti tanpa modal, beli properti untuk dijual pada harga lebih tinggi lagi,
dan seterusnya. Dan coba tebak? Semua metode tersebut melibatkan unsur utang! Entah
melalui bank atau lainnya. Okay, ketika harga-harga properti masih melambung
tinggi seperti sekarang maka tentu saja tidak ada yang protes, karena semua
untung, semua senang, semua menang!
Tapi jika nanti ada masanya harga properti terjerembab seperti emas
barusan, kira-kira bagaimana tuh? Ya sekali lagi, yang kelimpungan adalah
mereka yang menggunakan ‘cara-cara cepat’ dalam bermain properti ini. Sementara
para investor tradisional, yang menjadikan properti-properti miliknya sebagai
hedging, mereka akan santai-santai saja. Dalam hal investor itu adalah
perusahaan pengembang properti, maka yang akan kalang kabut adalah pengembang
yang terbiasa menggoreng (baca: menaik-naikkan secara sepihak) harga
produk-produk propertinya. Sementara pengembang yang konservatif akan baik-baik
saja. Tapi sayangnya, belakangan ini kebanyakan pengembang justru suka cara
menggoreng seperti itu.
Lalu di saham sendiri, bagaimana? Kalau nanti IHSG jatoh, maka investor jangka
panjang sekalipun akan ikut mewek dong? Ah, nggak juga.. Coba anda tanya Lo
Kheng Hong, apa yang akan ia lakukan jika nanti IHSG jatuh? Jawabannya adalah
justru dia akan belanja lagi!
Anyway, kalau menurut penulis sendiri, ini semua memang berakar dari psikologis si investor sebagai manusia,
dimana psikologis ini menentukan apakah dia akan menjadi investor sungguhan,
trader, atau justru seorang anti-investor
alias spekulator. Maksud penulis begini. Kalau anda sejak awal sudah bisa mengendalikan
sifat serakah anda, maka kreatifitas anda
akan menuntun anda untuk memperoleh peningkatan nilai aset dengan cara-cara
yang benar dan tidak membabi buta, dan aset anda tersebut kemudian akan
meningkat secara wajar seiring
dengan berjalannya waktu.
Tapi jika anda termasuk orang yang menyukai ‘cara cepat’, then well,
kreatifitas anda akan menuntun anda ke tepi atap gedung yang tinggi, untuk
kemudian melompat terjun kebawah. And believe me, it really happened to certain
people.
Komentar
Mas anonim diatas:
coba ketik di google deh
"site:teguhhidayat.com menilai saham"
tanpa tanda kutip.
disitu pasti nemu beberapa topik yang mgkn match.
beberapa diantaranya:
http://www.teguhhidayat.com/2010/05/price-earning-ratio-dan-price-to-book.html
http://www.teguhhidayat.com/2011/11/price-earning-to-growth-ratio.html
http://www.teguhhidayat.com/2010/11/mengenal-fundamental-perbankan.html
http://www.teguhhidayat.com/2010/06/market-education.html
http://www.teguhhidayat.com/2013/02/cara-menganalisis-manajemen-perusahaan.html
Seperti yang penulis utarakan di atas, emas merupakan alat diversifikasi dari investasi , alias pengaman bagi portofolio investor, karena memang emas sebagai logam mulia tidak hanya dipandang sebagai "goods" atau barang komoditas biasa melainkan juga punya nilai jual lebih sebagai mata uang, atau bisa dikatakan sebagai "alter ego" dari USD mewakili kedigdayaan mata uang.
Ketika Dollar menguat maka Emas turun, dan begitu pula sebaliknya, sejauh ini seperti yang kita tahu, bahwa rekor pertarungan mereka seperti bumi dan langit di mana emas kerap melantaikan dollar. So, asumsi mengenai emas sebagai safe heaven adalah tepat adanya bahwa ketika kepercayaan dan nilai uang menurun maka dengan sendirinya orang akan beralih pada emas.
Hal yang saya bicarakan di sini tentu bukan kontrak emas atau fiat gold, melainkan emas fisik, di mana menurut cara pandang saya sebagai pengaman investasi, bahwa portofolio yang sehat tidak hanya mendiversifikasi saham-sahamnya di berbagai sektor atau bidang yang tidak terkait , namun juga harus ada pada komoditas logam mulia seperti gold dan silver, tentu dengan proporsi yang sesuai dengan situasi dan kondisi + yang tak kalah pentingnya adalah karakter investor itu sendiri. Semakin konservativ maka semakin besar proporsi emas fisiknya.
Ada berbagai macam pilihan untuk mendiversifikasi portofolio yang lagi-lagi tergantung dengan karakter dari orang yang bersangkutan, saya sendiri lebih suka membagi lahan investasi di dalam 2 bidang utama (3 dengan cash - diluar properti tentunya)yaitu Saham dan Gold(fisik) yang konsentrasi-nya tergantung dengan kondisi pasar saham dan uang. Ketika pasar bullish , kecenderungan saya adalah memupuk emas , dengan komposisi 70(saham) - 30(emas) sampai 60(saham) - 40(emas)hingga yang paling ekstrim 50-50 ketika harga saham sudah sangat mahal atau sulit menemukan saham yang nilai intrinsiknya murah meriah. Mengapa? karena memang bukan saat yang tepat untuk membeli ketika harga tinggi dan karena itu dibutuhkan investasi yang konservatif namun bernilai jual tinggi ketika pasar berbalik arah atau jatuh, sehingga kita mempunyai daya beli yang cukup kuat. Ketika situasi tersebut terjadi, komposisi Saham-emas pun berubah secara siginifikan, jangan ragu untuk menjual sebagian besar emas untuk menjadi modal masuk ke pasar saham kembali, 80(saham)-20(gold) bahkan 90(saham)-10(gold).
Prinsip saya dalam berinvestasi dan juga merupakan prinsip dari kapitalisme adalah dalil yang dipopulerkan oleh Buffet
"Be Fearful When Others Are Greedy and Greedy When Others Are Fearful"
Percayalah selama kapitalisme masih mengatur roda perekonomian dunia maka prinsip ini akan terus berjaya.
salam kenal dari saya Bisnis Investasi Properti
thanks
Terima Kasih