Dyandra Media International
Dyandra Media International, atau disebut juga Dyandra & Co.
(DYAN), merupakan perusahaan penyedia jasa event
organizer (EO), event supporting, venue and hall, dan jasa perhotelan. DYAN
merupakan bagian dari grup media terkemuka, Kompas Gramedia, dan 30% sahamnya (menjadi 21% pasca IPO) dipegang
langsung oleh pimpinan grup, Tuan Jakob Oetama. Sebagai anak perusahaan dari
grup usaha yang sudah sangat terkenal, ditambah statusnya sebagai pemimpin
pasar di industri EO (DYAN melalui anak usahanya yakni Dyandra Promosindo, merupakan pemimpin pasar di industri EO
Indonesia, dengan market share sekitar 80%), menyebabkan perusahaan ini banyak
diperbincangkan ketika akan IPO. Dan sejauh ini, DYAN sukses naik 11.4% ke
posisi 390, dari harga perdananya yakni 350. Lalu bagaimana kedepannya?
Logo Dyandra & Co. |
Sejarah Dyandra bermula ketika pada tahun 1994, Grup Kompas Gramedia mendirikan perusahaan EO dengan nama Dyandra Promosindo. Seiring dengan perkembangan perusahaan, grup Kompas Gramedia sebagai pemilik Dyandra kemudian mendirikan beberapa perusahaan yang bergerak di bidang supporting layanan EO, seperti jasa pendukung event, jasa penyedia venue, hall, dan convention centre, dan tentunya jasa perhotelan (karena sebagian besar event yang diselenggarakan Dyandra mengambil tempat di hotel, dan karena untuk event-event besar yang dihadiri pengunjung dari jauh atau bahkan mancanegara, sudah tentu para pengunjung ini butuh hotel untuk menginap). Kemudian pada tahun 2007, Kompas Gramedia mendirikan PT Dyandra Media International (DYAN) untuk dijadikan holding/induk dari perusahaan-perusahaan tadi, termasuk Dyandra Promosindo. DYAN inilah yang kemudian listing di bursa.
Berdasarkan laporan keuangan terakhirnya yaitu periode Sembilan Bulan 2012,
sebagian besar pendapatan DYAN (66%) berasal dari jasa EO. Sementara jasa
pendukung event, penyedia venue dan hall, dan jasa perhotelan masing-masing
berkontribusi sebesar 16, 12, dan 6%. Dari sini tampak jelas bahwa bisnis EO
merupakan urat nadi perusahaan, bahkan kalaupun kita menganggap bahwa tiga
jenis bisnis lainnya yang juga dijalani perusahaan, tidak berkaitan dengan
bisnis EO.
Okay, lalu seperti apa sih bisnis EO di Indonesia?
Dari sudut pandang perusahaan penyedia jasa EO, yang dimaksud dengan
penyelenggaraan event adalah sarana bagi perusahaan atau institusi lainnya
untuk mengumpulkan orang-orang, untuk mempromosikan produk dan lain-lain. Ketika
diselenggarakan event pameran otomotif roda empat, misalnya, maka tujuannya
adalah untuk memperkenalkan mobil-mobil baru ke calon konsumen. Promosi dengan
cara ini dipercaya lebih efektif ketimbang promosi melalui iklan biasa, karena konsumen
bisa melihat atau mencoba produk yang ditawarkan secara langsung.
Sementara jenis event lainnya seperti meeting, conference, dan convention,
merupakan sarana untuk mengumpulkan orang-orang untuk berdiskusi tentang suatu
topik tertentu, atau untuk mendengarkan satu atau beberapa orang narasumber
yang dianggap kompeten dalam topik tersebut (seminar, atau konser jika
‘narasumber’nya adalah penyanyi atau grup band), selain juga untuk merayakan
hal tertentu (pesta pernikahan, dll). Dalam event seperti ini tidak ada produk
yang dijual, namun peserta acaranya biasanya dipungut biaya (termasuk kalau
anda kondangan ke pernikahan juga tetep harus bawa amplop kan?).
Berdasarkan ukuran event-nya, perusahaan EO bisa dibedakan menjadi dua,
yakni EO biasa, yang menyediakan layanan EO untuk pernikahan dll, dan EO besar,
yang menjadi panitia untuk event besar berskala nasional atau bahkan
internasional. Nah, DYAN bermain di penyelenggaraan event skala besar, entah
itu pameran, konferensi, konvensi, dan semacamnya, yang biasa digelar di
tempat-tempat yang besar, misalnya seperti di JCC (Jakarta Convention Center)
yang terkenal itu. Malah sekitar 65% penyelenggaraan event yang digelar di JCC,
EO-nya adalah DYAN.
Tidak seperti event-event kecil yang jumlahnya bisa ribuan, event-event
besar ini jumlahnya lebih terbatas dan bisa di-data. Berdasarkan data per Juli
2011 dari International Congress and
Convention Association (ICCA), terdapat tiga wilayah di Indonesia yang
cukup sering mengadakan convention dan pameran berskala internasional, yakni
Bali (Nusa Dua), Jakarta, dan Bandung, dengan total jumlah event sebanyak 49
kali pada tahun 2010. Jumlah tersebut masih lebih kecil jika dibanding beberapa
kota di negara tetangga, seperti Bangkok (55 kali), Kuala Lumpur (79), dan
Singapura (139).
Sedikitnya jumlah event besar yang diselenggarakan di Indonesia disebabkan
oleh minimnya fasilitas dan infrastruktur, seperti masih minimnya jumlah venue (tempat) untuk penyelenggaraan
event, dan infrastruktur disekitar venue tersebut (hotel, bandara, dll).
Termasuk di Jakarta sendiri pun hanya terdapat beberapa lokasi yang biasa digunakan untuk penyelenggaraan event
besar, seperti JCC, Jakarta International Expo (JIEX), Balai Kartini, Balai
Sudirman, dan SMESCO Hall. Untuk lokasi diluar Jakarta, cuma ada satu venue
yang benar-benar bagus, yakni Bali Nusa
Dua Convention Center (BNDCC). Kebetulan, BNDCC ini dimiliki dan dikelola oleh
DYAN.
Namun untungnya dalam waktu dekat ini (hingga tahun 2014 nanti), Indonesia
akan memiliki beberapa venue baru untuk penyelenggaraan event, yang terbesar
adalah Pusat Pameran dan Kongres Internasional Jakarta (JIECC) di Kawasan Alam
Sutera, Serpong. Termasuk DYAN sendiri, sebagian dana hasil dari IPO-nya akan
digunakan untuk melanjutkan pembangunan (memperluas) BNDCC, membangun Hotel
Gramedia Expo Surabaya, membangun Makassar Hotel and Convention Center, dan
membangun Convention Center di Bumi Serpong Damai.
Lalu apakah peningkatan jumlah venue tersebut bisa mendorong peningkatan
jumlah event? Bisa iya, tapi bisa juga tidak. Kalau kita perhatikan event-event
pameran di Indonesia, atau setidaknya di Jakarta, biasanya hanya memamerkan produk-produk untuk kalangan menengah
keatas. Makanya jenis pameran yang sering diadakan adalah adalah pameran
properti, pameran produk-produk investasi dan keuangan (asuransi, reksadana,
dll), pameran perhiasan, pameran lukisan dan barang-barang seni lainnya, hingga
pameran otomotif. Bahkan kalau ada pameran batik pun, biasanya harga batik-nya
mahal-mahal (pengalaman penulis pribadi nih), dan kalau Guns n Roses konser
disini, harga tiketnya mahal bukan kepalang. Sangat jarang, atau memang tidak
pernah ada sama sekali, event pameran yang menampilkan barang kebutuhan
sehari-hari, seperti pameran beras dan tepung terigu, pameran baju biasa (yang
bukan desain perancang terkenal), atau pameran obat sakit kepala yang harga per
tablet-nya lima ratus perak.
Karena itulah, bisnis atau pekerjaan EO khususnya EO pameran (exhibition) sejak dulu dikenal sebagai pekerjaan yang cool, karena ada kesan bahwa orang-orang EO bergaulnya
sama orang-orang kalangan menengah keatas. Penulis masih ingat waktu jaman kuliah dulu,
pekerjaan sebagai event organizer adalah salah satu pekerjaan yang paling
banyak diimpikan oleh anak-anak kampus, terutama dari Fakultas Komunikasi.
Namun dalam pandangan seorang investor, bisnis yang hanya menyasar konsumen
yang terbatas (dalam hal ini konsumen dari kalangan menengah keatas) seperti
bisnis EO ini, tentunya bukan bisnis yang ideal untuk investasi jangka panjang,
karena sangat rentan terhadap perubahan dalam perekonomian. Contoh simpel saja,
jika sewaktu-waktu IHSG jeblok seperti tahun 2008 lalu, beranikah para
perusahaan sekuritas dan reksadana menyelenggarakan pameran produk-produk
investasi? Jika harga bensin premium naik dan bunga kredit leasing mobil
dinaikkan, apakah perusahaan otomotif akan tetap optimis terhadap pasar dengan
menyelenggarakan pameran mobil-mobil terbaru?
Lalu bagaimana dengan EO untuk event meeting, konferensi, dan konvensi? Sama
saja. Kalau anda datang ke acara Konferensi Kadin, misalnya, maka anda akan
memperoleh kesan acara yang mewah, dengan makanan khas hotel bintang lima. Untuk
event-event kenegaraan, seperti misalnya Konferensi Asia Afrika yang terkenal
itu, sudah pasti acaranya akan mewah karena yang hadir adalah para kepala
negara. Dan event super-besar seperti itu tentunya tidak terlalu sering
diadakan bukan?
Tapi memang untuk event-event yang skalanya lebih kecil, katakanlah pameran
biasa, acara seminar, acara wisuda, pernikahan, job fair, konser musisi lokal, dan seterusnya, itu cukup sering
diselenggarakan, dan pengunjungnya berasal dari semua kalangan (tidak hanya kalangan
menengah keatas). Sayangnya tidak ada data terkait apakah DYAN juga menggarap
event-event kecil semacam ini atau tidak, dan kalau iya, seberapa besar
porsinya terhadap pendapatan perusahaan. Tapi kalau menilik jenis layanan EO
yang dipromosikan perusahaan di website-nya, yakni www.dyandra.com dan www.dyandramedia.com,
maka DYAN lebih banyak menjual layanan EO untuk event pameran dan promosi
produk-produk perusahaan, entah itu berskala lokal, nasional, maupun
internasional.
Jadi balik lagi ke pertanyaan diatas, apakah peningkatan jumlah venue bisa
mendorong peningkatan jumlah event? Jawabannya, hal yang lebih berpengaruh
terhadap jumlah event adalah kondisi ekonomi Indonesia, dan bukan dari jumlah
venue itu sendiri. Berdasarkan data internal perusahaan, jumlah event yang
diselenggarakan di Bali pada tahun 2008 turun 10% dibanding tahun 2007, dan
kembali turun 11% pada tahun 2009, karena efek dari krisis global. Kondisi baru
membaik pada tahun 2010 dan 2011, dimana jumlah event kembali meningkat
masing-masing 27 dan 20%. DYAN sendiri kemudian menyelenggarakan IPO dan berniat
untuk mengembangkan usaha dengan membangun venue-venue pameran di Indonesia,
karena adanya momentum kondisi perekonomian Indonesia yang cukup baik, yang
diprediksi (atau setidaknya menurut prediksi mereka sendiri) akan terus berlanjut
di masa yang akan datang.
Lalu bagaimana dengan bisnis perhotelan yang juga dimiliki oleh DYAN? Dari
dana hasil IPO-nya, sebagian juga memang akan digunakan untuk pengembangan dua
jaringan hotel milik perusahaan, yakni Hotel
Amaris dan Santika. Namun karena
bisnis perhotelan terakhir hanya menyumbang 6% dari pendapatan DYAN secara
keseluruhan, serta jumlah dana yang dipakai untuk pengembangan hotel juga cuma
13% dari dana perolehan IPO, maka tidak banyak yang bisa diceritakan.
Okay, sekarang kita ke kinerja perusahaan.
Pada Kuartal III 2012, DYAN mencatat laba bersih Rp36 milyar, yang kalau
disetahunkan menjadi Rp49 milyar. Dengan ekuitas sebesar Rp512 milyar, maka itu
berarti ROE-nya hanya 9.5%. Meski angka ini sekilas tampak kurang menarik,
namun itu bukan karena kecilnya laba, melainkan karena peningkatan modal yang
dilakukan Grup Kompas Gramedia terhadap perusahaan sebesar Rp300 milyar sejak
tahun 2011. Pada tahun 2010 lalu, DYAN mampu mencetak laba bersih Rp8 milyar,
ketika ekuitasnya tercatat hanya Rp20 milyar, dan itu berarti ROE-nya 34.5%.
Tapi memang pertanyaannya sekarang, apakah perusahaan dapat memanfaatkan
tambahan modal tersebut, termasuk tambahan modal dari IPO-nya barusan, untuk
menaikkan pendapatan serta laba?
Terkait pertumbuhan, laba DYAN pada tahun 2008 dan 2009 tercatat turun
signifikan karena krisis global, dan baru pulih lagi pada tahun 2010. Namun
yang menarik adalah catatan labanya pada tahun 2011. Pada periode Sembilan
Bulan 2011, DYAN mencatat laba bersih komprehensif Rp27 milyar. Namun di
periode tahun penuh 2011, laba tersebut justru turun menjadi Rp14 milyar. Dari
sini bisa disimpulkan bahwa pendapataan perusahaan tidak diperoleh secara
merata sepanjang tahun, melainkan bisa jadi dalam satu kuartal DYAN memperoleh
banyak orderan penyelenggaraan event, namun di kuartal berikutnya justru nggak
ada event sama sekali (no days without event? really?). Jadi dalam hal ini, saham DYAN mungkin bisa naik
signifikan jika sewaktu-waktu perusahaan mengumumkan bahwa mereka memperoleh
order penyelenggaraan event penting. Salah satu event besar yang akan
diselenggarakan dalam waktu dekat ini adalah event APEC 2013 di Nusa Dua, Bali.
Sekarang kita ke saham. Jumlah saham DYAN setelah IPO adalah 4.3 milyar
lembar. Dengan laba bersih disetahunkan Rp49 milyar, maka EPS-nya menjadi Rp11.3
per saham. Dengan harga saham 385, maka PER-nya 33.8 kali. Yap, memang cukup mahal ternyata, dan itu belum
mempertimbangkan faktor dilusi yang akan terjadi nanti karena DYAN akan menerbitkan saham dalam
rangka MESOP sebanyak 2.5% dari total jumlah saham setelah IPO. Namun jika kita
mempertimbangkan bahwa DYAN bisa secara signifikan meningkatkan laba bersihnya
ketika berbagai pengembangan usahanya mulai membuahkan hasil, termasuk hasil
dari pengurangan utangnya yang berujung pada pengurangan beban bunga (sebagian
dana IPO dipakai untuk bayar utang ke Bank CIMB Niaga), maka mungkin DYAN tidak
semahal itu. Disisi lain kita mungkin nggak bisa seoptimis itu juga, karena
seperti yang sudah disebut diatas, pengembangan usaha yang dilakukan perusahaan
bisa menjadi sia-sia jika kondisi ekonomi ternyata tidak mendukung.
Jadi, sahamnya? Ya kalau penulis sendiri sih nggak tertarik, kecuali jika
saham DYAN ini bisa dijual pada harga yang lebih murah, mungkin sekitar 270 –
300. Penulis setuju jika dikatakan bahwa sektor usaha DYAN ini cukup bagus dan
menarik, terutama karena ditopang oleh kondisi ekonomi yang kondusif, mungkin
sama menariknya dengan saham-saham properti dan konstruksi yang terus naik dua tahun terakhir
ini. Jadi masalahnya sekarang tinggal di harganya saja.
PT Dyandra Media
International, Tbk.
Rating Kinerja pada 9M12: A
Rating saham pada 385: BB
NB: Rekomendasi saham bulanan edisi April akan terbit tanggal 1 April 2013 mendatang.
Anda bisa memperolehnya disini.
Komentar
kurang lebih seperti itulah