Cara Menganalisis Manajemen Perusahaan
Apa saja kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah
perusahaan agar dapat menghasilkan kinerja yang maksimal? Jawaban atas
pertanyaan tersebut bisa macam-macam, tapi yang pasti salah satu diantaranya
adalah: Tim manajemen yang bagus dan dapat dipercaya. Sebagus apapun sebuah perusahaan, tapi
kalau perusahaan tersebut dikendalikan dan dikelola oleh orang-orang yang nggak
becus dan tidak bertanggung jawab, maka hasilnya pasti akan tetap jelek. Dalam kaitannya dengan investasi
di saham, maka hal ini menjadi penting untuk diperhatikan, mengingat kita
sebagai investor retail tidak memiliki kuasa untuk menunjuk orang-orang
tertentu untuk duduk di jajaran direksi dari perusahaan yang bersangkutan,
kecuali jika anda adalah investor besar yang mampu membeli saham sebuah perusahaan
hingga sebanyak 20% dari modal disetor (sehingga anda menjadi pemegang saham
utama).
Lalu apa saja kriteria dari manajemen yang bagus dan dapat dipercaya tersebut? Tentunya, kriteria tersebut bisa sangat banyak. Namun berdasarkan pengalaman penulis, kriteria-kriteria tersebut bisa dikelompokkan menjadi tiga bagian. Simpelnya, sebuah tim manajemen perusahaan bisa dikatakan bagus dan juga dapat dipercaya, jika mereka memenuhi tiga ‘work’ berikut:
- Work hard
- Work good
- Work fair.
1. Work Hard
Jika anda memiliki sebuah perusahaan dan anda
merekrut seorang pegawai, maka apa yang anda harapkan pertama kali dari si
calon pegawai tersebut? Sudah tentu, ia harus mampu bekerja keras untuk
kepentingan perusahaan. Nah, demikian pula ketika anda menjadi seorang investor,
atau dengan kata lain pemilik dari perusahaan yang anda beli sahamnya, anda
tentu akan mengharapkan bahwa manajemen dari perusahaan yang bersangkutan akan
bekerja keras untuk menghasilkan keuntungan dan laba yang sebesar-besarnya bagi
perusahaan, dan juga meningkatkan keuntungan tersebut dari waktu ke waktu
dengan cara melakukan pengembangan usaha
secara terus menerus (jadi tidak hanya menjalankan usaha yang sudah ada saja).
Tapi bagaimana cara untuk mengetahui bahwa
perusahaan yang sahamnya kita pilih memiliki tim manajemen yang senantiasa
bekerja keras? Dengan melihat rencana kerja dan pengembangan usaha mereka,
serta progress dari rencana tersebut (karena kadang-kadang sebuah tim manajemen
hanya jago dalam membuat rencana saja, tapi pelaksanaan dari rencana tersebut
malah nol besar). Lihatnya dimana? Bisa di laporan tahunan perusahaan alias Annual Report, atau yang biasa penulis
lakukan, dengan membaca materi public
expose. Di materi public expose tersebut perusahaan biasa mencantumkan
rencana kerja serta proyek-proyek pengembangan usaha yang sedang dijalankan,
serta target yang hendak dicapai (misalnya proyeknya akan selesai dan
beroperasi pada tahun 2015, dst). Selain itu bisa juga dengan membaca
pengumuman-pengumuman yang dirilis perusahaan terkait akuisisi, pendirian
pabrik, aksi korporasi, dll, untuk satu tujuan: Pengembangan usaha. Semua jenis
dokumen tersebut bisa diperoleh di website idx.co.id.
Terkait informasi yang dirilis perusahaan tentang
pengembangan usahanya, maka jika anda perhatikan akan ada dua jenis perusahaan,
yakni perusahaan yang rajin merilis pengumuman bahwa mereka sedang mengerjakan
proyek atau aksi korporasi tertentu, atau perusahaan yang diem-diem aja alias
jarang ngomong apapun. Untuk jenis perusahan yang rajin merilis pengumuman
tentang aksi korporasi, maka belum tentu
aksi korporasi yang mereka lakukan akan berdampak positif terhadap perusahaan,
sehingga anda harus membaca aksi korporasi yang bersangkutan secara teliti,
sebelum kemudian baru bisa menilai apakah aksi korporasi tersebut akan berpengaruh
signifikan untuk kemajuan perusahaan atau tidak. Karena kadang-kadang ketika sebuah
perusahaan mengumumkan aksi korporasi tertentu, tujuannya hanya untuk sekedar
menunjukkan bahwa mereka sedang ‘do something’ (tapi something yang nggak
penting), atau lebih buruk lagi, aksi korporasinya bukan untuk kepentingan
perusahaan itu sendiri (baca: para pemegang saham, termasuk kita), melainkan
hanya untuk kepentingan kelompok tertentu, biasanya pemegang saham mayoritas.
Sementara ketika sebuah perusahaan nggak ngomong
apapun mengenai rencana pengembangan usaha mereka, entah itu di annual report,
materi public expose, atau pengumuman, maka biasanya manajemen yang
bersangkutan memang nggak punya rencana pengembangan usaha apapun kecuali menjalankan
usaha dengan biasanya saja. Meski ini tentunya menggambarkan manajemen yang
‘working not too hard’, namun itu tidak selalu berarti buruk, selama manajemen ini masih
memenuhi dua kriteria lainnya yaitu work good dan work fair (akan dibahas
dibawah).
Satu lagi, anda harus hati-hati dan cermat dalam
mendefinisikan ‘work hard’ ini, karena itu berbeda dengan ‘talk hard’. Hati-hati dengan perusahaan yang rajin ngomong di
media bahwa mereka akan melakukan
ini dan itu, padahal aslinya mereka tidak melakukan apa-apa (catat bahwa ‘akan’
itu artinya proyeknya belum dikerjakan). Sumber info yang valid tentunya hanya
yang berasal dari perusahaannya sendiri yang dirilis melalui website IDX.co.id,
itupun dengan catatan anda tetap harus hati-hati dalam membacanya, atau anda mungkin
bisa salah persepsi.
Contoh perusahaan yang manajemennya menerapkan ‘work
hard’ ini, jika penulis perhatikan, adalah Bank
BJB (BJBR). Sejak perusahaan menunjuk direktur utama yang baru, yakni Mr.
Bien Subiantoro, bank ini menjadi cukup eksis dan rajin dalam melakukan
berbagai proyek pengembangan usaha, dan hasilnya kinerjanya pun mulai membaik
lagi setelah sempat jalan di tempat selama kurang lebih dua tahun. Perusahaan
lainnya yang manajemennya tampak bekerja keras adalah Garuda Indonesia (GIAA), namun sayangnya hingga saat ini hasilnya
belum kelihatan.
2. Work Good
Penulis pernah dinasehati oleh seorang teman, ‘Kerja
keras itu penting, tapi lebih penting lagi kerja
bener! Ente lihat, koruptor juga kerja keras, tapi kerjanya nggak bener,
ngerugiin rakyat, dan ujung-ujungnya dia sendiri malah dipenjara. Intinya, Ente
mau kerja keras kaya gimana juga tetep aja percuma kalo caranya salah.’
Nah, jadi yang dimaksud dengan ‘work good’ disini
adalah, manajemen yang baik adalah mereka yang mengelola perusahaan dengan
cara-cara yang baik, yang tidak
merugikan pihak-pihak tertentu. Manajemen yang baik adalah mereka yang
menghasilkan keuntungan bagi perusahaan tapi bukan dengan cara mengambil
keuntungan dari pihak lain, atau merugikan pihak lain.
Dalam kaitannya dengan investasi kita di saham, maka
manajemen yang ‘work good’ bisa dilihat jika perusahaan yang bersangkutan tidak
pernah atau jarang terlibat kasus atau masalah tertentu. Sementara manajemen
yang ‘work bad’ (kebalikan dari work good) bisa dilihat jika si perusahaan yang
bersangkutan pernah atau sering melakukan hal-hal berikut: 1. Terlibat kasus
hukum/tuntutan pailit/sengketa dengan pihak/perusahaan lain, 2. Menolak atau
menunda-nunda pembayaran hutang, 3. Melanggar peraturan pemerintah, 4. Tidak membayar
pajak, 5. Merusak lingkungan, melakukan transfer
pricing, money laundering, dan seterusnya. Untuk mengetahui bahwa sebuah
perusahaan pernah terkena masalah atau tidak, caranya gimana? Ya tinggal
googling aja, kalau ada yang gak beres pasti keluar beritanya. Penulis sendiri
selalu melakukan hal ini setiap kali menganalisis sebuah saham. Contoh perusahaan
yang manajemennya ‘work bad’ seperti ini, salah satunya Dayaindo Resources
(KARK), dimana perusahaannya sering sekali tersangkut masalah.
Mungkin ada pertanyaan, ketika perusahaan terlibat
kasus hukum tertentu dengan perusahaan lain, belum tentu si perusahaan yang
bersalah kan? Bisa saja yang salah adalah perusahaan lain tadi? Benar. Karena
itulah, kalau anda hendak mengetahui secara detil mengenai kasus-kasus hukum
tertentu yang mungkin dialami perusahaan yang anda beli sahamnya, maka anda
bisa membacanya di laporan keuangan, di bagian kontinjensi (bahasa Inggrisnya, contingencies). Setelah membaca
penjelasannya, maka barulah anda bisa menilai mengenai apakah perusahaan
bersalah atau tidak dalam kasus yang dimaksud (tapi sekali lagi, hati-hati
dalam membacanya karena tulisannya tentu memihak perusahaan yang bersangkutan).
Tapi jika tidak ada kontinjensi apa-apa, maka itu berarti perusahaannya tidak
terlibat kasus hukum apapun.
Untungnya, sejauh yang penulis amati, sebagian besar
perusahaan di BEI menerapkan ‘work good’ ini, dan hanya terdapat beberapa perusahaan
saja yang bermasalah dalam operasionalnya. Tapi untuk menemukan
perusahaan yang manajemennya ‘work fair’, maka itu baru agak sulit. Oke kita
langsung saja.
3. Work Fair
Penulis pernah diceritakan oleh seorang teman, sebut
saja namanya A, yang pernah bertemu dan mengobrol dengan seorang owner dari sebuah perusahaan di BEI, sebut saja namanya B. A
bertanya kepada B, ‘Bro, kenapa perusahaan elu, gue lihat laporan keuangannya
kok jelek banget? Rugi melulu? Padahal perusahaan-perusahaan lain di sektor
yang sama untung terus?’ Dan B menjawab, ‘Bisa saja kok gue bikin laporan
keuangan jadi bagus, labanya naik terus, dan sebagainya. Tapi kalau begitu apa
untungnya buat gue? Kalau harga sahamnya naik, yang untung siapa? Para pemegang
saham publik kan? Bukan gue, karena gue gak ada niat jual perusahaan ini. Malah
kalau laba perusahaan ditulisnya naik terus, yang ada gue bisa aja rugi, karena
nantinya para pemegang saham publik ribut minta dividen..’
Nah, meski anda mungkin berpikir bahwa B merupakan
tipikal pengusaha yang nggak bener setelah membaca cerita diatas, namun
tindakan B tersebut sebenarnya wajar, yaitu lebih memikirkan keuntungannya
sendiri ketimbang keuntungan orang lain yang bahkan tidak pernah ia temui. Ini
perusahaan saya, saya-lah yang susah payah mengelolanya, terus kenapa malah
orang lain yang memperoleh keuntungan? Saya ini pengusaha, bukan politisi yang kerjaannya
mengobral janji untuk mensejahterakan rakyat!
Namun, tindakan B diatas tentu tidak mencerminkan
manajemen yang ‘work fair’, karena manajemen yang fair adalah manajemen yang bekerja untuk kepentingan semua pemegang saham, bukan hanya pemegang saham
tertentu (biasanya pemegang saham mayoritas). Sayangnya, B tidak sendirian.
Kalau anda perhatikan grup-grup usaha di BEI, terutama yang besar-besar, cukup
banyak diantara mereka yang dalam mengelola perusahaan-perusahaannya tidak
mengakomodasi kepentingan investor publik, atau lebih parah lagi, mereka justru
menjadikan investor publik ini sebagai ‘komoditas’ untuk meraup keuntungan,
misalnya dengan cara menggoreng sahamnya.
Tapi perusahaan yang fair juga jumlahnya tidak
sedikit. Berikut adalah ciri-ciri dari perusahaan yang manajemennya menerapkan ‘work
fair’:
- Menyajikan laporan keuangan
dengan apa adanya, tanpa utak atik apalagi manipulasi
- Tidak
mengendalikan/menggoreng sahamnya, melainkan membiarkannya naik dan turun
sesuai mekanisme pasar
- Membayar dividen dalam
jumlah yang tidak terlalu sedikit (setidaknya 20 – 30% dari laba bersih) secara
rutin setiap tahun
- Tidak melakukan right issue,
mengambil utang bank dengan bunga mahal, dll, yang berpotensi merugikan pemegang
saham publik, entah itu karena dilusi saham atau menurunnya laba karena
besarnya biaya bunga hutang, dan seterusnya.
- Tidak melakukan aksi
korporasi yang aneh-aneh, financial
engineering, dan semacamnya, melainkan hanya melakukan aksi korporasi
yang bertujuan untuk menghasilkan laba yang sebesar-besarnya bagi
perusahaan.
Mungkin ada pertanyaan, bagaimana cara untuk mengetahui bahwa
sebuah perusahaan mungkin telah mengutak atik atau memanipulasi laporan
keuangannya? Jujur saja, untuk melakukan ini memang tidak mudah karena
membutuhkan ketelitian ekstra dalam membaca laporan keuangan. Namun kalau ada
tips terkait hal ini, maka berikut tipsnya: Semakin rumit dan semakin banyak
jenis account dalam laporan keuangan
sebuah perusahaan, maka semakin besar kecenderungan laporan keuangan tersebut
telah dimanipulasi, atau sengaja dibuat sedemikian rupa agar hasilnya tampak seperti
yang diinginkan oleh manajemen. Tidak percaya? Coba saja anda bandingkan
laporan keuangan Bumi Resources dengan Astra International, anda akan mengerti
bedanya.
Terus bagaimana cara kita mengetahui jika sebuah
perusahaan telah menggoreng sahamnya atau tidak? Sayangnya, tidak ada cara
untuk mengetahui hal ini, karena ketika sebuah saham telah bergerak secara
tidak wajar (naik atau turun secara mendadak dalam persentase yang besar, tanpa
penyebab yang jelas), maka belum tentu juga bahwa yang menggerakannya (bandarnya)
adalah perusahaan yang bersangkutan, melainkan bisa saja pihak lain. Tapi ada
satu tips terkait hal ini, yaitu sebaiknya anda menghindari saham dari
perusahaan yang: 1. Jumlah saham beredarnya kelewat banyak (puluhan milyar
lembar), sementara ukuran perusahaannya sendiri nggak terlalu besar (asetnya
kurang dari Rp5 trilyun) , dan 2. Kepemilikan publiknya kelewat besar, kadang
hingga diatas 50%, ini bisa
dilihat di laporan keuangannya. Berdasarkan pengamatan penulis, perusahaan yang
memenuhi salah satu dari dua ciri diatas, atau kedua-duanya, biasanya sahamnya
bergerak secara tidak wajar alias sering digoreng, dan kemungkinan yang
melakukannya adalah perusahaan/manajemennya sendiri.
Oke, I think that’s all. Terakhir, Mas Teguh,
bisakah anda tunjukkan satu saja perusahaan yang manajemennya memenuhi ketiga
kriteria ‘work’ diatas? Well, tentu bisa, jawabannya adalah Unilever Indonesia (UNVR). Check this
out:
- Work hard: Manajemen UNVR,
terutama induknya yakni Unilever BV, secara rutin mengembangkan dan meluncurkan
varian produk baru agar pasar tidak bosan, minimal kemasannya diganti.
Kalau anda perhatikan produk-produk Unilever seperti Pepsodent, Lifebuoy,
Shampoo Clear, Es Krim Wall’s, dll, setiap beberapa waktu sekali ada saja
varian barunya yang keluar, sehingga konsumen senantiasa merasa membeli
produk yang baru.
- Work good: Sejak dari
penulis masih belum terjun ke dunia pasar saham hingga sekarang, belum
pernah sekalipun penulis mendengar berita bahwa UNVR digugat pailit, menunggak
utang, atau tidak membayar pajak.
- Work fair: UNVR mungkin
merupakan perusahaan besar dengan laporan keuangan paling sederhana di
BEI, dan mereka juga rutin membagikan dividen dalam jumlah besar (100%
laba bersihnya) untuk semua pemegang sahamnya tanpa terkecuali. Setiap
kali perusahaan melakukan aksi korporasi tertentu, tujuannya semata untuk
pengembangan perusahaan, bukan yang lain (terakhir UNVR mengakuisisi merk ‘She’
dari Sara Lee Body Care).
Board of Directors, PT Unilever Indonesia |
Karena perusahaannya sendiri dikendalikan oleh orang-orang yang hebat dan dengan cara yang sangat-sangat profesional, maka tak heran kalau saham UNVR kemudian menjadi saham terbaik sekaligus termahal di jagat BEI. Maksud penulis, menurut anda akan bagaimana jadinya jika UNVR selama ini dipegang oleh Grup Bakrie, misalnya?
Untungnya, UNVR bukan satu-satunya perusahaan dengan
manajemen yang baik, melainkan masih banyak lagi yang lainnya, dan tugas kita
hanyalah menemukannya saja.
Komentar
Bagaimana dgn IGAR
kan juga sederhana pembukuannya dan sering membagikan deviden sejak diakuisisi oleh Champion pacifik
Pak THE Ghouh
dilihat hasilnya
Contohnya, saat ini banyak perusahaan konstruksi/properti rame2 bangun hotel budget. Mungkin terkesan itu bagian dari "work hard", tapi dengan menjamurnya supply hotel budget saya ragu apakah margin keuntungan bisa sesuai dengan yang diharapkan.
Saya lebih salut pada perusahaan yang tidak ikut latah ikut2an apapun trend yang sedang populer.
Kalau standart UNVR bisa diterapkan ke perusahaan lainnya di BEI ...wah bisa mahal semua sahamnya yah...
Terimakasih Mas....