Garda Tujuh Buana, Now What?
Setelah disuspensi cukup lama, saham Garda Tujuh
Buana (GTBO), kemarin Senin kembali aktif diperdagangkan, dan sukses ditutup
naik 9.6% ke posisi 4,275. Ini agak mengejutkan sebenarnya, karena biasanya
kalau sebuah saham disuspensi karena perusahaannya bermasalah (masalah GTBO ini
adalah terkait dengan laporan keuangannya yang ‘ajaib’), maka begitu
suspensinya dibuka dia akan turun, karena para pemegangnya akan langsung
berhamburan keluar. However, disisi lain memang ada juga beberapa opini yang
menyebutkan bahwa tidak ada yang keliru dengan LK GTBO, sehingga harganya pada
saat ini masih wajar, atau bahkan undervalue. Anyway, mari kita cek saham yang
pernah mengguncang dunia persilatan di tahun 2011 lalu ini, tentunya dari sisi
fundamental perusahaannya.
Logo Garda Tujuh Buana |
GTBO berdiri pada tahun 1996 di Jakarta, dengan
interest di bidang pertambangan batubara. Perusahaan memperoleh konsesi tambang
pertamanya pada tahun 2001, dengan lokasi tambang di Pulau Bunyu, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Masa pakai
konsesi tersebut akan berakhir pada tahun 2021, dan hingga saat ini menjadi
satu-satunya lokasi tambang batubara yang dimiliki oleh perusahaan. Meski sudah
dimiliki sejak tahun 2001, namun tambang Pulau Bunyu baru berproduksi pada
tahun 2010, sehingga pada tahun tersebut-lah GTBO baru memperoleh pendapatan
dan laba. Hingga akhir Kuartal III 2012, GTBO telah memproduksi total 3.5 juta
ton batubara, dan sisa cadangan batubara yang dimiliki perusahaan terbilang
masih sangat banyak, yakni 91.9 juta ton.
Terkait jenis batubara yang diproduksi perusahaan, GTBO
memproduksi batubara jenis low calorie dengan
kalori 4,800 – 5,100 kcal per kg, sehingga termasuk batubara berkualitas
rendah. Meski demikian, keunggulan batubara milik GTBO adalah lokasi tambangnya
yang dekat sekali dengan bibir pantai, sehingga batubara hasil galian bisa
langsung diangkut ke pelabuhan dan alhasil, biaya produksinya menjadi rendah
dan harga jualnya juga bisa ditekan. Sepanjang sembilan bulan pertama 2012,
GTBO menjual batubaranya pada harga Rp365,000 per ton, atau sekitar US$ 37 – 40 per ton, jauh lebih murah
dibanding harga batubara dengan kualitas sama milik perusahaan lain di tanah
air, yaitu sekitar US$ 55 – 60 per ton.
Dalam hal ini, fluktuasi harga batubara di pasar internasional juga otomatis
tidak begitu berpengaruh terhadap pendapatan GTBO, karena sejak awal harga
batubara mereka memang sudah cukup miring.
Nah, terkait harga jual yang murah itulah, yang
mungkin bisa dijadikan alasan kenapa Agrocom
Limited, sebuah perusahaan perdagangan komoditas asal United Arab Emirates
(UAE), berani membayar tunai untuk transaksi pembelian batubara dengan GTBO.
Jadi ceritanya, pada tanggal 14 Juni 2012, kedua perusahaan (GTBO dan Agrocom)
menandatangani perjanjian jual beli batubara sebanyak 10 juta ton dengan harga US$
25 per ton, dimana batubara tersebut akan dikirim secara bertahap ke markas
Agrocom di UAE hingga tahun 2015 (karena GTBO sendiri hanya mampu memproduksi
batubara sebanyak 2 – 2.5 juta ton per tahun). Sejatinya, harga batubara yang
dijual oleh GTBO ke Agrocom disepakati US$ 39 per ton. Namun karena biaya
produksi batubara yang sebesar US$ 14 per ton ditanggung oleh Agrocom, maka
Agrocom kemudian hanya membayar US$ 25 per ton batubara kepada GTBO (US$ 39
dikurangi 14 sama dengan 25).
Dengan demikian, GTBO akan memperoleh pendapatan
sebesar total US$ 250 juta atau sekitar Rp2.4
trilyun, yang akan diterima secara bertahap hingga tahun 2015 mendatang
(atau tepatnya 2014, karena Agrocom akan membayar dimuka untuk batubara yang
dikirim tahun 2015). Dan sebagian dari US$ 250 juta tersebut, tepatnya US$ 75
juta atau setara dengan Rp711 milyar,
sudah dibayarkan oleh Agrocom di hari ketika perjanjiannya ditanda tangani,
yaitu 14 Juni 2012. Oleh GTBO, uang sebesar Rp711 milyar tersebut dicatat sebagai
pendapatan. Dan inilah yang menyebabkan pendapatan dan laba bersih GTBO di
Kuartal II 2012 tiba-tiba saja melonjak tajam, hingga mencapai sepuluh kali
lipat lebih dibanding periode yang sama tahun 2011.
Dan hasilnya, saham GTBO yang sebelumnya memang
sudah naik sangat-sangat banyak dari 50-an hingga 4,000-an (yap, anda tidak
salah baca. GTBO akan dicatat dalam sejarah sebagai saham yang mencatat
kenaikan paling banyak di BEI, yaitu lebih dari 100 kali lipat, hanya dalam waktu nggak sampai dua tahun), ternyata
masih bisa naik lagi pun hingga sempat mencatat rekor 7,300, sebelum kemudian turun kembali dan sekarang bertengger di
4,000-an.
Terkait transaksi GTBO dengan Agrocom, hal ini
kemudian mengundang pertanyaan banyak pihak, termasuk tentunya BEI sebagai
otoritas bursa. Salah satu poin pertanyaan yang cukup penting adalah: Bagaimana
bisa uang sebesar Rp711 milyar yang diterima dari Agrocom tidak dicatat sebagai
uang muka penjualan, melainkan langsung dicatat sebagai pendapatan, mengingat
batubara yang dipesan oleh Agrocom baru akan dikirim kemudian? Dan pihak GTBO
kemudian menjawabnya, yang pada intinya menyatakan bahwa berdasarkan Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 23 tentang pengakuan pendapatan,
transaksi dengan Agrocom diatas memenuhi semua syarat untuk bisa diakui sebagai
pendapatan, dan bukannya uang muka penjualan. Penulis pribadi menganggap bahwa
argumen yang dikemukakan oleh GTBO cukup masuk akal, sehingga GTBO bisa
dikatakan memang benar telah memperoleh pendapatan Rp711 milyar dari Agrocom.
Agrocom sendiri membayar uang Rp711 milyar tersebut secara tunai.
Kemudian kedepannya, GTBO hampir bisa dipastikan
akan menerima pendapatan lagi dari pembayaran yang dilakukan oleh Agrocom,
dengan rincian sebagai berikut:
- Pembayaran tahap I senilai
US$ 75 juta, dibayar sebelum tanggal 30 Juni 2012 (sudah dibayar).
- Pembayaran tahap II senilai
US$ 87.5 juta, dibayar sebelum tanggal 30 Juni 2013, dan
- Pembayaran tahap III senilai
US$ 87.5 juta, dibayar sebelum tanggal 30 Juni 2014. Jadi totalnya: US$
250 juta.
Nah, dari sinilah GTBO tampak sangat menarik, karena
dengan asumsi bahwa Agrocom akan melakukan pembayaran tahap II-nya persis beberapa
hari sebelum tanggal 30 Juni 2013 (mungkin di tanggal 14 Juni 2013, atau sama
seperti tahun sebelumnya), maka pendapatan dan laba bersih GTBO di laporan
keuangan Kuartal II 2013 akan melejit
lagi, yaitu karena tambahan pendapatan sebesar US$ 87.5 juta atau sekitar Rp820
milyar. Disisi lain, data laba rugi GTBO di laporan keuangan Kuartal I 2013
akan tampak biasa saja, karena perusahaan belum memperoleh pendapatan US$ 87.5
juta tersebut.
Jadi, kesimpulannya? Yep, terlepas dari kenaikannya
yang sangat luar biasa, GTBO ini memang menarik, dan masih menarik. Beberapa
poin menarik lainnya dari GTBO ini diluar transaksinya dengan Agrocom adalah:
1. Perusahaannya gak punya utang sama sekali, kecuali utang usaha, itupun sangat
kecil, 2. Cadangan batubaranya masih sangat banyak, lebih dari 90 juta ton, dan
3. Seperti sudah disebut diatas, harga jual batubara yang murah, sehingga GTBO
seharusnya tidak kesulitan dalam menggaet pelanggan baru diluar Agrocom.
Terkait sahamnya, GTBO mungkin masih bisa naik lagi
hingga ke posisi 7,000-an dalam setahun kedepan. Timing yang tepat untuk masuk
mungkin ketika laporan keuangannya untuk periode Kuartal I 2013 nanti terbit,
dimana kalau berdasarkan LK-nya tersebut, valuasi GTBO pada harga saat ini
(4,000-an) akan tampak mahal, sehingga biasanya dia akan turun. Tapi kalau anda
sudah memegangnya sejak awal, maka boleh hold.
Nah, jika anda tertarik dengan GTBO ini, maka ada
beberapa hal yang patut anda cermati, dimana hal-hal tersebut berpotensi
menjadi risiko investasi anda di saham dengan fundamental yang
masih-sulit-untuk-dipercaya ini. Okay, here we go:
Pertama, jumlah cadangan batubara GTBO yang mencapai
95.4 juta ton (cadangan awal sebelum
mulai berproduksi), itu agak meragukan, karena luas konsesinya yang di Pulau
Bunyu cuma 710 hektar. Jika benar
cadangan GTBO sebanyak itu, maka itu berarti setiap hektar konsesi tambang
milik perusahaan mengandung cadangan batubara sebanyak 134 ribu ton.
Sebagai perbandingan, luas konsesi perusahaan
batubara terbesar di Indonesia yaitu Bumi Resources (BUMI), mencapai total 161 ribu hektar, dengan jumlah cadangan
awal 1.7 milyar ton, atau tepatnya 1,735
juta ton (untuk dua anak usahanya yaitu Kaltim Prima Coal/KPC dan Arutmin.
Anak usaha yang lainnya seperti Fajar Bumi Sakti, tidak dihitung karena belum
berproduksi). Dengan demikian, setiap hektar konsesi tambang batubara yang dimiliki
BUMI hanya mengandung batubara sebanyak 11
ribu ton, atau sangat sedikit sekali jika dibanding dengan cadangan
batubara milik GTBO. Padahal KPC sejak dulu sudah dikenal sebagai salah satu
perusahaan tambang batubara paling ‘berisi’ di dunia. Tapi ternyata cadangan
batubara per hektar yang dimiliki oleh KPC gak ada apa-apanya dibanding
cadangan batubara milik GTBO.
Satu lagi, catat bahwa cadangan batubara sebanyak
95.4 juta ton milik GTBO itu adalah cadangan
batubara terbukti, sehingga belum menyertakan cadangan batubara terduga. Jika cadangan terduga ikut dihitung,
maka GTBO totalnya memiliki cadangan batubara sebanyak 168 juta ton yang tersebar di lahan seluas 710 hektar saja. Luar
biasa sekaligus sulit dipercaya bukan?
Kedua, GTBO telah setidaknya dua kali merevisi
laporan keuangannya untuk periode Kuartal III 2012, terutama terkait
transaksinya dengan Agrocom. Setelah penulis cek, sebenarnya nggak ada koreksi
yang berarti sih, namun hal ini mau tidak mau akan menimbulkan persepsi
dikalangan investor tertentu, bahwa pihak manajemen mungkin telah memanipulasi
laporan keuangan perusahaan.
Dan ketiga, berdasarkan Peraturan Menteri ESDM
Nomor 17 tahun 2010, GTBO diwajibkan untuk menjual batubara dengan harga yang
mengikuti harga pasar internasional, termasuk membayar royalti kepada
Pemerintah berdasarkan harga batubara di pasar internasional tersebut (jumlah
royalti = tarif x harga x tonase). Artinya? GTBO sebenarnya tidak boleh dan
tidak bisa menjual batubara di harga US$ 39 per ton, melainkan harus mengikuti
harga internasional yakni US$ 55 – 60 per ton. Masalahnya itu tentu
bertentangan dengan kontrak yang sudah dibuat dengan Agrocom, dan akan
menyulitkan perusahaan untuk memperoleh pelanggan baru.
Okay, I think that’s all, selanjutnya seperti biasa,
keputusan ada di tangan anda. Kalau bagi penulis sendiri, meski dulu sempet
untung lumayan gede juga dari GTBO ini, namun untuk masuk di harga sekarang mendingan pake dana sedikit aja dulu deh. GTBO ini memang saham yang
benar-benar ajaib yang pernah ada di BEI, dan rasa-rasanya belum akan ada ‘The
Next GTBO’ lagi dalam beberapa tahun kedepan. But yeah, who knows??
Komentar
Saya hampir tidak terpikir untuk menghitung berapa banyak cadangan batubara per hektarnya dan dibandingkan dengan KPC.
Saya mau tanya tentang peraturan PSAK no 23 tersebut. Apa alasannya uang sebesar itu dapat diakui sebagai pendapatan?
Sejauh yang saya mengerti, pendapatan dapat diakui jika barang/service sudah dilaksanakan. Seharusnya GTBO mengakui uang yang diterima sebagai pendapatan yang belum dilaksanakan(unearned revenue).
Marcius Manalu