Dayaindo Resources 3
Penulis pertama kali membahas Dayaindo
Resources (KARK) pada tanggal 11 Desember 2010, atau lebih dari dua
tahun yang lalu. Ketika itu sahamnya sudah mati di 50 perak, dan ketika itu
pula pembahasannya sampai pada kesimpulan bahwa meski mungkin membutuhkan waktu
yang cukup lama, namun KARK masih berpeluang untuk menguat kembali, karena
kinerjanya pada saat itu (Kuartal III 2010) meningkat cukup signifikan
(selengkapnya baca disini). Namun meski sudah dua tahun berlalu, KARK
masih saja mati di gocapan. Beberapa kabar yang beredar juga semakin membuat
khawatir para pemegang saham, mulai dari kebangkrutan perusahaan, hingga yang
terbaru, direktur utamanya dikabarkan bunuh diri. KARK sendiri sejak kuartal I
2012 lalu belum merilis laporan keuangan terbarunya. Jadi sebenarnya apa yang
terjadi? Well, mungkin sebaiknya kita coba runut dulu sejarahnya.
Dayaindo Resources berdiri pada tahun 1994, dengan nama perusahaan ketika itu PT Karkayasa Profilia (KARK), dengan bidang usaha properti khususnya real estate. Perusahaan listing di BEI sejak tahun 2001. Pada tahun 2007, KARK diakuisisi oleh sebuah perusahaan investasi, PT Manhattan Investama, milik pengusaha muda bernama Sudiro Andi Wiguno, untuk dijadikan objek backdoor listing bagi perusahaan batubara yang akan diakuisisi kemudian. Status KARK pun berubah dari perusahaan properti menjadi batubara. Setahun kemudian, perusahaan menggelar right issue pertamanya senilai Rp300 milyar, yang ketika itu dananya dipakai untuk akuisisi sebuah perusahaan bernama PT Risna Karya, pemilik sebuah tambang batubara di Setui, Kalimantan Selatan. Karena right issue pertama ini aset perusahaan meningkat dari Rp150 milyar di tahun 2007, menjadi Rp520 milyar di tahun 2008. Akuisisi Risna dilakukan melalui anak usaha KARK, PT Daya Mandiri Resources Indonesia.
Namun lompatan sesungguhnya yang dilakukan
perusahaan baru terjadi dua tahun kemudian. Pada tahun 2010, KARK melepas
seluruh aset real estate yang tersisa untuk masuk sepenuhnya ke sektor tambang,
sekaligus menyelenggarakan right issue senilai hampir Rp2 trilyun, sementara jumlah saham KARK sendiri di market
meningkat berkali-kali lipat dari 1.7 milyar menjadi 19.3 milyar lembar, dan aset perusahaan juga melejit dari Rp776
milyar menjadi Rp3 trilyun. Berdasarkan
prospektus perusahaan, berikut ini adalah rencana penggunaan dana hasil right
issue tersebut:
- Rp350 milyar untuk akuisisi PT Anugerah Tompira Nikel (ATN), melalui anak usaha perusahaan, PT Dayakonsesi Energi. ATN adalah perusahaan tambang bijih nikel yang berlokasi di Banggai, Sulawesi Tengah.
- Rp600 milyar untuk modal kerja ATN
- Rp100 milyar untuk akuisisi PT Belang Belang Coal Terminal (BBCT), melalui anak usaha perusahaan, PT Dayainfrastruktur Sempurna. BBCT adalah perusahaan operator dan pengembang terminal/pelabuhan bongkar muat batubara yang berlokasi Mamuju, Sulawesi Barat.
- Rp511 milyar untuk modal kerja BBCT, dan
- Rp421 milyar untuk modal kerja perusahaan secara umum.
So, jika semuanya berjalan lancar, maka KARK akan
menjadi perusahaan holding bagi tiga anak usaha di bidang yang berbeda, yakni
PT Risna Karya (tambang batubara), PT Anugerah Tompira Nikel (tambang bijih nikel),
dan PT Belang Belang Coal Terminal (terminal/pelabuhan batubara). Dalam rencana
kerja yang dipaparkan perusahaan, KARK memang berniat untuk menjadi perusahaan
batubara dan nikel yang terintegrasi, dengan memiliki berbagai aset seperti
tambang bijih nikel, smelter nikel, tambang batubara, armada kapal tongkang, terminal
batubara, hingga pembangkit listrik (visinya mirip-mirip sama CNKO ya? Cuman bedanya KARK masuk juga
di nikel, gak cuma batubara). Total dana yang dibutuhkan untuk ekspansi
besar-besaran tersebut mencapai US$ 450 juta atau sekitar Rp4.4 trilyun, dan
itu salah satunya diperoleh dari right issue-nya diatas.
Masalahnya, dua perusahaan yang diambil alih oleh
KARK (ATN dan BBCT) merupakan perusahaan yang masih ‘kosong’ sama sekali sehingga
memerlukan pengembangan terlebih dahulu, sebelum kemudian baru bisa beroperasi
dan menghasilkan pendapatan dan laba. Jadi dalam hal ini terdapat risiko bahwa
pihak perusahaan (dalam hal ini KARK) mungkin gagal dalam upaya pengembangan
tersebut. Dan sayangnya, dalam kasus KARK sepertinya risiko tersebut benar-benar terjadi.
Contohnya ATN. Perusahaan tambang nikel ini baru
berproduksi pada tahun 2009 dengan volume produksi yang sangat kecil, yakni hanya
52 ribu ton bijih nikel, sehingga boleh dikatakan produksinya nol. Awalnya,
KARK berencana untuk mengoperasikan tambang bijih nikel tersebut secara penuh pada
tahun 2010, dengan target produksi 1.2 juta ton per tahun. Namun hingga tahun
penuh 2011, ATN tetap saja hanya mampu menghasilkan bijih nikel dalam jumlah
yang sangat kecil, dan hanya menyumbang pendapatan sebesar Rp9 milyar dari total pendapatan KARK di tahun 2011 yang sebesar
Rp939 milyar (pendapatan KARK masih tetap hampir sepenuhnya dari penjualan
batubara), sehingga bisa dikatakan bahwa investasi KARK di ATN masih belum
menghasilkan apa-apa hingga tahun 2011 (dan mungkin juga sampai sekarang).
Lalu bagaimana dengan BBCT? Well, ceritanya sama saja. BBCT awalnya
diproyeksikan untuk menjadi pelabuhan batubara untuk tempat transit bagi
kapal-kapal pengangkut batubara asal Kalimantan Timur dan Selatan, dengan
kapasitas bongkar muat 30 juta ton batubara per tahun. Ketika diakuisisi, BBCT
belum memiliki aset apapun kecuali lahan kosong seluas 25 hektar untuk dibangun
pelabuhan dan fasilitas pendukung lainnya, serta 40 hektar lahan lainnya yang
masih dalam tahap pembebasan. Pelabuhan ini sejatinya dijadwalkan akan mulai
beroperasi pada Kuartal II 2012, namun sampai sekarang belum ada kabar apapun.
Disisi lain, duit hasil right issue sebesar sekitar
Rp1 trilyun yang sejatinya akan dipakai untuk mengembangkan ATN dan BBCT,
hingga akhir tahun 2011 masih mengendap disebuah perusahaan investasi yang
nggak jelas, Culford Investment, dan
bukannya dipakai untuk mulai bikin pelabuhan, dsb. Menariknya, manajemen KARK
juga sempat satu atau dua kali mengkoreksi laporan keuangannya terkait
penempatan dana di Culford ini, sehingga ini tentu saja menimbulkan kecurigaan
investor. Penulis sempet denger cerita dari temen yang ikut RUPS KARK ini, dan
menurutnya itu adalah RUPS paling seru yang pernah ia hadiri, karena hampir
semua pemegang saham yang hadir marah-marah dan berteriak kepada dewan direksi
dan komisaris, ketika mereka tidak bisa menjelaskan perihal dana yang
ditempatkan di Culford ini. Hey, 1 trilyun itu nggak sedikit bung!
RUPS KARK tersebut diselenggarakan pada tanggal 28
Juni 2012, di Jakarta. Hanya selang tiga minggu kemudian, di Koran Kontan
keluar berita bahwa KARK digugat pailit oleh sebuah perusahaan asal Swiss, SUEK AG, yang kemudian dibenarkan oleh
pihak perusahaan. Jadi ceritanya, anak usaha KARK di bidang tambang batubara yaitu
PT Risna Karya, menandatangani perjanjian jual beli batubara dengan SUEK pada bulan
Desember 2009. Namun, pihak Risna
kemudian tidak mengirim batubara yang dipesan oleh SUEK, karena alasan
terdapat gangguan yang menyebabkan perusahaan tidak dapat melakukan pengiriman
batubara tersebut (namun tidak dijelaskan, gangguan seperti apa yang dimaksud).
Merasa dirugikan, SUEK kemudian menggugat Risna dan juga KARK ke Pengadilan
Arbitrase Internasional di London, Inggris, dan pada November 2010, Pengadilan
mengabulkan gugatan SUEK dan memerintahkan KARK untuk membayar ganti rugi
sebesar US$ 1.1 juta atau sekitar Rp10 milyar kepada SUEK, serta biaya-biaya lainnya.
Seperti sudah diduga sebelumnya, KARK tentu saja menolak
membayar ganti rugi tersebut, dan membawa kasus ini ke Pengadilan Jakarta Pusat,
dan hingga kini kasusnya masih belum jelas penyelesaiannya. Update terakhir, Pengadilan
Jakarta Pusat menolak permohonan pailit yang diajukan SUEK. Tapi tentu, pihak
SUEK tidak akan menerimanya begitu saja. Kalau bagi penulis sendiri, jujur saja,
tindakan yang dilakukan KARK ini justru menjatuhkan diri mereka sendiri. Apapun
alasannya, kasus dengan SUEK diatas jelas-jelas mereka sendiri yang mulai. Tapi
bukannya minta maaf, bayar ganti rugi dan kemudian berdamai, eh mereka malah
ngajak berantem.. Padahal apa susahnya sih bayar ganti rugi sebesar Rp10 milyar perak? Toh itu nggak seberapa dibanding omzet penjualan perusahaan setiap tahunnya, yang mencapai Rp1 trilyun.
Belum selesai kasus SUEK, pada akhir tahun 2012
kemarin, KARK sekali lagi tersangkut kasus hukum, kali ini dengan Bank BII (BNII), dimana salah satu anak
usaha KARK, PT Daya Mandiri Resources Indonesia (DMRI, induk dari Risna), tidak
memenuhi kewajibannya untuk membayar utang kepada BNII yang jatuh tempo pada
Oktober 2012. Dan sekali lagi, tidak ada penjelasan dari pihak manajemen KARK,
soal kenapa mereka tidak membayar utang tersebut.
Dan jika untuk unit usahanya yang di tambang batubara
saja sudah penuh dengan masalah, lalu bagaimana mungkin KARK bisa fokus untuk mengembangkan
bisnis tambang nikel dan terminal batubara? Sepertinya sejak awal perusahaan ini sudah bermasalah dalam cara dan etika bisnisnya.
Karena itulah, mengingat perusahaannya sendiri sedang
terbelit banyak masalah, maka tidak heran ketika tersiar kabar bahwa direktur
utama KARK, Sudiro Andi Wiguno, telah
tewas gantung diri dirumahnya di Tangerang Selatan, Banten, banyak yang menduga
bahwa meninggalnya almarhum mungkin bukan karena bunuh diri. Pihak perusahaan
sendiri belum memberikan konfirmasi apapun terkait berpulangnya pimpinan
sekaligus ultimate shareholder dari seluruh unit bisnis KARK ini.
Sudiro Andi Wiguno, 1978 - 2013 |
Almarhum Sudiro sendiri memiliki latar belakang yang
sangat menarik. Beliau bukan anak orang kaya, bukan lulusan universitas di Amerika
atau Inggris, dan tidak pernah bekerja sebagai investment banker untuk bank investasi global seperti JP
Morgan atau Goldman Sachs. Namun pada tahun 2007, ketika usianya baru menginjak
29 tahun, ia sudah menjadi pemilik sekaligus pimpinan sebuah perusahaan
batubara kecil bernama Dayaindo Resources, yang kemudian berusaha ia bawa untuk
menjadi perusahaan raksasa namun gagal, dan ironisnya itu berakhir dengan
kematiannya. Almarhum tercatat sebagai Wakil Bendahara Umum HIPMI, alias
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia. Beliau bergabung dengan HIPMI sejak tahun
2011.
NB: Buletin Bulanan edisi Februari 2013 akan terbit hari Jumat, tanggal 1 Februari mendatang. Anda bisa memperolehnya disini.
NB: Buletin Bulanan edisi Februari 2013 akan terbit hari Jumat, tanggal 1 Februari mendatang. Anda bisa memperolehnya disini.
Komentar
Menurut analisa saya, pada saat right issue KARK tahun 2010 kemarin, penjamin emisinya bukan Chungrim Co (perusahaan yg tdk jelas. Jangan2 fiktif). Penjamin emisinya pihak KARK sendiri ( Manhattan Investama/Win Success Cs.).
Ternyata skenarionya meleset. Banyak Investor retail yg tidak nebus Right Issue tersebut. Jadinya pihak KARK sendiri (sebagai penjamin emisi tentunya) WAJIB menebus right issue. Jumlahnya cukup besar (1,8 Trilliun). Sementara saat itu aset KARK cuma sekitar 300-an Milyard.
Darimana uang untuk right issue tersebut?
Nah di sinilah lihainya pihak KARK. Mereka melaporkan ke media dan pihak bursa
bahwa Right Issue tersebut sukses (padahal kenyataannya tidak).
Jadi cuma dibuat di pembukuan/laporan keuangan seolah2 modal/jumlah saham yg beredar bertambah.
ITULAH sebabnya mengapa pasca right issue, jumlah saham KARK yang dilepas gila2an jumlahnya. Diguyur habis dari level 100-an jatuh terus hingga ke level 50.
Jadi pihak KARK melepas jumlah saham secara besar2an ke pasar. Di harga berapa saja, asalkan laku dan jadi uang.
Sehingga pastilah uang yg terkumpul paling ratusan Milyard saja. Masih jauh dari 1,8Trilliun. So di sinilah hebatnya pihak KARK ini (lebih tepatnya Sudiro Cs).
Dibuatlah post penempatan dana hasil right issue ke Culford (perusahaan fiktif). Jadi semuanya ini rekayasa. Dibuat seolah2 uangnya ada, padahal tidak ada.
Disinilah kelemahan bursa kita. Mestinya pihak BEI juga mesti memastikan ke para emiten yg melakukan right issue/IPO, apakah uangnya benar2 ada atau tidak? Kalau ada ditempatkan ke mana? Dan apa alasan dana tersebut ditempatkan di situ?
Silahkan saudara putuskan sendiri masuk akal atau tidak....
Bagi teman2 KARKERS yg masih pegang saham KARK,
JUALLAH SECEPATNYA SAHAM KARK ANDA DI PASAR NEGO.
JUALLAH SELAGI MASIH ADA KESEMPATAN.
SEBELUM KARK DIUMUMKAN PAILIT.
SEKALI LAGI KEPUTUSAN DI TANGAN MASING2.
Anda boleh setuju boleh tidak setuju. I don't care and don't want to know.
Saya pribadi sebagai ex-Karkers juga sudah cut Loss KARK. Rugi sekitar 65%. Pada saat harga di pasar nego masih rp.20.
Jadikan ini sebagai pelajaran buat Anda. Jangan percaya 100% dengan laporan keuangan emiten.
Good luck....
Jadi secara kertas semua pasti bagus, tapi begitu implementasi operasional semua menjadi tersendat krn target yg disasar bukan perusahaan yg tumbuh dg normal tetapi bagaimana mencari utang dari berbagai instrumen keuangan.
Yg menderita nanti adalah investor publik krn dlm posisi minoritas, tdk mengerti bisnis yg dikerjakan emitennya dan selalu terlambat dlm menerima info yg seaungguhnya.
berita kemajuan misi dan visi perusahaan kedepannya hanya cita cita yg di gantung di langit,
saya punya saham ini dibuat jadi goblok ...ayo siapa yg berani jadi dirut Kark ?