Provident Agro & Outlook Sektor Sawit
Sektor perkebunan kelapa sawit mengalami
masa jayanya pada awal tahun 2011 lalu, dimana ketika itu rata-rata ROE di sektor
ini mencapai lebih dari 25%. Namun terhitung sejak awal tahun 2012 hingga
sekarang, hampir seluruh emiten sawit di BEI mengalami kemunduran kinerja,
terutama dilihat dari laba bersihnya yang turun. Penyebabnya? Penurunan harga crude
palm oil atau CPO, yang hingga kini belum rebound kembali. Harga CPO di Bursa
Malaysia sempat hampir mencapai rekor RM4,000 per ton pada tahun 2011 lalu,
tapi sekarang, terakhir tercatat RM2,750 per ton. Di Indonesia sendiri,
berdasarkan data dari KPB PTPN, harga CPO pada lelang hari ini tercatat Rp7,375
per kg, cukup jauh dibawah rata-rata harga tahun 2011 yang sempat diatas
Rp10,000 per kg.
Berikut adalah rangkuman kinerja
emiten-emiten sawit di First Half 2012, angka dalam persentase.
Company
|
ROA
|
ROE
|
Operating
Profit Growth
|
Net
Profit Growth
|
Astra
Agro Lestari
|
16.3
|
22.5
|
(21.3)
|
(30.0)
|
Salim
Ivomas Pratama
|
6.8
|
11.4
|
(16.1)
|
(28.1)
|
PP London
|
18.5
|
22.0
|
(29.7)
|
(27.9)
|
BW
Plantation
|
7.2
|
20.0
|
(9.0)
|
(9.8)
|
Gozco
Plantations
|
3.2
|
6.1
|
(48.4)
|
(45.6)
|
Tunas
Baru Lampung
|
8.5
|
20.6
|
(42.0)
|
(41.2)
|
Sampoerna
Agro
|
8.5
|
12.4
|
(53.4)
|
(57.3)
|
SMART
|
13.8
|
26.7
|
17.6
|
(1.4)
|
Average
|
10.9
|
18.2
|
(16.9)
|
(25.4)
|
Catatan:
1. Dua emiten yakni Bakrie Sumatera
Plantations (UNSP) dan Jaya Agra Wattie (JAWA), hingga ketika analisis ini
ditulis belum merilis LK-nya.
2. Data diurutkan berdasarkan ukuran aset
perusahaan, dari yang terbesar sampai yang terkecil.
3. Angka ‘average’ mungkin tidak akurat,
mengingat PP London Sumatra (LSIP) berstatus sebagai anak usaha dari Salim
Ivomas Pratama (SIMP), sehingga seharusnya LSIP tidak ikut dihitung. Namun
untuk tujuan memperoleh angka rata-rata untuk sektor perkebunan secara
keseluruhan, maka LSIP tetap dihitung.
Perhatikan, dari data diatas, tampak bahwa
seluruh emiten sawit mengalami penurunan laba bersih rata-rata 25.4%. Namun
jika dilihat dari ROA dan ROE-nya yang masing-masing tercatat 10.9 dan 18.2%,
maka sektor sawit terbilang masih merupakan sektor yang menguntungkan. Jika
mempertimbangkan bahwa harga CPO seharusnya sudah tidak bisa turun lebih rendah
lagi, maka kedepannya kinerja para emiten sawit diatas bisa kembali pulih,
minimal kembali mencatatkan kenaikan laba, karena volume produksi dan penjualan
CPO rata-rata tetap meningkat. Kalau kita pake data milik Astra Agro Lestari
(AALI), perusahaan sawit milik Grup Astra tersebut mencatat volume penjualan
CPO sebesar 644 ribu ton pada First Half 2012, naik 13.7% dibanding periode
yang sama tahun 2011. Secara keseluruhan menurut manajemen AALI, volume
produksi CPO Indonesia di tahun 2012 akan tumbuh 6.2% dibanding tahun 2011.
Btw, tadi dikatakan bahwa harga CPO
seharusnya sudah tidak bisa turun lebih rendah lagi? Taunya dari mana? Ya
simpel saja, CPO itu kan bahan baku utama untuk pembuatan salah satu kebutuhan
pokok masyarakat di Indonesia, dan juga masyarakat di seluruh dunia, yaitu minyak goreng, sehingga permintaannya
terus meningkat setiap tahun seiring bertambahnya jumlah penduduk, dan itu
berimbas pada harganya yang tidak mungkin turun lagi setelah mencapai batas
tertentu. Memang, terdapat beberapa substitusi/pengganti CPO untuk membuat
minyak goreng, seperti minyak jagung, minyak kedelai, minyak kelapa, dan minyak
biji bunga matahari, dan keberadaan substitusi ini berpotensi menurunkan
permintaan akan CPO. Namun penulis kira argumen substitusi tersebut lemah,
karena diantara semua jenis minyak nabati, CPO-lah yang paling ekonomis (anda
bisa lihat sendiri di supermarket, bandingkan harga minyak goreng biasa dengan
minyak goreng kelapa). Dan saat ini, harga minyak goreng di pasar tradisional
adalah sekitar Rp12,000 per liter, turun dari sebelumnya Rp14,000 per liter.
Nah, apakah menurut anda harga minyak goreng bisa diturunkan lagi menjadi cuma
Rp9,000 per liter misalnya? Jika itu bisa membuat harga gorengan ikut turun
menjadi seribu tiga, penulis sih seneng-seneng aja, tapi ya nggak mungkin lah.
Kemungkinan, harga CPO pada saat ini sedang
menjadi korban spekulasi saja, karena CPO memang diperdagangkan di pasar
derivatif. Saat ini para trader komoditas di seluruh dunia sedang mengalihkan
portofolionya ke kedelai dan jagung, sehingga harga kedua komoditas tersebut
naik, sementara imbasnya CPO turun. Kita tidak tahu kapan harga CPO akan naik
lagi, tapi yang jelas, kecuali terjadi peristiwa yang luar biasa, harga CPO
pada saat ini penulis kira sudah cukup rendah. Harga tandan buah sawit di
kalangan petani tradisional sudah mentok di Rp650 per kilo, yang jika turun
lebih rendah lagi dari itu, maka kata pak tani-nya, mendingan gak usah nanem
sawit lagi.
Lalu bagaimana dengan outlook sawit
kedepannya? Dalam jangka waktu empat tahun terakhir, yakni dari tahun 2008
hingga 2011, baik volume produksi, konsumsi domestik, maupun ekspor CPO
Indonesia, semuanya terus meningkat. Demikian pula pada tahun 2012 ini, data
sementara juga menunjukkan bahwa produksi, konsumsi domestik, dan ekspor tetap
meningkat dibanding tahun 2011. Selengkapnya bisa dilihat di tabel berikut:
Year
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012E
|
Production
|
19.4
|
21.0
|
22.1
|
24.1
|
25.6
|
Sales
|
19.1
|
21.8
|
21.9
|
23.4
|
25.2
|
Domestic
|
4.4
|
4.8
|
5.4
|
6.3
|
7.1
|
Export
|
14.6
|
16.9
|
16.5
|
17.1
|
18.2
|
Catatan: Angka dalam jutaan ton. Data
untuk tahun 2012 adalah estimasi berdasarkan data hingga First Half
Hanya memang, seperti yang bisa anda lihat
diatas, setiap tahunnya volume produksi nyaris selalu lebih tinggi dibanding
volume total penjualan. Termasuk untuk tahun 2012 ini, volume penjualan juga
diperkirakan hanya akan mencapai 25.2 juta ton, lebih rendah dari produksi 25.6
juta ton. So, apakah hal ini yang kemudian dijadikan pembenaran atas turunnya
harga CPO? Bisa jadi, dan mungkin ini pula yang menyebabkan beberapa perusahaan
menekan volume produksi CPO-nya. Kalau kita pake data terbaru dari AALI (karena
hanya AALI saja yang merilis data produksinya secara bulanan), sepanjang
Januari - Agustus 2012, perusahaan masih mencatat kenaikan volume produksi CPO
sebesar 9.9%, namun angka tersebut lebih rendah dibanding kenaikan volume penjualan sebesar 10.7%. Sementara terkait porsi penjualan untuk domestik dan ekspor, volume penjualan domestik tumbuh 14.5%, namun volume penjualan ekspor turun drastis hingga 64.8%. Sepertinya
AALI memilih untuk lebih banyak menjual CPO-nya ke pasar domestik, karena
harganya relatif lebih mudah dikendalikan ketimbang kalau harus ekspor. Btw,
hal ini sekaligus menunjukkan bahwa meski permintaan CPO dari Tiongkok, India,
dll mungkin memang menurun, namun permintaan CPO dari pasar domestik tetap
tinggi.
Kalau ada masalah yang perlu ditanggapi
secara serius terkait prospek sawit, itu bukan soal penurunan harga CPO,
melainkan masalah lingkungan, dimana perusahaan-perusahaan sawit tentunya tidak
bisa secara terus menerus membabat hutan untuk kemudian dijadikan kebon sawit.
Sebetulnya sejak Mei 2011 lalu, Pemerintah telah menetapkan moratorium
(pemberhentian sementara) kegiatan pembukaan lahan sawit selama dua tahun
kedepan, alias hingga Mei 2013. Masalahnya, ada kemungkinan moratorium tersebut
bakal diperpanjang, mengingat banyaknya kasus kebakaran hutan akhir-akhir ini,
itu salah satunya adalah karena aktivitas perusahaan sawit (jangan salahkan
kemarau ya, itu sih sama saja seperti Foke yang menyalahkan hujan sebagai
penyebab banjir di Jakarta).
Provident Agro (kodenya belum ditentukan,
tapi kita sebut saja PGRO) adalah perusahaan sawit yang dimiliki secara
fifty-fifty oleh Grup Provident dan Grup Saratoga. Saratoga, seperti yang anda
ketahui, adalah pemilik dari Adaro Energy (ADRO) dan juga Tower Bersama Infrastructure
(TBIG). Nah, PGRO ini merupakan investasi mereka di bidang sawit. Sementara
Provident adalah sebuah fund yang
didirikan oleh tiga mantan investment
banker jebolan Citigroup, dan PGRO adalah salah satu portofolio investasi
mereka. Terkait partnership-nya
dengan Saratoga, Provident juga merupakan salah satu pemegang saham utama di
TBIG.
Mungkin karena pemiliknya sama, cara kerja
PGRO ini juga mirip dengan TBIG, yakni didirikan, kemudian dijadikan sebagai
induk dari beberapa perusahaan atau perkebunan kelapa sawit yang diakuisisi
kemudian. Pada tahun 2007, atau setahun setelah perusahaan didirikan tahun
2006, PGRO mencatat aset Rp283 milyar, dimana Rp211 milyar diantaranya berasal
dari pinjaman bank. Dan saat ini yakni hingga Kuartal I 2012, PGRO mencatat
aset Rp1.8 trilyun, dan menjadi induk dari setidaknya 11 perusahaan perkebunan
kelapa sawit yang tersebar di Sumatera dan Kalimantan.
Pada Kuartal I 2012, PGRO mencatat
pendapatan Rp107 milyar, naik 82.4% dibanding periode yang sama tahun 2011,
yang terutama disebabkan karena tambahan pendapatan dari akuisisi perkebunan
kelapa sawit. Namun meski pendapatannya naik, PGRO justru mencatat rugi bersih Rp77 milyar. Penyebabnya?
Karena dua jenis beban non operasional yang besarannya cukup signifikan, yakni
beban biaya hukum, dan beban keuangan. Saat ini, PGRO sedang menghadapi
sengketa hukum atas sekian hektar lahan di salah satu perkebunannya di
Kabupaten Agam, Provinsi Aceh, dan itu menimbulkan biaya setidaknya Rp55
milyar. Sementara untuk beban keuangan, PGRO melakukan investasi pada instrumen
derivatif valuta asing, dan pada Kuartal I 2012, investasi tersebut mengalami
penurunan nilai yang kemudian dicatat sebagai beban, sebesar Rp23 milyar.
Soal beban karena masalah hukum, dengan
mengasumsikan bahwa masalahnya akan segera selesai, maka beban tersebut
kedepannya tidak akan ada lagi. Tapi bagaimana dengan beban karena derivatif?
Mengingat bahwa para pemilik Grup Provident adalah mantan investment banker,
maka investasi derivatif seperti itu terbilang merupakan hal yang biasa
dilakukan. Masalahnya, hal itu bisa mem-bias-kan data laba bersih perusahaan
yang sesungguhnya, jadi mirip-mirip sama Bumi Resources lah. So, dalam hal ini,
ada kemungkinan kinerja PGRO kedepannya akan dengan mudah diutak atik.
Menariknya, meski laba bersihnya minus
Rp77 milyar alias rugi, namun laba bersih komprehensif PGRO di Kuartal I 2012
tercatat Rp69 milyar, yang disebabkan oleh surplus
revaluasi sebesar Rp147 milyar. Lalu, di neracanya, PGRO mencatat ekuitas
Rp739 milyar, atau cukup besar, sehingga DER-nya terbilang masih wajar di angka
2.4 kali. Namun ekuitas yang cukup besar tersebut terdiri dari surplus
revaluasi sebesar Rp633 milyar. Tanpa surplus revaluasi tersebut, ekuitas PGRO
seharusnya hanya Rp105 milyar, karena perusahaannya sendiri hanya mencatat
modal disetor Rp142 milyar, dan saldo laba minus alias defisit sebesar Rp37
milyar.
Btw, berikut adalah rangkuman kinerja PGRO
dalam lima tahun terakhir, perhatikan terutama perbandingan antara tahun 2011 dan 2010:
Year
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012*)
|
Asset
|
283
|
569
|
726
|
894
|
1,614
|
1,798
|
Equity
|
34
|
66
|
120
|
155
|
669
|
739
|
Earnings
|
(1)
|
(47)
|
(12)
|
13
|
40
|
(37)
|
Revenue
|
136
|
182
|
169
|
205
|
318
|
107
|
Net
Profit
|
(0)
|
(46)
|
35
|
25
|
27
|
(77)
|
Comprehensive
Net Profit
|
(0)
|
(46)
|
35
|
25
|
514
|
69
|
Catatan: Angka dalam milyar Rupiah, angka
tahun 2012 adalah untuk Kuartal I.
So, jika dilihat dari financial
engineering-nya, PGRO ini bisa disebut sebagai ‘The Next UNSP’, dan itu praktis
membuatnya menjadi tidak bisa dijadikan pilihan investasi, tak peduli secerah
apapun prospeknya (misalnya karena perusahaan akan akuisisi lagi, dll). Katakanlah
mungkin laporan keuangannya yang berantakan tersebut adalah karena perusahaan
masih fokus pada kegiatan leverage
dan pengembangan kepemilikan aset, sehingga kedepannya jika semuanya sudah
beres, maka perusahaan kemudian bisa fokus pada kegiatan operasional kebon
sawit, dan laporan keuangannya pun akan menjadi bagus. Akan tetapi kalau
berdasarkan pengamatan penulis selama ini, jarang sekali terdapat kelompok usaha
yang sebelumnya terbiasa dengan leverage, kemudian kesananya menjadi pure
operasional. Biasanya kalau udah sekali ngutang, kedepannya ya terus saja
ngutang lagi dan lagi.
Terkait prospek, dalam prospektusnya PGRO
menekankan bahwa permintaan CPO kedepannya akan kembali meningkat signifikan
seiring dengan berkembangnya penggunaan CPO sebagai bahan baku pembuatan biodiesel (kalau di Indonesia, seperti
biosolar yang ada di pom bensin itu lho). Sayangnya penggunaan biodiesel di
Indonesia masih belum berkembang pesat, dan PGRO lebih menunjuk kebijakan
energi yang saat ini diberlakukan di Amerika Latin dan Eropa sana sebagai
pemicu dari peningkatan permintaan biodiesel, padahal PGRO sama sekali tidak
mengekspor CPO-nya (ini yang bikin prospektusnya siapa sih?). Tapi memang,
manajemen juga mengatakan bahwa mereka berkeyakinan bahwa tingkat konsumsi CPO
di pasar domestik akan terus meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk,
dan kalau soal ini sih penulis setuju, namun itu tetap saja tidak membuat PGRO
menjadi menarik. Masih lebih bagusan AALI atau LSIP kemana-mana.
Kesimpulannya, tanpa perlu lagi melihat
valuasi sahamnya, PGRO ini cenderung hanya bisa dipakai untuk berspekulasi, dan
tentu saja penulis tidak merekomendasikannya. Jika anda tertarik untuk masuk ke
sektor sawit, maka masih banyak saham lain yang secara fundamental jauh lebih
bagus.
Namun, terlepas dari fundamentalnya dan
segala macem, PGRO bukan tidak mungkin pula akan sukses di listing perdananya,
atau minimal harganya akan ditahan bandar agar tidak turun. Kita lihat
perusahaan lainnya yang juga dipegang oleh pemilik yang sama, TBIG, valuasi
sahamnya juga muahal setengah mati, namun itu tidak menahannya untuk terus saja
naik dalam setahun terakhir. Setahun lalu, TBIG masih berada di posisi 1,820,
dan hari ini sudah mantap di posisi 4,400, atau sudah naik 142%.
Masalahnya, bukan tidak mungkin pula saham
TBIG memang sengaja dinaikkan agar banyak investor yang berasumsi bahwa saham
PROG akan juga dinaikkan, sehingga akhirnya IPO-nya tetap laris meski
perusahaannya sendiri nggak bagus. So, wanna bet? If so, then be ready to face the risk.
NB: Mulai Oktober 2012, penulis menyediakan
layanan informasi jual/beli saham harian yang satu paket dengan investor
buletin yang terbit setiap bulan, dengan biaya tetap. Keterangan selengkapnya lihat disini.
Komentar
jadi tidak ada yang tidak mungkin CPO yang sudah turun malah makin turun, apalagi CPO kan supplynya bisa ditingkatkan...
tambang aja yang secara logika harganya ga mungkin turun karena merupakan energi tak terbarukan nyatanya juga bisa turun kok...
cpo kan supply nya bisa ditingkatkan (tapi juga bisa di kurangkan)
seperti arab saudi baru2 ini meningkatkan produksinya langsung harga minyak turun... (sebaliknya kalau produksinya turun ya harganya naek)
in the long run, coba aja perhatikan harga oil... selalu naik... tapi kenaikan yang terlalu drastis, akan juga diikuti penurunan yang drastis agar kembali ke harga yang wajar... (disaham juga begitu)
jadi kalau harganya terlalu murah, produsen cukup mogok jual aja... dijamin harganya langsung naik... (bahkan rumor penurunan produksi aja bisa bikin harga naik)