Heart is Only for Lovers, Bro!
Koran Bisnis
Indonesia pernah mewawancarai Aburizal ‘Ical’ Bakrie, mantan pimpinan Grup Bakrie
(Sekarang Grup Bakrie dipimpin oleh Nirwan, adik dari Ical), pada tahun 2010
lalu dalam rangka HUT Bisnis Indonesia yang ke-25. Dalam wawancara tersebut, wartawan
Bisnis mengajukan pertanyaan berikut, ‘Banyak orang tidak percaya bahwa Bakrie melalui
Bumi Resources (BUMI) berhasil membeli Arutmin dan Kaltim Prima Coal (KPC).
Bagaimana caranya?’ Dan Ical menjawab, ‘Waktu itu memang ada opportunity-nya,
sehingga langsung kami grab. Soal
duitnya dari mana, kami cari belakangan.’
Seperti yang
anda ketahui, BUMI mengambil alih 80% saham Arutmin dari tangan BHP Billiton,
perusahaan tambang asal Australia, senilai US$ 148 juta, pada tahun 2001. Dua
tahun berikutnya yaitu pada tahun 2003, BUMI kembali mengakuisisi sebuah
perusahaan batubara bernama KPC dari tangan Beyond Petroleum (BP) dan Rio Tinto, senilai US$ 500
juta. Dalam wawancaranya dengan Bisnis, Ical mengatakan, ‘Kami membeli Arutmin
dan KPC nggak pake duit, karena pada tahun 2001 kami lagi bangkrut dan gak
punya uang sama sekali, gara-gara krisis 1998.’
Kalau nggak pake
duit, terus pake apa? Ya pake duit orang, alias utang. Menurut Ical, pada tahun
2001, setelah menyelesaikan restrukturisasi utang di Bakrie & Brothers
(BNBR), ia berdiskusi dengan kedua adiknya, Nirwan dan Indra, untuk memikirkan
langkah perusahaan selanjutnya, dan mereka bertiga setuju untuk masuk ke sektor
energi. Ketika itu perusahaan yang bisa diakuisisi ada dua, yaitu Arco dan
Arutmin. Arutmin tampak lebih mudah untuk diakuisisi mengingat harganya ‘hanya’
US$ 180 juta, sementara Arco mencapai US$ 600 juta. Grup Bakrie kemudian
memperoleh uang US$ 180 juta tersebut dari Bank Mandiri dan Jamsostek, dan
setelah negosiasi kesana kemari, disepakati bahwa harga 80% saham Arutmin
adalah US$ 148 juta. Dengan memegang Arutmin (yang kemudian diletakkan dibawah
BUMI), Grup Bakrie perlahan tapi pasti mulai menggeliat kembali.
Aburizal Bakrie. Sumber: icalbakrie.com |
Dalam hal ini
terdapat tiga hal luar biasa yang dilakukan Grup Bakrie. Pertama, mereka mampu ‘menemukan’
dua perusahaan yang seolah-olah menyerahkan diri untuk diakuisisi, padahal Ical
dkk jelas-jelas nggak punya dana sama sekali. Kedua, mereka mampu memperoleh
pinjaman lagi dengan jumlah yang tidak main-main, yaitu US$ 180 juta atau sekitar Rp2 trilyun, justru persis
setelah mereka dengan susah payah menyelesaikan proses restrukturisasi utang.
Dan ketiga, mereka mampu memaksa pemilik Arutmin sebelumnya, BHP Billiton, untuk
menyerahkan asetnya tersebut dengan harga yang lebih murah.
Hanya selang dua
tahun berikutnya, Grup Bakrie kembali berekspansi, kali ini targetnya
mengakuisisi KPC, yang ketika itu akan didivestasi oleh pemiliknya, BP dan Rio Tinto. Dalam upayanya mengambil alih KPC, Bakrie tidak
sendirian, karena konglomerat lainnya seperti Prabowo dan Grup Salim juga
berminat terhadap KPC. Posisi Bakrie ketika itu sebenarnya sulit, mengingat
mereka masih belum memiliki uang, dan kali ini Pemerintah juga menolak memberi
pinjaman (waktu mengakuisisi Arutmin, Bakrie memperoleh pinjaman dari Bank
Mandiri dan Jamsostek, yang notabene merupakan BUMN).
Namun Ical pantang menyerah. Pemilik KPC meminta harga US$ 700 juta, dan Ical sendiri yang kemudian terbang ke markas BP di London untuk bernegosiasi. Entah gimana caranya, Ical berhasil menawar untuk membeli KPC seharga US$ 500 juta saja. Menurut Ical, ketika itu banyak konglomerat lainnya yang juga menyatakan berminat terhadap KPC, namun cuma ia sendiri yang mau capek-capek bernegosiasi dengan pihak BP dan Rio Tinto sebagai pemilik KPC, sementara orang lain tidak melakukan apa-apa kecuali merengek kepada Pemerintah: ‘Kenapa KPC dijualnya mahal banget? Murahin dikit dong!’ Sebelumnya, Pemerintah memang meminta BP dan Rio Tinto untuk menetapkan harga paling tinggi US$ 800 juta untuk melepas KPC, namun harga tersebut tetap dinilai terlalu mahal oleh para konglomerat lokal (dan lucunya para konglomerat ini kemudian marah-marah setelah mengetahui bahwa Bakrie bisa membeli KPC dengan harga yang jauh lebih rendah dari US$ 800 juta tersebut).
Namun Ical pantang menyerah. Pemilik KPC meminta harga US$ 700 juta, dan Ical sendiri yang kemudian terbang ke markas BP di London untuk bernegosiasi. Entah gimana caranya, Ical berhasil menawar untuk membeli KPC seharga US$ 500 juta saja. Menurut Ical, ketika itu banyak konglomerat lainnya yang juga menyatakan berminat terhadap KPC, namun cuma ia sendiri yang mau capek-capek bernegosiasi dengan pihak BP dan Rio Tinto sebagai pemilik KPC, sementara orang lain tidak melakukan apa-apa kecuali merengek kepada Pemerintah: ‘Kenapa KPC dijualnya mahal banget? Murahin dikit dong!’ Sebelumnya, Pemerintah memang meminta BP dan Rio Tinto untuk menetapkan harga paling tinggi US$ 800 juta untuk melepas KPC, namun harga tersebut tetap dinilai terlalu mahal oleh para konglomerat lokal (dan lucunya para konglomerat ini kemudian marah-marah setelah mengetahui bahwa Bakrie bisa membeli KPC dengan harga yang jauh lebih rendah dari US$ 800 juta tersebut).
Selesai dengan urusannya di London, Ical kemudian menemui Nirwan, ‘Wan, gue udah deal sama owner KPC, gope aja katanya. Sekarang,
duitnya dari mana?’
Nirwan balik
bertanya, ‘Mandiri sama Jamsostek masih mau ngasih lagi nggak?’
‘Nggak.’
‘Ya udah, kalo
gitu gue coba ke Singapura dulu, siapa tahu bank disana mau ngasih.’
Nirwan kemudian berangkat
ke Singapura, dan setelah berkeliling dan bernegosiasi kesana kemari, ia berhasil memperoleh pinjaman dari empat bank investasi, hanya saja dengan bunga
yang cukup tinggi (Ical tidak memperinci berapa persen bunganya, atau siapa
saja keempat bank investasi tersebut). Namun setelah memperoleh pinjaman
tersebut, masih terdapat kekurangan dana sekitar US$ 300 juta. Disinilah Nirwan
kembali menunjukkan keahliannya dalam bernegosiasi: Ia menghubungi para perusahaan
yang menjadi pelanggan KPC, dan meminta mereka membayar di muka untuk batubara
yang mereka beli, dengan imbalan bahwa mereka akan diberi diskon ataupun
keuntungan lainnya. Untuk melakukan hal ini, Nirwan sampai berkeliling Jepang,
Tiongkok, dan Eropa, dan sekali lagi ia berhasil. Grup Bakrie kemudian
memperoleh uang tunai senilai sekitar US$ 300 juta yang merupakan uang muka pembelian
batubara dari KPC (yang tentunya merupakan utang juga), padahal KPC-nya sendiri
masih belum menjadi milik mereka. Amazing, isn’t it?
Namun setelah memperoleh
pinjaman dan uang muka pembelian batubara sebesar US$ 300 juta tersebut,
ternyata masih ada kekurangan lagi sebesar US$ 4 juta, dan itu tetap merupakan
jumlah yang sangat besar karena ketika itu biar bagaimanapun Grup Bakrie bener-bener
gak punya duit. Akhirnya Nirwan menemui pihak bank lagi di Singapura, dan beberapa
saat kemudian ia menelpon Ical.
‘Bro, bank
setuju ngasih tambahan US$ 4 juta lagi. Tapi mereka minta bagian keuntungan
sebesar US$ 20 juta. Gimane?’
'Apa?? Serius mereka minta segitu??'
'Iya.'
'Apa?? Serius mereka minta segitu??'
'Iya.'
Ical berpikir sejenak, ‘Wan, hati kecil gue bilang jangan.. Kalo gitu jangan lah.’
‘Hati kecil? Heart is only for lovers bro. Ini bisnis, dan elo harus tough sedikit.’
Ical kaget
mendengar kalimat adiknya tersebut, sebelum kemudian berkata ‘Ya udah, terserah
lo aja deh.’
Maka akhirnya, KPC
pun resmi menjadi milik Grup Bakrie.
Mungkin karena
sejak awal Arutmin dan KPC diambil alih Bakrie dengan cara berhutang, maka hal
itu kemudian menjadi kebiasaan sampai sekarang. Termasuk ketika Bakrie
mengambil alih 24% saham Newmont Nusa Tenggara, duitnya juga dari utang ke
China Investment Corp (CIC). Dan memang keahlian Grup Bakrie adalah di bidang
tersebut: Bernegosiasi dan memperoleh utang. Masih dalam wawancaranya dengan
Bisnis, Ical mengatakan bahwa di masa lalu ia pernah memperbesar salah satu
perusahaannya, Bakrie Sumatera Plantations (UNSP), dengan cara mengakuisisi
beberapa lahan perkebunan kelapa sawit senilai total US$ 55 juta. Ketika itu
ayah Ical, Achmad Bakrie, bertanya, duitnya dari mana? Setau ayah kamu gak
punya duit sebanyak itu? Dan Ical menjawab, nanti kita cari. Untuk sekarang,
akuisisi aja dulu.
Seorang teman penulis pernah ngobrol langsung dengan Nirwan Bakrie, ‘Mas, ente kok rajin amat
akuisisi sana-sini. Apa gak kasian sama kelompok usaha laen? Bagi-bagi dong.’
Dan Nirwan
menjawab, ‘Ya gimana ya.. Soalnya peluang-peluangnya udah kaya wuss.. wuss.. berseliweran
aja gitu, persis didepan muka gue. Ya sayang lah kalo nggak gue ambil!’
Jadi sepertinya,
kebijakan Grup Bakrie dalam berekspansi adalah, yang penting ambil barangnya (perusahaannya)
aja dulu. Soal duitnya dari mana, atau akan diapakan itu barang setelah
diambil alih, itu urusan belakangan! Daaann... mungkin inilah yang menyebabkan
BUMI, dan juga perusahaan-perusahaan Grup Bakrie lainnya, lebih sibuk mengakuisisi,
mendivestasi, menerbitkan utang, melakukan refinancing, dll, ketimbang mengurus operasional perusahaannya sendiri. Tak heran, karena sejak awal keahlian Keluarga Bakrie adalah
di bidang negosiasi dan financing, bukan di pengelolaan perusahaannya sendiri.
Mungkin mereka berpendapat bahwa asalkan mereka merekrut CEO atau Presiden
Direktur yang kompeten di bidangnya masing-masing, maka perusahaan apapun yang
mereka miliki akan bisa beroperasi dengan baik. Sementara yang perlu mereka
lakukan hanyalah terus dan terus mencari peluang bisnis baru.
Satu hal yang
pasti, meski berbagai pemberitaan belakangan ini ramai membicarakan kemungkinan
bahwa Bakrie bisa jadi bakal gagal bayar utang alias default, karena
utang-utangnya yang sudah kelewat membludak (yang kemudian dijadikan
justifikasi dari penurunan harga saham-saham Grup Bakrie), namun itu tidak
mencegah para bank untuk terus menyalurkan pinjaman. Pada tanggal 10 Agustus 2012
kemarin, Visi Media Asia (VIVA), perusahaan Bakrie di bidang media, memperoleh
pinjaman US$ 80 juta dari Deutsche Bank cabang Singapura. Kenapa kok pihak
Deutsche Bank masih berani untuk memberikan pinjaman terhadap Bakrie? Well, ask
them! Tapi yang jelas, jika anda adalah direktur dari Deutsche Bank tersebut, maka
apakah anda bersedia ngutangin Bakrie jika memang kelompok usaha pemilik BUMI
tersebut berpotensi default?
Terus bagaimana
dengan kerjasama Grup Bakrie dengan seorang pengusaha asal Inggris, Nathaniel Rothschild,
seperti yang sudah kita bahas di artikel minggu kemarin? Sayangnya hingga kini
belum ada pihak yang berhasil mewawancarai Ical atau Nirwan terkait kerjasama
tersebut. Tapi kita bisa mengatakan bahwa, meski Bakrie merupakan master of
dealmaker nomor wahid di Indonesia, namun diluar sana masih terdapat beberapa master
of dealmaker kelas dunia, dan Nathaniel adalah salah satu diantaranya.
Komentar
master of dealmaker kelas dunia sekalipun, saya tak akan ambil resiko untuk beli saham2 punya bakrie. sepandai2 nya tupai melompat suatu saat pasti jatuh juga.
Apakah looping ini ada break nya? atau infinite?