Blue Chip Edition: Gudang Garam
Jika anda adalah
seorang trader dengan jumlah dana diatas rata-rata, katakanlah Rp20 – 30 milyar
atau bahkan diatas Rp100 milyar, maka terkadang agak sulit jika anda hendak trading
pada saham-saham second liner apalagi gorengan gak jelas yang likuditasnya
kembang kempis. Karena ketika membeli atau menjual saham second liner senilai
Rp1 milyar, misalnya, maka anda mungkin harus menyicilnya sedikit demi sedikit,
katakanlah 100 juta dulu, kemudian tambah lagi 100 juta, begitu seterusnya, dan
itu terkadang memang menyebalkan karena ribet. Nah, bagi anda para ‘trader semi-grosir’
seperti ini, maka pilihannya tetap berada pada saham-saham big caps alias
bluchip. So, berikut ini adalah analisis untuk salah satu saham big
caps yang penulis nilai memiliki fundamental yang cukup bagus dan juga valuasi yang
wajar, kalau berdasarkan kinerja perusahannya di First Half 2012 (1H12)
kemarin, yakni Gudang Garam (GGRM).
GGRM, seperti
juga seterunya yang berwarna hijau, HM Sampoerna (HMSP), mencatat kinerja yang
bagus dan relatif stabil dari sisi profitabilitas, namun kurang menarik dari
sisi growth, yang lebih banyak karena faktor pasarnya yang sudah jenuh,
sehingga kenaikan pendapatan hanya bisa didorong oleh peningkatan jumlah
penduduk, yang itu berarti peningkatan jumlah perokok, dan juga kenaikan harga
jual produk. Dua perusahaan rokok ini, bersama dengan Grup Djarum, pada akhir
tahun 2011 menguasai lebih dari 70% pasar rokok Indonesia, dan produk mereka
sudah menjangkau nyaris seluruh pelosok negeri dan juga pasar ekspor (HMSP
merupakan pemimpin industri rokok di Indonesia, disusul GGRM, Djarum, dan BAT
Indonesia), sehingga mereka bisa dibilang sudah tidak perlu melakukan ekspansi apapun
lagi. Alhasil, perusahaan rokok di Indonesia biasanya hanya mampu mencatat kenaikan
pendapatan yang standar di kisaran 20-an persen, sehingga laba bersih mereka
bisa tertekan jika beban pengeluaran mengalami kenaikan yang lebih tinggi.
Dan GGRM juga
mengalami hal yang serupa. Pada 1H12, pendapatan GGRM tercatat Rp23.6 trilyun,
tumbuh 18.7% dibanding periode yang sama tahun 2011. Namun karena kenaikan
beban pokok, terutama karena kenaikan harga bahan baku cengkeh (harga cengkeh
di awal tahun 2012 disebutkan sempat naik menjadi Rp200,000-an per kg karena
masalah gagal panen, meski belakangan ini mulai turun lagi ke harga normalnya
yaitu Rp80,000-an per kg), dan kenaikan tarif cukai (per 1 Januari 2012,
Kemenkeu menaikkan tarif cukai rokok sebesar rata-rata 16%), maka akhirnya laba
bersih komprehensif GGRM turun 8.4% menjadi Rp2.1 trilyun.
Kemungkinan karena
penurunan laba bersihnya tersebut, dan juga karena cum dividennya kemarin, saham
GGRM dalam tiga bulan terakhir telah terkoreksi dari puncaknya 63,000 pada 3
Juli kemarin hingga menjadi 50,650 pada 8 Agustus, sebelum sekarang naik lagi
ke posisi 52,150. Kalau dilihat dari historis pergerakannya selama setahun
terakhir, penurunan GGRM memang bisa dikatakan terhenti di level psikologis
50,000, sebelum kemudian rebound kembali. Sekarang, bagaimana kedepannya?
Pada harga
52,150, GGRM mencetak PER 23.8 kali, agak mahal kalau mempertimbangkan bahwa
growth-nya minus. Namun kalau juga mempertimbangkan bahwa: 1. GGRM adalah
perusahaan yang well-established dengan power of brand yang juga mentereng, 2.
GGRM merupakan satu-satunya saham rokok yang bisa dipakai trading di bursa,
mengingat saham HMSP tidak likuid, sementara Bentoel (RMBA) kinerja
perusahaannya kurang bagus, dan 3. GGRM bermain di sektor konsumsi yang ‘sangat
konsumsi’ (beberapa orang lebih memilih nggak makan daripada nggak merokok),
sehingga kinerjanya tidak akan terlalu terpengaruh oleh perubahan pada
perekonomian, bahkan meski aktivis anti-rokok terus berkampanye bahwa rokok itu
berbahaya bla bla bla, maka: Valuasi GGRM pada saat ini masih terbilang wajar,
hanya memang memerlukan sentimen positif untuk bisa naik ke, katakanlah,
60,000-an kembali. Disisi lain, berbeda dengan ‘bluchip kawakan’ macam Astra International
(ASII) atau Bank BRI (BBRI), yang pergerakannya mudah dipengaruhi IHSG, saham
GGRM cenderung tidak terlalu dipengaruhi kontraksi market, sehingga sepertinya
agak susah kalau mengharapkan untuk bisa masuk di harga dibawah 50,000, bahkan
meski nanti market memasuki musim diskon lagi. Jadi mungkin tips untuk GGRM ini
sederhana saja: Usahakan untuk masuk di harga yang paling mendekati 50,000.
Keluarnya? Di sekitar 57,000-an.
Terkait kinerja
kedepannya, GGRM kini memiliki brand positioning yang bagus hasil dari
sponsorship beberapa program acara sepakbola yang dimulai sejak Piala Dunia
2010 lalu. GGRM juga mengikuti trend pasar yang mulai mengarah pada produk
rokok jenis light dan mild, dengan ‘mempatenkan’ merk-merk seperti Surya Pro
Mild dan Surya Slims, yang sejauh ini cukup mampu bersaing dengan merk-merk
lain seperti Djarum Super Mild dan A-Mild. Jadi bisa dibilang, GGRM tidak
memiliki masalah terkait upaya untuk meningkatan penjualan. Lalu bagaimana
dengan laba bersih? Nah, dalam hal ini ceritanya mungkin berbeda, karena perusahaan
masih terus berkutat pada masalah kenaikan tarif cukai, dan itu mungkin masih
akan berpengaruh terhadap pertumbuhan laba GGRM (karena itulah penulis agak
pesimis kalau GGRM ini dipasang TP 60,000). Meski demikian, kenaikan tarif
cukai sebenarnya merupakan hal yang biasa terjadi setiap tahun, dan pihak perusahaan
biasanya mengatasinya dengan menaikkan harga jual produk (anda-anda yang
perokok pasti tahu persis kenaikan harga rokok belakangan ini), hanya memang
hasilnya tidak langsung kelihatan karena ada jeda dari proses distribusi produk.
So, kita lihat hasilnya di Q3 nanti.
Lalu bagaimana
dengan rencana Pemerintah yang akan membatasi produksi rokok menjadi hanya 260
milyar batang per tahun pada tahun 2015 nanti? Kalau menurut penulis sih, itu
gak akan berpengaruh ya, karena ketika volume produksi dibatasi, maka harga
jualnya yang akan dinaikkan. Dan setau penulis, ketika harga rokok naik, maka para
perokok akan tetep aja ngebul seperti biasanya. Ketika penulis kecil dulu,
harga sebungkus Gudang Garam Surya 16 (rokoknya Ayah) cuma Rp1,000 sebungkus,
dan Ayah menghabiskan satu bungkus sehari. Sekarang? Terakhir penulis cek Rp10,500
alias sudah naik lebih dari 10 kali lipat, tapi Ayah tetap saja menghabiskan satu
bungkus sehari, malah kadang-kadang satu setengah.
Oke, mungkin
segitu aja dulu untuk GGRM, selebihnya mungkin tinggal dilihat teknikalnya aja. Diluar GGRM, saham-saham bluchip yang juga menarik untuk
diperhatikan, dan juga belum dibahas di blog ini (termasuk juga tidak dibahas
di Ebook 40) adalah Unilever
Indonesia (UNVR), Telkom (TLKM), dan Perusahaan Gas Negara (PGAS). Sayangnya
UNVR dan TLKM sedang mahal-mahalnya, sementara PGAS LK-nya belum keluar. Seperti
yang sudah penulis utarakan di artikel We’re Still Walking, not Running, kinerja para perusahaan raksasa pada periode
1H12 ini memang tidak sebagus tahun 2010 atau 2009 dulu. Tapi yah sudahlah.
Btw, mungkin
agar lebih simpelnya, berikut adalah saham-saham kategori bluchip yang menurut
penulis layak untuk dicermati untuk periode Kuartal II 2012 ini: ASII, UNTR, BBRI,
ITMG, INTP, GGRM, UNVR, TLKM, PTBA, dan PGAS. Untuk PGAS, meski memang LK-nya
untuk 1H12 belum keluar, tapi berdasarkan kinerjanya yang sudah-sudah dan juga jika
mempertimbangkan status perusahaannya yang sudah sangat mapan, maka biasanya
kinerjanya akan gitu-gitu aja, yakni: Cukup baik.
Terakhir,
sedikit tips, seperti yang anda ketahui bahwa pergerakan saham-saham big caps
biasanya sangat dipengaruhi oleh IHSG. Sehingga jika anda hendak memperoleh
keuntungan maksimal dari saham-saham seperti ini, maka posisi masuk yang ideal
tentunya adalah ketika IHSG sedang terkoreksi, seperti Mei kemarin. Jadi jika
anda tetap berbelanja saham pada saat IHSG normal seperti sekarang, maka itu
boleh-boleh saja, namun ada baiknya jika anda juga tetap menyisakan cash dalam
jumlah yang substansial untuk persiapan memborong barang ketika pesta diskon
nanti.
NB: Ebook 40
rekomendasi saham edisi Semester Pertama 2012 (1H12) sudah terbit. Anda bisa
memperolehnya disini.
Komentar