Saham Sejuta Umat? No More!
Beberapa hari ini kalau penulis perhatikan, di banyak media berkali-kali
ditampilkan pemberitaan soal jumlah utang Grup Bakrie, yang disebut-sebut sudah
berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. Ada juga artikel yang menyebutkan
bahwa pencalonan Aburizal ‘Ical’ Bakrie sebagai Presiden ditengarai sebagai
upaya untuk menyelamatkan Grup Bakrie dari kebangkrutan akibat utang. Sebuah
upaya untuk menjatuhkan saham-saham Grup Bakrie di market? Sepertinya bukan,
soalnya saham BUMI dan kawan-kawan sejak awal juga udah jeblok banget.
Kalau mengingat bahwa sejak dulu juga kita semua udah tahu banget kalau
Bakrie ini emang kerjaannya ngutang melulu, dan entah kenapa masalah utang ini
tiba-tiba saja dikait-kaitkan dengan pencalonan Ical sebagai Presiden, maka
cerita soal utang Bakrie tersebut mungkin tidak terlalu terkait dengan dunia
bisnis dan saham, melainkan lebih ke politik. Sepertinya, ada yang sakit hati
karena diberitakan terlibat dalam kasus dugaan penggelapan pajak sebuah
perusahaan, dan juga sempat diperiksa KPK meski hanya sebagai saksi. Yap, anda
pasti sudah tahu siapa orang tersebut: Hary
Tanoesoedibjo, pemilik Grup Bhakti. Beberapa waktu lalu salah satu
perusahaan Grup Bhakti, Bhakti Investama (BHIT), ga ada angin ga ada hujan
tiba-tiba saja ramai diberitakan di televisi telah menggelapkan pajak (penulis
gak hafal detil kasusnya, tapi intinya soal pajak). Bahkan bagi orang yang awam
politik seperti penulis, jelas sekali bahwa pemberitaan soal kasus pajak
tersebut adalah terkait bergabungnya Mr. Hary ke Partai Nasdem, sebab pemberitaannya hanya gencar ditiupkan oleh
satu stasiun televisi saja: TvOne. Sekarang, setelah pemberitaan soal kasus
pajak BHIT tersebut mulai menguap dengan sendirinya, giliran Mr. Hary yang
melakukan counter attack.
Jadi sepertinya dalam beberapa waktu kedepan kita akan melihat dua kelompok
media saling serang dan saling menjatuhkan. Yah lumayanlah buat tontonan,
mengingat pertunjukkan pesta sepakbola Eropa juga baru saja berakhir.
Namun kita tidak akan membahas soal politik disini, ataupun soal perang
media-nya. Melainkan, berapa sih sebenarnya jumlah utang Bakrie saat ini? Dan
apakah jumlah utang tersebut masih dalam batas wajar, atau beneran
mengkhawatirkan seperti yang diberitakan? Karena kalau kita liat angkanya yang
ada di artikel-artikel berita, datanya cenderung simpang siur. Karena itulah penulis
kemudian merangkum data neraca dari LK emiten-emiten Grup Bakrie untuk periode
1Q12, dan berikut hasilnya:
Company
|
Currency
|
Equity
|
Earnings
|
EER
(%)
|
Liabilities
|
DER
(x)
|
Bumi
Resources
|
(million
|
980
|
261
|
26.7
|
6,411
|
6.5
|
Darma
Henwa
|
(million
|
311
|
(9)
|
(2.9)
|
431
|
1.4
|
Energi
Mega Persada
|
(million
|
668
|
(203)
|
(30.4)
|
1,241
|
1.9
|
Visi
Media
|
(billion
Rp)
|
1,595
|
(372)
|
(23.3)
|
919
|
0.6
|
Bakrie
Telecom
|
(billion
Rp)
|
4,032
|
(1,740)
|
(43.1)
|
7,997
|
2.0
|
Bakrieland
Development
|
(billion
Rp)
|
10,726
|
939
|
8.8
|
7,095
|
0.7
|
Bakrie
Sumatera Plantations
|
(billion
Rp)
|
9,164
|
2,297
|
25.1
|
9,936
|
1.1
|
Bakrie
& Brothers
|
(billion
Rp)
|
12,278
|
376
|
3.1
|
11,007
|
0.9
|
Catatan:
1. EER = Earnings to Equity Ratio, semakin besar angkanya berarti semakin
bagus. Kalau minus, tandanya perusahaan mengalami defisit (saldo labanya
minus). Idealnya EER mencapai minimal 50% untuk perusahaan lawas (yang sudah berdiri
dan beroperasi selama 10 tahun lebih), atau 25% untuk perusahaan anyar.
2. DER = Debt to Equity Ratio, semakin besar angkanya berarti semakin
jelek. Idealnya DER kurang dari 1 kali (nol koma sekian). Tapi kalau lebih dari
1 kali, maka angka yang masih bisa ditoleransi adalah 3 kali, kalau lebih dari
itu berarti gawat.
3. Satu lagi emiten Grup Bakrie yaitu Bumi Resources Minerals (BRMS),
hingga ketika artikel ini ditulis belum merilis LK periode 1Q12.
Oke, perhatikan. Perusahaan terbesar di Grup Bakrie yaitu Bumi Resources
(BUMI), memiliki modal bersih US$ 980 juta atau sekitar Rp9 trilyun. Tapi total
kewajibannya? US$ 6.4 milyar, atau sekitar Rp60 trilyun! Jika digabung dengan
Darma Henwa (DEWA) dan Energi Mega Persada (ENRG) yang sama-sama mencantumkan
LK-nya dalam mata uang US$, maka Grup Bakrie memiliki modal bersih US$ 2
milyar, dan kewajiban US$ 8 milyar dari ketiga perusahaannya tersebut, dengan
saldo laba cuma... US$ 49 juta. Wajar? Sama sekali tidak! Seperti yang sudah
disebut diatas, idealnya sebuah perusahaan atau gabungan dari beberapa
perusahaan memiliki rata-rata EER minimal 50%, dan DER yang kurang dari 1
kali, atau maksimalnya 3 kali. Namun dari ketiga perusahaannya tersebut, Grup
Bakrie memiliki rata-rata EER 2.5%, dan DER 4.1 kali, jauh dari kata wajar.
Sementara DER dari DEWA dan ENRG, memang masing-masing hanya 1.4 dan 1.9
kali. Namun itu karena kedua perusahaan tersebut sempat menambah modal dari
right issue-nya beberapa waktu lalu, bukan karena pengurangan utang ataupun
peningkatan saldo laba hasil dari akumulasi laba bersih. Sementara dari saldo
labanya sendiri, dua-duanya mencatat angka minus alias defisit.
Berikutnya kita cek Visi Media Asia (VIVA), Bakrie Telecom (BTEL), Bakrieland
Development (ELTY), dan Bakrie Sumatera Plantations (UNSP). Total modal bersih dan
kewajiban dari keempat perusahaan tersebut masing-masing adalah Rp25.5 trilyun
dan Rp25.9 kali, sehingga DER-nya tercatat 1.0 kali, masih wajar sih, tapi EER-nya?
Dengan total saldo laba cuma Rp1.1 trilyun, maka EER keempat perusahaan
tersebut adalah 4.4%, lagi-lagi sangat kecil. Dan sekali lagi, DER yang kecil
tersebut adalah karena ketiga perusahaan diatas, kecuali BTEL, memperoleh modal
tambahan dari right issue ataupun IPO, dan bukan karena perusahaan memperoleh peningkatan
atas saldo labanya. BTEL sendiri mencatat defisit yang cukup besar, yaitu Rp1.7
trilyun.
Terakhir, Bakrie & Brothers. Btw sebelumnya catat bahwa perhitungan
aset dan modal bersih BNBR harus dipisah dengan emiten-emiten Grup Bakrie
lainnya, karena BNBR ini berstatus sebagai induk dari BUMI dkk, sehingga sebagian
dari aset BNBR adalah juga merupakan aset BUMI dkk. Untuk BNBR, kinerja Grup Bakrie
terbilang lumayan dengan kewajiban ‘hanya’ Rp11.0 trilyun dan saldo laba Rp376
milyar, namun lagi-lagi jangan lupa bahwa itu adalah berkat kuasi reorganisasi
yang dilakukan perusahaan pada akhir tahun 2011 lalu. Pada Kuartal III 2010,
BNBR tercatat memiliki kewajiban Rp20.4 trilyun dan defisit Rp28.2 trilyun. Itu
adalah angka yang terlalu besar untuk bisa dihapus begitu saja melalui proses
kuasi reorganisasi, tapi begitulah faktanya: Kuasi Reorganisasi yang dilakukan
BNBR kemarin ‘berhasil’ menghapus defisit sebesar total Rp34.9 trilyun. Amazing,
isn’t it?
Lalu bagaimana dengan perolehan laba bersih kedelapan emiten diatas pada
1Q12 kemarin? Well, anda bisa lihat sendiri datanya di tabel dibawah ini,
karena penulis juga bingung harus komentar apa.
Company
|
Currency
|
1Q12
|
1Q11
|
Growth
(%)
|
Bumi
Resources
|
(million
|
(107)
|
111
|
NM
|
Darma
Henwa
|
(million
|
(3)
|
8
|
NM
|
Energi
Mega Persada
|
(million
|
5
|
3
|
49.5
|
Visi
Media
|
(billion
Rp)
|
0
|
(4)
|
NM
|
Bakrie
Telecom
|
(billion
Rp)
|
(356)
|
(41)
|
764.7
|
Bakrieland
Development
|
(billion
Rp)
|
(88)
|
48
|
NM
|
Bakrie
Sumatera Plantations
|
(billion
Rp)
|
84
|
231
|
(63.7)
|
Bakrie
& Brothers
|
(billion
Rp)
|
89
|
(281)
|
NM
|
Back to 2010. Dalam sebuah acara seminar, penulis mendengar seorang pembicara
ngomong kira-kira begini: ‘Saat ini, orang-orang di market selalu berpatokan
pada saham-saham B7 (kependekan dari Bakrie Seven Brothers, ketika itu BRMS dan
VIVA masih belum listing). Jadi ibaratnya kalau mau liat apakah IHSG akan naik
atau turun, maka liat aja BUMI, apakah dia naik atau turun. Hampir pasti saham-saham
yang lain akan ikut pergerakan BUMI, bahkan termasuk saham sekelas Astra
International (ASII) sekalipun.’
‘Tapi nanti, 3 - 5 tahun lagi dari sekarang, kalau kinerja B7 ini masih aja
nggak jelas seperti sekarang ini, kalau mereka masih aja lebih sibuk mengurus
refinancing utang ketimbang beroperasi dan mencetak laba, maka saham-saham
mereka nggak akan laku lagi. Suatu hari nanti akan tiba masa dimana tidak ada lagi seorangpun yang peduli terhadap saham BUMI, entah dia mau naik ataupun turun.’
‘Karena pada akhirnya, investor akan sadar kalau mereka gak mungkin invest
di B7, mengingat kinerja B7 ini sama sekali amburadul dan tidak transparan. Beberapa
investor mungkin suka berspekulasi di saham-saham B7, tapi cepat atau lambat
mereka akan belajar bahwa hal itu tidak menghasilkan apa-apa kecuali memupuk
sifat serakah mereka. Dulupun di awal abad ke 20, para investor di Wall Street lebih
suka berspekulasi ketimbang berinvestasi di saham, yang mengakibatkan resesi
besar di tahun 1930-an. Tapi kemudian mereka mau belajar, dan sekarang Dow
Jones dkk sudah menjadi salah satu Bursa Saham terbesar di dunia. Bursa saham
di Indonesia pun suatu hari nanti akan mencapai posisi yang tinggi tersebut,
meski itu tentunya akan membutuhkan waktu. Tapi yang jelas ketika masa itu
tiba, maka sudah tidak akan ada tempat lagi bagi B7, terutama jika para
perusahaan ini tidak juga mau berubah.’
So, kembali ke pertanyaan diatas, berapa sih jumlah utang Grup Bakrie saat
ini? Entahlah, tapi yang jelas sangat besar. Apakah cukup besar hingga berpotensi
default? Mungkin nggak juga, karena Grup Bakrie sejak dulu dikenal piawai dalam
men-treat para kreditornya. Kepiawaian
mereka dalam menjalin hubungan dengan banyak pihak termasuk penguasa juga
menyebabkan posisi mereka jauh lebih baik ketimbang grup-grup usaha lain yang
juga punya utang segunung (contohnya Grup Hadi Surya yang harus pontang panting
dalam menghadapi restrukturisasi utang Berlian Laju Tanker/BLTA). Sampai saat
ini belum pernah terdengar cerita bahwa Grup Bakrie mengalami gagal bayar
utang (kalau kasus Bakrie Life, itu bukan gagal bayar utang, melainkan emang perusahaannya aja yang semena-mena terhadap nasabah). Selain itu meskipun neraca perusahaan-perusahaan Grup Bakrie yang
terdaftar di bursa semuanya diguyur oleh utang, tapi bisa jadi perusahaan yang diluar bursa
masih sehat-sehat saja, dan Grup Bakrie memang masih punya banyak sekali
perusahaan diluar kesembilan perusahaannya yang terdaftar di BEI. We never
know.
Lalu apakah pencalonan Tuan Ical sebagai RI 1 adalah untuk menyelamatkan
perusahaannya dari default dan kebangkrutan? Wah, kalau soal itu saya nggak
ngerti. Tapi kalau anda masih bertanya apakah saham-saham Grup Bakrie boleh
dilirik, maka jawaban penulis masih sama dengan dua tahun lalu: Tidak! Masih
ada buanyak sekali saham-saham lain yang jauh lebih bagus di bursa. Jadi
ngapain juga kita harus ngabisin waktu, tenaga, dan duit untuk invest di BUMI
dkk yang jelas-jelas nggak jelas tersebut?
Tapi kan bisa aja saham-saham Bakrie ini digoreng menjelang 2014 nanti, terkait
Pilpres? Bisa aja kan, ENRG atau ELTY atau lainnya tiba-tiba saja mencatat laba
bersih yang gede di Q2 atau Q3 nanti? Benar, namun itu tetap saja merupakan
spekulasi karena tidak ada clue sama
sekali ke arah sana. Dalam artian, syukur-syukur kalau mereka beneran mencatat peningkatan
kinerja yang bagus, tapi bagaimana kalau tidak?
Tapi saya udah terlanjur masuk nih, gimana dong? Apa cut loss aja? Kalau
cut loss di harga sekarang sih sayang juga, soalnya saham-saham Bakrie semuanya
lagi rendah banget. Jadi kalau anda udah terlanjur megang, maka paling tidak
tunggu hingga musim terbitnya laporan keuangan periode Q2 nanti, mudah-mudahan dibikin
bagus. Karena kalau kita ingat-ingat lagi pada April tahun 2011 lalu, ketika
itu DEWA melaporkan laba bersih US$ 7.8 juta untuk periode Q1 2011, dari
sebelumnya rugi US$ 3.5 juta. Dan hasilnya, sahamnya langsung terbang dari
posisi 60 hingga sempat menyentuh 122 alias naik 100% dalam waktu empat bulan
(hingga Juli 2011), dan demikian pula saham-saham Bakrie lainnya ketika itu juga
ikutan terbang. Mengingat bahwa Pilpres 2014 semakin dekat, maka seperti sudah
disebut diatas, peluang ke arah sana masih terbuka. Dan meski peluang tersebut hanya
sebatas spekulasi, tapi itu lebih baik ketimbang harus cut loss di harga
sekarang, dimana itu justru merealisasikan potensi kerugian yang anda alami. So,
for now, just be patient.
Sebenarnya kalau kita compare kebiasaan Grup Bakrie dengan Grup usaha dari lawan
politiknya di Partai Nasdem, maka Grup Bhakti-nya Tuan Hary Tanoe juga
rada-rada nggak beres dalam hal menggoreng saham-sahamnya, misalnya terhadap
saham Bhakti Investama (BHIT). Tapi paling tidak, beberapa saham Grup Bhakti
seperti Media Citra Nusantara (MNCN) dan Global Mediacom (BMTR), secara
fundamental memang bagus dan layak untuk investasi. Jadi seandainya Tuan Hary
juga ikut mencalonkan diri sebagai Presiden, maka mungkin investor pasar modal
akan lebih memilih beliau ketimbang Tuan Ical.
Tapi peduli amat mereka berdua mau jadi presiden kek, jadi raja kek, yang
jelas anda sebagai investor boleh mengingat lagi kalimat yang sudah ditulis diatas:
‘Suatu hari nanti akan tiba masa dimana tidak ada lagi seorangpun yang peduli
terhadap saham BUMI, entah dia mau naik ataupun turun, terutama jika si
perusahaan tidak juga mau berubah.’
Dan kalau penulis boleh tambahkan: ‘Demikian pula dengan saham-saham
gorengan lainnya!’
Komentar
Keep up the great work.
DUKUNG SEBESAR-BESARNYA....!
DUKUNG TERUS MANUSIA "HEBAT" INI...!
KE N-E-R-A-K-A.....!
WAK KA KA KAAAA.....!
terima kasih banyak sebelumnya
FB: infinity fund