Tips Agar Tetap 'Calm' Ketika IHSG Turun
Setelah terkoreksi selama satu setengah bulan kemarin, IHSG akhirnya mulai
menunjukkan indikasi pulih dan sekarang sudah kembali berada di level 3,900-an.
Bagi anda yang sudah berpengalaman terjun ke market minimal 1 - 2 tahun, koreksi
kemarin adalah hal yang biasa terjadi dan (seharusnya) tidak perlu
dikhawatirkan sama sekali. Termasuk jika kemarin sempat nyangkut, maka tidak
perlu dilakukan cut loss karena cepat atau lambat harga-harga saham yang anda
pegang akan naik kembali (tentunya jika sejak awal anda tidak keliru dalam
memilih saham). Tapi bagi anda yang tergolong masih newbie, maka bukan tidak
mungkin ketika kemarin IHSG terjun bebas ke posisi 3,600-an, anda malah cut
loss yang itu berarti justru merealisasikan potensi kerugian yang terjadi.
Penyebab utama seorang investor/trader melakukan cuci gudang justru ketika market sudah jatuh cukup dalam, biasanya adalah karena mereka khawatir kalau-kalau IHSG bisa jeblok lebih rendah lagi. Terkadang, mereka malah sebenarnya sudah tahu persis bahwa berdasarkan hitung-hitungan teknikal, fundamental, dan lain sebagainya, market sebenarnya sudah terdiskon cukup dalam sehingga berikutnya cuma soal waktu saja sebelum market akan pulih kembali. Akan tetapi kekhawatiran yang timbul alias fear kemudian ‘membunuh’ semua hitung-hitungan tadi. Dan meski hal ini biasanya hanya terjadi pada investor new comers, namun investor yang sudah berpengalaman bertahun-tahun pun terkadang masih mengalaminya juga.
Jadi, bagaimana solusinya? Tentunya, ada banyak cara, termasuk anda mungkin
punya cara sendiri. Tapi disini kita akan membahas salah satu diantaranya saja
yang baru saja penulis dapatkan baru-baru ini. Okay, here it is.
Beberapa waktu lalu, penulis bertemu dengan seorang pengusaha, yang
merupakan pemilik alias pemegang saham mayoritas dari salah satu emiten kecil di
BEI, sebut saja namanya Pak Budi. Kami lalu ngobrol ngalor ngidul. Disela-sela
obrolan, penulis bertanya, ‘Apa pendapat Pak Budi soal koreksi IHSG belakangan
ini?’
‘Wah, saya kan bukan trader mas, jadi nggak pernah memperhatikan IHSG juga.’
‘Iya, saya tau. Tapi kan saham perusahaannya Pak Budi ikut turun juga. Apa
nggak khawatir?’
‘Oh, itu. Ya nggak lah. Kan saya tau persis kalau perusahaan saya masih beroperasi
dengan lancar dan juga masih menghasilkan laba yang meningkat. Saya nggak
peduli saham saya akan naik atau turun, toh nggak akan saya jual juga. Yang
penting saya tetap lancar menerima dividen setiap tahunnya.’
Dari sini ada kalimat penting yang penulis tangkap: ‘Kan saya tau persis kalau perusahaan saya masih beroperasi
dengan lancar dan juga masih menghasilkan
laba yang meningkat.’ Karena itulah penulis kemudian bertanya lagi,
‘Pak Budi bisa tau persis kalau perusahannya baik-baik aja, karena Pak Budi
kan pemiliknya. Punya tips nggak pak, bagaimana caranya agar kami yang cuma
investor recehan ini bisa juga mengetahui kalau perusahaan yang sahamnya kami
pegang masih beroperasi dengan baik-baik saja?’
Pak Budi tertawa,
‘Lho, saya memang pemilik dari perusahaan. Tapi kalau mas Teguh sebagai
investor retail ikut memegang saham perusahaan saya, maka mas Teguh juga berstatus
sebagai pemiliknya bukan? Bedanya anda cuma pegang sahamnya sedikit, sementara
saya megang banyak. Tapi sebagai sesama pemilik, anda dan saya menerima
informasi yang sama tentang kinerja dan operasional perusahaan. Paling simpel,
anda bisa baca LK (laporan keuangan). Kalau LK-nya oke, berarti perusahaannya
masih beroperasi dengan baik. Tapi kalau LK-nya jelek, ya silahkan keluar (jual
sahamnya). Anda juga nggak perlu nunggu sampai setahun sekali untuk mengetahui kinerja
terbaru perusahaan, seperti kalau menunggu perolehan dividen, melainkan cukup menunggu
setiap tiga bulan sekali. Kalau saya sebenarnya menerima laporan kinerja setiap
bulan, tapi jarang saya baca juga. Yang saya baca ya yang tiga bulanan itu.’
‘Kalau kinerja perusahaan kurang sesuai harapan, saya biasanya minta ketemu
direksi untuk meminta penjelasan, sekaligus ngasih masukan agar kinerja
perusahaan kedepannya meningkat kembali. Dan jangan salah, anda juga bisa
melakukan itu kok (minta penjelasan dari direksi), caranya tinggal datang aja
ke RUPS.’
Obrolan diatas sebenarnya masih panjang. Tapi anda sudah menangkap poinnya
bukan? Intinya kalau bagi para pemilik mayoritas perusahaan (penulis katakan ‘mayoritas’
karena kita yang kecil-kecil ini juga merupakan pemilik lho, ingat itu!), yang
seringkali disebut sebagai pihak emiten,
tujuan utama mereka adalah bagian laba bersih perusahaan alias dividen.
Sementara capital gain dalam bentuk kenaikan harga saham, it means nothing
karena mereka gak akan menjual sahamnya (kecuali kalau mereka berniat divestasi).
Demikian pula jika harga saham turun, mereka akan cuek saja. Ceritanya mungkin
baru akan berbeda jika mereka melakukan financial engineering, misalnya
transaksi repo saham, atau menjaminkan saham untuk memperoleh pinjaman bank,
seperti yang dilakukan Grup Bakrie. Makanya beberapa emiten terkadang berusaha mengendalikan
pergerakan saham mereka sendiri, sehingga kemudian muncul istilah ‘saham
gorengan’. Tapi bagi para pengusaha konservatif, tetap yang terpenting adalah laba yang dihasilkan perusahaan, bukan
harga sahamnya, sehingga mereka akan membiarkan saham perusahaan bergerak
sesuai arah pasar.
Bumi Resources (BUMI), salah satu saham gorengan paling terkenal di BEI |
Tapi berhubung nilai dividen biasanya kelewat kecil dibanding modal yang
dikeluarkan buat beli sahamnya, maka kita sebagai investor kecil nggak mungkin
hanya mengandalkan dividen sebagai sumber pendapatan toh? Jadi biar
bagaimanapun kita nggak bisa disamakan dengan pihak emiten. Yup, itu benar. Tapi
jangan lupa bahwa kita sebagai investor retail juga punya kelebihan dibanding
pemilik mayoritas/pengendali perusahaan, yaitu: Kita bisa keluar (jual sahamnya)
kapanpun kita mau. Jadi kapanpun kinerja perusahaan menurun, maka kita bisa
keluar untuk kemudian merealisasikan capital
gain yang diperoleh, lalu pindah ke saham lain yang lebih punya potensi
untuk menguat. Ini tidak bisa dilakukan oleh pemilik mayoritas, kecuali dengan
proses yang rumit (harus menggelar RUPS dulu, dst).
Sementara kalau IHSG lagi jeblok kaya kemarin, gimana tuh? Ya anda bisa
pakai moment itu untuk beli lagi sahamnya di harga yang (mumpung) murah. Kalau ga
ada duitnya gimana? Ya biarin aja sampai dia naik lagi. Yang penting disini,
cobalah berpikir bahwa anda adalah pemilik
perusahaan (because you are!), yaitu: Memang kalau di market, saham yang
saya pegang bisa naik turun setiap saat. Namun ditempat beroperasinya,
perusahaan yang sahamnya saya pegang masih tetap mendulang pendapatan dan laba
seperti biasa, yang pada akhirnya meningkatkan nilai perusahaan (equity-nya). Harga saham boleh naik dan turun, tapi
itu cuma harga. Yang penting nilai perusahaan tetap naik terus. Jika nanti di
laporan keuangannya kenaikan nilai tersebut berhenti, maka barulah ketika itu
saya bisa mempertimbangkan untuk keluar.
Btw, ingat bahwa naik turunnya IHSG tidak berpengaruh terhadap kinerja
emiten, kecuali jika kinerja emiten tersebut memang berkaitan langsung dengan
pasar saham (misalnya emiten sekuritas). Jadi jika anda sejak awal sudah
memegang saham dengan fundamental yang oke dan memiliki rencana ekspansi yang jelas, maka tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Kejadiannya mungkin baru akan berbeda jika yang mengalami
koreksi adalah perekonomian makro,
seperti krisis moneter di tahun 1998 lalu. Ketika krisis global tahun 2008
kemarin, kinerja beberapa emiten memang menurun dan itu turut menjustifikasi
penurunan harga sahamnya. Tapi banyak juga kok emiten-emiten yang kinerjanya tetap
meningkat seperti biasa, silahkan anda cek sendiri.
Tapi bagaimana kalau yang menurunkan harga saham bukanlah koreksi IHSG,
melainkan karena terjadi peristiwa
yang mungkin akan berpengaruh negatif terhadap kinerja
perusahaan atau sektor yang bersangkutan? Bukankah kalau begitu kejadiannya, maka
akan terlambat kalau kita baru keluar setelah LK terbarunya terbit? Yup, benar.
Contoh kasus ini adalah seperti penurunan saham-saham batubara seperti yang
sudah kita bahas di artikel sebelumnya. Jika itu yang terjadi, maka peristiwa
tadi perlu anda analisis terlebih dahulu sebelum kemudian baru mengambil
keputusan, apakah harus keluar atau tetap hold. Tapi poinnya tetap sama: Jangan
khawatir, jangan panik, lakukanlah analisisnya dengan santai, kemudian baru
ambil keputusan.
Komentar
saya dah 3 taun nyagkut bnbr....
tapi tetep saja calm ....i dont care too....
kembali ke tujuan kita berinvestasi, sekedar trading atau real investor...