Sektor Batubara: Antara Rumor, Fakta, dan Konspirasi
Saham-saham batubara, jika anda perhatikan, hingga saat ini masih berada
dalam event big sale, alias masih
terdiskon besar-besaran. Termasuk saham yang fundamentalnya amburadul macam
Bumi Resources (BUMI), pada harga sekarang juga sudah boleh dikatakan murah. Jadi
apakah sekarang sudah saatnya untuk akumulasi, ataukah kita justru harus
menghindari sektor ini dulu? Bagaimana dengan berbagai sentimen negatif
yang menyelimuti saham-saham batubara belakangan ini?
Penurunan saham-saham di satu sektor biasanya nggak lengkap kalau gak
dibumbui berbagai sentimen negatif. Kalau kita mengkerucutkan sentimen-sentimen
yang beredar terkait sektor batubara, maka akan diperoleh setidaknya tiga
sentimen: Pertama, harga minyak mentah dunia pada saat ini sedang terpuruk di level
US$ 80-an per barel, setelah sebelumnya gagah di level US$ 110-an per barel.
Sejak dulu penurunan harga minyak biasanya diasosiasikan dengan penurunan harga
batubara, dan faktanya harga batubara acuan (HBA) jenis thermal coal pada saat ini adalah US$ 95-an per ton, terendah sejak
Agustus 2010. Kedua, ada yang mengatakan bahwa suplai gas alam (natural gas) di Amerika telah meningkat
drastis belakangan ini, seiring dengan ditemukannya teknologi oleh
perusahaan-perusahaan gas untuk meningkatkan volume produksi. Mengingat bahwa
gas alam dianggap lebih bersih dan relatif lebih ekonomis dibanding batubara
(dalam hal digunakan sebagai bahan bakar pembangkit listrik), maka peningkatan
suplai gas alam menyebabkan harganya menjadi turun, dan itu menyebabkan pembangkit-pembangkit
listrik di Amerika beralih dari batubara ke gas.
Ketiga, harga batubara yang pada saat ini sudah rendah, diperkirakan akan
lebih rendah lagi pada waktu-waktu mendatang, mungkin bisa mencapai US$ 80 per
ton pada tahun 2014. khususnya untuk batubara asal Indonesia. Alasannya? Karena
terdapat kemungkinan penurunan permintaan batubara dari Tiongkok, salah satu
pasar utama batubara asal Indonesia, yang selain disebabkan oleh perlambatan
pertumbuhan ekonomi di negara yang bersangkutan, juga karena baru selesainya
pembangunan jalur jalan tol untuk pengangkutan batubara yang menghubungkan Tiongkok
dan Mongol. Bagi para perusahaan baja dan pembangkit listrik di Tiongkok,
tentunya akan lebih mudah mengimpor batubara dari Mongol ketimbang dari Indonesia,
karena jaraknya lebih dekat sehingga biaya pengirimannya lebih ekonomis. Dan
ini akan menurunkan permintaan akan batubara dari Indonesia, yang pada akhirnya
menurunkan harga jual dari batubara yang dihasilkan.
Oke, sekarang coba kita analisis. Sentimen pertama soal harga minyak
mentah, sebenarnya itu tidak perlu dikhawatirkan. Harga minyak, kalau kita
pakai trend pergerakan harganya selama lima tahun terakhir, median-nya berada di posisi US$ 90-an
per barel. Harga minyak pada saat ini memang lebih rendah dibanding posisi median-nya
tersebut. Tapi kalau berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, maka cepat atau
lambat harga minyak akan kembali naik ke posisi US$ 90 - 100 per barel (dan
kalau sudah menembus US$ 100, maka selanjutnya turun lagi, gitu aja terus).
Sentimen kedua soal gas alam sebagai substitusi batubara, itu adalah cerita
lama yang meski udah diomongin sejak kapan, tapi nyatanya perusahaan-perusahaan
pembangkit listrik di Asia (termasuk Tiongkok) sampai sekarang masih tetap
menggunakan batubara. Okelah mungkin pembangkit listrik di Amerika sana mulai
beralih dari batubara ke gas, tapi perusahaan batubara di Indonesia gak ada
yang mengekspor produknya sampai ke Amerika (kejauhan), jadi itu gak ngaruh.
Sentimen yang mungkin perlu ditanggapi secara serius adalah soal
kemungkinan penurunan permintaan batubara dari Tiongkok. Kita tahu bahwa adalah
benar pertumbuhan ekonomi disana telah melambat, dari 13% menjadi tinggal 8%,
dan juga benar bahwa telah dibuka jalur tambahan untuk transportasi batubara ke
Tiongkok. SouthGobi Resources, salah
satu perusahaan batubara terbesar di Mongol, melaporkan bahwa pada tanggal 28
Mei 2012, pemerintah Mongol dan Tiongkok secara resmi membuka delapan gerbang
jalan tol khusus untuk transportasi batubara di perbatasan Shivee Khuren (Mongol)
dan Ceke (Tiongkok). Itu belum termasuk pembangunan jalur kereta api yang
menghubungkan perbatasan Gashuun Sukhait (Mongol) dan Ganqimaodao (Tiongkok),
yang diperkirakan akan selesai tahun 2014 mendatang. A real threat for Indonesian
Coal Miners?
Mongolian vs Indonesian Coal
Sejak penulis masuk ke dunia saham pada tahun 2009, penulis sudah mendengar
julukan ‘Saudi Arabia of Coal’ bagi Mongol, karena dikabarkan bahwa negaranya
Genghis Khan tersebut memiliki cadangan batubara yang sangat besar. Seberapa
besar? Pada akhir tahun 2011, Mongol diperkirakan memiliki cadangan batubara terbukti (proven) sebanyak 17.6 milyar ton. Sebagai perbandingan, pada akhir
tahun 2010, Indonesia memiliki cadangan batubara terduga (probable)
sebanyak total 21.1 milyar ton, alias lebih besar ketimbang Mongol. Namun ingat
bahwa status cadangan milik Indonesia tersebut masih terduga, dimana jika
cadangan tersebut dikompress lagi menjadi cadangan terbukti, maka angkanya akan
menjadi lebih kecil, bisa jadi lebih kecil dari 17.6 milyar ton.
Jadi terlepas dari istilah Saudi Arabia yang agak kurang tepat (karena
produsen terbesar batubara di dunia adalah Tiongkok), tapi adalah benar bahwa Mongol
memiliki lebih banyak cadangan batubara ketimbang Indonesia, atau setidaknya
setara. Kabar baiknya kalau dilihat dari angka cadangan terkira (estimated), Indonesia unggul dengan
cadangan lebih dari 200 milyar ton pada akhir tahun 2011, berbanding 164.2
milyar ton milik Mongol. Angka-angka cadangan tersebut bisa meningkat jika
ditemukan cadangan baru, atau menurun jika jumlah batubara yang digali lebih
banyak daripada jumlah cadangan baru yang ditemukan.
Btw sekedar catatan, urutan status cadangan batubara itu, dimulai dari yang
terendah, adalah estimated, probable, kemudian baru proven. Cadangan proven ini
terkadang dibedakan lagi menjadi economically
mineable (bisa digali dengan biaya yang lebih rendah dibanding hasil yang
diperoleh), mineable only, dan non-mineable. Tapi biasanya cadangan
dengan status proven sudah berarti economically mineable juga.
Balik lagi ke Mongol. Dari sisi produksi, Mongol hanya memproduksi total 30.4 juta ton batubara pada tahun penuh
2011, sangatlah kecil dibanding 223.3
juta ton batubara yang diproduksi Indonesia hingga akhir kuartal III 2011.
Kecilnya volume produksi tersebut adalah karena Mongol hanya memiliki 2.8 juta
penduduk di seantero negeri (bandingkan dengan 230 juta penduduk di Indonesia),
sehingga Mongol bukanlah negara konsumen yang potensial bagi batubara (jadi
ngapain gali batubara kalau gak ada yang beli?). Industri batubara di Mongol
baru mulai menggeliat sejak tahun 2006, setelah didorong oleh meningkatnya
permintaan batubara jenis coking coal (batubara
untuk peleburan baja) dari Tiongkok. Dari volume produksi sebanyak 30.4 juta ton
pada tahun 2011, 22.4 juta ton diantaranya memang merupakan coking coal. Para
perusahaan baja di Tiongkok sendiri lebih suka mengambil coking coal dari
Mongol ketimbang dari negara lainnya, karena harganya lebih murah dengan
selisih sekitar US$ 25 per ton.
Lima besar perusahaan batubara di Mongol, dilihat dari volume produksi,
adalah (diurutkan dari yang terbesar) 1. Mongolian Mining Corp., 2. Mongolyn
Alt - Qinhua Joint Company, 3. Tavan Tolgoi Joint Company, 4. SouthGobi
Resources, dan 5. Erdenes. Masing-masing dari kelima perusahaan tersebut
memproduksi rata-rata 4.5 juta ton batubara di tahun 2011. Kecil? Memang. Bandingkan
dengan volume produksi perusahaan batubara terbesar di Indonesia, Adaro Energy
(ADRO), yang mencapai 47.7 juta ton pada tahun 2011 (ADRO adalah produsen
batubara terbesar di Indonesia, sebab BUMI terdiri dari dua perusahaan batubara
yang terpisah, yaitu Kaltim Prima Coal, dan Arutmin). Jadi bisa dikatakan bahwa
Mongol masih terlalu kecil untuk bisa menggantikan Indonesia sebagai salah satu
eksportir batubara terbesar ke Tiongkok, bahkan meski banyak dibangun jalur
transportasi batubara yang menghubungkan kedua negara.
Tapi bukankah volume produksi yang kecil itu berpotensi untuk meningkat
seiring dengan berkembangnya pembangunan berbagai infrastruktur pendukung
disana? Yup, benar. Menurut konsultan tambang batubara terkemuka di Tiongkok,
Shanxi Fenwei, total produksi batubara Mongol yang hanya 30.4 juta ton pada
tahun 2011 akan meningkat menjadi 56.9 juta ton pada tahun 2015 mendatang,
dimana 42.8 juta ton diantarnya merupakan coking coal. But hey, angka segitu tetep
saja kecil dibanding volume produksi batubara asal Indonesia bukan? Kalau kita
bicara jangka yang sangaaat panjang, katakanlah 20 - 30 tahun mendatang, maka
mungkin barulah industri batubara di Mongol akan maju seperti disini. Kesulitan
utama dalam industri batubara (dan juga industri tambang lainnya) di Mongol
adalah kondisi geografisnya yang sulit untuk dieksplorasi (perpaduan antara
gurun, pegunungan, hutan belantara, hingga padang rumput), dan jumlah
penduduknya yang kelewat sedikit. Dari penduduk Mongol yang cuma 2.8 juta itu,
45% diantaranya tinggal di Ibukota Ulaanbaatar, sehingga sebagian besar area
Mongol adalah tanah perawan alias no
man’s land yang memerlukan upaya ekstra untuk dieksplorasi.
Oke, tarohlah Mongol kemudian berhasil maju pada 20 tahun mendatang. Namun
ketika itu seharusnya Indonesia juga sudah jauh lebih maju dibanding saat ini
(karena penduduk Indonesia jauuuh lebih banyak ketimbang Mongol), termasuk
berbagai industrinya yang membutuhkan bahan bakar batubara. Sehingga seharusnya
pada saat itu perusahaan-perusahaan batubara Indonesia tidak perlu lagi
mengekspor produknya keluar negeri, melainkan bisa ke pasar domestik. Dan seharusnya hal ini juga bisa meminimalisir kekhawatiran karena perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, karena cepat atau lambat, perusahaan-perusahaan batubara di Indonesia akan menjadi tidak tergantung oleh pasar Tiongkok lagi.
Lalu, dari mana kita tahu bahwa para perusahaan batubara di Indonesia nantinya bisa menjual produknya ke pasar domestik? Salah satunya, kita bisa melihatnya dari progress proyek pembangunan
pembangkit listrik 10,000 Megawatt (MW) milik PLN, yang belakangan direvisi menjadi 10,047
MW. Sepanjang tahun 2011 lalu, PLN sudah menyelesaikan pembangunan beberapa unit pembangkit dengan total kapasitas 3,274 MW,
sehingga totalnya PLN sudah menyelesaikan 37 unit pembangkit listrik dengan total kapasitas
9,975 MW dari rencana 10,047 MW (lho, sedikit lagi selesai toh?). Sekitar 50% dari pembangkit-pembangkit listrik anyar tersebut akan menggunakan bahan bakar geothermal (panas bumi), sementara 30% lainnya menggunakan bahan bakar batubara. Sisanya menggunakan bahan bakar minyak solar, tenaga air, tenaga surya,
dan gas.
Jadi dengan ini, penulis mengkoreksi komentar penulis di artikel sebelumnya
(kalau gak salah yang berjudul Kobexindo Tractors), yang mengatakan bahwa PLN lelet. I’m sorry sir, ketika itu saya belum
membaca report perusahaan anda.
Pasca proyek 10,000 MW diatas, PLN akan mengerjakan proyek yang sama,
dengan judul proyek 10,000 MW tahap dua. Namun proyek ini masih sebatas rencana
alias belum dikerjakan. Kalau dari perusahaan pembangkit listrik swasta yang
sudah teken kontrak penjualan listrik dengan PLN, terdapat setidaknya 15
pembangkit listrik yang akan mulai beroperasi dalam beberapa waktu yang akan
datang, dengan total kapasitas 4,110 MW, dimana 2,890 MW alias 70% diantaranya
menggunakan bahan bakar batubara. Tapi berani taruhan, informasi diatas gak akan
muncul di koran dalam waktu dekat ini, karena itu akan menjadi nggak nyambung
dengan kondisi saham-saham batubara yang sedang terpuruk pada saat ini.
Kesimpulannya, penulis termasuk yang masih optimis dengan prospek
saham-saham batubara di Indonesia. Kalaupun ada saham yang harus dihindari,
mungkin itu adalah Borneo Lumbung Energi & Metal (BORN), karena BORN memproduksi coking coal, sementara emiten batubara
lainnya memproduksi thermal coal. Diatas sudah disebutkan bahwa selain Mongol
memproduksi coking coal cukup banyak, harga coking coal disana juga lebih murah
rata-rata US$ 25 per ton dibanding harga coking coal di pasar global, termasuk
Indonesia. Namun sejauh analisis penulis, tidak terdapat data yang menyebutkan
bahwa harga thermal coal asal Mongol lebih murah ketimbang harga thermal coal
asal Indonesia. Kemungkinan harga thermal coal asal Mongol masih mahal karena
biaya eksplorasi disana juga lebih mahal ketimbang disini. Untuk kasus harga
coking coal, ceritanya bisa beda karena harga coking coal di pasar global
memang jauh lebih mahal dibanding thermal coal. Jadi sekali lagi, nothing to
worry about.
Teori Konspirasi Rothschild
Anda mungkin sudah mendengar cerita perseteruan antara Grup Bakrie dengan mantan
rekan bisnisnya dari Inggris, Nathaniel
‘Nat’ Rothschild, dimana Nat berang karena ditendang dari jajaran direksi Bumi Plc, digantikan oleh Samin Tan, pemilik BORN. Beberapa orang
mengatakan bahwa Bakrie melakukan itu untuk mencegah BUMI, yang sebagian sahamnya dipegang oleh Bumi Plc, lepas ke
tangan Nat. Namun langkah Bakrie tersebut terbilang ceroboh, karena Nat ini
bukan orang sembarangan. Dia adalah anggota dari Keluarga Rothschild, yang oleh sebagian orang, dipercaya sebagai
dinasti keluarga terkaya dan paling berpengaruh di muka bumi (ada juga yang
bilang kalau Rothschild ini sudah mengendalikan dunia termasuk Amerika, sejak
abad ke-18 hingga sekarang). Mereka lebih kaya dibanding Bill Gates, Carlos
Slim Helu, Warren Buffett, ataupun Aburizal Bakrie. Mereka juga lebih berkuasa dibanding Barack
Obama, Hu Jintao, Angela Merkel, Benjamin Netanyahu, ataupun Susilo Bambang Yudhoyono.
Jadi kalau cerita soal Rothschild itu benar, maka bagi Mr. Nathaniel,
adalah sangat mudah baginya untuk mengendalikan arah market. Terkait ‘masalah
pribadinya’ dengan Bakrie, Nat kemudian menyuruh para bandarnya untuk
menjatuhkan saham-saham yang berkaitan dengan Bumi Plc, yaitu BUMI, BORN, Berau
Coal Energy (BRAU), dan Bumi Resources Minerals (BRMS). Nat juga menyebarkan
berbagai rumor yang tak sedap untuk memuluskan proses penjatuhan saham
tersebut, sehingga imbasnya gak cuma keempat saham diatas saja yang jatuh, tapi
hampir seluruh saham-saham tambang di BEI ikut jatuh. Lebih jauh, Nat bahkan
bisa saja menyuruh perusahaan-perusahaan pembangkit listrik di Tiongkok untuk
tidak lagi membeli batubara asal Indonesia. Just remember, his family rule the
world!
Namun, cerita diatas hanyalah teori konspirasi. Tidak ada bukti yang secara
tegas menunjukkan keterlibatan Rothschild dengan penurunan saham-saham tambang,
khususnya batubara. Tapi jika cerita diatas memang benar, maka arah pergerakan
saham batubara menjadi tidak bisa diprediksi, karena soal apakah saham-saham
batubara akan dinaikkan atau diturunkan, itu akan sepenuhnya tergantung oleh
keinginan si bandar saja. Untuk saat ini mari kita berharap mudah-mudahan teori
konspirasi itu cuma teori saja, bukan sungguhan.
Satu hal lagi, Warren Buffett pernah memberi tips, ‘The best time to buy a stock is when nobody wants to buy it’. Tips
yang terdengar sederhana, namun sangat sulit untuk dipraktekkan. Bagaimana bisa
kita membeli sebuah saham yang orang lain justru berlomba-lomba untuk
menjualnya? But trust me, Buffett is right :)
Komentar
Mungkin boleh diriset, Bumi Plc, yg semula bernama Valar, bukanlah perusahaan yg memiliki sejarah panjang. Malah sangat singkat.
Ini bisa jadi adalah skenario backdoor listing di bursa London, dimana Valar menjadi vehicle nya, dan Nat Rothschild memang sudah direncanakan dari awal utk meninggalkanya bagi Bakrie.
well, need further research on this matter though. :D cheers.