Kobexindo Tractors
Kobexindo Tractors (kodenya belum ditentukan, tapi kita sebut saja KOBE)
adalah perusahaan yang tergolong baru dan masih berukuran kecil di sektor penjualan
dan penyewaan alat-alat berat (heavy
equipment). Jika dibanding tiga perusahaan alat-alat berat lainnya yang
sudah lebih dulu listing di bursa, yaitu United Tractors (UNTR), Intraco Penta
(INTA), dan Hexindo Adiperkasa (HEXA), maka KOBE adalah ‘anak muda yang masih
belum punya apa-apa’. Namun dalam lima tahun terakhir, KOBE cukup mampu
menunjukkan pertumbuhan yang konsisten. Pada tahun penuh 2011, KOBE mencatat
laba bersih Rp80 milyar, dibanding Rp7 milyar pada tahun 2006. Lalu kira-kira
bagaimana prospekya? Here we go.
Seperti juga perusahaan alat-alat berat lainnya, KOBE menjual dan
menyewakan alat-alat berat yang diambil dari produsen luar negeri. Beberapa
merk alat-alat berat yang dipegang KOBE adalah Doosan (Korea Selatan), Daewoo
(Korea Selatan), NHL (Tiongkok), dan Jungheinrich (Jerman). Di Indonesia,
merk-merk alat berat yang lebih dikenal adalah Komatsu (dijual oleh UNTR),
Caterpillar (Trakindo, gak listing), Hitachi (HEXA), dan Kobelco (Daya Kobelco
Indonesia, gak listing), sehingga bisa dikatakan bahwa KOBE hanya menjual
produk-produk kelas dua, setidaknya kalau dari sisi brand (kalau dari sisi kualitas mungkin sama saja). Namun
sepertinya itu tidak jadi masalah, dimana KOBE tetap mencatat penjualan yang
terus meningkat. Kalau kita perhatikan perusahaan alat berat lainnya yaitu
Intraco Penta, mereka juga hanya menjual alat berat merk Volvo, namun
kinerjanya tetap boleh dibilang tokcer. Hal ini mungkin karena para pembeli dan
penyewa alat-alat berat tidak begitu fanatik terhadap merk. Mereka lebih
memperhatikan soal apakah alat berat yang dibeli memiliki spesifikasi sesuai
kebutuhan atau tidak. Dan salah satu merk alat berat yang dijual KOBE,
Jungheinrich, memiliki kelebihan khusus yaitu spesifikasinya dapat diutak atik
(customized) agar sesuai dengan
kebutuhan konsumen.
Namun tetap saja, tantangan terbesar bagi KOBE adalah bagaimana cara memperluas
pangsa pasar dari produk-produknya. Dan strategi untuk itu adalah dengan ‘menjemput
bola’, dengan membuka kantor-kantor cabang baru di lokasi yang dekat dengan
lokasi pertambangan batubara (dimana biasanya para perusahaan tambang batubara
tentunya membutuhkan alat-alat berat), yaitu Samarinda dan Balikpapan (Kalimantan
Timur), dan Palembang (Sumatera Selatan). Khusus untuk kantor cabang di
Palembang, perusahaan melihat adanya peluang yang cukup besar karena disana
terdapat beberapa perusahaan yang sedang mengembangkan industri coal bed methane, yaitu industri yang
mengubah batubara menjadi gas alam metana. KOBE juga akan mendirikan kantor
cabang di wilayah Sulawesi dan Pulau Halmahera (belum ditentukan di kota apa),
karena adanya prospek pasar dari banyak perusahaan tambang tembaga, emas dan
nikel disana. Sementara untuk memperluas area distribusi di Pulau Jawa, KOBE
akan mendirikan dua kantor cabang masing-masing di Semarang, dan Surabaya.
Duitnya dari mana? Ya dari IPO lah.
Tapi apakah pendapatan KOBE tergantung hanya dari perusahaan-perusahaan
tambang? Untungnya nggak. KOBE juga punya banyak pelanggan dari kelompok
perusahaan consumer goods, terutama
untuk produk lift-truck. KOBE juga
berencana untuk masuk ke pasar penjualan alat-alat berat untuk perusahaan
perkebunan kelapa sawit dan infrastruktur. Dan ini adalah kelebihan KOBE
dibanding perusahaan alat-alat berat lainnya, yang kebanyakan menggantungkan
pendapatannya hanya dari sektor tambang.
Sayangnya tidak seperti perusahaan alat-alat berat lain yang biasanya juga
punya unit-unit usaha yang terintegrasi seperti pembiayaan alat-alat berat,
kontraktor tambang, atau perusahaan tambang itu sendiri, KOBE sepenuhnya hanya
bermain di sektor penjualan dan penyewaan alat-alat berat (termasuk spare part dan maintenance), dan juga tidak memiliki rencana untuk pengembangan
usaha untuk menjadi perusahaan alat-alat berat yang terintegrasi (contohnya
seperti UNTR). Mengingat bahwa terkadang perusahaan yang membeli alat berat
juga membutuhkan layanan tambahan, misalnya layanan pembiayaan (soalnya harga alat-alat
berat itu mahal gan!), layanan engineering,
hingga kontraktor tambang, maka boleh dikatakan bahwa KOBE belum bisa
disebut sebagai one stop solutions company.
Dalam hal ini KOBE kalah jauh dibanding INTA atau UNTR. KOBE memang menjalin
kerjasama dengan beberapa perusahaan pembiayaan dalam menjual produk-produknya,
namun mereka nggak punya perusahaan pembiayaan sendiri. Tapi sekali lagi, hal
ini juga ternyata tidak berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Kompetitor
KOBE lainnya, HEXA, juga hanya menjual dan menyewakan alat-alat berat tanpa
memiliki unit-unit usaha di bidang lainnya yang berkaitan, tapi kinerjanya
tetep aja lancar jaya.
Terus bagaimana dengan outlook-nya? Kalau untuk industri alat-alat
berat-nya sendiri, sejak tahun 2010 Pemerintah RI telah membebaskan bea impor
untuk alat-alat berat (yang berdampak positif pada peningkatan pendapatan
perusahaan), dan pada saat ini Pemerintah sedang menyusun peraturan terkait
pengadaan lahan, barang, dan jasa, dalam rangka mempermudah masuknya investasi
terutama di bidang infrastruktur (dan pembangunan infrastruktur tentunya
membutuhkan alat berat). Sementara untuk sektor batubara dimana banyak
perusahaan tambang yang menjadi pelanggan KOBE disana, Pemerintah baru saja mengkonfirmasi
bahwa tidak ada bea ekspor untuk batubara. Sounds good! IPO KOBE ini juga
karena perusahaan tampaknya memang membutuhkan banyak dana untuk menggarap
berbagai peluang ekspansi, itu terlihat dari jumlah utang meningkat dua kali lipat
di tahun 2011, peningkatan tertinggi dalam lima tahun terakhir, dan sebagian
besar utang tersebut merupakan utang usaha (pengambilan unit-unit alat berat dari
produsen yang masih belum dibayar).
Itu outlook dari sisi optimisme-nya. Terkait risikonya, di prospektusnya
KOBE menekankan bahwa permintaan pasar
domestik akan batubara akan meningkat pesat hingga tahun 2015 nanti, seiring
dengan selesainya proyek pembangunan PLTU 10,000 MW, sehingga seharusnya para
perusahaan batubara akan tetap menggenjot produksinya, meskipun permintaan
batubara dari Tiongkok dan India bisa menurun sewaktu-waktu. Soal proyek PLTU
10,000 MW ini kita pernah membahasnya, dan kalau penulis sih cenderung pesimis
karena seharunya proyek tersebut sudah kelar tahun 2010 lalu (PLN oh PLN..).
Jadi mungkin agak riskan juga kalau KOBE terlalu ‘mengharapkan’ proyek
tersebut. Mungkin yang nantinya patut diperhatikan adalah, seberapa gigih
perusahaan dalam berupaya memasuki pasar penyediaan alat-alat berat untuk
sektor perkebunan kelapa sawit dan infrastruktur, terutama infrastruktur yang pada
saat ini sendang tumbuh pesat, dengan tetap mempertahankan para pelanggannya di
sektor consumer goods. Jika KOBE sukses dalam upayanya tersebut, maka there is
nothing to worry about. Tapi jika tidak? Ya kita berharap saja semoga PLN
segera menyelesaikan proyek PLTU-nya, pertumbuhan ekonomi di Tiongkok tetap
meningkat pesat (soalnya India katanya mulai melambat), dan para perusahaan
tambang bijih logam bisa segera menyelesaikan pembangunan smelter-nya sebelum deadline tahun 2014. Jika anda berminat untuk
berinvestasi di KOBE ini, dan juga perusahaan alat-alat berat lainnya, maka itu
semua patut diperhatikan.
Sebenarnya untuk sektor batubaranya sendiri, penulis melihat bahwa
outlook-nya masih bagus, mengingat sifat dari batubaranya sendiri yang
merupakan bahan bakar paling ekonomis untuk pembangkit listrik, sehingga permintaannya
gak akan pernah habis (kecuali kalau umat manusia balik lagi ke jaman batu
dimana nggak ada listrik), dan karena para perusahaan batubara terutama yang besar-besar,
biasanya punya akses yang bagus ke banyak pembeli internasional, sehingga jika
satu pembeli berhenti berlangganan, mereka bisa menjualnya ke pembeli yang
lain.
Namun, outlook yang bagus tersebut belum tentu akan berimbas positif pada
KOBE, mengingat para pembeli alat-alat berat yang dijual KOBE bukanlah
perusahaan tambang batubara, melainkan perusahaan kontraktor tambang batubara. Dan disinilah tantangannya: Dari empat
perusahaan kontraktor tambang terbesar di Indonesia, yaitu (diurutkan dari yang
terbesar) Pamapersada, Bukit Makmur, Thiess, dan Darma Henwa, hanya Bukit
Makmur dan Thiess yang menjadi pelanggan KOBE. Mengingat bahwa Pamapersada sebagai
perusahaan kontraktor terbesar nyaris gak mungkin beli alat berat dari KOBE (soalnya
Pamapersada adalah anak usahanya UNTR), maka pangsa pasar KOBE terbatas hanya pada perusahaan
kontraktor yang lebih kecil, dimana para perusahaan kontraktor ini juga hanya
punya pelanggan perusahaan batubara kelas kecil dan menengah. Keterbatasan
inilah yang menyebabkan KOBE bisa ‘kena duluan’ jika terjadi sesuatu yang nggak
bagus pada sektor batubara, apalagi mereka nggak punya perusahaan kontraktor
sendiri.
Kesimpulannya KOBE ini barangnya bagus, punya potensi untuk menjadi besar
dengan cepat mengingat pertumbuhan di sektornya sedang bagus-bagusnya (UNTR
meski besar namun pertumbuhannya sudah mulai mentok), namun jenis usahanya
memiliki cukup banyak risiko usaha. KOBE memang punya ‘plan B’ jika sumber
pendapatannya di sektor tambang mandek, yaitu dengan masuk ke sektor lain, tapi
itu belum dilakukan (kecuali produk Jungheinrich yang sudah punya banyak
pelanggan di sektor consumer goods). Untuk saat ini kalau berdasarkan
historisnya, KOBE layak dijadikan pegangan long term, but with cautions. KOBE
mungkin tidak bisa dipakai untuk trading, mengingat KOBE hanya melepas 858 juta
lembar saham ketika IPO-nya, sehingga kemungkinan sahamnya nggak akan likuid.
Soal sahamnya, KOBE dikabarkan akan melepas saham di harga Rp380 – 520 per
saham. Kita ambil yang terendah, yaitu Rp380 per saham, yang akan mencerminkan
market cap Rp1.2 trilyun. Posisi equity KOBE per akhir tahun 2011 adalah Rp208
milyar. Ditambah hasil IPO sebesar Rp380 x 858 juta = Rp326 milyar (setelah
dikurangi biaya emisi, mungkin bersihnya Rp310 milyar), maka equity KOBE akan
menjadi Rp208 + 310 = Rp518 milyar, sehingga PBV-nya Rp1.2 trilyun / Rp518
milyar = 2.3 kali (kita pakai PBV sebagai patokan valuasi karena utang KOBE lumayan banyak). Dengan ROA yang
mencapai 7.1% kalau berdasarkan laporan keuangan tahun penuh 2011, maka harga
tersebut terbilang wajar, meski gak bisa dikatakan murah juga. Pada hari
listing perdananya, penulis cukup optimis bahwa KOBE bisa naik ke posisi 420,
dengan catatan ketika itu IHSG sudah pulih, atau setidaknya gak turun-turun
lagi kaya sekarang.
Tapi bagaimana kalau KOBE dijual di harga Rp500 atau bahkan 520? Ya kalau
underwriter-nya maksa gitu sih, mendingan gak usah ikutan dulu deh. Kita liat
dulu bagaimana pergerakan sahamnya di market, apakah beneran naik atau nggak.
Komentar