JP Morgan, Dow Jones, & IHSG

Beberapa hari terakhir, media massa global gencar memberitakan soal kerugian yang dialami oleh salah satu bank investasi paling terkemuka di Amerika Serikat (AS) dan juga dunia, yaitu JP Morgan Chase & Co., sebesar US$ 2 milyar (sekitar Rp18 trilyun). Menurut rumor yang berkembang, kerugian tersebut disebabkan oleh kekeliruan kebijakan investasi yang dilakukan oleh bank yang bersangkutan. Pihak JP Morgan merespons kejadian ini dengan mem-pensiun-kan Chief Investment Officer-nya (CIO), yaitu Ms. Ina Drew, yang telah mengabdi di perusahaan selama 30 tahun. Namun tindakan tersebut tetap belum menjawab pertanyaan para investor di seluruh dunia: Apa yang sebenarnya terjadi?

Awalnya, penulis berpikir bahwa kerugian US$ 2 milyar tersebut merupakan rugi bersih yang dialami perusahaan sepanjang Kuartal I 2012 (1Q12). Tapi ternyata bukan. Pada 1Q12, JP Morgan mencatat pendapatan dan laba bersih masing-masing US$ 26.7 dan 5.4 milyar. Kerugian US$ 2 milyar yang ramai diberitakan beberapa hari terakhir adalah potensi kerugian akibat spekulasi yang dilakukan perusahaan di pasar futures untuk komoditas batubara, dimana JP Morgan mencoba untuk mengambil keuntungan dari volatilitas harga kontrak derivatif batubara di London, Inggris (beli di harga ‘diskon’, untuk kemudian menjualnya dalam satu hari, satu jam, atau bahkan satu menit kemudian di harga yang diharapkan lebih tinggi). Kalau di Indonesia, transaksi seperti ini diatur oleh Indonesia Commodities Derivatives Exchange (ICDX), dengan pengawasnya Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

Sebenarnya, terdapat dua hal yang perlu dicatat disini. Pertama, jumlah kerugian yang dilaporkan oleh pihak JP Morgan kepada publik bukanlah US$ 2 milyar, melainkan US$ 800 juta. Namun angka 800 juta tersebut adalah jumlah kerugian dalam enam pekan perdagangan kontrak derivatif tadi. Mengingat pada saat ini JP Morgan masih terlibat dalam perdagangan yang dimaksud, maka pasar-pun berspekulasi bahwa jumlah kerugian yang diderita JP Morgan masih bisa bertambah, kemudian muncullah angka US$ 2 milyar tadi. CEO JP Morgan, James 'Jamie' Dimon, tidak pernah mengatakan bahwa JP Morgan mengalami kerugian US$ 2 milyar, melainkan, ‘Kerugian US$ 800 juta tersebut bisa meningkat menjadi US$ 1 milyar pada kuartal II nanti. Harus kami akui bahwa kami berbuat kekeliruan besar disini.’



Mungkin para jurnalis menambahkan kalimat berikut di dalam ucapan Mr. Dimon, ‘Kerugian US$ 800 juta tersebut bisa meningkat menjadi US$ 1 milyar pada kuartal II nanti, dan bisa menjadi US$ 2 milyar di akhir tahun 2012. Harus kami akui bahwa kami berbuat kekeliruan besar disini.’

Kedua, kalaupun JP Morgan benar-benar mengalami kerugian sebesar US$ 2 milyar, itu relatif nggak seberapa untuk perusahaan sebesar JP Morgan, mengingat bahwa rata-rata pendapatan perusahaan dalam satu tahun lebih dari US$ 100 milyar, dan secara konsolidasi JP Morgan masih mencatat laba bersih. Terlalu jauh untuk menganggap bahwa JP Morgan bisa saja bernasib seperti Lehman Brothers hanya karena peristiwa ini. Sejak awal kontrak derivatif futures memang sangat berisiko tinggi, jadi wajar jika JP Morgan juga ikut tersandung didalamnya.

Namun cerita soal JP Morgan ini menjadi ramai dibicarakan di media dan cenderung dibesar-besarkan, mungkin karena terkait isu politik. Bagi para pelaku pasar di Wall Street, cukup mudah untuk melihat bahwa peristiwa ini dijadikan alasan oleh Pemerintah AS untuk segera memberlakukan Volcker Rule atau Peraturan Volcker, yaitu peraturan yang melarang bank-bank di AS untuk melakukan transaksi spekulatif, yang berpotensi merugikan nasabah dari bank yang bersangkutan. Volcker Rule ini adalah salah satu bagian dari undang-undang reformasi Wall-Street pasca krisis 2008, yang dijadwalkan akan diberlakukan pada tanggal 21 Juli 2012 (sebentar lagi). Sebelumnya Mr. Dimon adalah salah satu pihak yang mati-matian menentang Volcker Rule ini, karena peraturan tersebut, jika diberlakukan, tentunya akan mengurangi potensi keuntungan bagi JP Morgan.

Lalu apa hubungan Volcker Rule diatas dengan politik? Nah, perlu diketahui bahwa Volcker Rule adalah kebijakan dari Presiden Barack Obama, yang pertama kali diumumkan pada Januari 2010 lalu. Kata ‘Volcker’ diambil dari nama Paul Volcker, mantan chairman The Fed (bank sentral-nya AS) dan juga ketua Badan Penasihat Presiden Obama terkait Pemulihan Ekonomi. Paul Volcker adalah yang pertama kali mengusulkan Volcker Rule tersebut, sebelum kemudian disetujui oleh Obama sebagai Presiden. Simpelnya, secara politis bisa dikatakan bahwa, ‘Volcker Rule is Obama’.

Kemudian, ingat bahwa sebentar lagi AS akan mengadakan Pemilu Presiden, tepatnya tanggal 6 November 2012 mendatang. Sebelum terjadinya kasus JP Morgan ini, calon presiden dari Partai Republik, Mitt Romney, dalam kampanye-nya menuntut pencabutan undang-undang reformasi Wall-Street, termasuk juga Volcker Rule. Kasus JP Morgan praktis menjadi senjata bagi Mr. Obama untuk menunjuk hidung Mr. Romney dan mengatakan, ‘You’re wrong!’ Beberapa pihak menduga bahwa gencarnya pemberitaan soal potensi kerugian US$ 2 milyar oleh JP Morgan ini, salah satunya adalah karena didorong oleh upaya pembentukan opini publik bahwa Volcker Rule memang mutlak harus diberlakukan, atau dengan kata lain, ‘Obama was right, while Romney wasn’t.’

So, it’s probably nothing to do with the market. It’s a political issue. But could you explain about the Dow, which is decline to now 12,500’s positions?

Seperti yang anda ketahui, sejak tanggal 1 Mei, Dow Jones terus turun dari posisi 13,279, hingga terakhir sudah menyentuh 12,567, atau telah terkoreksi 5.4%. Apa penyebabnya? Ya kalau menurut pemberitaan  sih, penyebabnya adalah kasus JP Morgan seperti yang sudah kita bahas diatas, plus (seperti biasa) krisis utang Yunani. Tapi mari kita coba melihatnya dari sisi fundamental. Kemarin, penulis mengumpulkan data laba bersih untuk 1Q12 dari tiga puluh perusahaan penghuni Dow Jones, berikut data laba bersih untuk 1Q11 sebagai pembandingnya. Berikut hasilnya:

Company
1Q12
1Q11
Growth (%)
Exxon Mobil
9,799
10,913
(10.2)
Chevron
6,499
6,239
4.2
JP Morgan
5,383
5,555
(3.1)
Microsoft
5,108
5,232
(2.4)
Johnson & Johnson
3,910
3,476
12.5
Verizon
3,906
3,264
19.7
Wal-Mart
3,894
3,550
9.7
AT&T
3,652
3,468
5.3
General Electric
3,072
3,527
(12.9)
IBM
3,066
2,863
7.1
Intel Corp
2,738
3,160
(13.4)
P&G Company
2,467
2,906
(15.1)
Cisco Systems
2,182
1,521
43.5
Coca-Cola
2,067
1,916
7.9
Pfizer
1,803
2,234
(19.3)
Merck
1,767
1,071
65.0
Caterpillar
1,611
1,243
29.6
Walt Disney
1,521
1,334
14.0
EI du Pont
1,500
1,444
3.9
Hewlett-Packard
1,468
2,605
(43.6)
McDonald's
1,267
1,209
4.8
3M Company
1,141
1,103
3.4
Home Depot
1,035
812
27.5
Boeing
923
586
57.5
Kraft Foods
819
802
2.1
Travelers
806
839
(3.9)
Bank of America
653
2,049
(68.1)
United Technologies
407
1,101
(63.0)
Alcoa
99
366
(73.0)
American Express
90
69
30.4
Total
74,653
76,457
(2.4)

Catatan: Angka disajikan dalam jutaan US Dollar. Angka ‘Total’ tidak sepenuhnya akurat mengingat sebagian perusahaan mencatumkan laporan keuangannya untuk periode tiga bulan yang berakhir tanggal 31 Januari atau 30 April 2012, bukan 31 Maret 2012 seperti pada umumnya, namun angka tersebut cukup memadai untuk memberikan gambaran kinerja semua perusahaan secara keseluruhan.

Okay, dari tabel diatas, tampak bahwa seluruh perusahaan AS yang terdaftar di indeks Dow Jones mencatat total laba bersih US$ 74.5 milyar pada 1Q12, turun tipis 2.4% dibanding periode yang sama tahun lalu. Dan coba tebak, ternyata posisi indeks Dow pada saat ini yaitu 12,567, adalah nyaris sama dibanding posisinya setahun yang lalu (tanggal 17 Mei 2011), yaitu 12,479. Jika berkaca pada kinerja perusahaan yang cenderung stagnan, maka posisi Dow tersebut bisa dimengerti. Malah jika kita memperhatikan total laba bersih para perusahaan diatas yang turun sebesar 2.4%, maka boleh jadi Dow masih layak untuk turun lebih dalam lagi, mungkin 2 – 3% dari posisinya saat ini.

Lalu bagaimana dengan IHSG-nya Indonesia? Berikut adalah data laba bersih dari sepuluh emiten terbesar di BEI dari sisi market cap, yang mewakili sekitar 42.7% dari market cap seluruh saham di BEI (data per tanggal 1 Mei 2012). Data ini pernah penulis sajikan di Investor Buletin yang terbit tanggal 1 Mei kemarin:

Company
1Q12
1Q11
Growth (%)
ASII
5.5
5.1
7.8
HMSP
2.5
1.8
35.7
BBCA
2.3
2.0
14.3
TLKM
4.6
3.8
19.2
BMRI
3.5
3.9
(8.6)
BBRI
4.2
3.3
29.9
UNVR
1.2
1.0
17.7
GGRM
1.2
1.1
10.1
UNTR
1.5
1.3
17.6
PGAS
2.6
2.2
19.5
Total
29.1
25.4
14.3

Catatan: Angka disajikan dalam trilyunan Rupiah. Laba bersih PGAS dikonversi dari US Dollar menjadi Rupiah menggunakan kurs pada 1Q12 dan 1Q11 masing-masing Rp9,180 dan 8,709 per US Dollar.

Oke, sekarang mari kita cek posisi IHSG. Ketika artikel ini ditulis, IHSG berada di posisi 3,980, atau hanya lebih tinggi 3.7% dibanding posisinya setahun yang lalu, yaitu 3,840. Mengingat bahwa pertumbuhan laba bersih para emiten, setidaknya kalau pakai sampel sepuluh emiten diatas, mencapai 14.3%, maka apa itu berarti IHSG pada saat ini telah cukup terkoreksi dan tidak akan turun lebih dalam lagi? Bisa jadi. Kenaikan laba bersih 14.3% pada emiten-emiten di BEI jelas jauh lebih baik ketimbang penurunan 2.4% yang dialami perusahaan-perusahaan anggota Dow Jones.

Namun ada satu hal yang perlu diperhatikan disini, yaitu bahwa tingkat inflasi di Indonesia berbeda dengan Amerika. Pada akhir Maret 2012, tingkat inflasi di Indonesia tercatat 4.0%, lebih tinggi dari tingkat inflasi di AS yang tercatat 2.7%. Penulis tidak mengerti cara menyesuaikan angka pertumbuhan laba bersih dengan inflasi yang terjadi, namun biar gampang kita kurangkan saja total pertumbuhan laba bersih yang 14.3% tadi dengan inflasi sebesar 4.0%, hasilnya 10.3%. Mengingat bahwa dalam setahun terakhir IHSG hanya tumbuh 3.7% (kalau dihitung berdasarkan posisinya yang pasca koreksi dalam dua minggu terakhir), maka bisa dikatakan bahwa secara fundamental, posisi IHSG pada saat ini sudah berada dibawah posisi wajarnya, yaitu 4,000-an. Dengan catatan tidak terjadi peristiwa luar biasa, maka cuma soal waktu saja sebelum IHSG akan pulih lagi ke setidaknya 4,000-an tersebut.

Sebenarnya, perhitungan diatas belum lengkap karena seharusnya kita juga menghitung pertumbuhan equity alias book value dari tiga puluh perusahaan anggota Dow Jones, dan juga sepuluh perusahaan terbesar di BEI, yang disebutkan diatas. Namun setelah terjadinya penyesuaian standar penyusunan laporan keuangan, dimana posisi equity pada tanggal 31 Maret 2012 dibandingkannya dengan posisi equity per tanggal 31 Desember 2011, bukan tanggal 31 Maret 2011, maka proses menghitung pertumbuhan book value menjadi agak lebih rumit, dan penulis tidak sempat mengerjakannya (anybody willing to be my assistant?). Tapi mudah-mudahan data diatas bisa sedikit memberi gambaran.

Jadi kesimpulannya, apakah sekarang sudah saatnya untuk belanja? Sekali lagi dengan catatan tidak terjadi peristiwa luar biasa dalam beberapa hari kedepan, dan penulis cukup optimis akan hal itu, maka jawabannya adalah ya! Tapi anda juga nggak usah buru-buru. Kalau berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, koreksi seperti ini membutuhkan waktu paling tidak sebulan, dimana IHSG mungkin baru akan pulih pada akhir Mei atau awal Juni nanti. Secara teknikal, trend penurunan IHSG juga masih belum menunjukkan indikasi berbalik arah, jadi mendingan kita duduk manis dipinggir kolam saja dulu.

Lalu kira-kira saham-saham apa saja yang punya potensi untuk cepat pulih? Nah, anda bisa memperhatikan saham-saham yang memenuhi dua kriteria berikut: 1. Fundamentalnya bagus (tentu saja), dan 2. Memiliki nama dan reputasi yang baik di mata para investor retail, karena pernah memberikan keuntungan substansial bagi banyak investor sekaligus (pernah naik banyak, dimana kenaikan tersebut selaras dengan kenaikan kinerja perusahaan yang bersangkutan, bukan karena spekulasi). Secara psikologis, biasanya para investor akan lebih dulu melirik saham-saham yang memenuhi kriteria no.2 tersebut ketika IHSG rebound, sebelum baru kemudian melirik saham-saham lainnya. Alhasil, saham-saham itulah yang berpeluang untuk lebih cepat pulih. Jika anda tidak sedang dalam posisi memegang cash alias nyangkut, dan tidak cukup yakin bahwa saham-saham yang anda pegang akan segera naik pasca berakhirnya masa koreksi IHSG, maka anda juga bisa men-switch koleksi saham anda ke saham-saham tersebut.

Oke, terakhir, bisakah anda menunjukkan saham-saham apa saja yang kira-kira memenuhi dua kriteria yang anda sebutkan tadi? Well, berhubung penulis juga belum mengerjakan screening-nya, maka kita akan membahasnya di artikel hari Selasa atau Rabu mendatang.

Komentar

hendry mengatakan…
mantap kali ne artikel. thx pak teguh, gmn tuh KKGI...??
Anonim mengatakan…
Mantap, sangat informatif.....
Anonim mengatakan…
Property? Cocok dgn 1 dan 2.
Anonim mengatakan…
TBIG , MAIN , BBKP sikat dah kalo turun pasti bakal cepat pulih tuh
cycruzh_99 mengatakan…
mas, bahas ANTM donk.. udh lama gak bahas ntu saham. perkembangannya udah kayak gimana? laba bersihnya tiap tahun meningkat, tapi kenapa harga sahamnya gak naek-naek? masalah apa yang bikin nyangkut mas? bisa tolong dianalisis? thanks
Paul-Xamm mengatakan…
Saya suka analisanya, detail dan informatif. Rgs, Xamm

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?