Greenwood Sejahtera
Saat ini hampir seluruh emiten sudah merilis laporan keuangan untuk periode Full Year 2011. Dan kalau dilihat secara sektoral, sektor yang mencatat peningkatan kinerja cukup signifikan adalah sektor properti. Well, kita memang sudah pernah membahas ini sebelumnya di artikel Bubble Property?, dimana terdapat cukup banyak saham-saham properti yang melaju kencang sepanjang tahun 2011 lalu. Namun disini, penulis akan mengajak anda untuk melirik emiten properti anyar yang sahamnya baru listing akhir tahun 2011 kemarin, dan kinerjanya ternyata tidak kalah bagusnya dibanding para pendahulunya. Emiten tersebut adalah Greenwood Sejahtera (GWSA).
GWSA adalah perusahaan properti kecil yang berdiri sejak tahun 1990. Namun geliatnya di sektor properti baru dimulai pada tahun 2008, yang ditandai dengan dimulainya pembangunan proyek The City Center (TCC), sebuah kawasan superblock yang terdiri dari perkantoran, apartemen, hotel, dan pusat perbelanjaan, dengan alamat di Jalan K.H Mas Mansyur, Jakarta Pusat. TCC direncanakan akan mulai beroperasi pada Februari 2012, dan beroperasi secara penuh pada tahun 2015, sehingga pada laporan keuangan terakhirnya proyek tersebut sama sekali belum memberikan kontribusi pendapatan terhadap perusahaan.
Namun selain menggarap proyek TCC, sejak tahun 2011 lalu GWSA juga menyertakan kepemilikan saham pada beberapa perusahaan pemegang proyek-proyek properti di Jakarta dan Bandung. Proyek-proyek tersebut antara lain Hotel Emporium (Jakarta Utara), The Peak Apartment (Jakarta Selatan), Kuningan City (Jaksel), Senayan City (Jaksel), Festival Citylink (Bandung), Lindeteves Trade Center (Jakarta Pusat), dan Emporium Pluit Mall (Jakut). Kecuali Kuningan City dan Hotel Emporium, semua proyek properti diatas sudah selesai dibangun dan sudah menghasilkan pendapatan, sehingga GWSA tinggal memetik hasilnya saja. Dalam hal ini GWSA memiliki nilai plus, yaitu meski perusahaan hanya berstatus sebagai perusahaan properti kecil yang ‘baru mulai merintis usaha’, namun GWSA mampu menjalin hubungan dengan perusahaan properti yang lebih mapan dalam berinvestasi di proyek-proyek properti diatas. Salah satunya Agung Podomoro Land (APLN), pemilik dari Kuningan City, Senayan City, Festival Citylink, dan Lindeteves. Berkat penyertaan kepemilikan saham pada proyek-proyek properti itulah, kinerja GWSA pada tahun 2011 menjadi meningkat drastis, dimana perusahaan mencetak laba bersih Rp208 milyar, tumbuh 14 kali lipat dibanding tahun 2010.
Kedepannya yaitu pada tahun 2012 ini, pendapatan dan laba bersih GWSA berpotensi untuk kembali meningkat, mengingat salah satu investasinya yaitu Kuningan City, akan selesai dibangun dan mulai beroperasi. Selain itu proyek TCC milik perusahaan juga akan mulai menghasilkan pendapatan, dimana pembangunan tahap pertama yaitu sebuah menara perkantoran, sudah selesai dan sudah diresmikan topping off-nya pada tanggal 29 Februari 2012 kemarin. Sementara pada tahun berikutnya yaitu tahun 2013, giliran Hotel Emporium Pluit yang akan mulai mencetak pendapatan. Dua tahun berikutnya lagi yaitu tahun 2015, giliran proyek utama milik perusahaan yaitu The City Center tadi, yang akan mulai mencetak pendapatan. So, dilihat dari sini maka GWSA terbilang cukup prospektif untuk investasi jangka panjang.
Namun, semua prospek tentunya selalu diiringi dengan risiko. Risiko utama yang ditanggung oleh GWSA adalah kepastian kelanjutan dari proyek TCC, mengingat proyek prestisius tersebut membutuhkan investasi yang sangat-sangat besar. Progress tahap pertama yaitu pembangunan sebuah menara perkantoran sudah selesai. Selanjutnya adalah pembangunan tahap kedua, yaitu sebuah pusat perbelanjaan dan gedung convention center, plus tiga menara apartemen diatasnya. Kalau yang ini juga sudah selesai, maka terakhir yaitu tahap ketiga, perusahaan akan membangun satu gedung serbaguna berlantai 72, yang mencakup ruang perkantoran, hotel bintang lima, dan apartemen. So, bisa dibayangkan berapa biaya yang dibutuhkan untuk merealisasikan visi tersebut? Faktanya ketika kemarin perusahaan menyelenggarakan IPO, duit yang terkumpul cuma cukup untuk membeli lahannya saja, yaitu untuk pembangunan tahap kedua dan ketiga tersebut. Sementara untuk keperluan pendirian bangunan, kemungkinan biayanya akan diambil dari pinjaman bank.
Tantangannya disini adalah, GWSA bukanlah perusahaan properti besar macam Lippo Karawaci (LPKR), Agung Podomoro Land (APLN), atau Bakrieland Development (ELTY). Total asetnya pada akhir tahun 2011 cuma Rp1.7 trilyun. Proyek The City Center juga merupakan proyek pertama milik perusahaan, sehingga dalam hal ini GWSA belum memiliki track record yang menjanjikan. Jadi berani taruhan, manajemen GWSA perlu bekerja sangat keras untuk bisa memperoleh pinjaman bank dengan bunga yang kompetitif. Apalagi saat ini beberapa kalangan sudah mulai berpikir bahwa sektor properti mulai bubble, terlihat dari keputusan Bank Indonesia (BI) yang memperketat aturan pembayaran uang muka pembelian properti. Ini akan membuat para bank lebih hati-hati dalam menyalurkan kredit. Jadi jika manajemen GWSA gagal memperoleh pinjaman berbunga rendah, atau lebih buruk lagi, jika ternyata nggak ada bank yang mau ngasih pinjaman, maka visi The City Center tadi bisa jadi hanyalah tinggal visi tanpa realisasi sama sekali.
Beruntung, GWSA memiliki penyertaan investasi pada proyek-proyek properti yang sudah disebutkan diatas, sehingga jika terjadi skenario terburuk, yaitu proyek The City Center tidak bisa diteruskan, maka GWSA tetap akan memperoleh pendapatan. Dan untuk tahun 2012 ini setidaknya dua sumber pendapatan tambahan bagi perusahaan sudah ‘diamankan’, yaitu proyek Kuningan City dan TCC tahap pertama. Meski manajemen GWSA mungkin perlu kerja keras untuk meyakinkan bank untuk memberikan pinjaman, namun mereka memiliki nilai plus yaitu kedekatannya dengan APLN, sebuah perusahaan properti dengan reputasi dan track record yang sangat baik. Intinya jika mereka berhasil meyakinkan APLN untuk ‘berbagi kue’ di proyek-proyek propertinya, maka seharusnya mereka juga tidak terlalu mengalami kesulitan untuk meyakinkan para bank untuk memberikan pinjaman.
Kesimpulannya, GWSA ini prospeknya bagus, setidaknya untuk setahun kedepan, dan risikonya juga terbilang terukur. Lalu bagaimana dengan sahamnya?
Dari sisi profitabilitas, GWSA mencatat ROA 12.0%, setara dengan Alam Sutera Realty (ASRI), sementara PER-nya pada harga 245 masih dibawah 10 kali, tepatnya 9.2 kali. Jadi ya, GWSA ini masih murah, terutama kalau kita mempertimbangkan prospek tambahan pendapatan yang akan diperoleh perusahaan di tahun 2012 ini. Kalau berdasarkan peningkatan nilai investasi pada proyek yang sudah ada, pada tahun 2011 kemarin GWSA memperoleh gain sekitar 30%. So, dengan asumsi pada tahun 2012 ini investasi GWSA tersebut akan kembali meningkat 30%, plus tambahan pendapatan dari proyek Kuningan City dan TCC tahap pertama, maka pendapatan GWSA pada tahun ini akan meningkat setidaknya 50%, dan laba bersihnya akan meningkat diatas 100%. Jika itu terjadi, maka target harga 400 untuk saham GWSA pada akhir tahun 2012 ini terbilang sangat realistis.
Terakhir jika anda tertarik, maka ingat bahwa kebijakan BI yang menetapkan DP minimal 30% untuk kredit KPR, mungkin akan sedikit berpengaruh pada penjualan toko-toko di Kuningan City dan ruang kantor di Menara Perkantoran TCC. Penulis tidak tahu apakah kebijakan DP tersebut hanya terbatas pada kredit KPR atau juga berlaku untuk kredit properti komersial (ruko, toko, dan kantor), namun yang jelas dampaknya akan tetap terasa minimal secara psikologis. Jadi jika anda menjadikan GWSA ini sebagai investasi long term, maka jangan lupa untuk segera mengecek laporan keuangannya di Kuartal I 2012 nanti. Meski begitu, yang jelas kalau berdasarkan laporan keuangannya pada Kuartal IV 2011, kinerja GWSA terbilang kinclong dan sahamnya juga masih wajar.
PT Greenwood Sejahtera Tbk.
Rating kinerja pada FY11: AA
Rating saham pada 245: A
NB: Ebook Kumpulan Analisis edisi Kuartal IV alias Full Year 2011 (FY11) sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini.
GWSA adalah perusahaan properti kecil yang berdiri sejak tahun 1990. Namun geliatnya di sektor properti baru dimulai pada tahun 2008, yang ditandai dengan dimulainya pembangunan proyek The City Center (TCC), sebuah kawasan superblock yang terdiri dari perkantoran, apartemen, hotel, dan pusat perbelanjaan, dengan alamat di Jalan K.H Mas Mansyur, Jakarta Pusat. TCC direncanakan akan mulai beroperasi pada Februari 2012, dan beroperasi secara penuh pada tahun 2015, sehingga pada laporan keuangan terakhirnya proyek tersebut sama sekali belum memberikan kontribusi pendapatan terhadap perusahaan.
Namun selain menggarap proyek TCC, sejak tahun 2011 lalu GWSA juga menyertakan kepemilikan saham pada beberapa perusahaan pemegang proyek-proyek properti di Jakarta dan Bandung. Proyek-proyek tersebut antara lain Hotel Emporium (Jakarta Utara), The Peak Apartment (Jakarta Selatan), Kuningan City (Jaksel), Senayan City (Jaksel), Festival Citylink (Bandung), Lindeteves Trade Center (Jakarta Pusat), dan Emporium Pluit Mall (Jakut). Kecuali Kuningan City dan Hotel Emporium, semua proyek properti diatas sudah selesai dibangun dan sudah menghasilkan pendapatan, sehingga GWSA tinggal memetik hasilnya saja. Dalam hal ini GWSA memiliki nilai plus, yaitu meski perusahaan hanya berstatus sebagai perusahaan properti kecil yang ‘baru mulai merintis usaha’, namun GWSA mampu menjalin hubungan dengan perusahaan properti yang lebih mapan dalam berinvestasi di proyek-proyek properti diatas. Salah satunya Agung Podomoro Land (APLN), pemilik dari Kuningan City, Senayan City, Festival Citylink, dan Lindeteves. Berkat penyertaan kepemilikan saham pada proyek-proyek properti itulah, kinerja GWSA pada tahun 2011 menjadi meningkat drastis, dimana perusahaan mencetak laba bersih Rp208 milyar, tumbuh 14 kali lipat dibanding tahun 2010.
Kedepannya yaitu pada tahun 2012 ini, pendapatan dan laba bersih GWSA berpotensi untuk kembali meningkat, mengingat salah satu investasinya yaitu Kuningan City, akan selesai dibangun dan mulai beroperasi. Selain itu proyek TCC milik perusahaan juga akan mulai menghasilkan pendapatan, dimana pembangunan tahap pertama yaitu sebuah menara perkantoran, sudah selesai dan sudah diresmikan topping off-nya pada tanggal 29 Februari 2012 kemarin. Sementara pada tahun berikutnya yaitu tahun 2013, giliran Hotel Emporium Pluit yang akan mulai mencetak pendapatan. Dua tahun berikutnya lagi yaitu tahun 2015, giliran proyek utama milik perusahaan yaitu The City Center tadi, yang akan mulai mencetak pendapatan. So, dilihat dari sini maka GWSA terbilang cukup prospektif untuk investasi jangka panjang.
Namun, semua prospek tentunya selalu diiringi dengan risiko. Risiko utama yang ditanggung oleh GWSA adalah kepastian kelanjutan dari proyek TCC, mengingat proyek prestisius tersebut membutuhkan investasi yang sangat-sangat besar. Progress tahap pertama yaitu pembangunan sebuah menara perkantoran sudah selesai. Selanjutnya adalah pembangunan tahap kedua, yaitu sebuah pusat perbelanjaan dan gedung convention center, plus tiga menara apartemen diatasnya. Kalau yang ini juga sudah selesai, maka terakhir yaitu tahap ketiga, perusahaan akan membangun satu gedung serbaguna berlantai 72, yang mencakup ruang perkantoran, hotel bintang lima, dan apartemen. So, bisa dibayangkan berapa biaya yang dibutuhkan untuk merealisasikan visi tersebut? Faktanya ketika kemarin perusahaan menyelenggarakan IPO, duit yang terkumpul cuma cukup untuk membeli lahannya saja, yaitu untuk pembangunan tahap kedua dan ketiga tersebut. Sementara untuk keperluan pendirian bangunan, kemungkinan biayanya akan diambil dari pinjaman bank.
Tantangannya disini adalah, GWSA bukanlah perusahaan properti besar macam Lippo Karawaci (LPKR), Agung Podomoro Land (APLN), atau Bakrieland Development (ELTY). Total asetnya pada akhir tahun 2011 cuma Rp1.7 trilyun. Proyek The City Center juga merupakan proyek pertama milik perusahaan, sehingga dalam hal ini GWSA belum memiliki track record yang menjanjikan. Jadi berani taruhan, manajemen GWSA perlu bekerja sangat keras untuk bisa memperoleh pinjaman bank dengan bunga yang kompetitif. Apalagi saat ini beberapa kalangan sudah mulai berpikir bahwa sektor properti mulai bubble, terlihat dari keputusan Bank Indonesia (BI) yang memperketat aturan pembayaran uang muka pembelian properti. Ini akan membuat para bank lebih hati-hati dalam menyalurkan kredit. Jadi jika manajemen GWSA gagal memperoleh pinjaman berbunga rendah, atau lebih buruk lagi, jika ternyata nggak ada bank yang mau ngasih pinjaman, maka visi The City Center tadi bisa jadi hanyalah tinggal visi tanpa realisasi sama sekali.
Beruntung, GWSA memiliki penyertaan investasi pada proyek-proyek properti yang sudah disebutkan diatas, sehingga jika terjadi skenario terburuk, yaitu proyek The City Center tidak bisa diteruskan, maka GWSA tetap akan memperoleh pendapatan. Dan untuk tahun 2012 ini setidaknya dua sumber pendapatan tambahan bagi perusahaan sudah ‘diamankan’, yaitu proyek Kuningan City dan TCC tahap pertama. Meski manajemen GWSA mungkin perlu kerja keras untuk meyakinkan bank untuk memberikan pinjaman, namun mereka memiliki nilai plus yaitu kedekatannya dengan APLN, sebuah perusahaan properti dengan reputasi dan track record yang sangat baik. Intinya jika mereka berhasil meyakinkan APLN untuk ‘berbagi kue’ di proyek-proyek propertinya, maka seharusnya mereka juga tidak terlalu mengalami kesulitan untuk meyakinkan para bank untuk memberikan pinjaman.
Kesimpulannya, GWSA ini prospeknya bagus, setidaknya untuk setahun kedepan, dan risikonya juga terbilang terukur. Lalu bagaimana dengan sahamnya?
Dari sisi profitabilitas, GWSA mencatat ROA 12.0%, setara dengan Alam Sutera Realty (ASRI), sementara PER-nya pada harga 245 masih dibawah 10 kali, tepatnya 9.2 kali. Jadi ya, GWSA ini masih murah, terutama kalau kita mempertimbangkan prospek tambahan pendapatan yang akan diperoleh perusahaan di tahun 2012 ini. Kalau berdasarkan peningkatan nilai investasi pada proyek yang sudah ada, pada tahun 2011 kemarin GWSA memperoleh gain sekitar 30%. So, dengan asumsi pada tahun 2012 ini investasi GWSA tersebut akan kembali meningkat 30%, plus tambahan pendapatan dari proyek Kuningan City dan TCC tahap pertama, maka pendapatan GWSA pada tahun ini akan meningkat setidaknya 50%, dan laba bersihnya akan meningkat diatas 100%. Jika itu terjadi, maka target harga 400 untuk saham GWSA pada akhir tahun 2012 ini terbilang sangat realistis.
Terakhir jika anda tertarik, maka ingat bahwa kebijakan BI yang menetapkan DP minimal 30% untuk kredit KPR, mungkin akan sedikit berpengaruh pada penjualan toko-toko di Kuningan City dan ruang kantor di Menara Perkantoran TCC. Penulis tidak tahu apakah kebijakan DP tersebut hanya terbatas pada kredit KPR atau juga berlaku untuk kredit properti komersial (ruko, toko, dan kantor), namun yang jelas dampaknya akan tetap terasa minimal secara psikologis. Jadi jika anda menjadikan GWSA ini sebagai investasi long term, maka jangan lupa untuk segera mengecek laporan keuangannya di Kuartal I 2012 nanti. Meski begitu, yang jelas kalau berdasarkan laporan keuangannya pada Kuartal IV 2011, kinerja GWSA terbilang kinclong dan sahamnya juga masih wajar.
PT Greenwood Sejahtera Tbk.
Rating kinerja pada FY11: AA
Rating saham pada 245: A
NB: Ebook Kumpulan Analisis edisi Kuartal IV alias Full Year 2011 (FY11) sudah terbit. Anda bisa memperolehnya disini.
Komentar
Apakah GWSA ini memang prospektif untuk jangka panjang?Sedangkan jika kita lihat,lahan untuk TCC tahap 2 saja masih blom dibeli oleh perusahaan.Selain itu,Jika TCC sudah berakhir prospek perusahaan masih harus dipertanyakan karna perusahaan masih belum memiliki lahan lain yg untuk dikembangkan.