Garuda Indonesia: Reborn!
Sejak sahamnya listing perdana pada tanggal 11 Februari 2011, Garuda Indonesia (GIAA) tidak pernah cukup menarik untuk diperhatikan. Alasannya simpel: Udah barangnya jelek, harganya mahal pula. Tapi sekarang setelah lewat setahun lebih, GIAA sepertinya mulai tampak cantik, dan itu bukan karena make up semata. Pada tahun penuh 2011, perusahaan mencatat kenaikan pendapatan 39.1%. Laba bersihnya juga naik 56.1%, dari Rp518 menjadi 809 milyar. Pretty enough to be taken? Actually, not yet, but probably soon.
GIAA adalah salah satu dari segelintir BUMN yang memiliki kinerja buruk di masa lalu. Perusahan nyaris terus mencetak rugi bersih dari tahun ke tahun hingga menyebabkan defisit yang menumpuk di neraca perusahaan, yang pada akhirnya menyebabkan defisiensi modal (modalnya minus). Barulah pada tahun 2008, GIAA tidak lagi mencatat defisiensi, namun itu bukan karena peningkatan kinerjanya, melainkan karena peningkatan modal disetor. Hingga perusahaan menggelar IPO pada awal tahun 2011 lalu, GIAA sama sekali nggak ada bagus-bagusnya.
But GIAA is too big to fail. Status GIAA sebagai national flag carrier yang membawa nama baik Indonesia ke dunia internasional, juga membuatnya tidak mungkin dibiarkan tenggelam dalam kinerja negatif yang berkepanjangan. So, GIAA harus bangkit! Tapi bagaimana caranya? Bukankah industri maskapai penerbangan memang merupakan industri yang keras dan sama sekali tidak menjanjikan keuntungan besar? Mungkin, tidak juga. Jika memang industri maskapai penerbangan tidak menjanjikan keuntungan yang besar, lalu bagaimana anda bisa menjelaskan Tony Fernandes, seorang pengusaha muda asal Malaysia, bisa memiliki kekayaan hingga US$ 470 juta hanya dari satu perusahaan bernama Air Asia?
Mungkin, GIAA hanya perlu dikelola dengan lebih baik saja. Namun pengelolaan yang baik tentunya membutuhkan pengawasan. Caranya? Dengan meng-IPO-kannya ke bursa, tentu saja. Setelah GIAA berubah status dari perusahaan tertutup menjadi perusahaan milik publik, kini masyarakat luas khususnya investor bisa mengawasi sepak terjang perusahaan, termasuk perkembangan kinerjanya setiap kuartal. Dalam blue print rencana jangka panjang pengembangan perusahaan, IPO tersebut memang merupakan tahap awal dari ‘Quantum Leap’, yaitu kumpulan strategi yang akan diimplementasikan dalam kurun waktu 2011 – 2015, dalam rangka meningkatkan pertumbuhan perusahaan.
Bagi penulis, terlepas dari proses IPO-nya yang gagal total (sahamnya gak laku boo), namun konsep quantum leap ini menarik, sebab jarang-jarang ada perusahaan BUMN punya rencana pengembangan jangka panjang seperti itu. Pasca IPO, selanjutnya terdapat tujuh poin yang akan dikerjakan dalam quantum leap tersebut. Mereka adalah, 1. Meningkatkan dominasi atas pasar domestik, 2. Meningkatkan pelayanan di pasar internasional, 3. Memasuki pasar low cost carrier (penerbangan murah) melalui PT Citilink Indonesia, 4. Meremajakan dan menambah armada pesawat, 5. Memperkuat brand ‘Garuda Indonesia’ melalui promosi dan peningkatan pelayanan, 6. Meningkatkan efisiensi biaya, 7. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Well, sounds good. Sekarang, bagaimana progress-nya, terutama dalam setahun terakhir?
Kita mulai dari poin satu, meningkatkan dominasi atas pasar domestik. Sepanjang tahun 2011, GIAA mencatat rata-rata market share 28% di pasar domestik. Pencapaian tersebut lebih tinggi dibanding 24% pada tahun 2010. Sepanjang tahun 2011, GIAA mencatat trafik 12.0 juta penumpang di pasar domestik, naik 37.9% dibanding 8.7 juta penumpang pada tahun 2010. Kenaikan tersebut lebih tinggi dari kenaikan trafik penumpang seluruh maskapai di Indonesia, yaitu sebesar 16.2%. Jadi dalam hal ini bisa dikatakan bahwa pertumbuhan trafik penumpang milik GIAA jauh lebih besar dibanding pertumbuhan trafik penumpang penerbangan secara nasional. Namun terkait rata-rata market share sebesar 28% yang disebut diatas, perlu dicatat bahwa itu belum menyertakan market share Citilink, anak usaha GIAA di industri low cost carrier (LCC). Mengingat bahwa pasar LCC di Indonesia dikuasai oleh Indonesia Air Asia dan Lion Air, maka bisa jadi total market share GIAA akan menjadi lebih kecil jika market share Citilink ikut dihitung. Namun terkait Citilink ini memang sudah ada strateginya sendiri, nanti kita bahas soal ini dibawah.
Lalu apa yang dikerjakan GIAA dalam setahun terakhir ini hingga mampu mencatat pertumbuhan diatas? Dengan menambah layanan rute baru (hingga tujuh rute), khususnya di Kawasan Indonesia Timur, dengan berpusat pada Kota Makassar, Sulawesi Selatan. GIAA kini melayani rute langsung yang menghubungkan kota-kota berikut: Makassar, Balikpapan, Gorontalo, Ternate, Kendari, dan Ambon. Selain menambah rute, GIAA juga mengembangkan program Garuda Frequent Flyer (GFF), yaitu program keanggotaan bagi penumpang yang secara rutin menggunakan jasa penerbangan Garuda Indonesia. Program GFF ini sejatinya sudah ada sejak tahun 1999, namun barulah pada tahun 2011 lalu program ini digalakkan melalui program promosi intensif (mungkin anda yang biasa pake Garuda juga pernah ditawari untuk jadi anggota GFF ini, dengan dijanjikan berbagai bonus jika bergabung). Hasilnya, jumlah anggota GFF di akhir tahun 2011 meningkat 21.1% dibanding tahun 2010, menjadi 568 ribu anggota. Dan ini tentu bagus. Strategi lainnya adalah dengan terus meningkatkan kerjasama dengan pelanggan perusahaan. Hasilnya GIAA memiliki 1,469 pelanggan coporate pada tahun 2011, baik perusahaan lokal maupun asing, naik dari 1,060 pada tahun 2010.
Berikutnya poin dua, meningkatkan pelayanan di pasar internasional. Strateginya adalah dengan meningkatkan frekuensi penerbangan dari dan ke Korea Selatan, Hongkong, Tiongkok, Jepang, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Australia. Penerbangan internasional juga tidak lagi dipusatkan hanya di Kota Jakarta dan Denpasar, melainkan juga di Makassar. Untuk menambah pelanggan, caranya dengan meningkatkan kerjasama dengan pelanggan perusahaan (seperti sudah disebut diatas) Hasilnya? Jumlah penumpang untuk penerbangan internasional meningkat 21.5% menjadi 3.2 juta penumpang pada tahun 2011. Kedepannya dalam rangka meningkatkan layanan penerbangan ke Arab Saudi, terutama untuk melayani penumpang yang akan naik haji, GIAA juga akan mengadakan perjanjian komersial dengan mitra maskapai di Timur Tengah. Namun hingga saat ini GIAA belum memperoleh mitra tersebut, mungkin nanti.
Poin ketiga adalah terkait masuknya perusahaan ke industri penerbangan murah meriah, melalui anak usahanya, Citilink. Citilink sudah didirikan sejak tahun 2009, namun barulah pada tahun 2011 kemarin perusahaan beroperasi secara penuh. Saat ini Citilink baru memiliki 9 armada, jauh lebih sedikit dibanding Lion Air (72 armada), Sriwijaya Air (24), dan Indonesia Air Asia (17). Namun meski masih ‘bayi’, pertumbuhannya cukup lancar. Jumlah penumpang yang diangkut sepanjang tahun 2011 meningkat 42.2% dibanding tahun 2010, berkat penambahan enam rute penerbangan domestik. Kini, brand ‘Citilink’ juga sudah mulai familiar di telinga pengguna layanan maskapai penerbangan.
Bagi penulis, pendirian Citilink ini terbilang jenius. GIAA jadi bisa masuk ke industri penerbangan murah tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai penyedia layanan penerbangan premium, karena anak usahanya di industri penerbangan murah tersebut memiliki brand yang berbeda, yaitu Citilink. Strategi ini sama seperti mobil Ferrari dan Fiat, dimana Ferrari adalah mobil kelas supercar, sementara Fiat justru merupakan mobil murah, padahal dua brand tersebut dimiliki oleh perusahaan yang sama di Italia sana.
Namun soal Citilink ini, berbeda dengan Garuda yang sudah menjadi penguasa sahih di kelas penerbangan premium, maka Citilink masih harus berjuang keras untuk mengalahkan dominasi Lion Air dan Indonesia Air Asia di pasar penerbangan murah. Faktanya untuk Lion Air, meski pesawatnya delay melulu, namun penumpangnya tetep aja banyak, dan sepertinya para penumpang ini belum berminat untuk pindah ke Citilink. Meski demikian growth Citilink di tahun 2011 lalu terbilang lumayan, jadi kita lihat saja perkembangannya di tahun 2012 ini.
Poin keempat adalah meremajakan dan menambah armada pesawat. Bagaimana realisasinya? Sepanjang tahun 2011, GIAA melepas 17 pesawat lama, dan membeli (atau menyewa) total 15 pesawat baru. Hasilnya rata-rata usia pesawat perusahaan menjadi lebih belia, dari delapan tahun di 2010, menjadi enam setengah tahun di 2011. Namun karena jumlah pesawat yang keluar lebih banyak daripada pesawat yang masuk, maka armada pesawat GIAA berkurang dari 89 pada akhir tahun 2010, menjadi hanya 87 pada akhir tahun 2011. Tapi penonton gak usah kecewa. Pada tanggal 11 April 2012 kemarin, GIAA secara resmi menambah armadanya dengan membeli 11 unit pesawat Airbus. Kalau berdasarkan rencana yang terangkum dalam program quantum leap yang dibahas diatas, GIAA akan memiliki 194 unit pesawat pada tahun 2015 mendatang. Duitnya dari mana? Salah satunya ya dari hasil IPO kemarin. Dan sejauh ini, rencana penambahan armada tersebut berjalan cukup lancar.
Poin kelima adalah memperkuat brand ‘Garuda Indonesia’ melalui promosi dan peningkatan pelayanan. Dari berbagai poin strategi yang sudah dibahas diatas, strategi inilah yang paling penulis sukai. Dalam setahun terakhir, GIAA mengembangkan brand ‘Garuda Indonesia Experience’ untuk penerbangan premiumnya dengan menambah armada pesawat brand new, mempercantik tampilan interior pesawat, dan yang paling keren, dengan menyajikan ‘keramahan khas Indonesia’ di sepanjang penerbangan. Keramahan khas Indonesia tersebut diinterpretasikan dengan menyediakan aromaterapi khas Indonesia, makanan lezat khas Indonesia (ada nasi padang juga nggak ya?), pramugari dengan balutan busana batik khas Indonesia, dan musik aransemen kepulauan khas Indonesia. That’s awesome! Dalam hal ini GIAA tidak hanya berusaha memanjakan penumpangnya, tapi juga mempromosikan Indonesia tercinta dalam bentuk keramah tamahannya, tidak hanya kepada para penumpang asing tapi juga kepada para penumpang asal Indonesia sendiri. Dan itu tentu luar biasa.
Sayangnya penulis belum pernah merasakan penerbangan ‘khas Indonesia’ ala Garuda ini, jadi penulis tidak bisa memberikan penilaian untuk poin kelima ini. Tapi jika anda pernah terbang pake Garuda, maka penulis ingin bertanya, apakah penerbangan ‘khas Indonesia’ yang ditawarkan Garuda ini sama menyenangkannya seperti yang diiklankan di televisi?
Dua poin terakhir, yaitu meningkatkan efisiensi biaya dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, tidak terlalu menarik untuk dibahas. GIAA mengklaim bahwa ketika pendapatan meningkat 39%, biaya operasional hanya naik 33%. Itupun karena kenaikan harga dari jet kerosene sebagai bahan bakar sebesar 39%, dari US$ 90 menjadi 125 per barrel. Diluar biaya bahan bakar, biaya operasional perusahaan hanya naik 4%. Tapi justru dengan data tersebut, terlihat bahwa perolehan laba bersih GIAA ternyata sangat rentan pada fluktuasi harga bahan bakar pesawat. Pihak manajemen menyatakan bahwa mereka telah meningkatkan utilitasi pesawat untuk menghemat pengeluaran. Tapi mungkin, selanjutnya mereka juga harus mulai memikirkan bagaimana caranya untuk meminimalisir ketergantungan terhadap fluktuasi harga bahan bakar. Mungkin, bagaimana kalau dengan cara menjalin kerjasama pembelian bahan bakar dari perusahaan lain yang siapa tahu harganya lebih murah, gak cuma dari Pertamina doang?
Sementara terkait meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDA), sepanjang tahun 2011 perusahaan telah menyelenggarakan berbagai program, seperti pengelolaan talenta sesuai kapasitas dan kualifikasi tiap-tiap pegawai, termasuk menyelenggarakan kaderisasi kepemimpinan perusahaan. Perusahaan juga menyelenggarakan program transformasi budaya perusahaan, dimana setiap karyawan Garuda dituntut untuk bekerja cepat, hemat, disiplin, bekerja hingga tuntas, ramah, tanggap, kreatif, jujur, menjaga rahasia, dan patuh (hmm, berat sekali sepertinya). Perusahaan juga mengadakan program pelatihan kepemimpinan, training personel penerbangan, corporate university, mengadakan employee relation, employee engagement, hingga human capital information system. Well, sounds serious. Namun yang bisa merasakan hasil dari peningkatan kualitas SDA ini tentunya hanya para pegawai di GIAA itu sendiri, sementara kita sebagai investor tentu tidak bisa menilainya. Tapi dengan perusahaan memperinci berbagai strategi yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas SDA dalam keterbukaan informasinya, maka bisa kita asumsikan bahwa terkait kualitas SDA ini, perusahaan juga cukup serius dalam mengembangkannya, mudah-mudahan.
Kesimpulannya, GIAA telah melalui tahun 2011 dengan kerja keras, dan hasilnya tampak cukup baik. Yup, Sang Garuda telah terlahir kembali. Kedepannya perjalanan quantum leap tersebut masih panjang, dan mungkin mulai sekarang kita boleh berharap bahwa GIAA akan benar-benar berubah dari perusahaan amburadul menjadi perusahaan yang menguntungkan. Sekarang, bagaimana dengan sahamnya?
Meski kinerjanya terbilang meningkat cukup baik pada periode akhir tahun 2011 kemarin, namun dengan ROA hanya 4.8%, GIAA tentunya masih belum bisa disebut sebagai profitable company. GIAA juga masih mencatat defisit Rp6 trilyun pada neracanya. Tapi itu tidak mencegah sahamnya untuk terus naik dalam empat bulan terakhir. Selasa kemarin bahkan GIAA naik 6.3% ke posisi 670, berkat pemberitaan soal kerjasama perusahaan dengan Amadeus IT Group, untuk menyediakan layanan ‘Passenger Service System’, dalam rangka meningkatkan pelayanan bagi pelanggan.
Memang, selain aktif mengerjakan aksi korporasi ini dan itu dalam rangka quantum leap-nya, GIAA juga aktif dalam mengumumkan setiap aksi korporasinya kepada publik. Sebelum pengumuman tekait Amadeus, GIAA juga mengumumkan kerjasama dengan Telkom dan Bank BNI sebagai sesama BUMN, pembelian pesawat Airbus, penerbitan surat izin usaha angkutan udara oleh Kemeterian Perhubungan untuk Citilink, hingga kerjasama dengan CFM International untuk perawatan mesin pesawat. Mungkin berbagai pemberitaan ini pula yang menyebabkan saham GIAA terbang tinggi belakangan ini. Namun dengan PER yang kini mencapai 18.4 kali, maka sulit untuk mengatakan bahwa harga GIAA di 670 adalah wajar, mengingat bahwa industri maskapai penerbangan memiliki tingkat risiko yang tinggi, salah satunya risiko fluktuasi harga bahan bakar seperti yang sudah kita bahas diatas.
But still, the Eagle is now eye-catching. Kita tunggu saja apa gebrakan perusahaan selanjutnya, dan mudah-mudahan kinerjanya menjadi lebih baik lagi di periode laporan keuangan berikutnya. We count on you, Mr. Emirsyah!
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
Rating kinerja pada FY11: BBB
Rating saham pada 670: BB
GIAA adalah salah satu dari segelintir BUMN yang memiliki kinerja buruk di masa lalu. Perusahan nyaris terus mencetak rugi bersih dari tahun ke tahun hingga menyebabkan defisit yang menumpuk di neraca perusahaan, yang pada akhirnya menyebabkan defisiensi modal (modalnya minus). Barulah pada tahun 2008, GIAA tidak lagi mencatat defisiensi, namun itu bukan karena peningkatan kinerjanya, melainkan karena peningkatan modal disetor. Hingga perusahaan menggelar IPO pada awal tahun 2011 lalu, GIAA sama sekali nggak ada bagus-bagusnya.
But GIAA is too big to fail. Status GIAA sebagai national flag carrier yang membawa nama baik Indonesia ke dunia internasional, juga membuatnya tidak mungkin dibiarkan tenggelam dalam kinerja negatif yang berkepanjangan. So, GIAA harus bangkit! Tapi bagaimana caranya? Bukankah industri maskapai penerbangan memang merupakan industri yang keras dan sama sekali tidak menjanjikan keuntungan besar? Mungkin, tidak juga. Jika memang industri maskapai penerbangan tidak menjanjikan keuntungan yang besar, lalu bagaimana anda bisa menjelaskan Tony Fernandes, seorang pengusaha muda asal Malaysia, bisa memiliki kekayaan hingga US$ 470 juta hanya dari satu perusahaan bernama Air Asia?
Mungkin, GIAA hanya perlu dikelola dengan lebih baik saja. Namun pengelolaan yang baik tentunya membutuhkan pengawasan. Caranya? Dengan meng-IPO-kannya ke bursa, tentu saja. Setelah GIAA berubah status dari perusahaan tertutup menjadi perusahaan milik publik, kini masyarakat luas khususnya investor bisa mengawasi sepak terjang perusahaan, termasuk perkembangan kinerjanya setiap kuartal. Dalam blue print rencana jangka panjang pengembangan perusahaan, IPO tersebut memang merupakan tahap awal dari ‘Quantum Leap’, yaitu kumpulan strategi yang akan diimplementasikan dalam kurun waktu 2011 – 2015, dalam rangka meningkatkan pertumbuhan perusahaan.
Bagi penulis, terlepas dari proses IPO-nya yang gagal total (sahamnya gak laku boo), namun konsep quantum leap ini menarik, sebab jarang-jarang ada perusahaan BUMN punya rencana pengembangan jangka panjang seperti itu. Pasca IPO, selanjutnya terdapat tujuh poin yang akan dikerjakan dalam quantum leap tersebut. Mereka adalah, 1. Meningkatkan dominasi atas pasar domestik, 2. Meningkatkan pelayanan di pasar internasional, 3. Memasuki pasar low cost carrier (penerbangan murah) melalui PT Citilink Indonesia, 4. Meremajakan dan menambah armada pesawat, 5. Memperkuat brand ‘Garuda Indonesia’ melalui promosi dan peningkatan pelayanan, 6. Meningkatkan efisiensi biaya, 7. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Well, sounds good. Sekarang, bagaimana progress-nya, terutama dalam setahun terakhir?
Kita mulai dari poin satu, meningkatkan dominasi atas pasar domestik. Sepanjang tahun 2011, GIAA mencatat rata-rata market share 28% di pasar domestik. Pencapaian tersebut lebih tinggi dibanding 24% pada tahun 2010. Sepanjang tahun 2011, GIAA mencatat trafik 12.0 juta penumpang di pasar domestik, naik 37.9% dibanding 8.7 juta penumpang pada tahun 2010. Kenaikan tersebut lebih tinggi dari kenaikan trafik penumpang seluruh maskapai di Indonesia, yaitu sebesar 16.2%. Jadi dalam hal ini bisa dikatakan bahwa pertumbuhan trafik penumpang milik GIAA jauh lebih besar dibanding pertumbuhan trafik penumpang penerbangan secara nasional. Namun terkait rata-rata market share sebesar 28% yang disebut diatas, perlu dicatat bahwa itu belum menyertakan market share Citilink, anak usaha GIAA di industri low cost carrier (LCC). Mengingat bahwa pasar LCC di Indonesia dikuasai oleh Indonesia Air Asia dan Lion Air, maka bisa jadi total market share GIAA akan menjadi lebih kecil jika market share Citilink ikut dihitung. Namun terkait Citilink ini memang sudah ada strateginya sendiri, nanti kita bahas soal ini dibawah.
Lalu apa yang dikerjakan GIAA dalam setahun terakhir ini hingga mampu mencatat pertumbuhan diatas? Dengan menambah layanan rute baru (hingga tujuh rute), khususnya di Kawasan Indonesia Timur, dengan berpusat pada Kota Makassar, Sulawesi Selatan. GIAA kini melayani rute langsung yang menghubungkan kota-kota berikut: Makassar, Balikpapan, Gorontalo, Ternate, Kendari, dan Ambon. Selain menambah rute, GIAA juga mengembangkan program Garuda Frequent Flyer (GFF), yaitu program keanggotaan bagi penumpang yang secara rutin menggunakan jasa penerbangan Garuda Indonesia. Program GFF ini sejatinya sudah ada sejak tahun 1999, namun barulah pada tahun 2011 lalu program ini digalakkan melalui program promosi intensif (mungkin anda yang biasa pake Garuda juga pernah ditawari untuk jadi anggota GFF ini, dengan dijanjikan berbagai bonus jika bergabung). Hasilnya, jumlah anggota GFF di akhir tahun 2011 meningkat 21.1% dibanding tahun 2010, menjadi 568 ribu anggota. Dan ini tentu bagus. Strategi lainnya adalah dengan terus meningkatkan kerjasama dengan pelanggan perusahaan. Hasilnya GIAA memiliki 1,469 pelanggan coporate pada tahun 2011, baik perusahaan lokal maupun asing, naik dari 1,060 pada tahun 2010.
Berikutnya poin dua, meningkatkan pelayanan di pasar internasional. Strateginya adalah dengan meningkatkan frekuensi penerbangan dari dan ke Korea Selatan, Hongkong, Tiongkok, Jepang, Thailand, Singapura, Malaysia, dan Australia. Penerbangan internasional juga tidak lagi dipusatkan hanya di Kota Jakarta dan Denpasar, melainkan juga di Makassar. Untuk menambah pelanggan, caranya dengan meningkatkan kerjasama dengan pelanggan perusahaan (seperti sudah disebut diatas) Hasilnya? Jumlah penumpang untuk penerbangan internasional meningkat 21.5% menjadi 3.2 juta penumpang pada tahun 2011. Kedepannya dalam rangka meningkatkan layanan penerbangan ke Arab Saudi, terutama untuk melayani penumpang yang akan naik haji, GIAA juga akan mengadakan perjanjian komersial dengan mitra maskapai di Timur Tengah. Namun hingga saat ini GIAA belum memperoleh mitra tersebut, mungkin nanti.
Poin ketiga adalah terkait masuknya perusahaan ke industri penerbangan murah meriah, melalui anak usahanya, Citilink. Citilink sudah didirikan sejak tahun 2009, namun barulah pada tahun 2011 kemarin perusahaan beroperasi secara penuh. Saat ini Citilink baru memiliki 9 armada, jauh lebih sedikit dibanding Lion Air (72 armada), Sriwijaya Air (24), dan Indonesia Air Asia (17). Namun meski masih ‘bayi’, pertumbuhannya cukup lancar. Jumlah penumpang yang diangkut sepanjang tahun 2011 meningkat 42.2% dibanding tahun 2010, berkat penambahan enam rute penerbangan domestik. Kini, brand ‘Citilink’ juga sudah mulai familiar di telinga pengguna layanan maskapai penerbangan.
Bagi penulis, pendirian Citilink ini terbilang jenius. GIAA jadi bisa masuk ke industri penerbangan murah tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai penyedia layanan penerbangan premium, karena anak usahanya di industri penerbangan murah tersebut memiliki brand yang berbeda, yaitu Citilink. Strategi ini sama seperti mobil Ferrari dan Fiat, dimana Ferrari adalah mobil kelas supercar, sementara Fiat justru merupakan mobil murah, padahal dua brand tersebut dimiliki oleh perusahaan yang sama di Italia sana.
Namun soal Citilink ini, berbeda dengan Garuda yang sudah menjadi penguasa sahih di kelas penerbangan premium, maka Citilink masih harus berjuang keras untuk mengalahkan dominasi Lion Air dan Indonesia Air Asia di pasar penerbangan murah. Faktanya untuk Lion Air, meski pesawatnya delay melulu, namun penumpangnya tetep aja banyak, dan sepertinya para penumpang ini belum berminat untuk pindah ke Citilink. Meski demikian growth Citilink di tahun 2011 lalu terbilang lumayan, jadi kita lihat saja perkembangannya di tahun 2012 ini.
Poin keempat adalah meremajakan dan menambah armada pesawat. Bagaimana realisasinya? Sepanjang tahun 2011, GIAA melepas 17 pesawat lama, dan membeli (atau menyewa) total 15 pesawat baru. Hasilnya rata-rata usia pesawat perusahaan menjadi lebih belia, dari delapan tahun di 2010, menjadi enam setengah tahun di 2011. Namun karena jumlah pesawat yang keluar lebih banyak daripada pesawat yang masuk, maka armada pesawat GIAA berkurang dari 89 pada akhir tahun 2010, menjadi hanya 87 pada akhir tahun 2011. Tapi penonton gak usah kecewa. Pada tanggal 11 April 2012 kemarin, GIAA secara resmi menambah armadanya dengan membeli 11 unit pesawat Airbus. Kalau berdasarkan rencana yang terangkum dalam program quantum leap yang dibahas diatas, GIAA akan memiliki 194 unit pesawat pada tahun 2015 mendatang. Duitnya dari mana? Salah satunya ya dari hasil IPO kemarin. Dan sejauh ini, rencana penambahan armada tersebut berjalan cukup lancar.
Poin kelima adalah memperkuat brand ‘Garuda Indonesia’ melalui promosi dan peningkatan pelayanan. Dari berbagai poin strategi yang sudah dibahas diatas, strategi inilah yang paling penulis sukai. Dalam setahun terakhir, GIAA mengembangkan brand ‘Garuda Indonesia Experience’ untuk penerbangan premiumnya dengan menambah armada pesawat brand new, mempercantik tampilan interior pesawat, dan yang paling keren, dengan menyajikan ‘keramahan khas Indonesia’ di sepanjang penerbangan. Keramahan khas Indonesia tersebut diinterpretasikan dengan menyediakan aromaterapi khas Indonesia, makanan lezat khas Indonesia (ada nasi padang juga nggak ya?), pramugari dengan balutan busana batik khas Indonesia, dan musik aransemen kepulauan khas Indonesia. That’s awesome! Dalam hal ini GIAA tidak hanya berusaha memanjakan penumpangnya, tapi juga mempromosikan Indonesia tercinta dalam bentuk keramah tamahannya, tidak hanya kepada para penumpang asing tapi juga kepada para penumpang asal Indonesia sendiri. Dan itu tentu luar biasa.
Sayangnya penulis belum pernah merasakan penerbangan ‘khas Indonesia’ ala Garuda ini, jadi penulis tidak bisa memberikan penilaian untuk poin kelima ini. Tapi jika anda pernah terbang pake Garuda, maka penulis ingin bertanya, apakah penerbangan ‘khas Indonesia’ yang ditawarkan Garuda ini sama menyenangkannya seperti yang diiklankan di televisi?
Dua poin terakhir, yaitu meningkatkan efisiensi biaya dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, tidak terlalu menarik untuk dibahas. GIAA mengklaim bahwa ketika pendapatan meningkat 39%, biaya operasional hanya naik 33%. Itupun karena kenaikan harga dari jet kerosene sebagai bahan bakar sebesar 39%, dari US$ 90 menjadi 125 per barrel. Diluar biaya bahan bakar, biaya operasional perusahaan hanya naik 4%. Tapi justru dengan data tersebut, terlihat bahwa perolehan laba bersih GIAA ternyata sangat rentan pada fluktuasi harga bahan bakar pesawat. Pihak manajemen menyatakan bahwa mereka telah meningkatkan utilitasi pesawat untuk menghemat pengeluaran. Tapi mungkin, selanjutnya mereka juga harus mulai memikirkan bagaimana caranya untuk meminimalisir ketergantungan terhadap fluktuasi harga bahan bakar. Mungkin, bagaimana kalau dengan cara menjalin kerjasama pembelian bahan bakar dari perusahaan lain yang siapa tahu harganya lebih murah, gak cuma dari Pertamina doang?
Sementara terkait meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDA), sepanjang tahun 2011 perusahaan telah menyelenggarakan berbagai program, seperti pengelolaan talenta sesuai kapasitas dan kualifikasi tiap-tiap pegawai, termasuk menyelenggarakan kaderisasi kepemimpinan perusahaan. Perusahaan juga menyelenggarakan program transformasi budaya perusahaan, dimana setiap karyawan Garuda dituntut untuk bekerja cepat, hemat, disiplin, bekerja hingga tuntas, ramah, tanggap, kreatif, jujur, menjaga rahasia, dan patuh (hmm, berat sekali sepertinya). Perusahaan juga mengadakan program pelatihan kepemimpinan, training personel penerbangan, corporate university, mengadakan employee relation, employee engagement, hingga human capital information system. Well, sounds serious. Namun yang bisa merasakan hasil dari peningkatan kualitas SDA ini tentunya hanya para pegawai di GIAA itu sendiri, sementara kita sebagai investor tentu tidak bisa menilainya. Tapi dengan perusahaan memperinci berbagai strategi yang dilakukan dalam meningkatkan kualitas SDA dalam keterbukaan informasinya, maka bisa kita asumsikan bahwa terkait kualitas SDA ini, perusahaan juga cukup serius dalam mengembangkannya, mudah-mudahan.
Kesimpulannya, GIAA telah melalui tahun 2011 dengan kerja keras, dan hasilnya tampak cukup baik. Yup, Sang Garuda telah terlahir kembali. Kedepannya perjalanan quantum leap tersebut masih panjang, dan mungkin mulai sekarang kita boleh berharap bahwa GIAA akan benar-benar berubah dari perusahaan amburadul menjadi perusahaan yang menguntungkan. Sekarang, bagaimana dengan sahamnya?
Meski kinerjanya terbilang meningkat cukup baik pada periode akhir tahun 2011 kemarin, namun dengan ROA hanya 4.8%, GIAA tentunya masih belum bisa disebut sebagai profitable company. GIAA juga masih mencatat defisit Rp6 trilyun pada neracanya. Tapi itu tidak mencegah sahamnya untuk terus naik dalam empat bulan terakhir. Selasa kemarin bahkan GIAA naik 6.3% ke posisi 670, berkat pemberitaan soal kerjasama perusahaan dengan Amadeus IT Group, untuk menyediakan layanan ‘Passenger Service System’, dalam rangka meningkatkan pelayanan bagi pelanggan.
Memang, selain aktif mengerjakan aksi korporasi ini dan itu dalam rangka quantum leap-nya, GIAA juga aktif dalam mengumumkan setiap aksi korporasinya kepada publik. Sebelum pengumuman tekait Amadeus, GIAA juga mengumumkan kerjasama dengan Telkom dan Bank BNI sebagai sesama BUMN, pembelian pesawat Airbus, penerbitan surat izin usaha angkutan udara oleh Kemeterian Perhubungan untuk Citilink, hingga kerjasama dengan CFM International untuk perawatan mesin pesawat. Mungkin berbagai pemberitaan ini pula yang menyebabkan saham GIAA terbang tinggi belakangan ini. Namun dengan PER yang kini mencapai 18.4 kali, maka sulit untuk mengatakan bahwa harga GIAA di 670 adalah wajar, mengingat bahwa industri maskapai penerbangan memiliki tingkat risiko yang tinggi, salah satunya risiko fluktuasi harga bahan bakar seperti yang sudah kita bahas diatas.
But still, the Eagle is now eye-catching. Kita tunggu saja apa gebrakan perusahaan selanjutnya, dan mudah-mudahan kinerjanya menjadi lebih baik lagi di periode laporan keuangan berikutnya. We count on you, Mr. Emirsyah!
PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk
Rating kinerja pada FY11: BBB
Rating saham pada 670: BB
Komentar
Tolong dibahas ttg ASII yg mau stock split nanti bulan juni.
Trims