Central Omega Resources
Central Omega Resources (DKFT) melaporkan pendapatan Rp485 milyar pada tahun penuh 2011, dan laba bersih Rp177 milyar. Dengan EPS yang kini mencapai Rp1,019 per saham, PER DKFT pada harga saham 1,670 hanya 1.6 kali. Undervalue? Mungkin. Tapi kalau kita pelajari DKFT ini secara mendetail, maka mungkin kita akan sampai pada kesimpulan bahwa yang menarik dari saham ini bukan hanya sekedar value-nya, tapi juga prospek jangka panjangnya.
DKFT dulunya adalah perusahaan jasa pembiayaan dengan nama PT Duta Kirana Finance. Perusahaan merupakan spesialis pembiayaan sepeda motor asal China. Perusahaan mengalami masa-masa keemasan pada awal tahun 2000-an, namun setelah itu pendapatan perusahaan terus menurun seiring dengan semakin berkurangnya minat masyarakat terhadap sepeda motor asal China. Hingga akhirnya pada tahun 2006, perusahaan berhenti beroperasi sama sekali.
Lalu pada tahun 2008, perusahaan menjadi objek backdoor listing oleh PT Jinsheng Mining, sebuah perusahaan investasi dengan minat di bidang usaha tambang mineral logam. Jinsheng menyuntikkan dana sebesar Rp30 milyar untuk menjadi pemilik perusahaan, dan DKFT pun seketika berubah menjadi perusahaan tambang. DKFT kemudian mengakuisisi dua perusahaan tambang, yaitu PT Mulia Pacific Resources (MPR), dan PT Mega Buana Resources (MBR). Nilai akuisisinya murah saja, yaitu total Rp5 milyar untuk keduanya. Masih di tahun 2008, DKFT mengakuisisi satu perusahaan lagi bernama PT Bumi Konawe Abadi (BKA). Di struktur perusahaan, BKA ini diletakkan dibawah MPR dan MBR, sehingga statusnya adalah sebagai cucu usaha dari DKFT.
Melalui MPR, DKFT memegang empat izin usaha pertambangan, yaitu dua tambang tembaga di Halmahera (Maluku Utara), satu tambang nikel di Morowali (Sulawesi Tengah), dan satu tambang tembaga di Kupang (Nusa Tenggara Timur). Khusus untuk tambang tembaga, terdapat juga potensi ‘hasil sampingan’ berupa emas. Sedangkan melalui BKA, DKFT memegang satu izin usaha pertambangan, yaitu tambang nikel di Konawe (Sulawesi Tenggara).
Hingga akhir tahun 2011, seluruh tambang diatas masih dalam tahap eksplorasi, kecuali dua tambang nikel di Konawe dan Morowali, yang sepanjang tahun 2011 lalu sudah menghasilkan bijih nikel (nickel ore) sebanyak total 1.4 juta ton. Sementara cadangan bijih nikel di dua lokasi tambang tersebut terakhir tercatat 5.5 juta ton. Disinilah menariknya. Dua tambang nikel di Konawe dan Morowali tersebut sebenarnya belum dieksplorasi secara penuh. Jika nanti proses eksplorasi selesai dikerjakan, maka hampir bisa dipastikan cadangan bijih nikel milik perusahaan akan meningkat signifikan. Dan itu belum termasuk potensi cadangan tembaga dan emas di tiga lokasi tambang lainnya milik perusahaan, yaitu yang di Halmahera dan Kupang.
Jika itu masih belum cukup, maka pada tanggal 10 Januari 2012 kemarin, DKFT juga mengakuisisi sebuah perusahaan bernama PT Ita Matra Nusantara (IMN), senilai Rp2 milyar (lagi-lagi murah). IMN adalah pemilik izin usaha tambang nikel di Morowali, sehingga dengan demikian DKFT memegang dua tambang nikel di Morowali. Tambang nikel yang dimiliki melalui IMN ini ditargetkan akan mulai berproduksi pada Kuartal III 2012. Jika progress-nya berjalan lancar, maka sekali lagi hampir bisa dipastikan, pendapatan dana laba bersih DKFT akan meningkat signifikan pasca Kuartal III tersebut.
Nah, kita tahu bahwa pada Oktober 2011 kemarin DKFT baru saja menggelar right issue dengan rasio 1 : 9, dimana dari right issue tersebut perusahaan memperoleh dana Rp981 milyar. Bisa tolong dijelaskan untuk apa duit sebanyak itu?
Jadi ceritanya begini. Pada tahun 2009, Pemerintah RI mengeluarkan peraturan bahwa perusahaan-perusahaan tambang di Indonesia harus memiliki pabrik atau processing plant untuk mengolah bahan tambang mentah menjadi produk-produk yang memiliki nilai tambah. Perusahaan harus sudah memiliki pabrik pengolahan tersebut selambat-lambatnya tahun 2014. Karena itulah DKFT kemudian berencana mendirikan sebuah smelter pengolahan nikel di Morowali, dimana bijih nikel yang dihasilkan akan diolah menjadi logam nikel siap pakai. Namun mengingat smelter ini akan membutuhkan investasi besar, yaitu sekitar Rp4.5 trilyun, maka DKFT akan bekerja sama dengan pihak ketiga untuk mendirikan sebuah perusahaan patungan, dimana DKFT akan menyertakan modal sebesar Rp491 milyar (setengah dari perolehan right issue-nya) di perusahaan patungan tersebut. Perusahaan patungan ini akan langsung didirikan pada tahun ini juga, dan ditargetkan mampu menyelesaikan pembangunan smelter yang dimaksud pada tahun 2014.
Sementara dana hasil dari right issue yang setengahnya lagi akan digunakan untuk belanja modal kerja, yaitu untuk membuka kantor di Jakarta, memperluas area stockpile dan dermaga di Konawe, membebaskan lahan dan membangun sarana jalan di Morowali, dan untuk membiayai survey dan eksplorasi. Perusahaan juga akan menggunakan sebagian dana untuk mendukung persediaan produksi nikel, agar pasokan nikel kepada pelanggan tetap terjaga. Well, sounds responsible! Dan mengingat pembeli siaga dari right issue DKFT ini adalah induknya sendiri, yaitu Jinsheng, maka bisa disimpulkan bahwa right issue ini memang merupakan penambahan modal dari Jinsheng kepada DKFT untuk tujuan pengembangan perusahaan, dan bukannya untuk iseng ngambil duit dari investor publik. Dilusi saham sebesar 90% karena right issue ini juga setimpal mengingat ekuitas DKFT melambung dari minus Rp1 milyar menjadi Rp1.2 trilyun, dimana pada saat ini Rp1 trilyun diantaranya masih merupakan dana cash. Dari laporan penggunaan dana hasil right issue, perusahaan memang baru menggunakan Rp132 milyar untuk belanja modal.
Right issue DKFT sendiri berjalan lancar, dimana Jinsheng tidak perlu mengambil sahamnya dalam kapasitasnya sebagai pembeli siaga, melainkan tetap sebagai pemegang HMETD. Sebelum right issue, Jinsheng memegang 77% saham DKFT, sementara sisanya dipegang oleh publik. Dan setelah right issue, Jinsheng tetap memegang 77% saham. Mengingat pada laporan keuangan terbaru DKFT tercantum dana cash sebesar Rp1 trilyun yang berasal dari penambahan modal disetor, maka bisa dipastikan bahwa Jinsheng membayar saham anyar DKFT menggunakan dana tunai, bukan menggunakan piutang usaha atau semacamnya. Dan itu tentu bagus.
Okay, sekarang bagaimana hitung-hitungan prospek DKFT ini?
Sepanjang tahun 2011, DKFT mencatat pendapatan Rp485 milyar, yang sepenuhnya berasal dari penjualan bijih nikel sebanyak 1.4 juta ton dari tambang di Konawe dan Morowali. Setelah dikurangi biaya ini dan itu, diperolehlah laba bersih Rp177 milyar. Di materi public expose yang dirilis perusahaan, dengan memperkirakan bahwa produksi bijih nikel akan kembali meningkat seiring dengan rampungnya progress eksplorasi di beberapa lokasi tambang lainnya, maka manajemen memperkirakan akan memperoleh laba bersih masing-masing Rp475 dan 792 milyar di tahun 2012 dan 2013. Well, target yang realistis namun tetap atraktif, tentu saja. Dan jangan lupa bahwa itu belum menyertakan prospek dari tambang tembaga dan emas, yang saat ini masih dalam tahap eksplorasi.
Hanya saja risikonya disini adalah berkaitan dengan pembangunan smelter nikel yang sudah dibahas diatas. Mengumpulkan dana Rp4.5 trilyun yang diperlukan untuk membangun smelter tersebut tentunya bukan perkara gampang. Ketersediaan waktu yang dimiliki perusahaan juga terbilang terbatas, yaitu hanya dua tahun (hingga tahun 2014). Jika proyek smelter tersebut sukses, maka pendapatan dan laba perusahaan akan semakin meningkat karena ditopang oleh pendapatan dari produk hilir nikel. Tapi jika gagal? Well, kita lihat saja bagaimana hasilnya nanti.
Untungnya bagi investor retail, tahun 2014 tentunya masih cukup lama. Yang jelas hingga saat ini kinerja DKFT terbilang bagus, dan prospeknya masih cerah setidaknya untuk setahun kedepan. Terkait sahamnya, kalau kita menggunakan EPS berdasarkan jumlah saham yang terakhir yaitu 1.1 juta lembar, maka PER DKFT pada harga 1,670 adalah 10.3 kali, tidak bisa disebut undervalue namun masih wajar kalau mempertimbangkan prospeknya. Dengan asumsi bahwa perusahaan akan mampu mencapai target laba bersih Rp475 milyar pada akhir tahun 2012, maka target untuk DKFT adalah 4,500 – 5,000, yang mungkin akan dicapai dalam setahun kedepan.
Sementara kalau anda mau menggunakan saham ini untuk trading, maka jangan lupa untuk memperhatikan fluktuasi harga logam nikel di London Metal Exchange, www.lme.com. Terakhir penulis cek, saat ini harga nikel sedang turun ke US$ 17,000 per ton. Meski DKFT ini baru memproduksi nikel dalam bentuk mentah (bijih nikel), namun itu akan tetap berpengaruh.
PT Central Omega Resources Tbk
Rating kinerja pada FY11: AA
Rating saham pada 1,670: AA
DKFT dulunya adalah perusahaan jasa pembiayaan dengan nama PT Duta Kirana Finance. Perusahaan merupakan spesialis pembiayaan sepeda motor asal China. Perusahaan mengalami masa-masa keemasan pada awal tahun 2000-an, namun setelah itu pendapatan perusahaan terus menurun seiring dengan semakin berkurangnya minat masyarakat terhadap sepeda motor asal China. Hingga akhirnya pada tahun 2006, perusahaan berhenti beroperasi sama sekali.
Lalu pada tahun 2008, perusahaan menjadi objek backdoor listing oleh PT Jinsheng Mining, sebuah perusahaan investasi dengan minat di bidang usaha tambang mineral logam. Jinsheng menyuntikkan dana sebesar Rp30 milyar untuk menjadi pemilik perusahaan, dan DKFT pun seketika berubah menjadi perusahaan tambang. DKFT kemudian mengakuisisi dua perusahaan tambang, yaitu PT Mulia Pacific Resources (MPR), dan PT Mega Buana Resources (MBR). Nilai akuisisinya murah saja, yaitu total Rp5 milyar untuk keduanya. Masih di tahun 2008, DKFT mengakuisisi satu perusahaan lagi bernama PT Bumi Konawe Abadi (BKA). Di struktur perusahaan, BKA ini diletakkan dibawah MPR dan MBR, sehingga statusnya adalah sebagai cucu usaha dari DKFT.
Melalui MPR, DKFT memegang empat izin usaha pertambangan, yaitu dua tambang tembaga di Halmahera (Maluku Utara), satu tambang nikel di Morowali (Sulawesi Tengah), dan satu tambang tembaga di Kupang (Nusa Tenggara Timur). Khusus untuk tambang tembaga, terdapat juga potensi ‘hasil sampingan’ berupa emas. Sedangkan melalui BKA, DKFT memegang satu izin usaha pertambangan, yaitu tambang nikel di Konawe (Sulawesi Tenggara).
Hingga akhir tahun 2011, seluruh tambang diatas masih dalam tahap eksplorasi, kecuali dua tambang nikel di Konawe dan Morowali, yang sepanjang tahun 2011 lalu sudah menghasilkan bijih nikel (nickel ore) sebanyak total 1.4 juta ton. Sementara cadangan bijih nikel di dua lokasi tambang tersebut terakhir tercatat 5.5 juta ton. Disinilah menariknya. Dua tambang nikel di Konawe dan Morowali tersebut sebenarnya belum dieksplorasi secara penuh. Jika nanti proses eksplorasi selesai dikerjakan, maka hampir bisa dipastikan cadangan bijih nikel milik perusahaan akan meningkat signifikan. Dan itu belum termasuk potensi cadangan tembaga dan emas di tiga lokasi tambang lainnya milik perusahaan, yaitu yang di Halmahera dan Kupang.
Jika itu masih belum cukup, maka pada tanggal 10 Januari 2012 kemarin, DKFT juga mengakuisisi sebuah perusahaan bernama PT Ita Matra Nusantara (IMN), senilai Rp2 milyar (lagi-lagi murah). IMN adalah pemilik izin usaha tambang nikel di Morowali, sehingga dengan demikian DKFT memegang dua tambang nikel di Morowali. Tambang nikel yang dimiliki melalui IMN ini ditargetkan akan mulai berproduksi pada Kuartal III 2012. Jika progress-nya berjalan lancar, maka sekali lagi hampir bisa dipastikan, pendapatan dana laba bersih DKFT akan meningkat signifikan pasca Kuartal III tersebut.
Nah, kita tahu bahwa pada Oktober 2011 kemarin DKFT baru saja menggelar right issue dengan rasio 1 : 9, dimana dari right issue tersebut perusahaan memperoleh dana Rp981 milyar. Bisa tolong dijelaskan untuk apa duit sebanyak itu?
Jadi ceritanya begini. Pada tahun 2009, Pemerintah RI mengeluarkan peraturan bahwa perusahaan-perusahaan tambang di Indonesia harus memiliki pabrik atau processing plant untuk mengolah bahan tambang mentah menjadi produk-produk yang memiliki nilai tambah. Perusahaan harus sudah memiliki pabrik pengolahan tersebut selambat-lambatnya tahun 2014. Karena itulah DKFT kemudian berencana mendirikan sebuah smelter pengolahan nikel di Morowali, dimana bijih nikel yang dihasilkan akan diolah menjadi logam nikel siap pakai. Namun mengingat smelter ini akan membutuhkan investasi besar, yaitu sekitar Rp4.5 trilyun, maka DKFT akan bekerja sama dengan pihak ketiga untuk mendirikan sebuah perusahaan patungan, dimana DKFT akan menyertakan modal sebesar Rp491 milyar (setengah dari perolehan right issue-nya) di perusahaan patungan tersebut. Perusahaan patungan ini akan langsung didirikan pada tahun ini juga, dan ditargetkan mampu menyelesaikan pembangunan smelter yang dimaksud pada tahun 2014.
Sementara dana hasil dari right issue yang setengahnya lagi akan digunakan untuk belanja modal kerja, yaitu untuk membuka kantor di Jakarta, memperluas area stockpile dan dermaga di Konawe, membebaskan lahan dan membangun sarana jalan di Morowali, dan untuk membiayai survey dan eksplorasi. Perusahaan juga akan menggunakan sebagian dana untuk mendukung persediaan produksi nikel, agar pasokan nikel kepada pelanggan tetap terjaga. Well, sounds responsible! Dan mengingat pembeli siaga dari right issue DKFT ini adalah induknya sendiri, yaitu Jinsheng, maka bisa disimpulkan bahwa right issue ini memang merupakan penambahan modal dari Jinsheng kepada DKFT untuk tujuan pengembangan perusahaan, dan bukannya untuk iseng ngambil duit dari investor publik. Dilusi saham sebesar 90% karena right issue ini juga setimpal mengingat ekuitas DKFT melambung dari minus Rp1 milyar menjadi Rp1.2 trilyun, dimana pada saat ini Rp1 trilyun diantaranya masih merupakan dana cash. Dari laporan penggunaan dana hasil right issue, perusahaan memang baru menggunakan Rp132 milyar untuk belanja modal.
Right issue DKFT sendiri berjalan lancar, dimana Jinsheng tidak perlu mengambil sahamnya dalam kapasitasnya sebagai pembeli siaga, melainkan tetap sebagai pemegang HMETD. Sebelum right issue, Jinsheng memegang 77% saham DKFT, sementara sisanya dipegang oleh publik. Dan setelah right issue, Jinsheng tetap memegang 77% saham. Mengingat pada laporan keuangan terbaru DKFT tercantum dana cash sebesar Rp1 trilyun yang berasal dari penambahan modal disetor, maka bisa dipastikan bahwa Jinsheng membayar saham anyar DKFT menggunakan dana tunai, bukan menggunakan piutang usaha atau semacamnya. Dan itu tentu bagus.
Okay, sekarang bagaimana hitung-hitungan prospek DKFT ini?
Sepanjang tahun 2011, DKFT mencatat pendapatan Rp485 milyar, yang sepenuhnya berasal dari penjualan bijih nikel sebanyak 1.4 juta ton dari tambang di Konawe dan Morowali. Setelah dikurangi biaya ini dan itu, diperolehlah laba bersih Rp177 milyar. Di materi public expose yang dirilis perusahaan, dengan memperkirakan bahwa produksi bijih nikel akan kembali meningkat seiring dengan rampungnya progress eksplorasi di beberapa lokasi tambang lainnya, maka manajemen memperkirakan akan memperoleh laba bersih masing-masing Rp475 dan 792 milyar di tahun 2012 dan 2013. Well, target yang realistis namun tetap atraktif, tentu saja. Dan jangan lupa bahwa itu belum menyertakan prospek dari tambang tembaga dan emas, yang saat ini masih dalam tahap eksplorasi.
Hanya saja risikonya disini adalah berkaitan dengan pembangunan smelter nikel yang sudah dibahas diatas. Mengumpulkan dana Rp4.5 trilyun yang diperlukan untuk membangun smelter tersebut tentunya bukan perkara gampang. Ketersediaan waktu yang dimiliki perusahaan juga terbilang terbatas, yaitu hanya dua tahun (hingga tahun 2014). Jika proyek smelter tersebut sukses, maka pendapatan dan laba perusahaan akan semakin meningkat karena ditopang oleh pendapatan dari produk hilir nikel. Tapi jika gagal? Well, kita lihat saja bagaimana hasilnya nanti.
Untungnya bagi investor retail, tahun 2014 tentunya masih cukup lama. Yang jelas hingga saat ini kinerja DKFT terbilang bagus, dan prospeknya masih cerah setidaknya untuk setahun kedepan. Terkait sahamnya, kalau kita menggunakan EPS berdasarkan jumlah saham yang terakhir yaitu 1.1 juta lembar, maka PER DKFT pada harga 1,670 adalah 10.3 kali, tidak bisa disebut undervalue namun masih wajar kalau mempertimbangkan prospeknya. Dengan asumsi bahwa perusahaan akan mampu mencapai target laba bersih Rp475 milyar pada akhir tahun 2012, maka target untuk DKFT adalah 4,500 – 5,000, yang mungkin akan dicapai dalam setahun kedepan.
Sementara kalau anda mau menggunakan saham ini untuk trading, maka jangan lupa untuk memperhatikan fluktuasi harga logam nikel di London Metal Exchange, www.lme.com. Terakhir penulis cek, saat ini harga nikel sedang turun ke US$ 17,000 per ton. Meski DKFT ini baru memproduksi nikel dalam bentuk mentah (bijih nikel), namun itu akan tetap berpengaruh.
PT Central Omega Resources Tbk
Rating kinerja pada FY11: AA
Rating saham pada 1,670: AA
Komentar
kok sahamnya terjun bebas dari 3100 ke 1350 yah??
Tapi RI 1:9
177m/1.1m=160
Bagaimana pendapat pak Teguh?
setelah RI kmarin ini, apa mungkin ada CA lainnya utk menutupi kebutuhan dana tersebut yang dapat merugikan retail?
1. kapan paling cepat bisa RI lagi?
2. mungkinkah dia akan placement saham baru?
thks n regards,
C.