J Resources, Backdoor Listing with a Little Magic
Beberapa bulan lalu, tepatnya tanggal 15 November 2011, PT Pelita Sejahtera Abadi Tbk (PSAB) mengumumkan bahwa perusahaan akan mengakuisisi sebuah perusahaan tambang emas, bernama PT J Resources Nusantara. Nilai akuisisinya mencapai Rp1.4 trilyun, dan PSAB akan memperoleh dana tersebut dari right issue yang akan dilakukan kemudian. PSAB sendiri, terhitung sejak tanggal 30 Desember 2011, kemudian berubah nama menjadi PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB), dan kegiatan usaha utama perusahaan juga berubah dari sebelumnya jasa boga, perdagangan, transportasi, dan pembangunan perumahan, menjadi usaha pertambangan, khususnya tambang emas.
Banyak investor yang menganggap bahwa aksi korporasi yang dilakukan PSAB ini sebenarnya merupakan aksi backdoor listing yang dilakukan oleh PT J Resources Nusantara. Dan itu kurang lebih memang benar, namun prosesnya tidak sesederhana itu (right issue, kemudian akuisisi). Dalam artikel ini, penulis akan mengajak anda untuk menelusuri aksi korporasi ini dari awal.
Mulanya, seorang pengusaha Indonesia bernama Jimmy Budiarto, mendirikan J & Partners LP (J&P), sebuah perusahaan investasi di Cayman Islands (negara antah berantah macam British Virgin Island). Huruf ‘J’ pada nama perusahaan mungkin merupakan inisial dari nama pemiliknya, yaitu Mr. Jimmy. J&P kemudian menghubungi Avocet Mining Plc (Avocet), sebuah perusahaan tambang asal Inggris, untuk mengakuisisi saham-saham milik Avocet di enam perusahaan tambang di Indonesia, yaitu PT Avocet Bolaang Mongondow (ABM), PT Avocet Mining Services (AMS), PT Gorontalo Sejahtera Mining (GSM), PT Arafura Surya Alam (ASA), PT Kutai Surya Mining (KSM), dan PT Sago Prima Pratama (SPP). Selain enam perusahaan diatas, J&P juga mengakuisisi saham-saham milik Avocet di dua perusahaan yang berdomisili di Belanda dan Malaysia, yaitu Avocet BV, yang kemudian berubah nama menjadi J Resources BV (JBV), dan Avocet Mining Sdn Bhd, yang kemudian berubah nama menjadi J&P Resources Gold Sdn Bhd (JPRG). Jadi secara keseluruhan J&P mengakuisisi delapan perusahaan dari Avocet. Seluruh transaksi akuisisi tersebut diselesaikan pada tanggal 23 Desember 2010, dengan nilai akuisisi sekitar US$ 200 juta.
Lalu darimana J&P punya duit US$ 200 juta tersebut? Kemungkinan dari hasil penjualan PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA) kepada Delta Dunia Makmur (DOID), senilai US$ 240 juta pada November 2009. Mr. Jimmy sebelumnya memang merupakan pemilik dari perusahaan kontraktor tambang tersebut, yang sekarang dipegang oleh pengusaha kakap lainnya, Patrick Sugito Walujo.
Back to topic. Pada tanggal 20 Juni 2011, ayah dari Mr. Jimmy yaitu Johan Lensa, melalui perusahaannya PT Mentari Bukit Makmur, mengakuisisi sebuah perusahaan kecil bernama PT Bara Kutai Energi (BKE), yang kemudian namanya diubah menjadi PT J Resources Nusantara (JRN). J&P kemudian mengalihkan kepemilikan dari delapan perusahaan yang diakuisisi dari Avocet, kepada JRN. Jadilah kemudian JRN menjadi induk dari delapan perusahaan diatas, namun sebagai gantinya, JRN menjadi memiliki utang kepada J&P. J&P kemudian mendirikan perusahaan di Hongkong, dengan nama J & Partners Asia Ltd (JPAL). Oleh J&P, utang-utang JRN kemudian dialihkan kepada JPAL.
Dari ulasan diatas, maka tampak bahwa dengan strategi pemindahan kepemilikan aset, JRN menjadi memiliki utang kepada JPAL, padahal kedua perusahaan tersebut dimiliki oleh pemilik yang sama. Jadi kalau JRN gak membayar utangnya sekalipun, maka sebenarnya tidak ada yang dirugikan. Namun tentunya dalam sebuah perusahaan, yang namanya utang ya tetap harus dibayar, jadi JRN tetap harus membayar utangnya ke JPAL. Dari mana duitnya? Dari menjual saham. JRN kemudian menerbitkan saham senilai Rp1.4 trilyun, yang kemudian dibeli oleh PT J Resources Asia Pasifik (PSAB).
Lho, tapi bukannya PSAB cuma perusahaan kecil dengan aset gak lebih dari Rp12 milyar? Iya, memang. Kalo gitu dari mana PSAB bisa dapet duit sebesar itu? Ya dari right issue lah, dia kan perusahaan publik. Tapi lalu apa keuntungan yang diperoleh PSAB kalau dia mengakuisisi JRN? Ya nantinya PSAB akan menjadi induk dari delapan perusahaan yang dipegang oleh JRN.
Okeh, lanjut. Setelah memperoleh dana Rp1.4 trilyun dari right issue-nya, PSAB akan menyerahkannya kepada JRN, dan sebagai gantinya PSAB akan memperoleh 98.9% saham JRN. Oleh JRN, duit Rp1.4 trilyun tersebut akan dipakai untuk membayar utang ke JPAL. Dan karena JRN bukan merupakan perusahaan publik, maka JRN tidak perlu melaporkan detail dari pembayaran utang tersebut kepada BEI sebagai otoritas bursa. Sementara PSAB sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pengambilan dana sebesar Rp1.4 trilyun tersebut dari investor di market, cukup melaporkan kepada BEI bahwa perusahaan telah menggunakan dana tersebut untuk mengambil alih saham JRN, sesuai dengan rencana penggunaan dana menurut prospektus right issue-nya.
Kalau dirunut, maka kronologisnya kira-kira sebagai berikut, meskipun mungkin tidak sama persis:
1. Pertama, Tuan Jimmy Budiarto, yang baru dapet duit US$ 240 juta dari penjualan BUMA, menggunakan uang tersebut untuk mengakuisisi aset-aset milik Avocet di Indonesia, Belanda, dan Malaysia, senilai total US$ 200 juta. Beliau melakukan akuisisi tersebut melalui J&P, perusahaan yang didirikan di Cayman Islands.
2. Kedua, ayah dari Tuan Jimmy yaitu Tuan Johan Lensa, melalui perusahaannya mengakuisisi sebuah perusahaan kecil bernama Bara Kutai Energi, yang kemudian namanya diubah menjadi JRN. J&P kemudian ‘menjual’ aset-aset hasil akuisisi dari Avocet kepada JRN. Karena JRN gak punya duit, maka simsalabim! Jadilah JRN berhutang kepada J&P. Berapa nilai hutangnya? US$ 185 juta, atau sekitar Rp1.4 trilyun.
3. Ketiga, JRN ‘menyerahkan diri’ kepada sebuah perusahaan yang sudah listing di bursa, yaitu PSAB. Tapi sebagai gantinya, PSAB harus menyetor duit Rp1.4 trilyun. PSAB akan memperoleh dana itu dari right issue, dimana anak usaha dari J&P yaitu JPAL, menjadi pembeli siaganya. Dalam menampung saham anyar PSAB yang tidak diserap oleh investor publik, JPAL bisa membayarnya menggunakan piutang JRN (jadi nantinya JRN gak harus bayar utang lagi ke JPAL, melainkan ke PSAB). Alhasil, abrakadabra! JPAL sama sekali tidak perlu mengeluarkan uang tunai untuk memperoleh saham PSAB.
Jadi skenario pasca right issuenya ada dua. Skenario pertama, jika saham anyar PSAB seluruhnya diserap oleh publik, maka JRN akan memperoleh dana segar sebesar US$ 185 juta. Well, lumayan untuk mengembalikan sebagian dari uang US$ 200 juta yang harus dikeluarkan J&P untuk mengakuisisi delapan perusahaan dari Avocet, bukan begitu? Dan bonusnya, karena JRN memperoleh dana tersebut bukan dari IPO melainkan dari right issue-nya PSAB, maka status perusahaan tetap menjadi perusahaan tertutup. Skenario kedua, jika saham anyar PSAB ternyata nggak laku, maka JPAL tentunya harus menyerapnya. Tapi mengingat JPAL hanya perlu membayar saham PSAB tersebut menggunakan piutang dari JRN, maka JPAL tidak perlu mengeluarkan uang sama sekali. Yep, nothing to lose here.
Dan sekali lagi, mengingat nantinya kedelapan perusahaan hasil akuisisi dari Avocet akan tetap berada dibawah JRN, dan bukannya dibawah PSAB langsung, maka laporan keuangan PSAB nantinya bisa diutak-atik. Sementara laporan keuangan JRN-nya bisa diumpetin, karena JRN kan memang bukan perusahaan terbuka? Dan kalau nanti perusahaan butuh duit lagi, maka PSAB tinggal menggelar right issue aja lagi.
Strategi korporasi ini mengingatkan penulis pada Delta Dunia Makmur (DOID), dimana entah kenapa laporan keuangannya berantakan, padahal DOID adalah induk dari BUMA, perusahaan kontraktor tambang terbesar kedua di Indonesia, pemilik dari kontrak tambang senilai US$ 4.8 milyar atau sekitar Rp44 trilyun (wow!). DOID sendiri pada Juni 2011 lalu juga baru saja menggelar right issue kedua. Mungkinkah Tuan Jimmy memperoleh strategi ini dari Tuan Patrick, mengingat mereka berdua pernah memiliki relasi dalam transaksi jual beli BUMA? Entahlah.
At the end, kalau ada pertanyaan apakah aksi korporasi PSAB ini menyebabkan sahamnya menjadi layak investasi, maka sayang sekali jawabannya tidak. Poinnya disini adalah bahwa aset-aset tambang dari delapan perusahaan yang menjadi jualan utama dari right issue-nya PSAB, tidak dipegang langsung oleh PSAB, melainkan melalui JRN. Jadi bisa dibilang bahwa JRN inilah yang berharga, sementara PSAB cuma kertas. Tak peduli sebanyak apapun cadangan emas yang dimiliki kedelapan perusahaan tambang tersebut, tak peduli meski mereka menghasilkan emas lebih banyak dari tambang emas Grasberg di Papua milik Freeport sekalipun, tapi kalau hasilnya tidak ditampilkan pada laporan keuangan PSAB, maka sahamnya ya tetep aja gak akan naik, kecuali karena faktor spekulasi semata. Contohnya lihat aja DOID, sampe sekarang sahamnya mandek di 600-an, karena laporan keuangan terakhirnya dibikin rugi. Dan aksi korporasi model ini sebenarnya bukan yang pertama. Bumi Resources (BUMI) yang terkenal itu, juga hanya merupakan ‘kertas’, sementara isinya yang berharga yaitu PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia, tidak pernah benar-benar dimiliki oleh investor publik di market.
Untungnya, tidak semua perusahaan berperilaku egois seperti itu. Di market masih ada banyak perusahaan yang bersikap fair dalam menyerahkan sebagian kepemilikan asetnya kepada investor publik, termasuk juga rutin membagikan dividen. Jadi anda sebagai investor nggak perlu kecewa, masih ada banyak pilihan kok.
Banyak investor yang menganggap bahwa aksi korporasi yang dilakukan PSAB ini sebenarnya merupakan aksi backdoor listing yang dilakukan oleh PT J Resources Nusantara. Dan itu kurang lebih memang benar, namun prosesnya tidak sesederhana itu (right issue, kemudian akuisisi). Dalam artikel ini, penulis akan mengajak anda untuk menelusuri aksi korporasi ini dari awal.
Mulanya, seorang pengusaha Indonesia bernama Jimmy Budiarto, mendirikan J & Partners LP (J&P), sebuah perusahaan investasi di Cayman Islands (negara antah berantah macam British Virgin Island). Huruf ‘J’ pada nama perusahaan mungkin merupakan inisial dari nama pemiliknya, yaitu Mr. Jimmy. J&P kemudian menghubungi Avocet Mining Plc (Avocet), sebuah perusahaan tambang asal Inggris, untuk mengakuisisi saham-saham milik Avocet di enam perusahaan tambang di Indonesia, yaitu PT Avocet Bolaang Mongondow (ABM), PT Avocet Mining Services (AMS), PT Gorontalo Sejahtera Mining (GSM), PT Arafura Surya Alam (ASA), PT Kutai Surya Mining (KSM), dan PT Sago Prima Pratama (SPP). Selain enam perusahaan diatas, J&P juga mengakuisisi saham-saham milik Avocet di dua perusahaan yang berdomisili di Belanda dan Malaysia, yaitu Avocet BV, yang kemudian berubah nama menjadi J Resources BV (JBV), dan Avocet Mining Sdn Bhd, yang kemudian berubah nama menjadi J&P Resources Gold Sdn Bhd (JPRG). Jadi secara keseluruhan J&P mengakuisisi delapan perusahaan dari Avocet. Seluruh transaksi akuisisi tersebut diselesaikan pada tanggal 23 Desember 2010, dengan nilai akuisisi sekitar US$ 200 juta.
Lalu darimana J&P punya duit US$ 200 juta tersebut? Kemungkinan dari hasil penjualan PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA) kepada Delta Dunia Makmur (DOID), senilai US$ 240 juta pada November 2009. Mr. Jimmy sebelumnya memang merupakan pemilik dari perusahaan kontraktor tambang tersebut, yang sekarang dipegang oleh pengusaha kakap lainnya, Patrick Sugito Walujo.
Back to topic. Pada tanggal 20 Juni 2011, ayah dari Mr. Jimmy yaitu Johan Lensa, melalui perusahaannya PT Mentari Bukit Makmur, mengakuisisi sebuah perusahaan kecil bernama PT Bara Kutai Energi (BKE), yang kemudian namanya diubah menjadi PT J Resources Nusantara (JRN). J&P kemudian mengalihkan kepemilikan dari delapan perusahaan yang diakuisisi dari Avocet, kepada JRN. Jadilah kemudian JRN menjadi induk dari delapan perusahaan diatas, namun sebagai gantinya, JRN menjadi memiliki utang kepada J&P. J&P kemudian mendirikan perusahaan di Hongkong, dengan nama J & Partners Asia Ltd (JPAL). Oleh J&P, utang-utang JRN kemudian dialihkan kepada JPAL.
Dari ulasan diatas, maka tampak bahwa dengan strategi pemindahan kepemilikan aset, JRN menjadi memiliki utang kepada JPAL, padahal kedua perusahaan tersebut dimiliki oleh pemilik yang sama. Jadi kalau JRN gak membayar utangnya sekalipun, maka sebenarnya tidak ada yang dirugikan. Namun tentunya dalam sebuah perusahaan, yang namanya utang ya tetap harus dibayar, jadi JRN tetap harus membayar utangnya ke JPAL. Dari mana duitnya? Dari menjual saham. JRN kemudian menerbitkan saham senilai Rp1.4 trilyun, yang kemudian dibeli oleh PT J Resources Asia Pasifik (PSAB).
Lho, tapi bukannya PSAB cuma perusahaan kecil dengan aset gak lebih dari Rp12 milyar? Iya, memang. Kalo gitu dari mana PSAB bisa dapet duit sebesar itu? Ya dari right issue lah, dia kan perusahaan publik. Tapi lalu apa keuntungan yang diperoleh PSAB kalau dia mengakuisisi JRN? Ya nantinya PSAB akan menjadi induk dari delapan perusahaan yang dipegang oleh JRN.
Okeh, lanjut. Setelah memperoleh dana Rp1.4 trilyun dari right issue-nya, PSAB akan menyerahkannya kepada JRN, dan sebagai gantinya PSAB akan memperoleh 98.9% saham JRN. Oleh JRN, duit Rp1.4 trilyun tersebut akan dipakai untuk membayar utang ke JPAL. Dan karena JRN bukan merupakan perusahaan publik, maka JRN tidak perlu melaporkan detail dari pembayaran utang tersebut kepada BEI sebagai otoritas bursa. Sementara PSAB sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pengambilan dana sebesar Rp1.4 trilyun tersebut dari investor di market, cukup melaporkan kepada BEI bahwa perusahaan telah menggunakan dana tersebut untuk mengambil alih saham JRN, sesuai dengan rencana penggunaan dana menurut prospektus right issue-nya.
Kalau dirunut, maka kronologisnya kira-kira sebagai berikut, meskipun mungkin tidak sama persis:
1. Pertama, Tuan Jimmy Budiarto, yang baru dapet duit US$ 240 juta dari penjualan BUMA, menggunakan uang tersebut untuk mengakuisisi aset-aset milik Avocet di Indonesia, Belanda, dan Malaysia, senilai total US$ 200 juta. Beliau melakukan akuisisi tersebut melalui J&P, perusahaan yang didirikan di Cayman Islands.
2. Kedua, ayah dari Tuan Jimmy yaitu Tuan Johan Lensa, melalui perusahaannya mengakuisisi sebuah perusahaan kecil bernama Bara Kutai Energi, yang kemudian namanya diubah menjadi JRN. J&P kemudian ‘menjual’ aset-aset hasil akuisisi dari Avocet kepada JRN. Karena JRN gak punya duit, maka simsalabim! Jadilah JRN berhutang kepada J&P. Berapa nilai hutangnya? US$ 185 juta, atau sekitar Rp1.4 trilyun.
3. Ketiga, JRN ‘menyerahkan diri’ kepada sebuah perusahaan yang sudah listing di bursa, yaitu PSAB. Tapi sebagai gantinya, PSAB harus menyetor duit Rp1.4 trilyun. PSAB akan memperoleh dana itu dari right issue, dimana anak usaha dari J&P yaitu JPAL, menjadi pembeli siaganya. Dalam menampung saham anyar PSAB yang tidak diserap oleh investor publik, JPAL bisa membayarnya menggunakan piutang JRN (jadi nantinya JRN gak harus bayar utang lagi ke JPAL, melainkan ke PSAB). Alhasil, abrakadabra! JPAL sama sekali tidak perlu mengeluarkan uang tunai untuk memperoleh saham PSAB.
Jadi skenario pasca right issuenya ada dua. Skenario pertama, jika saham anyar PSAB seluruhnya diserap oleh publik, maka JRN akan memperoleh dana segar sebesar US$ 185 juta. Well, lumayan untuk mengembalikan sebagian dari uang US$ 200 juta yang harus dikeluarkan J&P untuk mengakuisisi delapan perusahaan dari Avocet, bukan begitu? Dan bonusnya, karena JRN memperoleh dana tersebut bukan dari IPO melainkan dari right issue-nya PSAB, maka status perusahaan tetap menjadi perusahaan tertutup. Skenario kedua, jika saham anyar PSAB ternyata nggak laku, maka JPAL tentunya harus menyerapnya. Tapi mengingat JPAL hanya perlu membayar saham PSAB tersebut menggunakan piutang dari JRN, maka JPAL tidak perlu mengeluarkan uang sama sekali. Yep, nothing to lose here.
Dan sekali lagi, mengingat nantinya kedelapan perusahaan hasil akuisisi dari Avocet akan tetap berada dibawah JRN, dan bukannya dibawah PSAB langsung, maka laporan keuangan PSAB nantinya bisa diutak-atik. Sementara laporan keuangan JRN-nya bisa diumpetin, karena JRN kan memang bukan perusahaan terbuka? Dan kalau nanti perusahaan butuh duit lagi, maka PSAB tinggal menggelar right issue aja lagi.
Strategi korporasi ini mengingatkan penulis pada Delta Dunia Makmur (DOID), dimana entah kenapa laporan keuangannya berantakan, padahal DOID adalah induk dari BUMA, perusahaan kontraktor tambang terbesar kedua di Indonesia, pemilik dari kontrak tambang senilai US$ 4.8 milyar atau sekitar Rp44 trilyun (wow!). DOID sendiri pada Juni 2011 lalu juga baru saja menggelar right issue kedua. Mungkinkah Tuan Jimmy memperoleh strategi ini dari Tuan Patrick, mengingat mereka berdua pernah memiliki relasi dalam transaksi jual beli BUMA? Entahlah.
At the end, kalau ada pertanyaan apakah aksi korporasi PSAB ini menyebabkan sahamnya menjadi layak investasi, maka sayang sekali jawabannya tidak. Poinnya disini adalah bahwa aset-aset tambang dari delapan perusahaan yang menjadi jualan utama dari right issue-nya PSAB, tidak dipegang langsung oleh PSAB, melainkan melalui JRN. Jadi bisa dibilang bahwa JRN inilah yang berharga, sementara PSAB cuma kertas. Tak peduli sebanyak apapun cadangan emas yang dimiliki kedelapan perusahaan tambang tersebut, tak peduli meski mereka menghasilkan emas lebih banyak dari tambang emas Grasberg di Papua milik Freeport sekalipun, tapi kalau hasilnya tidak ditampilkan pada laporan keuangan PSAB, maka sahamnya ya tetep aja gak akan naik, kecuali karena faktor spekulasi semata. Contohnya lihat aja DOID, sampe sekarang sahamnya mandek di 600-an, karena laporan keuangan terakhirnya dibikin rugi. Dan aksi korporasi model ini sebenarnya bukan yang pertama. Bumi Resources (BUMI) yang terkenal itu, juga hanya merupakan ‘kertas’, sementara isinya yang berharga yaitu PT Kaltim Prima Coal dan PT Arutmin Indonesia, tidak pernah benar-benar dimiliki oleh investor publik di market.
Untungnya, tidak semua perusahaan berperilaku egois seperti itu. Di market masih ada banyak perusahaan yang bersikap fair dalam menyerahkan sebagian kepemilikan asetnya kepada investor publik, termasuk juga rutin membagikan dividen. Jadi anda sebagai investor nggak perlu kecewa, masih ada banyak pilihan kok.
Komentar
Apakah yg anda maksudkan disini adalah typical emiten yg bersifat holding company, dimana anak2 usahanya tdk listing ?
Jika spt INDF yg anak usahanya terbuka ( listing ) apakah lebih baik, krn kita bisa melihat LKnya ?
Bahas BNBR donk...
Apakah saham ini akan idle selamanya? Atau Delisting?
Tapi kan akan terdengar lucu bro kalo psabnya sendiri lgsg backdoor/akuisisi 8perusahaan tambang, makanya d bikin jrn sebagai holding
Positif thinking aja sih
Di sisi lain DOID justru menunjukkan negatif EBIT dibandingkan peningkatan revenue. Ini mungkin yang mengindikasikan DOID sebagai "tempat sampah" grup ini dgn memasukkan operating-cost grup di sisi DOID.