Tower Bersama & Its Rapid Growth
Kemarin Rabu, 8 Februari 2012, Tower Bersama Infrastructure (TBIG) mengumumkan bahwa perusahaan telah membeli 2,500 menara telekomunikasi atau base transceiver station (BTS) milik Indosat (ISAT). Nantinya TBIG akan kembali menyewakan menara-menara tersebut kepada ISAT, dengan masa sewa minimum 10 tahun. Nilai pembelian menara ini mencapai US$ 519 juta, dimana TBIG akan membayar US$ 406 juta menggunakan dana tunai, dana pinjaman bank, dan saham baru yang akan diterbitkan, sementara sisanya sebesar US$ 113 juta akan dibayar kemudian.
Bagi ISAT, perolehan dana dari transaksi ini akan membantu perusahaan untuk membiayai belanja modal, dan membayar utang. Khusus untuk membayar utang, ISAT memang sedang berjuang untuk membayar utang-utangnya. Pada kuartal III 2011 kemarin, ISAT mengurangi 20% utangnya dengan melunasi berbagai pinjaman yang jatuh tempo. Tapi mungkin itu belum cukup, sehingga perlu langkah lebih lanjut. Apakah langkah itu adalah dengan mengajukan utang baru? Mungkin tidak. ISAT mungkin kesulitan untuk mencari utang lagi, karena posisi utang ISAT memperoleh rating rendah oleh para lembaga pemeringkat. Pada September 2011 lalu, Moody’s memberi rating Ba1 untuk ISAT, dimana rating tersebut tergolong sebagai speculative grade. Alhasil ISAT kemudian memilih untuk melepas beberapa asetnya, termasuk 2,500 menara yang dibahas diatas. Namun mengingat ke-2,500 menara yang dijual ke TBIG tersebut hanyalah 25% dari seluruh aset menara milik perusahaan, sehingga tidak tergolong sebagai aset inti, maka pengurangan aset tersebut tidak menjadi masalah.
Sementara bagi TBIG, transaksi ini akan menambah aset menara perusahaan menjadi total 7,368 menara, dengan jumlah kontrak sewa sekitar 10,000 kontrak. Dengan jumlah menara yang lebih banyak, maka tentunya diharapkan bahwa pendapatan perusahaan akan kembali meningkat signifikan. Pada kuartal III 2011 lalu, TBIG mencatat pendapatan Rp689 milyar, meningkat 45.2% dibanding periode yang sama tahun 2010.
Oke, terus bagaimana prospek TBIG pasca aksi korporasi pembelian menara ISAT ini?
Penulis pribadi mulai mengamati TBIG sejak perusahaan mengatakan bahwa mereka menandatangani nota kesepahaman dengan ISAT untuk mengakuisisi aset menara, pada tanggal 15 November 2011 lalu. Ketika itu ISAT memang sedang mencari pembeli untuk ke-2,500 menaranya. Calon pembeli terkuat tentu saja ada dua, yaitu Protelindo (anak usaha PT Sarana Menara Nusantara/TOWR), dan TBIG, mengingat kedua perusahaan tersebut adalah perusahaan penyewaan menara telekomunikasi terbesar di Indonesia. Tapi dengan keluarnya nota kesepahaman diatas, maka dengan sendirinya calon pembeli menara ISAT hanyalah TBIG. Itu sebabnya penulis memasukkan TBIG ini sebagai salah satu saham yang direkomendasikan pada Investor Buletin edisi Desember 2011 lalu, dimana ketika itu TBIG berada di posisi 2,125. Sebab ketika nantinya aksi korporasi ini diumumkan secara terbuka ke publik, maka dengan sendirinya saham TBIG akan terkerek naik, mungkin bisa menembus 2,500.
Dalam jangka pendek, TBIG ternyata memang naik. Tapi bagaimana kalau dalam jangka panjang? Well, ada banyak yang perlu dipertimbangkan disini. Tapi pertama-tama, mari kita lihat TBIG ini secara lebih detil lagi.
Dibanding perusahaan penyewaan menara telekomunikasi lainnya, TBIG terbilang sangat agresif dalam menambah portofolio menaranya. Pada awal tahun 2011 lalu, TBIG baru memiliki 3,104 menara. Kalau dilirik lebih jauh ke belakang, pada tahun 2005 TBIG hanya memiliki 57 menara dengan tidak lebih dari 58 penyewa. Pertumbuhan kepemilikan menara yang sangat cepat tersebut adalah berkat strategi mengakuisisi menara-menara milik perusahaan lain, atau mengakuisisi perusahaan itu sendiri. Dari tahun 2004 hingga 2010, TBIG telah mengakuisisi PT Telenet Internusa, membeli sejumlah menara milik Mobile-8 (sekarang Smartfren Telecom), mengakuisisi PT Bali Telekom, PT Prima Media Selaras, dan PT Solusindo Kreasi Pratama. Terakhir pada tanggal 9 Agustus 2011 kemarin, TBIG mengakuisisi PT Mitrayasa Sarana Informasi (MSI), senilai Rp200 milyar. MSI sendiri memiliki setidaknya 263 menara telekomunikasi.
Lalu dari mana TBIG punya duit untuk serangkaian akusisi tersebut? Dari utang bank. Sejak tanggal 27 September 2010, TBIG sudah memegang komitmen dari sejumlah bank untuk memperoleh pinjaman senilai maksimal US$ 2 milyar, atau sekitar Rp18 trilyun. Sumber pendanaan lainnya adalah dari penerbitan saham. Dari IPO-nya pada Oktober 2010 lalu, TBIG memperoleh dana segar Rp1.1 trilyun. Sementara untuk membiayai pembelian menara dari ISAT ini, TBIG juga akan kembali menerbitkan saham baru.
Sosok dibalik pertumbuhan TBIG yang super-cepat tersebut adalah Sandiaga Salahuddin Uno. Ketika Saratoga Capital (perusahaan milik Edwin Soerjadjaja dan Sandi Uno) merintis TBIG pada tahun 2004, mereka memulainya dengan tidak lebih dari 7 menara saja, yang dibeli dari perusahaan lain. Mr. Sandi mendirikan TBIG karena tertarik dengan kata-kata dari Pak Sakti Wahyu Trenggono, pemilik Indonesia Tower, salah satu perusahaan penyewaan menara pertama di Indonesia. Ketika itu Pak Trenggono mengatakan bahwa suatu hari nanti, perusahaan-perusahaan telekomunikasi akan berhenti mendirikan menara telekomunikasi, karena biayanya sangat mahal. Mereka akan memilih menyewa daripada memiliki menara sendiri, sehingga ini adalah kesempatan bagi perusahaan yang bisa menyediakan menara-menara untuk mereka sewa. Ini prospek! Termotivasi oleh kata-kata tersebut, Mr. Sandi kemudian gencar mengakuisisi kesana kemari, hingga akhirnya TBIG menjadi perusahaan terbesar kedua yang dimiliki Grup Saratoga, setelah Adaro Energy (ADRO).
Dalam membesarkan TBIG, harus diakui bahwa Mr. Sandi sangatlah jenius. Ketika memutuskan untuk meng-IPO-kan TBIG pada tahun 2010, itu adalah moment dimana market sedang kondusif dan IHSG sedang tinggi-tingginya, sehingga saham TBIG bisa dijual pada harga yang sangat mahal namun tetap laku. Bayangkan saja, ketika IPO, posisi ekuitas terbaru TBIG hanyalah Rp848 milyar, tapi saham IPO-nya dilepas pada harga yang mencetak market cap Rp9.2 trilyun! Namun seolah tidak peduli dengan harga yang selangit tersebut, TBIG ternyata mampu terus naik dari harga perdana 2,125 hingga hampir saja menembus level psikologis 3,000, meski kemudian turun lagi dan sempat menyentuh 1,810 sebagai posisi terendahnya. Alhasil bagi Grup Saratoga, IPO TBIG ini tentu saja merupakan kesuksesan besar, dimana mereka berhasil membangun perusahaan senilai tak lebih dari Rp7 milyar di tahun 2004, menjadi sebuah perusahaan dengan nilai pasar yang sempat mencapai Rp14 trilyun, hanya dalam waktu 7 tahun. Super sekali.
Tapi bagaimana TBIG ini kalau untuk investor retail di market? Well, dengan valuasinya yang selangit maka tentu saja untuk saat ini TBIG sulit untuk dijadikan pilihan investasi jangka panjang. Bahkan meskipun posisi ekuitas TBIG sekarang ini sudah mencapai Rp2.6 trilyun, namun tetap saja PBV-nya (pada harga ketika artikel ini ditulis yaitu 2,600) masih kelewat tinggi, yaitu 4.6 kali. TBIG masih perlu waktu untuk menumbuhkan perusahaannya secara pure organic untuk kemudian menghasilkan justifikasi bahwa market cap-nya yang bernilai lebih dari US$ 1 milyar tersebut, adalah wajar. Saat ini salah satu penyebab TBIG bisa bertahan di valuasinya yang tinggi, dimana harga sahamnya senantiasa stabil diatas 2,000, adalah karena prospeknya, bukan nilai riil perusahaannya.
Lalu bagaimana dengan prospek perusahaan, khususnya pasca akuisisi menara milik Indosat? Bagi TBIG, langkah akuisisi tersebut mungkin hanyalah one step ahead dibanding perusahaan penyewaan menara lainnya, yang itu berarti TBIG masih akan mengakuisisi lebih banyak lagi (mungkin sasaran berikutnya adalah menara-menara milik XL Axiata). TBIG kemungkinan tidak akan bermasalah dengan pendanaan, karena dari komitmen pinjaman bank senilai US$ 2 milyar, perusahaan baru mencairkan US$ 550 juta diantaranya. Namun TBIG juga tidak hanya akan menggunakan utang bank untuk akuisisi, melainkan juga bisa melalui opsi penerbitan saham baru. Akuisisi menara milik ISAT juga salah satunya didanai melalui penerbitan saham sebanyak 5%. Dilihat dari sisi ini, maka tentunya pemegang saham publik menjadi dirugikan karena kepemilikan saham mereka menjadi terdilusi.
Kesimpulannya, TBIG ini barang bagus, dan prospeknya dalam jangka panjang juga bagus mengingat TBIG akan selalu memperoleh penyewa karena sampai kapanpun, perusahaan-perusahaan telekomunikasi akan selalu membutuhkan menara untuk operasional mereka, sehingga risiko usahanya rendah (makanya bank juga bersedia ngasih pinjaman besar). Sementara dengan portofolio kepemilikan menara yang terus bertambah dari waktu ke waktu, maka otomatis pendapatan dan laba TBIG juga akan senantiasa meningkat, sehingga menjanjikan keuntungan besar bagi para shareholder-nya. Dalam hal ini maka akuisisi TBIG terhadap menara milik ISAT tidak lagi begitu penting untuk diperhatikan, karena aksi korporasi tersebut hanyalah satu dari sekian banyak rencana aksi korporasi dalam blueprint ekspansi milik perusahaan.
Sayangnya kebijakan investasi perusahaan sepertinya kurang berpihak pada investor retail, dimana investor ‘dipaksa’ untuk memegang saham TBIG pada harga overvalued (saham TBIG menjadi ‘barang panas’ yang bisa menjadi dingin setiap saat). Dan model akuisisi menara ISAT yang diumumkan kemarin semakin mempertegas hal tersebut, dimana dari nilai akuisisi US$ 519 juta, US$ 113 juta atau sekitar Rp1 trilyun diantaranya akan dibayar kemudian, sehingga otomatis menjadi passiva alias utang. Utang Rp1 trilyun itu gede banget lho. Dan itu belum termasuk penerbitan saham anyar yang bisa men-dilusi kepemilikan saham publik sekitar 5%.
Anyway sebagai pemilik mayoritas dari perusahaan, maka soal TBIG ini mau diapakan, tentunya itu terserah Mr. Sandi saja. Lha wong perusahaannya juga dia yang punya kok. Tapi sebagai investor retail, maka untuk saat ini penulis belum bisa merekomendasikan TBIG ini kalau untuk investasi jangka panjang. Untuk sekarang ini yang bisa kita lakukan hanyalah menunggu lagi, apa aksi korporasi TBIG selanjutnya, sembari secara rutin mengecek pertumbuhan TBIG setiap tiga bulan sekali, melalui laporan keuangan (LK) mereka. Kebetulan TBIG termasuk salah satu dari beberapa emiten di BEI yang tergolong cepat dalam merilis LK terbaru mereka.
Sementara kalau untuk trading jangka pendek, maka paling enak mulai melirik TBIG ini ketika harga di 2,000 pas atau sekitarnya. Saham TBIG kemungkinan akan terus dijaga agar nggak turun lebih rendah dari itu. Seperti juga pada saham ADRO, sepertinya Grup Saratoga memiliki kebijakan untuk tetap mempertahankan harga saham perusahaan mereka di level 2,000-an, entah apa maksudnya.
Bagi ISAT, perolehan dana dari transaksi ini akan membantu perusahaan untuk membiayai belanja modal, dan membayar utang. Khusus untuk membayar utang, ISAT memang sedang berjuang untuk membayar utang-utangnya. Pada kuartal III 2011 kemarin, ISAT mengurangi 20% utangnya dengan melunasi berbagai pinjaman yang jatuh tempo. Tapi mungkin itu belum cukup, sehingga perlu langkah lebih lanjut. Apakah langkah itu adalah dengan mengajukan utang baru? Mungkin tidak. ISAT mungkin kesulitan untuk mencari utang lagi, karena posisi utang ISAT memperoleh rating rendah oleh para lembaga pemeringkat. Pada September 2011 lalu, Moody’s memberi rating Ba1 untuk ISAT, dimana rating tersebut tergolong sebagai speculative grade. Alhasil ISAT kemudian memilih untuk melepas beberapa asetnya, termasuk 2,500 menara yang dibahas diatas. Namun mengingat ke-2,500 menara yang dijual ke TBIG tersebut hanyalah 25% dari seluruh aset menara milik perusahaan, sehingga tidak tergolong sebagai aset inti, maka pengurangan aset tersebut tidak menjadi masalah.
Sementara bagi TBIG, transaksi ini akan menambah aset menara perusahaan menjadi total 7,368 menara, dengan jumlah kontrak sewa sekitar 10,000 kontrak. Dengan jumlah menara yang lebih banyak, maka tentunya diharapkan bahwa pendapatan perusahaan akan kembali meningkat signifikan. Pada kuartal III 2011 lalu, TBIG mencatat pendapatan Rp689 milyar, meningkat 45.2% dibanding periode yang sama tahun 2010.
Oke, terus bagaimana prospek TBIG pasca aksi korporasi pembelian menara ISAT ini?
Penulis pribadi mulai mengamati TBIG sejak perusahaan mengatakan bahwa mereka menandatangani nota kesepahaman dengan ISAT untuk mengakuisisi aset menara, pada tanggal 15 November 2011 lalu. Ketika itu ISAT memang sedang mencari pembeli untuk ke-2,500 menaranya. Calon pembeli terkuat tentu saja ada dua, yaitu Protelindo (anak usaha PT Sarana Menara Nusantara/TOWR), dan TBIG, mengingat kedua perusahaan tersebut adalah perusahaan penyewaan menara telekomunikasi terbesar di Indonesia. Tapi dengan keluarnya nota kesepahaman diatas, maka dengan sendirinya calon pembeli menara ISAT hanyalah TBIG. Itu sebabnya penulis memasukkan TBIG ini sebagai salah satu saham yang direkomendasikan pada Investor Buletin edisi Desember 2011 lalu, dimana ketika itu TBIG berada di posisi 2,125. Sebab ketika nantinya aksi korporasi ini diumumkan secara terbuka ke publik, maka dengan sendirinya saham TBIG akan terkerek naik, mungkin bisa menembus 2,500.
Dalam jangka pendek, TBIG ternyata memang naik. Tapi bagaimana kalau dalam jangka panjang? Well, ada banyak yang perlu dipertimbangkan disini. Tapi pertama-tama, mari kita lihat TBIG ini secara lebih detil lagi.
Dibanding perusahaan penyewaan menara telekomunikasi lainnya, TBIG terbilang sangat agresif dalam menambah portofolio menaranya. Pada awal tahun 2011 lalu, TBIG baru memiliki 3,104 menara. Kalau dilirik lebih jauh ke belakang, pada tahun 2005 TBIG hanya memiliki 57 menara dengan tidak lebih dari 58 penyewa. Pertumbuhan kepemilikan menara yang sangat cepat tersebut adalah berkat strategi mengakuisisi menara-menara milik perusahaan lain, atau mengakuisisi perusahaan itu sendiri. Dari tahun 2004 hingga 2010, TBIG telah mengakuisisi PT Telenet Internusa, membeli sejumlah menara milik Mobile-8 (sekarang Smartfren Telecom), mengakuisisi PT Bali Telekom, PT Prima Media Selaras, dan PT Solusindo Kreasi Pratama. Terakhir pada tanggal 9 Agustus 2011 kemarin, TBIG mengakuisisi PT Mitrayasa Sarana Informasi (MSI), senilai Rp200 milyar. MSI sendiri memiliki setidaknya 263 menara telekomunikasi.
Lalu dari mana TBIG punya duit untuk serangkaian akusisi tersebut? Dari utang bank. Sejak tanggal 27 September 2010, TBIG sudah memegang komitmen dari sejumlah bank untuk memperoleh pinjaman senilai maksimal US$ 2 milyar, atau sekitar Rp18 trilyun. Sumber pendanaan lainnya adalah dari penerbitan saham. Dari IPO-nya pada Oktober 2010 lalu, TBIG memperoleh dana segar Rp1.1 trilyun. Sementara untuk membiayai pembelian menara dari ISAT ini, TBIG juga akan kembali menerbitkan saham baru.
Sosok dibalik pertumbuhan TBIG yang super-cepat tersebut adalah Sandiaga Salahuddin Uno. Ketika Saratoga Capital (perusahaan milik Edwin Soerjadjaja dan Sandi Uno) merintis TBIG pada tahun 2004, mereka memulainya dengan tidak lebih dari 7 menara saja, yang dibeli dari perusahaan lain. Mr. Sandi mendirikan TBIG karena tertarik dengan kata-kata dari Pak Sakti Wahyu Trenggono, pemilik Indonesia Tower, salah satu perusahaan penyewaan menara pertama di Indonesia. Ketika itu Pak Trenggono mengatakan bahwa suatu hari nanti, perusahaan-perusahaan telekomunikasi akan berhenti mendirikan menara telekomunikasi, karena biayanya sangat mahal. Mereka akan memilih menyewa daripada memiliki menara sendiri, sehingga ini adalah kesempatan bagi perusahaan yang bisa menyediakan menara-menara untuk mereka sewa. Ini prospek! Termotivasi oleh kata-kata tersebut, Mr. Sandi kemudian gencar mengakuisisi kesana kemari, hingga akhirnya TBIG menjadi perusahaan terbesar kedua yang dimiliki Grup Saratoga, setelah Adaro Energy (ADRO).
Dalam membesarkan TBIG, harus diakui bahwa Mr. Sandi sangatlah jenius. Ketika memutuskan untuk meng-IPO-kan TBIG pada tahun 2010, itu adalah moment dimana market sedang kondusif dan IHSG sedang tinggi-tingginya, sehingga saham TBIG bisa dijual pada harga yang sangat mahal namun tetap laku. Bayangkan saja, ketika IPO, posisi ekuitas terbaru TBIG hanyalah Rp848 milyar, tapi saham IPO-nya dilepas pada harga yang mencetak market cap Rp9.2 trilyun! Namun seolah tidak peduli dengan harga yang selangit tersebut, TBIG ternyata mampu terus naik dari harga perdana 2,125 hingga hampir saja menembus level psikologis 3,000, meski kemudian turun lagi dan sempat menyentuh 1,810 sebagai posisi terendahnya. Alhasil bagi Grup Saratoga, IPO TBIG ini tentu saja merupakan kesuksesan besar, dimana mereka berhasil membangun perusahaan senilai tak lebih dari Rp7 milyar di tahun 2004, menjadi sebuah perusahaan dengan nilai pasar yang sempat mencapai Rp14 trilyun, hanya dalam waktu 7 tahun. Super sekali.
Tapi bagaimana TBIG ini kalau untuk investor retail di market? Well, dengan valuasinya yang selangit maka tentu saja untuk saat ini TBIG sulit untuk dijadikan pilihan investasi jangka panjang. Bahkan meskipun posisi ekuitas TBIG sekarang ini sudah mencapai Rp2.6 trilyun, namun tetap saja PBV-nya (pada harga ketika artikel ini ditulis yaitu 2,600) masih kelewat tinggi, yaitu 4.6 kali. TBIG masih perlu waktu untuk menumbuhkan perusahaannya secara pure organic untuk kemudian menghasilkan justifikasi bahwa market cap-nya yang bernilai lebih dari US$ 1 milyar tersebut, adalah wajar. Saat ini salah satu penyebab TBIG bisa bertahan di valuasinya yang tinggi, dimana harga sahamnya senantiasa stabil diatas 2,000, adalah karena prospeknya, bukan nilai riil perusahaannya.
Lalu bagaimana dengan prospek perusahaan, khususnya pasca akuisisi menara milik Indosat? Bagi TBIG, langkah akuisisi tersebut mungkin hanyalah one step ahead dibanding perusahaan penyewaan menara lainnya, yang itu berarti TBIG masih akan mengakuisisi lebih banyak lagi (mungkin sasaran berikutnya adalah menara-menara milik XL Axiata). TBIG kemungkinan tidak akan bermasalah dengan pendanaan, karena dari komitmen pinjaman bank senilai US$ 2 milyar, perusahaan baru mencairkan US$ 550 juta diantaranya. Namun TBIG juga tidak hanya akan menggunakan utang bank untuk akuisisi, melainkan juga bisa melalui opsi penerbitan saham baru. Akuisisi menara milik ISAT juga salah satunya didanai melalui penerbitan saham sebanyak 5%. Dilihat dari sisi ini, maka tentunya pemegang saham publik menjadi dirugikan karena kepemilikan saham mereka menjadi terdilusi.
Kesimpulannya, TBIG ini barang bagus, dan prospeknya dalam jangka panjang juga bagus mengingat TBIG akan selalu memperoleh penyewa karena sampai kapanpun, perusahaan-perusahaan telekomunikasi akan selalu membutuhkan menara untuk operasional mereka, sehingga risiko usahanya rendah (makanya bank juga bersedia ngasih pinjaman besar). Sementara dengan portofolio kepemilikan menara yang terus bertambah dari waktu ke waktu, maka otomatis pendapatan dan laba TBIG juga akan senantiasa meningkat, sehingga menjanjikan keuntungan besar bagi para shareholder-nya. Dalam hal ini maka akuisisi TBIG terhadap menara milik ISAT tidak lagi begitu penting untuk diperhatikan, karena aksi korporasi tersebut hanyalah satu dari sekian banyak rencana aksi korporasi dalam blueprint ekspansi milik perusahaan.
Sayangnya kebijakan investasi perusahaan sepertinya kurang berpihak pada investor retail, dimana investor ‘dipaksa’ untuk memegang saham TBIG pada harga overvalued (saham TBIG menjadi ‘barang panas’ yang bisa menjadi dingin setiap saat). Dan model akuisisi menara ISAT yang diumumkan kemarin semakin mempertegas hal tersebut, dimana dari nilai akuisisi US$ 519 juta, US$ 113 juta atau sekitar Rp1 trilyun diantaranya akan dibayar kemudian, sehingga otomatis menjadi passiva alias utang. Utang Rp1 trilyun itu gede banget lho. Dan itu belum termasuk penerbitan saham anyar yang bisa men-dilusi kepemilikan saham publik sekitar 5%.
Anyway sebagai pemilik mayoritas dari perusahaan, maka soal TBIG ini mau diapakan, tentunya itu terserah Mr. Sandi saja. Lha wong perusahaannya juga dia yang punya kok. Tapi sebagai investor retail, maka untuk saat ini penulis belum bisa merekomendasikan TBIG ini kalau untuk investasi jangka panjang. Untuk sekarang ini yang bisa kita lakukan hanyalah menunggu lagi, apa aksi korporasi TBIG selanjutnya, sembari secara rutin mengecek pertumbuhan TBIG setiap tiga bulan sekali, melalui laporan keuangan (LK) mereka. Kebetulan TBIG termasuk salah satu dari beberapa emiten di BEI yang tergolong cepat dalam merilis LK terbaru mereka.
Sementara kalau untuk trading jangka pendek, maka paling enak mulai melirik TBIG ini ketika harga di 2,000 pas atau sekitarnya. Saham TBIG kemungkinan akan terus dijaga agar nggak turun lebih rendah dari itu. Seperti juga pada saham ADRO, sepertinya Grup Saratoga memiliki kebijakan untuk tetap mempertahankan harga saham perusahaan mereka di level 2,000-an, entah apa maksudnya.
Komentar
ehh.. tak di sangka begitu buka begitu blog udah tersedia ulasannya heheheh.Bravo !
ada perush lg yg mesti anda bedah mas teguh karena menarik sekali setelah dia berhasil melakukan restrukturisasi utang dengan di "bimbing " oleh jagoan restrukturisasi Tingkat dunia yakni Si Rothschild hehehe
Perusahaannya adalah APOL :)