Hal-hal yang Harus Diperhatikan Seputar Right Issue
Right issue alias penerbitan saham baru oleh emiten, merupakan aksi korporasi yang biasanya kurang disukai oleh investor, karena alasan yang simpel yaitu akan menyebabkan saham dari emiten yang bersangkutan terdilusi. Karena nilainya terdilusi, maka biasanya harganya kemudian turun. Namun right issue tidak selalu berarti jelek bagi investor. Pada dasarnya tujuan dari right issue ini kan buat ngumpulin dana. Jika dana tersebut digunakan untuk tujuan yang baik bagi perusahaan, maka hasilnya akan dinikmati oleh investor juga.
Contoh right issue yang benar itu kurang lebih begini. Anda menjadi investor disebuah usaha kecil yang dikelola teman anda, katakanlah toko kue, dengan nilai investasi 1 milyar. Sebagai investor, anda menikmati bagian profit sharing (bagi hasil) setiap bulannya, katakanlah sebesar 50 juta per bulan. Pada perkembangannya, toko tersebut ternyata maju pesat, dan mulai kewalahan menerima pesanan, sehingga teman anda memutuskan untuk membuka cabang, namun untuk itu dia butuh tambahan modal, katakanlah sebesar 500 juta. Jika kemudian anda setuju untuk menambah modal sebesar 500 juta tersebut, maka pendapatan usaha kue tersebut tentunya akan meningkat karena adanya cabang baru, sehingga profit yang anda terima juga meningkat, katakanlah menjadi 75 juta setiap bulannya. Dengan demikian, modal yang anda keluarkan tidaklah sia-sia karena menghasilkan tambahan ‘buah’ bagi anda.
Terus, gimana kalau anda menolak untuk memberikan tambahan modal, sehingga proposal 500 juta tadi diambil oleh orang lain? Nggak masalah, karena profit anda akan tetap 50 juta, alias nggak berkurang. Tapi tambahan profit sebesar 25 juta akan dinikmati oleh investor baru tadi, sehingga bisa dikatakan bahwa anda baru saja melepas peluang investasi.
Nah, ketika right issue ini dibawa ke ranah pasar modal, maka prosesnya menjadi tidak sesederhana ilustrasi diatas, karena yang diperhatikan oleh investor gak cuma bagian profit sharing (dividen), tapi juga kenaikan atau penurunan dari harga saham yang di-right issue-kan. Dan ketika sebuah emiten melakukan right issue, tujuannya gak selalu buat nyari dana buat ekspansi. Sejauh pengamatan penulis, berikut adalah beberapa alasan kenapa sebuah emiten di pasar modal melakukan right issue.
1. Buat dapetin tambahan modal buat ekspansi usaha, atau sekedar memperkuat struktur modal. Ini bentuk right issue yang terbaik.
2. Buat bayar utang. Hati-hati kalau sebuah emiten menerbitkan utang dalam bentuk convertible bonds atau semacamnya. Biasanya utang model gitu akan dibayar menggunakan saham yang diterbitkan kemudian.
3. Buat ngasih bonus kepada manajemen atau karyawan perusahaan, dalam bentuk saham. Right issue seperti ini biasanya tanpa HMETD
4. Buat menambah kepemilikan saham pada anak usaha. Contohnya dulu ketika Bakrie & Brothers (BNBR) melakukan right issue sebesar Rp40.1 trilyun di tahun 2008, duitnya dipake untuk membeli saham-saham Bumi Resources (BUMI), Energi Mega Persada (ENRG), dan Bakrieland Development (ELTY).
5. Buat nambah jumlah saham di market, agar lebih likuid, dan agar market cap perusahaan menjadi lebih besar. Jadi mirip dengan stocksplit, namun sekalian ngambil duit dari investor, sekaligus meningkatkan market cap perusahaan (jika harga sahamnya kemudian berhasil bertahan dari efek dilusi, tapi itu bisa diatur gan).
6. Buat backdoor listing juga bisa.
Okay, kita sepakat bahwa jika right issue dilakukan dengan tujuan yang pertama yaitu untuk menambah modal buat ekspansi usaha, maka right issue tersebut adalah bagus dan anda boleh mengambilnya, terutama jika anda berpandangan untuk investasi jangka panjang. Namun disini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, harga eksekusi (pelaksanaan) dari right issue-nya, apakah mahal atau cukup wajar? Biasanya harga eksekusi ditentukan berdasarkan harga saham yang bersangkutan di market. Contohnya, saham A harga terbarunya Rp1,000. Sementara harga eksekusi right issue-nya Rp800. Dengan demikian harga eksekusi saham A adalah murah, karena lebih rendah dari harga pasar. Apakah benar demikian? Belum tentu, dan itu sama sekali bukan cara untuk menentukan apakah sebuah saham right issue termasuk murah atau mahal. Untuk menentukan valuasi dari harga right issue, terlebih dahulu kita harus menghitung harga teoritis. Dan cara menghitung harga saham secara teoritis pasca right issue, adalah sebagai berikut:
Pertama, kalikan harga market dengan jumlah saham (sehingga diperoleh market cap). Contoh saham A tadi, misalnya jumlah sahamnya 1 milyar lembar. Maka hasilnya Rp1,000 x 1 milyar = Rp1 trilyun. Ini adalah market cap awal.
Kedua, kalikan harga right issue dengan jumlah saham yang diterbitkan. Jika saham baru yang diterbitkan berjumlah 500 juta lembar, maka hasilnya Rp800 x 500 juta = Rp400 milyar. Ini adalah tambahan market cap.
Ketiga, nilai total market cap (Rp1 trilyun + Rp400 milyar = Rp1.4 trilyun), dibagi dengan jumlah total saham (1 milyar + 500 juta = 1.5 milyar lembar). Hasilnya Rp1.4 trilyun / 1.5 milyar = Rp933. Inilah harga saham pasca right issue secara teoritis, dan harga inilah yang kemudian bisa anda nilai menggunakan metode valuasi yang biasanya (PER-nya berapa, PBV-nya berapa, dll), sehingga diperoleh kesimpulan apakah right issuenya wajar atau mahal.
Jika harga Rp933 tadi ternyata masih wajar (misalnya PER-nya kecil, dan kinerja perusahaannya memang bagus), maka right issue tadi cukup layak untuk diambil. Tapi jika sebaliknya, maka anda bisa mempertimbangkan untuk keluar saja.
Valuasi ‘harga teoritis’ ini berguna untuk mencegah manipulasi tentang ‘harga murah’, hanya karena harga eksekusi right issuenya lebih rendah dari harga pasar. Sebagaimana anda ketahui, biasanya ketika sebuah emiten akan right issue, sahamnya dikerek dulu ke posisi yang cukup tinggi, agar harga right issue-nya menjadi tampak rendah. Misalnya saham A tadi, jika perusahaan berniat right issue-nya pada harga Rp1,200 per saham, maka saham A bisa dikerek dulu dari Rp1,000 menjadi Rp1,500, sehingga harga right issue-nya jadi tampak lebih murah dari harga pasarnya. Padahal kalau valuasi dari harga teoritisnya dihitung, maka bisa jadi harga tersebut sudah sangat-sangat mahal.
Sebaliknya, kalau emiten yang bersangkutan berniat mengeksekusi sendiri seluruh saham yang akan diterbitkan, maka harga sahamnya bisa diturunkan dulu, agar right issuenya menjadi tampak mahal dan alhasil, investor retail berhamburan keluar. Pada kejadian ini, bisa jadi para investor retail tersebut baru saja membuang barang bagus. Yah intinya sih, anda harus pandai-pandai membaca situasi kalau kebetulan saham yang anda pegang akan right issue, dan untuk melakukan ini memang susah-susah gampang (lebih banyak susahnya daripada gampangnya).
Kedua, perhatikan efek dilusi yang mungkin (atau pasti) terjadi. Dalam hal ini, perhatikan jumlah saham baru yang diterbitkan, termasuk rasionya dengan jumlah saham lama. Saham baru yang diterbitkan masih bisa dianggap wajar jika jumlahnya maksimal sama dengan jumlah saham sebelum right issue. Contohnya jika saham emiten A di market berjumlah 1 milyar lembar, maka jika emiten A tersebut right issue saham baru pada jumlah maksimal 1 milyar, maka itu masih wajar, karena efek dilusi yang terjadi kurang lebih hanya 50%. Tapi jika emiten A melakukan right issue sampai 3 atau bahkan 5 milyar saham, maka mendingan cabut aja lah. Contoh emiten model gini adalah emiten-emiten anggota Grup Bakrie, dan Dayaindo Resources (KARK).
Contoh perhitungan harga teoritis diatas belum termasuk memperhitungkan efek dilusi. Dilusi terutama akan terjadi jika penambahan jumlah saham di market tidak disertai dengan masuknya dana ke struktur modal perusahaan (misalnya penerbitan saham baru untuk karyawan perusahaan, dimana si karyawan tidak perlu membayar apapun untuk memperoleh saham tersebut). Biasanya di prospektus right issue perusahaan dijelaskan berapa persentase dilusi yang akan terjadi. Misalnya jika perusahaan menyebutkan dilusinya adalah 7%, maka nilai saham yang anda pegang akan berkurang kira-kira 7%, dan itu berarti harganya juga akan turun kira-kira 7%.
Terkait jumlah saham, perhatikan pula apakah right issue ini menyebabkan jumlah saham emiten yang bersangkutan menjadi kelewat banyak, atau tidak. Contohnya ketika kemarin Smartfren Telecom (FREN) melakukan right issue, jumlah sahamnya di market membludak menjadi lebih dari 120 milyar lembar, dan itu adalah jumlah yang tentu saja nggak masuk akal. Rata-rata jumlah saham sebuah emiten di market hanya 3 hingga 7 milyar lembar.
Ketiga, perhatikan pihak yang akan menjadi pembeli siaga dalam right issue tersebut. Right issue itu kan pada dasarnya sama seperti IPO, dimana jika saham baru yang diterbitkan tidak diserap oleh yang berhak (pemilik mayoritas, dan juga publik), maka saham baru tersebut akan dibeli oleh pembeli siaga. Nah, hati-hati jika sebuah perusahaan tidak dengan secara jelas mencatumkan siapa pembeli siaga dalam right issue-nya, atau lebih gawat lagi, pembeli siaganya memang tidak ada. Jika emiten mengatakan bahwa pembeli siaga right issue-nya adalah PT A, maka coba selidiki, siapa PT A tersebut. Sebab, saham hasil right issue tanpa pembeli siaga, atau yang pembeli siaganya tidak jelas, sangat mungkin akan dilempar begitu saja ke publik, dan itu akan menyebabkan harga saham di market menjadi jatuh berantakan, cepat atau lambat sesudah right issuenya.
Keempat, perhatikan apakah right issue ini dengan atau tanpa HMETD (kalau anda belum ngerti apa itu HMETD, googling aja). Pada dasarnya, right issue yang baik adalah dengan HMETD, karena itu akan memberikan hak kepada pemegang saham publik untuk menambah modalnya di perusahaan yang bersangkutan. Biasanya kalau perusahaan melakukan right issue tanpa HMETD, tujuannya nggak begitu bagus buat investor, misalnya buat bayar utang.
Kesimpulannya, ketika sebuah perusahaan akan melakukan right issue, maka yang paling utama yang harus anda perhatikan adalah, apa tujuan dari right issue tersebut. Selanjutnya, perhatikan hal-hal berikut. 1. Valuasi harga pasca right issue, 2. Efek dilusi, 3. Siapa pembeli siaganya, 4. Dengan HMETD atau tanpa HMETD. Diluar empat poin ini, mungkin terdapat beberapa hal lainnya yang juga perlu diperhatikan. Tapi menurut hemat penulis, jika anda bisa mengidentifikasikan dengan baik keempat poin diatas, maka anda akan bisa mengambil keputusan dengan tepat ketika sebuah perusahaan melakukan right issue, apakah ikut bergabung, atau keluar.
What? Anda terlalu sibuk untuk memperhatikan hal-hal diatas? Ya sudah, kalau perusahaan yang sahamnya anda pegang melakukan right issue, maka keluar saja.
Contoh right issue yang benar itu kurang lebih begini. Anda menjadi investor disebuah usaha kecil yang dikelola teman anda, katakanlah toko kue, dengan nilai investasi 1 milyar. Sebagai investor, anda menikmati bagian profit sharing (bagi hasil) setiap bulannya, katakanlah sebesar 50 juta per bulan. Pada perkembangannya, toko tersebut ternyata maju pesat, dan mulai kewalahan menerima pesanan, sehingga teman anda memutuskan untuk membuka cabang, namun untuk itu dia butuh tambahan modal, katakanlah sebesar 500 juta. Jika kemudian anda setuju untuk menambah modal sebesar 500 juta tersebut, maka pendapatan usaha kue tersebut tentunya akan meningkat karena adanya cabang baru, sehingga profit yang anda terima juga meningkat, katakanlah menjadi 75 juta setiap bulannya. Dengan demikian, modal yang anda keluarkan tidaklah sia-sia karena menghasilkan tambahan ‘buah’ bagi anda.
Terus, gimana kalau anda menolak untuk memberikan tambahan modal, sehingga proposal 500 juta tadi diambil oleh orang lain? Nggak masalah, karena profit anda akan tetap 50 juta, alias nggak berkurang. Tapi tambahan profit sebesar 25 juta akan dinikmati oleh investor baru tadi, sehingga bisa dikatakan bahwa anda baru saja melepas peluang investasi.
Nah, ketika right issue ini dibawa ke ranah pasar modal, maka prosesnya menjadi tidak sesederhana ilustrasi diatas, karena yang diperhatikan oleh investor gak cuma bagian profit sharing (dividen), tapi juga kenaikan atau penurunan dari harga saham yang di-right issue-kan. Dan ketika sebuah emiten melakukan right issue, tujuannya gak selalu buat nyari dana buat ekspansi. Sejauh pengamatan penulis, berikut adalah beberapa alasan kenapa sebuah emiten di pasar modal melakukan right issue.
1. Buat dapetin tambahan modal buat ekspansi usaha, atau sekedar memperkuat struktur modal. Ini bentuk right issue yang terbaik.
2. Buat bayar utang. Hati-hati kalau sebuah emiten menerbitkan utang dalam bentuk convertible bonds atau semacamnya. Biasanya utang model gitu akan dibayar menggunakan saham yang diterbitkan kemudian.
3. Buat ngasih bonus kepada manajemen atau karyawan perusahaan, dalam bentuk saham. Right issue seperti ini biasanya tanpa HMETD
4. Buat menambah kepemilikan saham pada anak usaha. Contohnya dulu ketika Bakrie & Brothers (BNBR) melakukan right issue sebesar Rp40.1 trilyun di tahun 2008, duitnya dipake untuk membeli saham-saham Bumi Resources (BUMI), Energi Mega Persada (ENRG), dan Bakrieland Development (ELTY).
5. Buat nambah jumlah saham di market, agar lebih likuid, dan agar market cap perusahaan menjadi lebih besar. Jadi mirip dengan stocksplit, namun sekalian ngambil duit dari investor, sekaligus meningkatkan market cap perusahaan (jika harga sahamnya kemudian berhasil bertahan dari efek dilusi, tapi itu bisa diatur gan).
6. Buat backdoor listing juga bisa.
Okay, kita sepakat bahwa jika right issue dilakukan dengan tujuan yang pertama yaitu untuk menambah modal buat ekspansi usaha, maka right issue tersebut adalah bagus dan anda boleh mengambilnya, terutama jika anda berpandangan untuk investasi jangka panjang. Namun disini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, harga eksekusi (pelaksanaan) dari right issue-nya, apakah mahal atau cukup wajar? Biasanya harga eksekusi ditentukan berdasarkan harga saham yang bersangkutan di market. Contohnya, saham A harga terbarunya Rp1,000. Sementara harga eksekusi right issue-nya Rp800. Dengan demikian harga eksekusi saham A adalah murah, karena lebih rendah dari harga pasar. Apakah benar demikian? Belum tentu, dan itu sama sekali bukan cara untuk menentukan apakah sebuah saham right issue termasuk murah atau mahal. Untuk menentukan valuasi dari harga right issue, terlebih dahulu kita harus menghitung harga teoritis. Dan cara menghitung harga saham secara teoritis pasca right issue, adalah sebagai berikut:
Pertama, kalikan harga market dengan jumlah saham (sehingga diperoleh market cap). Contoh saham A tadi, misalnya jumlah sahamnya 1 milyar lembar. Maka hasilnya Rp1,000 x 1 milyar = Rp1 trilyun. Ini adalah market cap awal.
Kedua, kalikan harga right issue dengan jumlah saham yang diterbitkan. Jika saham baru yang diterbitkan berjumlah 500 juta lembar, maka hasilnya Rp800 x 500 juta = Rp400 milyar. Ini adalah tambahan market cap.
Ketiga, nilai total market cap (Rp1 trilyun + Rp400 milyar = Rp1.4 trilyun), dibagi dengan jumlah total saham (1 milyar + 500 juta = 1.5 milyar lembar). Hasilnya Rp1.4 trilyun / 1.5 milyar = Rp933. Inilah harga saham pasca right issue secara teoritis, dan harga inilah yang kemudian bisa anda nilai menggunakan metode valuasi yang biasanya (PER-nya berapa, PBV-nya berapa, dll), sehingga diperoleh kesimpulan apakah right issuenya wajar atau mahal.
Jika harga Rp933 tadi ternyata masih wajar (misalnya PER-nya kecil, dan kinerja perusahaannya memang bagus), maka right issue tadi cukup layak untuk diambil. Tapi jika sebaliknya, maka anda bisa mempertimbangkan untuk keluar saja.
Valuasi ‘harga teoritis’ ini berguna untuk mencegah manipulasi tentang ‘harga murah’, hanya karena harga eksekusi right issuenya lebih rendah dari harga pasar. Sebagaimana anda ketahui, biasanya ketika sebuah emiten akan right issue, sahamnya dikerek dulu ke posisi yang cukup tinggi, agar harga right issue-nya menjadi tampak rendah. Misalnya saham A tadi, jika perusahaan berniat right issue-nya pada harga Rp1,200 per saham, maka saham A bisa dikerek dulu dari Rp1,000 menjadi Rp1,500, sehingga harga right issue-nya jadi tampak lebih murah dari harga pasarnya. Padahal kalau valuasi dari harga teoritisnya dihitung, maka bisa jadi harga tersebut sudah sangat-sangat mahal.
Sebaliknya, kalau emiten yang bersangkutan berniat mengeksekusi sendiri seluruh saham yang akan diterbitkan, maka harga sahamnya bisa diturunkan dulu, agar right issuenya menjadi tampak mahal dan alhasil, investor retail berhamburan keluar. Pada kejadian ini, bisa jadi para investor retail tersebut baru saja membuang barang bagus. Yah intinya sih, anda harus pandai-pandai membaca situasi kalau kebetulan saham yang anda pegang akan right issue, dan untuk melakukan ini memang susah-susah gampang (lebih banyak susahnya daripada gampangnya).
Kedua, perhatikan efek dilusi yang mungkin (atau pasti) terjadi. Dalam hal ini, perhatikan jumlah saham baru yang diterbitkan, termasuk rasionya dengan jumlah saham lama. Saham baru yang diterbitkan masih bisa dianggap wajar jika jumlahnya maksimal sama dengan jumlah saham sebelum right issue. Contohnya jika saham emiten A di market berjumlah 1 milyar lembar, maka jika emiten A tersebut right issue saham baru pada jumlah maksimal 1 milyar, maka itu masih wajar, karena efek dilusi yang terjadi kurang lebih hanya 50%. Tapi jika emiten A melakukan right issue sampai 3 atau bahkan 5 milyar saham, maka mendingan cabut aja lah. Contoh emiten model gini adalah emiten-emiten anggota Grup Bakrie, dan Dayaindo Resources (KARK).
Contoh perhitungan harga teoritis diatas belum termasuk memperhitungkan efek dilusi. Dilusi terutama akan terjadi jika penambahan jumlah saham di market tidak disertai dengan masuknya dana ke struktur modal perusahaan (misalnya penerbitan saham baru untuk karyawan perusahaan, dimana si karyawan tidak perlu membayar apapun untuk memperoleh saham tersebut). Biasanya di prospektus right issue perusahaan dijelaskan berapa persentase dilusi yang akan terjadi. Misalnya jika perusahaan menyebutkan dilusinya adalah 7%, maka nilai saham yang anda pegang akan berkurang kira-kira 7%, dan itu berarti harganya juga akan turun kira-kira 7%.
Terkait jumlah saham, perhatikan pula apakah right issue ini menyebabkan jumlah saham emiten yang bersangkutan menjadi kelewat banyak, atau tidak. Contohnya ketika kemarin Smartfren Telecom (FREN) melakukan right issue, jumlah sahamnya di market membludak menjadi lebih dari 120 milyar lembar, dan itu adalah jumlah yang tentu saja nggak masuk akal. Rata-rata jumlah saham sebuah emiten di market hanya 3 hingga 7 milyar lembar.
Ketiga, perhatikan pihak yang akan menjadi pembeli siaga dalam right issue tersebut. Right issue itu kan pada dasarnya sama seperti IPO, dimana jika saham baru yang diterbitkan tidak diserap oleh yang berhak (pemilik mayoritas, dan juga publik), maka saham baru tersebut akan dibeli oleh pembeli siaga. Nah, hati-hati jika sebuah perusahaan tidak dengan secara jelas mencatumkan siapa pembeli siaga dalam right issue-nya, atau lebih gawat lagi, pembeli siaganya memang tidak ada. Jika emiten mengatakan bahwa pembeli siaga right issue-nya adalah PT A, maka coba selidiki, siapa PT A tersebut. Sebab, saham hasil right issue tanpa pembeli siaga, atau yang pembeli siaganya tidak jelas, sangat mungkin akan dilempar begitu saja ke publik, dan itu akan menyebabkan harga saham di market menjadi jatuh berantakan, cepat atau lambat sesudah right issuenya.
Keempat, perhatikan apakah right issue ini dengan atau tanpa HMETD (kalau anda belum ngerti apa itu HMETD, googling aja). Pada dasarnya, right issue yang baik adalah dengan HMETD, karena itu akan memberikan hak kepada pemegang saham publik untuk menambah modalnya di perusahaan yang bersangkutan. Biasanya kalau perusahaan melakukan right issue tanpa HMETD, tujuannya nggak begitu bagus buat investor, misalnya buat bayar utang.
Kesimpulannya, ketika sebuah perusahaan akan melakukan right issue, maka yang paling utama yang harus anda perhatikan adalah, apa tujuan dari right issue tersebut. Selanjutnya, perhatikan hal-hal berikut. 1. Valuasi harga pasca right issue, 2. Efek dilusi, 3. Siapa pembeli siaganya, 4. Dengan HMETD atau tanpa HMETD. Diluar empat poin ini, mungkin terdapat beberapa hal lainnya yang juga perlu diperhatikan. Tapi menurut hemat penulis, jika anda bisa mengidentifikasikan dengan baik keempat poin diatas, maka anda akan bisa mengambil keputusan dengan tepat ketika sebuah perusahaan melakukan right issue, apakah ikut bergabung, atau keluar.
What? Anda terlalu sibuk untuk memperhatikan hal-hal diatas? Ya sudah, kalau perusahaan yang sahamnya anda pegang melakukan right issue, maka keluar saja.
Komentar
thx
Mohon ulasan IPO Greenwod desember mendatang dong...layak-kah dikoleksi