Price Earning to Growth Ratio

Kalau anda termasuk pembaca lama blog ini, maka anda pasti sudah hafal dengan dua ukuran dalam analisis fundamental, yang biasa digunakan untuk menganalisis harga wajar dari sebuah saham, yang sering penulis bahas di blog ini, yaitu Price to Earning Ratio (PER), dan Price to Book Value (PBV). Yup, penulis memang cukup sering membahas tentang PER dan PBV di blog ini. Namun, diluar dua ukuran diatas masih buanyak sekali ukuran-ukuran fundamental lainnya, yang juga bisa diperhatikan dalam menilai apakah sebuah saham harganya wajar atau nggak. Dan disini kita akan bahas salah satunya, yaitu Price Earning to Growth (PEG).

Apa itu PEG? Secara mudahnya, PEG adalah PER dibagi pertumbuhan EPS (laba bersih per saham) dalam setahun (buat yang belum paham apa itu PER dan EPS, bisa baca disini). Jadi bisa dikatakan bahwa PEG ini adalah pengembangan dari PER. Contoh penggunaannya begini. Pada kuartal III 2011, Astra Agro Lestari (AALI) mencatat EPS Rp1,181 per saham. Karena EPS tersebut adalah untuk periode 9 bulan, maka setelah disetahunkan hasilnya adalah 1,181 x 4 / 3 = 1,575. Sementara harga saham AALI di market adalah 22,600, sehingga maka PER-nya = 22,600 / 1,575 = 14.3 kali.

Terus, pertumbuhan laba AALI pada kuartal III 2011 adalah 51.2% dibanding periode yang sama tahun 2010. Sehingga PEG AALI adalah 14.3 / 51.2 = 0.28 point. Sama seperti PER, semakin kecil PEG maka semakin murah sahamnya.

Nah, PEG ini akan menjelaskan saham mana yang lebih murah, jika kebetulan ada dua saham yang memiliki PER yang sama. Contohnya, tadi kan PER-nya AALI 14.3 kali. Katakanlah ada saham lain disektor yang sama, sebut saja saham A, dimana PER-nya juga sama yaitu 14.3 kali, tapi pertumbuhan labanya cuma 30% (gak sampe 51.2% seperti AALI). Maka PEG saham A tersebut adalah 14.3 / 30 = 0.48 point, atau lebih besar dari PEG-nya AALI tadi, alias lebih mahal.

Sebenarnya, tanpa menghitung PEG-nya sekalipun kita akan langsung tahu bahwa AALI lebih murah dibanding saham A, kalau kita melihat bahwa pertumbuhan laba bersih A lebih rendah dari AALI. Namun PEG ini bisa dipakai jika kita akan membandingkan dua saham dengan PER berbeda. Misalnya, saham A mencatat PER 10 kali, sementara saham B mencatat PER 15 kali. Maka secara simpelnya tampak bahwa saham A lebih murah dari saham B bukan? Tapi mari kita cek sekali lagi. Ternyata, pertumbuhan laba A hanya 20%, sehingga PEG-nya 10 / 20 = 0.50 point. Sementara pertumbuhan laba B mencapai 50%, sehingga PEG-nya 15 / 50 = 0.30 point, alias lebih kecil, dan itu berarti saham B lebih murah dari saham A.

Maka bisa kita simpulkan bahwa, kalau dari sisi perolehan earning (laba bersih) perusahaan, saham A lebih murah dari saham B. Namun jika kita ikut mempertimbangkan pertumbuhan dari earning tersebut, maka saham B lebih murah dari saham A.

Beberapa investor dan analis mengatakan bahwa PEG ini lebih powerfull dibanding PER ataupun PBV. Anggapan tersebut tidak keliru, karena dengan memperhitungan growth atau pertumbuhan dari earning, maka PEG ini turut memproyeksikan perolehan laba bersih perusahaan di masa depan, alias ikut memperhitungkan prospek dari sahamnya. Simpelnya, jika sebuah perusahaan mampu mencatat kenaikan laba bersih sebesar 50% dalam setahun terakhir, maka terdapat ekspektasi bahwa perusahaan tersebut akan mampu mencetak laba bersih sebesar kira-kira 50% juga di masa depan, sehingga sahamnya tentu lebih bagus dibanding perusahaan sejenis, yang hanya mampu mencatat kenaikan laba bersih yang lebih kecil, katakanlah hanya 20%.

Sementara PER, perhitungannya terbatas pada perolehan laba pada saat itu saja, dan tidak ikut memproyeksikan bagaimana kira-kira perolehan laba bersih perusahaan di masa depan. Jadi bisa dikatakan bahwa PER ini agak bias, karena perhitungannya tidak se-detail PEG.

Oke, jadi apakah ternyata PEG ini memang beneran lebih akurat dalam menghitung harga wajar sebuah saham, dibanding PER? Atau tetap saja, PEG ini hanyalah pengembangan dari PER, sehingga PER tetap harus didahulukan?

Tidak ada jawaban yang pasti untuk pertanyaan diatas, dimana kalau anda menanyakan pertanyaan tersebut ke dua orang yang berbeda, maka jawabannya bisa berbeda pula. Tapi kalau menurut penulis, PER tetap harus didahulukan sebelum PEG.

Penjelasannya begini. Ketika sebuah perusahaan mencatat pertumbuhan laba bersih yang besar, katakanlah sampai 100% atau dua kali lipat, maka itu sama sekali tidak menjadi jaminan bahwa perusahaan tersebut akan kembali mencatat kenaikan laba bersih 100% di tahun depan. Akan ada banyak sekali faktor yang mempengaruhi hal tersebut, mulai dari kondisi pasar, kondisi ekonomi, kegiatan ekspansi perusahaan, pertumbuhan sektor usaha dimana perusahaan menjalankan usahanya disitu, dll. Intinya, terlalu 'gampang' kalau kita hanya berpatokan pada pertumbuhan laba bersih sebuah perusahaan di satu periode, untuk kemudian berharap bahwa perusahaan akan kembali mencatat pertumbuhan yang sama besarnya di periode berikutnya. Sementara PEG ini, dia hanya memperhitungkan pertumbuhan laba bersih, untuk ‘memprediksi’ berapa kira-kira pertumbuhan laba perusahaan di masa depan.

Lho, tapi kalau begitu, PER justru malah lebih jelek dong, karena PER sama sekali gak memberikan 'clue' apapun tentang prospek pertumbuhan perusahaan dimasa depan? Memang, tapi kan kita pake ukuran yang lainnya lagi kalau mau menilai prospek dari sebuah saham, bukan pakai PER ini. Sementara PEG ini cenderung terlalu menyederhanakan perhitungan dari harga sebuah saham, dimana valuasi saham dihitung dalam satu 'wadah' yang juga memperhitungkan prospek peningkatan kinerja perusahaan dimasa depan.

Jadi apakah PEG ini jangan dipake? Ya nggak juga. PEG ini akan sangat berguna untuk memberi semacam justifikasi (pembenaran) bagi saham-saham tertentu yang meskipun PER-nya tinggi, namun harga saham tersebut ternyata tetap dianggap murah atau masih wajar.

Contohnya kalau kita perhatikan saham-saham Grup Astra, seperti Astra International (ASII), United Tractors (UNTR), dan Astra Agro Lestari (AALI), rata-rata PER mereka diatas 12 kali, atau bahkan 15 kali. Mahal? Tentu saja, mengingat rata-rata PER di BEI pada kondisi normal hanya 10 – 11 kali. Namun meskipun mahal, toh saham-saham tersebut tidak jua turun, kecuali pas IHSG dihajar koreksi. Tapi ketika IHSG pulih, maka mereka duluan yang naik, meninggalkan saham-saham lainnya. Pertanyaannya, kok bisa?

Jawabannya selain karena fundamental mereka rata-rata memang bagus, pertumbuhan labanya pun konsisten dari tahun ke tahun. Catat ya, pertumbuhan labanya konsisten, bukan pesat. Contohnya ASII. Pada kuartal III 2011, ASII mencatat kenaikan laba bersih 30% dibanding periode yang sama tahun 2010. Bagaimana dengan laba bersih tahun 2010 dibanding 2009? Pertumbuhannya 43%. Pada 2009, laba bersih ASII hanya naik 9% dibanding 2008, yang disebabkan oleh tekanan krisis global. Namun pada 2008, laba bersih ASII tumbuh 41% dibanding 2007.

Jadi meskipun kalau dirata-ratakan, ASII hanya mencatat kenaikan laba bersih 35% setiap tahunnya, namun kenaikan tersebut adalah konsisten. ASII juga tetap mampu mencatat kenaikan laba bersih pada krisis global 2008, sementara banyak perusahaan lain yang pada periode tersebut terpaksa mencatat penurunan laba, atau bahkan menjadi minus (rugi), atau lebih buruk lagi, kolaps. Tidak semua perusahaan di BEI cukup tangguh seperti ASII ini. Karena pertumbuhannya yang konsisten tersebut, maka jika penulis mengatakan bahwa laba bersih ASII di tahun 2012 nanti akan tumbuh kira-kira 40%, maka prediksi tersebut cukup masuk akal. Dan itulah salah satu sebabnya, mengapa saham ASII layak dihargai pada PER tinggi.


Sementara ketika sebuah perusahaan mencatat pertumbuhan pesat dalam satu periode, tapi dalam jangka panjang pertumbuhan yang pesat tersebut hanya terjadi sesekali, maka saham model gini biasanya tidak layak dihargai pada PER tinggi. Contohnya, saat ini salah satu perusahaan dengan pertumbuhan paling pesat di sektor konstruksi adalah adalah Surya Semesta Internusa (SSIA), dimana laba bersihnya pada kuartal III 2011 melejit 230% dibanding periode yang sama tahun 2010, menjadi 209 milyar. Namun sepanjang periode 2006 – 2009, laba bersih SSIA cuma bergerak naik turun di kisaran 15 milyar Rupiah, alias gak tumbuh sama sekali. Malah pada tahun 2008 laba SSIA pernah minus 12 milyar alias rugi. Kesimpulannya, okelah, sekarang SSIA kinerjanya bagus. Tapi bagaimana nanti kalau terjadi krisis lagi? Apakah SSIA akan bisa mempertahankan kinerjanya yang bagus tersebut, atau rugi lagi? Jadi, jika penulis mengatakan bahwa laba bersih SSIA di tahun 2012 nanti akan tumbuh kira-kira 200%, maka orang akan bertanya, tau dari mana lu?

Nah, ulasan diatas sekaligus menjawab pertanyaan berikut: Kalau saya mau ngitung PEG, baiknya pakai angka pertumbuhan yang mana? Yang satu tahun terakhir, atau rata-rata dari pertumbuhan dalam lima tahun terakhir? Jawabannya, gunakan rata-rata pertumbuhan laba dalam lima tahun terakhir untuk PEG yang lebih akurat. Yahoo Finance juga menggunakan rata-rata dari pertumbuhan dalam lima tahun untuk menghitung PEG sebuah saham. Sebab sekali lagi, pertumbuhan laba bersih dalam jangka panjang lebih mencerminkan konsistensi dari peningkatan kinerja sebuah perusahaan, dibanding pertumbuhan laba bersih dalam satu tahun saja. Sementara seperti sudah dibahas diatas, konsistensi lebih penting daripada besarnya persentase kenaikan laba. Kalau sebuah perusahaan mampu mencatat pertumbuhan yang konsisten dan juga pesat, maka tentunya itu lebih bagus lagi. Tapi jika diharuskan untuk ‘memilih’ diantara keduanya, maka konsistensi tentu lebih penting.

Hanya memang kalau anda bukanlah investor untuk jangka yang benar-benar panjang, maka anda bisa menggunakan pertumbuhan laba dalam setahun terakhir, untuk menghitung PEG sebuah saham. Sebab biasanya kenaikan sebuah saham juga memanfaatkan momentum dari melejitnya kinerja perusahaan yang bersangkutan. Contoh, Garda Tujuh Buana (GTBO) sama sekali tidak pernah mencatatkan laba sejak perusahaan listing pada Juli 2009, sehingga sahamnya terus saja turun sampai posisi 52 (hanya dua poin dari posisi buncit). Tapi sejak GTBO mencatatkan laba bersih pada kuartal II 2011, dan laba bersih tersebut kembali meningkat pada kuartal III 2011, maka sahamnya pun serta merta langsung terbang. Kita memang belum tahu apakah GTBO akan kembali mencatat pertumbuhan laba bersih yang besar pada tahun depan, karena konsistensi kinerjanya masih perlu dipertanyakan. Tapi kalaupun tahun depan GTBO ternyata kembali merugi, maka tinggal jual aja sahamnya toh?

Kalau kita pake contoh diatas yaitu SSIA, ceritanya juga hampir sama. Dalam setahun terakhir, saham SSIA sudah naik lebih dari dua kali lipat, tepatnya 158%. Sementara pada periode sebelum itu, saham SSIA cenderung bergerak mendatar. Bagaimana dengan yang lainnya? Silahkan anda cek sendiri.

Komentar

ombaliku mengatakan…
Thanks berat mas teguh atas penjelasannya.
Anonim mengatakan…
Mas teguh mo nanya:
1. Bgmn ngitung konsistensi ann_ROE dan pencapaian EPS contoh utk.jangka waktu triwulanan? Apakah metode ini dpt.dijadikan patokan?
2. Saya hitung PEG bbrp emiten Q1:Q2:Q3 cenderung turun krn di Q2 terjadi kenaikan lebih besar. Apa PEG ini cukup valid u/ menjelaskan naik turun harga saham trtm.setelah lap Keuangan triwulan/thn-an keluar?
Tks.
Haryo Wibi mengatakan…
Kalo di akhir tahun analisa PEbnya gimana pak ? Kan Bapak tulis Karena EPS tersebut adalah untuk periode 9 bulan, maka setelah disetahunkan hasilnya adalah 1,181 x 4 / 3 = 1,575


Salam


Haryo
Anonim mengatakan…
klo ada PEG yg minus itu gmn pak?
Peter mengatakan…
Bravo pak Teguh...

Request donk pak.. tolong jelaskan ttg Corporate action emiten, seperti right issue, warrant, stock split, reverse stock (beserta cara perhitungannya dan pengaruhnya thd pergerakan harga saham).

Trims.
Anonim mengatakan…
Salut Pak Teguh atas analisis PEG nya.. memang PEG spertinya perlu digunakan utk standar kinerja growth yang lebih presisi, artinya klo growth bagus maka pantas bila PER agak tinggi, jika growth rendah maka sebaiknya PER tidak tinggi.. jadi harus orange to orange utk pengukurannya atau apple to apple..
Anonim mengatakan…
pak teguh bagaimana cara melihat PEG di yahoo finance ?
RADIT RIZKI mengatakan…
Terima kasih penjelasannya Pak Teguh,sangat bermanfaat

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?