Indonesia di Mata Lembaga Pemeringkat Asing
Anda tentu hafal dengan tiga lembaga pemeringkat terkemuka di dunia, yaitu Moody’s, Fitch, dan Standard & Poor’s (S&P). Kerjaan utama dari para lembaga pemeringkat ini adalah memberi rating kepada perusahaan yang menerbitkan surat utang atau obligasi. Misalnya jika perusahaan A menerbitkan surat utang senilai sekian juta Dollar, maka tiga lembaga pemeringkat tersebut akan merilis rating yang menggambarkan prospek atas utang tersebut. Rating tersebut akan memberikan gambaran kepada investor, mengenai apakah surat utang tadi layak diambil atau nggak. Indonesia juga punya lembaga pemeringkat seperti ini, namanya Pefindo.
Selain merilis rating untuk surat utang yang diterbitkan oleh perusahaan, tiga lembaga pemeringkat diatas juga merilis rating untuk surat utang yang diterbitkan oleh negara, yang biasa disebut Sovereign Credit Ratings (SCR). SCR ini menggambarkan prospek serta tingkat risiko dari surat utang yang diterbitkan oleh suatu negara, dimana jika ratingnya bagus, maka negara tersebut dianggap memiliki kemampuan yang memadai untuk membayar lunas utang-utangnya plus bunganya. Sebaliknya jika ratingnya jelek, maka negara yang bersangkutan dianggap beresiko tinggi untuk gagal dalam membayar utang-utangnya, alias default.
Pada perkembangannya, SCR yang dirilis oleh tiga lembaga pemeringkat ini tidak lagi hanya menjadi rating bagi surat utang sebuah negara, melainkan menjadi patokan bagi investor global, baik institusi maupun individual, untuk mengetahui apakah negara tersebut cukup layak untuk dijadikan tujuan investasi atau tidak. Misalnya jika negara A mendapat rating bagus, maka investor tidak hanya akan berminat untuk mengambil surat utangnya (jika negara A tersebut kebetulan menerbitkan surat utang), tapi dia juga akan berminat untuk berinvestasi di negara tersebut secara umum, entah itu membeli saham sebuah perusahaan, membangun pabrik, membuka kantor cabang, dan sebagainya.
Lalu apa saja yang dikatakan oleh para lembaga pemeringkat ini, terkait prospek investasi di Indonesia? Oke, kita mulai dari Moody’s.
Berdasarkan laporan terakhirnya per tanggal 17 Januari 2011, Moody’s mengganjar rating Ba1 dengan outlook stabil untuk Indonesia. Rating Ba1 tersebut menggambarkan Indonesia sebagai negara yang tergolong non-investment grade (grade kelas dua dibawah investment grade), dimana kualitas investasi di Indonesia masih dipertanyakan. Namun rating Ba1 tersebut merupakan rating tertinggi di golongan non-investment grade, dimana Indonesia hanya memerlukan kenaikan rating sebanyak satu tingkat saja, agar bisa masuk kedalam golongan investment grade.
Melalui rating Ba1 tersebut, secara tidak langsung Moody’s mengatakan bahwa kualitas investasi di Indonesia masih perlu dipertanyakan. Dipertanyakan disini maksudnya Indonesia sudah tidak lagi digolongkan sebagai negara dengan resiko investasi yang tinggi, namun masih belum cukup baik untuk bisa dikatakan sebagai negara dengan resiko investasi yang moderat atau sedang.
Sementara outlook stabil menggambarkan bahwa rating Ba1 tersebut kedepannya kemungkinan besar akan tetap, alias tidak naik tapi juga tidak turun.
Berikutnya, Fitch. Pada tanggal 24 Februari 2011, Fitch merilis rating BB+ dengan outlook positif untuk Indonesia. Seperti Moody’s, rating BB+ tersebut merupakan rating tertinggi di kelas non-investment grade, dimana Indonesia dianggap sebagai negara yang lebih rentan terhadap perubahan dalam perekonomian global, dibanding rata-rata negara di seluruh dunia pada umumnya. Jika rating BB+ ini naik satu peringkat menjadi BBB, maka Indonesia akan dianggap sebagai negara investment grade. Rating BBB tersebut bermakna: negara dengan kelas ekonomi menengah, yang bisa dijadikan sebagai tujuan investasi, setidaknya untuk saat ini.
Outlook positif menggambarkan bahwa rating BB+ tersebut berpeluang untuk meningkat di masa depan, menjadi BBB. Jadi dalam hal ini Fitch lebih optimis dibanding Moody’s, dimana Fitch memprediksi bahwa Indonesia bisa saja menjadi negara investment grade dalam beberapa waktu kedepan.
Terakhir, S&P. Pada tanggal 8 April 2011, S&P merilis rating BB+ dengan outlook positif untuk Indonesia. Rating tersebut bermakna, Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap perubahan dalam perekonomian (mirip seperti rating dari Fitch). Sekali lagi, rating BB+ ini adalah rating tertinggi untuk kelas non-investment grade, dimana Indonesia hanya memerlukan kenaikan rating satu tingkat saja, agar masuk kedalam kelas investment grade. Dan dengan outlook positif, maka S&P optimis bahwa Indonesia cukup sanggup untuk mencapai investment grade tersebut dimasa depan.
Dari uraian diatas, bisa kita simpulkan bahwa baik Moody’s, Fitch, maupun S&P, semuanya menganggap bahwa Indonesia masih belum menjadi negara tujuan investasi yang menjanjikan (non-investment grade), dimana resiko berinvestasi disini masih belum bisa dikatakan moderat. Atau dengan kata lain, resiko investasi di Indonesia memang sudah tidak begitu tinggi lagi, namun resiko tersebut bisa meningkat sewaktu-waktu, jika terjadi perubahan dalam perekonomian global. Disisi lain, para lembaga pemeringkat ini cukup percaya bahwa Indonesia akan sanggup menjadi negara investment grade, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.
Kalau kita lihat lagi kebelakang, Indonesia pernah menjadi negara investment grade di tahun 90-an. Sejak tahun 1992 hingga 1997, Indonesia selalu mendapat rating yang tergolong sebagai rating investment grade. Tapi semuanya berubah ketika Indonesia dihantam krisis moneter pada tahun 1998, dimana pada tahun tersebut Indonesia sempat diganjar rating yang tergolong sebagai rating terendah. Sekarang setelah lebih dari 12 tahun, Indonesia akhirnya berpeluang untuk menjadi negara investment grade kembali. Hanya memang jika dibandingkan dengan dua tetangga kita yaitu Malaysia dan Thailand, yang pada saat ini sudah tergolong sebagai negara investment grade, pemulihan ekonomi Indonesia pasca krismon 1998 terbilang agak lambat. Kalau dibanding Singapura sih gak usah ditanya lagi lah, yang jelas kita ketinggalan jauh.
Lantas seberapa akurat rating yang dirilis oleh para lembaga pemeringkat diatas? Well, seperti juga lembaga lainnya yang bergerak dibidang konsultasi dan pemberi rekomendasi di dunia finansial, ketiga lembaga pemeringkat diatas juga bukannya tidak pernah melakukan kekeliruan. Fitch dan S&P bahkan pernah dihantam kritik hebat, setelah surat utang collateral debt obligations (CDO) dari bank investasi Drexel Burnham, yang mereka ganjar dengan rating tertinggi yaitu AAA, justru mengalami gagal bayar pada tahun 2007. It means, rating Indonesia diatas juga bisa saja keliru. Bisa jadi, saat ini Indonesia sebenarnya sudah cukup layak untuk dianggap sebagai negara investment grade. Namun sebaliknya bisa jadi pula, resiko investasi di Indonesia masih cukup tinggi. Only God knows.
Tapi yang jelas ketika Fitch dan S&P mengatakan bahwa prospek investasi di Indonesia termasuk rentan terhadap perubahan pada kondisi perekonomian global, maka statement tersebut mungkin ada benarnya, terutama jika kita melihat pola pergerakan IHSG dalam beberapa waktu terakhir. Ketika kekhawatiran soal krisis Eropa mulai ramai dibicarakan, IHSG sempat anjlok hingga ke posisi 3,269, atau 22.1% lebih rendah dibanding posisi puncaknya pada awal Agustus lalu. Penurunan 22.1% tersebut lebih dalam dibanding penurunan dari beberapa bursa global terkemuka, seperti Dow Jones (17.6%), atau FTSE (19.0%).
Beruntung, seiring dengan meredanya pemberitaan soal krisis utang Eropa, IHSG mampu pulih dengan cepat dan saat ini sudah bertengger di posisi 3,600-an kembali. Namun kalau berkaca pada pola pergerakannya tersebut, maka jika nanti pemberitaan soal krisis Eropa ‘kumat’ lagi, IHSG juga kemungkinan bakal anjlok sekali lagi. Saat itulah, anda bisa mengambil posisi kembali.
Terus bagaimana dengan rating dari negara yang menjadi sorotan seluruh dunia pada saat ini, yaitu Yunani? Well, anda bisa mengeceknya sendiri, googling aja.
Selain merilis rating untuk surat utang yang diterbitkan oleh perusahaan, tiga lembaga pemeringkat diatas juga merilis rating untuk surat utang yang diterbitkan oleh negara, yang biasa disebut Sovereign Credit Ratings (SCR). SCR ini menggambarkan prospek serta tingkat risiko dari surat utang yang diterbitkan oleh suatu negara, dimana jika ratingnya bagus, maka negara tersebut dianggap memiliki kemampuan yang memadai untuk membayar lunas utang-utangnya plus bunganya. Sebaliknya jika ratingnya jelek, maka negara yang bersangkutan dianggap beresiko tinggi untuk gagal dalam membayar utang-utangnya, alias default.
Pada perkembangannya, SCR yang dirilis oleh tiga lembaga pemeringkat ini tidak lagi hanya menjadi rating bagi surat utang sebuah negara, melainkan menjadi patokan bagi investor global, baik institusi maupun individual, untuk mengetahui apakah negara tersebut cukup layak untuk dijadikan tujuan investasi atau tidak. Misalnya jika negara A mendapat rating bagus, maka investor tidak hanya akan berminat untuk mengambil surat utangnya (jika negara A tersebut kebetulan menerbitkan surat utang), tapi dia juga akan berminat untuk berinvestasi di negara tersebut secara umum, entah itu membeli saham sebuah perusahaan, membangun pabrik, membuka kantor cabang, dan sebagainya.
Lalu apa saja yang dikatakan oleh para lembaga pemeringkat ini, terkait prospek investasi di Indonesia? Oke, kita mulai dari Moody’s.
Berdasarkan laporan terakhirnya per tanggal 17 Januari 2011, Moody’s mengganjar rating Ba1 dengan outlook stabil untuk Indonesia. Rating Ba1 tersebut menggambarkan Indonesia sebagai negara yang tergolong non-investment grade (grade kelas dua dibawah investment grade), dimana kualitas investasi di Indonesia masih dipertanyakan. Namun rating Ba1 tersebut merupakan rating tertinggi di golongan non-investment grade, dimana Indonesia hanya memerlukan kenaikan rating sebanyak satu tingkat saja, agar bisa masuk kedalam golongan investment grade.
Melalui rating Ba1 tersebut, secara tidak langsung Moody’s mengatakan bahwa kualitas investasi di Indonesia masih perlu dipertanyakan. Dipertanyakan disini maksudnya Indonesia sudah tidak lagi digolongkan sebagai negara dengan resiko investasi yang tinggi, namun masih belum cukup baik untuk bisa dikatakan sebagai negara dengan resiko investasi yang moderat atau sedang.
Sementara outlook stabil menggambarkan bahwa rating Ba1 tersebut kedepannya kemungkinan besar akan tetap, alias tidak naik tapi juga tidak turun.
Berikutnya, Fitch. Pada tanggal 24 Februari 2011, Fitch merilis rating BB+ dengan outlook positif untuk Indonesia. Seperti Moody’s, rating BB+ tersebut merupakan rating tertinggi di kelas non-investment grade, dimana Indonesia dianggap sebagai negara yang lebih rentan terhadap perubahan dalam perekonomian global, dibanding rata-rata negara di seluruh dunia pada umumnya. Jika rating BB+ ini naik satu peringkat menjadi BBB, maka Indonesia akan dianggap sebagai negara investment grade. Rating BBB tersebut bermakna: negara dengan kelas ekonomi menengah, yang bisa dijadikan sebagai tujuan investasi, setidaknya untuk saat ini.
Outlook positif menggambarkan bahwa rating BB+ tersebut berpeluang untuk meningkat di masa depan, menjadi BBB. Jadi dalam hal ini Fitch lebih optimis dibanding Moody’s, dimana Fitch memprediksi bahwa Indonesia bisa saja menjadi negara investment grade dalam beberapa waktu kedepan.
Terakhir, S&P. Pada tanggal 8 April 2011, S&P merilis rating BB+ dengan outlook positif untuk Indonesia. Rating tersebut bermakna, Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap perubahan dalam perekonomian (mirip seperti rating dari Fitch). Sekali lagi, rating BB+ ini adalah rating tertinggi untuk kelas non-investment grade, dimana Indonesia hanya memerlukan kenaikan rating satu tingkat saja, agar masuk kedalam kelas investment grade. Dan dengan outlook positif, maka S&P optimis bahwa Indonesia cukup sanggup untuk mencapai investment grade tersebut dimasa depan.
Dari uraian diatas, bisa kita simpulkan bahwa baik Moody’s, Fitch, maupun S&P, semuanya menganggap bahwa Indonesia masih belum menjadi negara tujuan investasi yang menjanjikan (non-investment grade), dimana resiko berinvestasi disini masih belum bisa dikatakan moderat. Atau dengan kata lain, resiko investasi di Indonesia memang sudah tidak begitu tinggi lagi, namun resiko tersebut bisa meningkat sewaktu-waktu, jika terjadi perubahan dalam perekonomian global. Disisi lain, para lembaga pemeringkat ini cukup percaya bahwa Indonesia akan sanggup menjadi negara investment grade, dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.
Kalau kita lihat lagi kebelakang, Indonesia pernah menjadi negara investment grade di tahun 90-an. Sejak tahun 1992 hingga 1997, Indonesia selalu mendapat rating yang tergolong sebagai rating investment grade. Tapi semuanya berubah ketika Indonesia dihantam krisis moneter pada tahun 1998, dimana pada tahun tersebut Indonesia sempat diganjar rating yang tergolong sebagai rating terendah. Sekarang setelah lebih dari 12 tahun, Indonesia akhirnya berpeluang untuk menjadi negara investment grade kembali. Hanya memang jika dibandingkan dengan dua tetangga kita yaitu Malaysia dan Thailand, yang pada saat ini sudah tergolong sebagai negara investment grade, pemulihan ekonomi Indonesia pasca krismon 1998 terbilang agak lambat. Kalau dibanding Singapura sih gak usah ditanya lagi lah, yang jelas kita ketinggalan jauh.
Lantas seberapa akurat rating yang dirilis oleh para lembaga pemeringkat diatas? Well, seperti juga lembaga lainnya yang bergerak dibidang konsultasi dan pemberi rekomendasi di dunia finansial, ketiga lembaga pemeringkat diatas juga bukannya tidak pernah melakukan kekeliruan. Fitch dan S&P bahkan pernah dihantam kritik hebat, setelah surat utang collateral debt obligations (CDO) dari bank investasi Drexel Burnham, yang mereka ganjar dengan rating tertinggi yaitu AAA, justru mengalami gagal bayar pada tahun 2007. It means, rating Indonesia diatas juga bisa saja keliru. Bisa jadi, saat ini Indonesia sebenarnya sudah cukup layak untuk dianggap sebagai negara investment grade. Namun sebaliknya bisa jadi pula, resiko investasi di Indonesia masih cukup tinggi. Only God knows.
Tapi yang jelas ketika Fitch dan S&P mengatakan bahwa prospek investasi di Indonesia termasuk rentan terhadap perubahan pada kondisi perekonomian global, maka statement tersebut mungkin ada benarnya, terutama jika kita melihat pola pergerakan IHSG dalam beberapa waktu terakhir. Ketika kekhawatiran soal krisis Eropa mulai ramai dibicarakan, IHSG sempat anjlok hingga ke posisi 3,269, atau 22.1% lebih rendah dibanding posisi puncaknya pada awal Agustus lalu. Penurunan 22.1% tersebut lebih dalam dibanding penurunan dari beberapa bursa global terkemuka, seperti Dow Jones (17.6%), atau FTSE (19.0%).
Beruntung, seiring dengan meredanya pemberitaan soal krisis utang Eropa, IHSG mampu pulih dengan cepat dan saat ini sudah bertengger di posisi 3,600-an kembali. Namun kalau berkaca pada pola pergerakannya tersebut, maka jika nanti pemberitaan soal krisis Eropa ‘kumat’ lagi, IHSG juga kemungkinan bakal anjlok sekali lagi. Saat itulah, anda bisa mengambil posisi kembali.
Terus bagaimana dengan rating dari negara yang menjadi sorotan seluruh dunia pada saat ini, yaitu Yunani? Well, anda bisa mengeceknya sendiri, googling aja.
Komentar