Sekilas Outlook Sektor Menara Telekomunikasi

Dalam waktu dekat ini, BEI akan kembali kedatangan beberapa emiten baru. Salah satunya adalah PT Solusi Tunas Pratama (STP), sebuah perusahaan penyewaan menara telekomunikasi, atau biasa disebut menara BTS (base transceiver station). Menariknya, STP adalah perusahaan penyewaan BTS ketiga yang listing di BEI. Dua perusahaan yang bergerak di bidang yang sama yang sudah terlebih dahulu listing adalah PT Sarana Menara Nusantara (TOWR), dan PT Tower Bersama Infrastructure (TBIG). Seperti apa sih, bisnis penyewaan menara BTS ini?

Bisnis telekomunikasi seluler alias telekomunikasi yang menggunakan ponsel, sudah berkembang di Indonesia sejak tahun 90-an. Ketika itu, Telkomsel merupakan pemain tunggal di bisnis ini, sehingga perusahaan tersebut menikmati margin keuntungan yang besar dari harga pulsa yang luar biasa mahal. Seiring dengan berjalannya waktu, para pesaing pun mulai bermunculan, mulai dari Indosat, XL Axiata, Bakrie Telecom, Hutchison, hingga Axis dan Smartfren. Alhasil para operator telekomunikasi tak terkecuali Telkomsel harus menurunkan tarif pulsa agar mampu bersaing. Namun penurunan tarif berarti penurunan pendapatan, sehingga para operator telekomunikasi ini harus memutar otak untuk mengurangi pengeluaran, agar laba bersih yang diperoleh tetap tinggi meskipun pendapatan mereka tertekan.

Salah satu pengeluaran terbesar para operator telekomunikasi adalah biaya untuk mendirikan menara BTS, yaitu sekitar Rp1 – 1.5 milyar per menara. BTS adalah fasilitas yang menghubungkan ponsel dengan jaringan, atau simpelnya fasilitas yang memancarkan sinyal ponsel di satu lokasi tertentu. Katakanlah kalau biaya mendirikan sebuah menara BTS adalah 1 milyar pas, maka jika satu operator membutuhkan 1,000 BTS, dia harus mengeluarkan dana hingga 1 trilyun. Karena itulah kemudian muncul ide: Gimana kalau satu BTS dipake bareng-bareng? Daripada Telkomsel, Indosat, XL Axiata dll ngabisin duit trilyunan untuk mendirikan BTS sendiri-sendiri, kenapa gak pake BTS yang sama aja? Toh itu tidak akan mengurangi kualitas jaringan. Lagipula bakalan ribet jadinya kalau dalam satu lokasi berdiri banyak menara BTS sekaligus. Akan lebih gampang kalau dalam satu lokasi hanya ada satu menara, dan itu dipakai bersama-sama oleh banyak operator.

Masalahnya, Telkomsel mungkin nggak akan mau kalau menaranya dipake sama Indosat. Sementara Indosat sendiri juga gak akan mau kalau menaranya dipake XL Axiata. Maka kemudian muncullah perusahaan penyewaan menara BTS. Perusahaan ini bukanlah operator telekomunikasi, tapi mereka mendirikan menara-menara BTS yang kemudian disewakan ke operator. Bisnis ‘rental menara’ pun kemudian berkembang. Belakangan, para perusahaan rental menara ini juga mulai mengambil alih menara-menara milik operator telekomunikasi. Terakhir, Indosat dikabarkan akan menjual 4,000 menaranya kepada perusahaan rental menara.

Saat ini di Indonesia sudah terdapat puluhan perusahaan rental menara, namun yang paling besar hanya dua, yaitu TOWR dan TBIG. Dua perusahaan ini dimiliki oleh Grup Djarum dan Grup Recapital. Sementara STP tergolong berukuran menengah kalau dilihat dari aset dan jumlah menaranya.


Oke, lalu bagaimana prospek dari sektor anyar ini?

Bisnis telekomunikasi adalah bisnis jangka panjang, karena sampai kapanpun orang-orang akan selalu membutuhkan jaringan telekomunikasi untuk menelpon, mengirim SMS, dan mengakses internet. Biasanya para operator telekomunikasi akan menyewa menara untuk jangka panjang. Disisi lain seperti yang sudah disebutkan diatas, biaya untuk mendirikan menara BTS cukup mahal, sehingga kebanyakan perusahaan di bidang ini tidak punya uang kas yang cukup untuk mendirikan atau mengakuisisi banyak menara sekaligus. Karena itulah perusahaan-perusahaan tersebut kemudian mengajukan pinjaman jangka panjang kepada para bank. TOWR dan TBIG kemudian menjadi perusahaan terbesar di sektor ini, karena Grup Djarum dan Recapital memiliki akses yang lebih bagus ke para kreditor dibanding grup-grup usaha lainnya. TBIG bahkan sudah memperoleh jaminan pendanaan hingga US$ 2 milyar dari para kreditornya.

Sementara STP juga memiliki utang bank yang cukup besar. Pada kuartal pertama 2011, STP mencatat total utang 1.6 trilyun, sementara modalnya hanya 486 milyar. Sebagian besar dari utang tersebut yaitu 1.4 trilyun, merupakan utang jangka panjang.

Lalu bagaimana dengan kinerja mereka? Pada semester pertama 2011, TOWR dan TBIG masing-masing mencatat laba bersih komprehensif 245 dan 253 milyar. Angka tersebut mencetak ROA masing-masing 9.4% dan 6.3%, cukup lumayan meski tidak terlalu bagus (dalam hal ini ROA lebih mencerminkan kinerja perusahaan dibanding ROE, karena kedua perusahaan memiliki utang yang lebih besar dari modalnya). Sementara pada kuartal pertama 2011, STP mencatat ROA 5.4%, paling jelek diantara ketiganya. Tapi mungkin pada semester pertama kemarin, kinerja STP mengalami perbaikan.

Meski dari sisi profitabilitas tidak terlalu menarik, namun bisnis rental menara menjanjikan pertumbuhan bisnis yang cepat di masa-masa yang akan datang, mungkin bisa sampai 50% per tahun, karena diperkirakan nantinya para operator telekomunikasi akan sepenuhnya menggunakan menara BTS dari para perusahaan rental menara ini, karena lebih efisien. Ketika itulah, para perusahaan rental menara ini akan mulai mencatat pendapatan yang besar. Makanya para bank juga berani ngasih pinjaman yang gede ke mereka. Sayangnya karena para perusahaan rental menara ini memiliki banyak utang bank, maka bisnis mereka tentu rawan krisis.

Disisi lain perkembangan bisnis telekomunikasi di Indonesia pada saat ini sedang terhambat oleh masalah teknologi. Kita tahu bahwa para operator telekomunikasi sudah tidak bisa lagi mengandalkan pendapatan dari layanan telepon dan SMS. Satu-satunya layanan yang akan terus tumbuh dimasa depan adalah layanan akses internet. Namun pembangunan infrastruktur broadband untuk mendukung akses internet berkecepatan tinggi yang mampu menjangkau hingga ke pelosok daerah, membutuhkan investasi yang sangat mahal hingga milyaran dollar, karena ketergantungan teknologi pada perusahaan asing. Indonesia, harus diakui, sangat ketinggalan dalam masalah teknologi informasi, bahkan jika dibanding negara-negara tetangga seperti Singapura atau Malaysia. Jadi kecuali para operator telekomunikasi mampu menemukan solusi agar mereka dapat mengembangkan bisnis layanan internet tanpa harus mengeluarkan investasi yang sangat besar, maka bisnis penyewaan menara BTS juga hampir pasti akan ikut-ikutan mandek.

But okay, kita asumsikan saja bahwa cepat atau lambat, teknologi informasi di Indonesia pada akhirnya akan berkembang pesat juga. Hari ini pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 45 juta orang, dan masih terus bertambah. Padahal sepuluh tahun lalu, pengguna internet di Indonesia hanya sekitar 1 juta orang. Setiap orang, mungkin termasuk anda juga, boleh-boleh saja mengeluhkan koneksi internet yang leletnya minta ampun. Tapi toh anda tetap saja berlangganan provider internet bukan? Karena hari gini kita emang udah gak bisa lagi hidup tanpa internet. Fasilitas online trading saham juga gak akan ada kalau gak ada internet.

Sekarang, bagaimana dengan saham dari para perusahaan rental menara ini?

Sayangnya bahkan kalaupun anda menganggap bahwa sektor penyewaan menara BTS ini memiliki prospek pertumbuhan yang menarik, namun anda akan kesulitan untuk menemukan saham yang layak koleksi di sektor ini. Saham TOWR sama sekali tidak likuid, yang mungkin karena TOWR ini hanyalah perusahaan holding untuk PT Profesional Telekomunikasi Indonesia atau Protelindo. Tadinya Grup Djarum akan meng-IPO-kan Protelindo ini, tapi nggak jadi karena perusahaannya tersangkut masalah hukum. Jadilah kemudian TOWR didirikan sebagai induk dari Protelindo, dan TOWR ini yang lalu di-IPO-kan ke bursa.

Sementara TBIG, perusahaannya cukup bagus dan sahamnya juga cukup likuid. Namun valuasinya sejak awal sudah cukup mahal, sehingga sulit bagi dia untuk menguat lebih lanjut. STP? Sama saja: mahal. Dan saham STP ini mungkin juga tidak akan likuid, mengingat jumlah saham yang dilepas ke publik pada saat IPO cuma 95 juta lembar.

Sebenarnya penulis pribadi menganggap kalau sektor ini cukup menarik, terutama karena satu menara bisa disewakan ke beberapa operator telekomunikasi sekaligus, dan karena margin laba bersih dibanding pendapatannya cukup besar, yaitu sekitar 40%. Perhitungan simpelnya begini: Saat ini rata-rata harga sewa BTS adalah sekitar Rp25 juta sebulan. Jika satu menara disewa oleh tiga operator, maka akan diperoleh total pendapatan 75 juta, atau 900 juta per tahun. Berdasarkan laporan keuangan TBIG, TOWR, dan STP, rata-rata margin laba bersih dibanding pendapatan, seperti yang sudah disebut diatas, adalah 40%. Jadi dari pendapatan 900 juta tadi, akan diperoleh laba bersih sekitar 360 juta. Karena biaya pendirian satu menara adalah sekitar Rp1 milyar, maka dalam waktu kurang dari tiga tahun biaya pendirian menara tersebut akan balik modal. Jika kita mempertimbangkan bahwa harga sewa menara akan naik dari waktu ke waktu, maka waktu yang dibutuhkan untuk balik modal akan lebih cepat, mungkin kurang dari dua tahun. Dan mengingat bahwa satu menara bisa saja disewa oleh lebih banyak operator, katakanlah empat atau lima operator sekaligus, maka laba bersih yang diperoleh tentunya bisa lebih besar lagi.

Hanya memang di BEI belum ada saham di sektor ini yang cukup bagus buat dikoleksi. Kalau nanti ada grup usaha dengan reputasi bagus, seperti misalnya Grup Astra, ikut terjun ke bisnis rental menara ini dan melepas sahamnya ke publik, maka mungkin sahamnya bisa kita ambil.

Atau mungkin kalau anda punya banyak duit dan kenal sama orang bank, anda bisa mendirikan perusahaan penyewaan menara BTS milik anda sendiri?

Komentar

Anonim mengatakan…
Mas teguh..koreksi untuk penyedia layanan operator telekomunikasi di indonesia untuk pertama bukan Telkomsel tetapi indosat dan XL. Tetapi market leader saat ini benar Telkomsel.

Lalu untuk harga sewa BTS tidak mencapai 25 juta...harga saat ini dikisaran 16-20jt tergantung fasilitas dan potensi pendapatan dari BTS tsb. Satu Faktor resiko perusahaan penyewa menara telekomunikasi adalah kompetisi dgn operator telekomunikasi yg jg menyewakan BTS-nya ke operator lain, saat ini BTS XL disewakan ke axis dan 3.

Semoga bermanfaat.
koko mengatakan…
Juga mesti diwaspadai tren teknologi yang mengarah ke towerless atau tower kamuflase (microcell, BTS hotel).
Jika dalam waktu dekat teknologi tersebut diimplementasikan oleh para operator selular, maka tower-tower yang dibangun mahal dengan umur tennis lebih dari 10 tahun tersebut menjadi asset tidak berguna.
Komitmen jangka waktu penyewaan oleh operator juga harus dipelajari, jangan-jangan operator dapat berhenti menyewa (tower macro) begitu saja.
Anonim mengatakan…
wah,ini baru yg namanya fundamental...g melulu soal itung2an...like it...
sukses buat blognya...keren2
Anonim mengatakan…
Koreksi terhadap sewa menara yang sekarang sudah tidak terlalu bagus yaitu 9- 16 juta. Malah sekarang telkomsel sedang negosiasikan untuk menurunkan harga sewa yaitu 13 juta/ bulan. Business tower provider ini sudah tidak cantik lagi karena cost pembangunan yg mahal, listrik yang naik terus, operational yg meningkat, dan pendapatan sewa dari operator yg menurun.
Anonim mengatakan…
Telkomsel sebagai leading operator di Indonesia sekarang sedang di pimpin oleh orang2 telkom yang mementingkan kepentingan pribadi mereka di atas kepentingan perusahaan. Pembangunan Jaringan untuk telkomsel menjadi sangat lamban mulai tahun 2012, karena para direksi menginstruksikan untuk hanya memberikan pekerjaan kepada TBG dan DMT sedangkan performance dan kapacitas kedua perusahaan ini tidak sesuai dengan kebutuhannya Telkomsel. Sebenarnya ada beberapa tower provider yang bisa membantu membangun tower BTS untuk Telkomsel, tapi karena mungkin udah ada "deal2" khusus dengan direksi2 telkomsel yg asalnya dari telkom ini, maka direksi2 ini sudah tidak memikirkan masa depan perusahaan lagi tapi mementingkan kepentingan mereka pribadi. Sangat2 disayangkan perusahaan yang bagus tapi pelan2 di hancurkan oleh segelintirr orang dari BUMN yg sudah biasa makan uang korupsi. Salut kepada XL yang selama ini selalu bersikap professional.

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?