Safe Haven
Dalam beberapa minggu terakhir ini bursa-bursa saham global, tak terkecuali IHSG, seperti masih bingung untuk menentukan arah, karena masih belum jelasnya penyelesaian masalah krisis utang di Eropa sana. Dan kemarin, satu peristiwa penting kembali memaksa investor untuk tiarap. International Monetary Fund (IMF) mengumumkan bahwa perekonomian dunia pada tahun 2011 dan 2012 kemungkinan hanya akan tumbuh masing-masing 4%, lebih rendah dari prediksi sebelumnya yaitu 4.3% dan 4.5%.
Kalau kita perhatikan angkanya, prediksi IMF tersebut sebenarnya nggak pesimis-pesimis amat. Mereka masih memprediksi bahwa ekonomi dunia akan tumbuh dikisaran 4% kok, dan itu masih cukup tinggi meskipun memang lebih rendah dari prediksi sebelumnya. Namun mengingat saat ini kondisi market sedang sangat sensitif, laporan negatif sekecil apapun akan langsung berdampak pada koreksi besar-besaran.
Lalu bagaimana dengan IHSG? Pada headline koran Bisnis Indonesia hari ini, beberapa tokoh mengemukakan pendapatnya. Yang paling menarik adalah pendapat dari kepala BKPM, Gita Wirjawan. Beliau mengatakan bahwa dalam kondisi tak menentu seperti ini, modal milik investor global akan masuk ke wilayah safe haven. Dan Indonesia termasuk salah satu dari safe haven tersebut.
Kita nggak tahu apa pertimbangan yang digunakan oleh Mr. Gita untuk mengatakan bahwa Indonesia adalah safe haven, karena faktanya modal asing malah terus saja keluar dari bursa dalam beberapa waktu terakhir ini, termasuk hari ini. Dan apa itu save haven? Anyway, yuk kita lihat deskripsi safe haven versi penulis.
Sebagian besar investor di pasar modal tidak menggantungkan pendapatannya dari kenaikan harga saham, melainkan mereka masing-masing punya pekerjaan, atau punya usaha tertentu. Anda juga begitu kan? Pasar modal biasanya hanya menjadi tempat bagi mereka yang punya uang dalam jumlah cukup besar, tapi nggak tahu duitnya mau diapain. Daripada duit ini lalu ngendap gitu aja di bank dan tergerus inflasi, mending taruh aja di saham atau reksadana, karena ‘bunganya’ jauh lebih besar. Disinilah seseorang yang memiliki dana kemudian akan mulai menjadi seorang investor.
Investor yang cerdas tentunya paham benar bahwa ‘bunga’ yang besar tersebut setimpal dengan resikonya yang juga besar. Disinilah pentingnya diversifikasi portofolio bagi seorang investor: Dia tidak menaruh semua uangnya di saham, melainkan sebagian besar justru ditempatkan di usaha yang riil. Jadi kalau investasinya yang di saham ‘kenapa-kenapa’, dia masih punya investasi yang di usaha riil. Pada artikel berjudul Ancaman Krisis yang Sesungguhnya, yang penulis tulis tanggal 24 Juni 2010 lalu, penulis mengatakan bahwa sebaiknya anda hanya menggunakan maksimal 40% dari uang yang anda miliki, untuk berinvestasi di saham. Sementara sisanya yaitu 60%, anda gunakan untuk investasi di sektor riil. Misalnya buka rumah makan, bikin pabrik roti, menanam kebun sawit, atau apapun yang bisa memberikan anda passive income di masa mendatang. Kalau anda gak ngerti mau usaha apa, ya sudah, paling gampang tempatkan saja 60% dana anda tersebut di emas atau properti.
Nah, kita tentu tahu bahwa setiap kali terjadi krisis besar, maka yang akan lebih dulu jatuh adalah sektor non riil alias derivatif, seperti pasar modal, pasar uang, pasar obligasi, dan pasar-pasar lainnya yang sejenis. Plus mungkin beberapa sektor riil yang menggunakan modal besar, seperti properti dan industri manufaktur. Sementara sektor riil yang sifatnya grass root (sektor yang menyentuh hingga lapisan masyarakat bawah), seperti bisnis makanan atau obat-obatan, akan menjadi sektor terakhir yang terkena imbas dari krisis. Kecuali terjadi krisis yang benar-benar besar seperti tahun 1998 silam, sektor ini akan baik-baik saja, demikian pula para investor-nya. Sektor inilah yang kemudian bisa kita sebut sebagai safe haven.
Salah satu grup konglomerasi terbesar di Indonesia, Grup Salim, menerapkan betul soal prinsip safe haven ini. Sebelum Indonesia dilanda krisis tahun 1998, Grup ini berekspansi besar-besaran dengan cara berhutang kesana kemari, dengan menjaminkan banyak sekali perusahaannya, termasuk Indocement dan Bank BCA. Mereka mengejar pertumbuhan bisnis yang lebih cepat lagi, namun dengan mengambil resiko kehilangan perusahaan-perusahaannya, jika sewaktu-waktu mereka gagal melunasi utang-utangnya. Tapi ada satu perusahaan yang sama sekali tidak pernah mereka jaminkan ke siapapun. Kira-kira apa perusahaan tersebut? Yup, Indofood. Grup Salim tahu benar bahwa dalam kondisi ekonomi terburuk sekalipun, Indomie dan tepung terigu Bogasari akan tetap laris. Jadi ketika krisis melanda dan mereka mengalami default, Indocement lepas ke Heidelberg, dan Bank BCA diambil Grup Djarum, tapi Indofood tetap mereka kuasai. Dan terbukti, kini mereka besar lagi.
Oke, balik lagi. Jika anda menempatkan modal anda di properti atau emas, itu juga bisa disebut sebagai safe haven, karena dua ‘barang’ tersebut relatif kebal dari krisis. Masalahnya, baik emas maupun properti tidak memberikan anda penghasilan lebih, kecuali peningkatan harganya yang cenderung pelan-pelan, gak sekencang saham. Likuiditasnya pun susah: jual saham itu gampang, tapi jual rumah bisa butuh waktu sangat lama. Karena itulah yang paling bagus adalah jika anda bisa menempatkan investasi anda pada usaha yang menghasilkan.
Pertanyaannya disini adalah, seperti apa usaha yang menghasilkan tersebut? Well, penulis sudah lama berencana menulis buku soal itu, atau paling tidak artikel. Masalahnya penulis sendiri tidak berpengalaman mengelola atau berinvestasi pada usaha yang besar, kecuali cuma usaha kecil-kecilan. Jadi ya nggak tahu juga mau nulis apa. Rencananya sih penulis ingin ketemu sama para pengusaha, dan mudah-mudahan mereka mau menyumbangkan ilmu dan pengalamannya untuk kemudian penulis jadikan sebuah tulisan. Atau mungkin anda-anda yang pengusaha bisa berbagi pengalaman usahanya dengan penulis? Hubungi penulis melalui email.
Back to market. Kalau anda termasuk yang sudah keluar dari market sejak IHSG masih belum terkoreksi, dan saat ini sedang dalam posisi siap-siap untuk terjun lagi, maka penulis cuma bisa bilang, jangan buru-buru! Atau silahkan masuk tapi sedikit aja, tetap sisakan cash dalam jumlah besar. Soalnya sejauh ini belum ada indikasi apapun kalau market akan pulih dalam waktu dekat, kecuali mungkin faktor teknikal karena IHSG saat ini memang sudah turun sangat dalam.
Terus bagaimana kalau anda sudah keburu nyangkut? Well, kalau anda menjual seluruh saham-saham anda pada situasi seperti sekarang ini, maka itu cuma merealisasikan kerugian yang anda alami. Tapi kalau gak dijual, maka bukan tidak mungkin IHSG masih akan turun lebih dalam lagi. Jadi pilihan paling baik untuk saat ini adalah, jual sebagian saja dari saham anda, jangan seluruhnya, dengan tujuan agar anda punya pegangan cash yang nantinya bisa dipakai buat belanja saham ketika IHSG mulai pulih. Sisanya biarkan saja mengikuti arus IHSG. Siapa tahu kalau besok saham yang anda pegang itu ternyata malah naik. Good luck!
Kalau kita perhatikan angkanya, prediksi IMF tersebut sebenarnya nggak pesimis-pesimis amat. Mereka masih memprediksi bahwa ekonomi dunia akan tumbuh dikisaran 4% kok, dan itu masih cukup tinggi meskipun memang lebih rendah dari prediksi sebelumnya. Namun mengingat saat ini kondisi market sedang sangat sensitif, laporan negatif sekecil apapun akan langsung berdampak pada koreksi besar-besaran.
Lalu bagaimana dengan IHSG? Pada headline koran Bisnis Indonesia hari ini, beberapa tokoh mengemukakan pendapatnya. Yang paling menarik adalah pendapat dari kepala BKPM, Gita Wirjawan. Beliau mengatakan bahwa dalam kondisi tak menentu seperti ini, modal milik investor global akan masuk ke wilayah safe haven. Dan Indonesia termasuk salah satu dari safe haven tersebut.
Kita nggak tahu apa pertimbangan yang digunakan oleh Mr. Gita untuk mengatakan bahwa Indonesia adalah safe haven, karena faktanya modal asing malah terus saja keluar dari bursa dalam beberapa waktu terakhir ini, termasuk hari ini. Dan apa itu save haven? Anyway, yuk kita lihat deskripsi safe haven versi penulis.
Sebagian besar investor di pasar modal tidak menggantungkan pendapatannya dari kenaikan harga saham, melainkan mereka masing-masing punya pekerjaan, atau punya usaha tertentu. Anda juga begitu kan? Pasar modal biasanya hanya menjadi tempat bagi mereka yang punya uang dalam jumlah cukup besar, tapi nggak tahu duitnya mau diapain. Daripada duit ini lalu ngendap gitu aja di bank dan tergerus inflasi, mending taruh aja di saham atau reksadana, karena ‘bunganya’ jauh lebih besar. Disinilah seseorang yang memiliki dana kemudian akan mulai menjadi seorang investor.
Investor yang cerdas tentunya paham benar bahwa ‘bunga’ yang besar tersebut setimpal dengan resikonya yang juga besar. Disinilah pentingnya diversifikasi portofolio bagi seorang investor: Dia tidak menaruh semua uangnya di saham, melainkan sebagian besar justru ditempatkan di usaha yang riil. Jadi kalau investasinya yang di saham ‘kenapa-kenapa’, dia masih punya investasi yang di usaha riil. Pada artikel berjudul Ancaman Krisis yang Sesungguhnya, yang penulis tulis tanggal 24 Juni 2010 lalu, penulis mengatakan bahwa sebaiknya anda hanya menggunakan maksimal 40% dari uang yang anda miliki, untuk berinvestasi di saham. Sementara sisanya yaitu 60%, anda gunakan untuk investasi di sektor riil. Misalnya buka rumah makan, bikin pabrik roti, menanam kebun sawit, atau apapun yang bisa memberikan anda passive income di masa mendatang. Kalau anda gak ngerti mau usaha apa, ya sudah, paling gampang tempatkan saja 60% dana anda tersebut di emas atau properti.
Nah, kita tentu tahu bahwa setiap kali terjadi krisis besar, maka yang akan lebih dulu jatuh adalah sektor non riil alias derivatif, seperti pasar modal, pasar uang, pasar obligasi, dan pasar-pasar lainnya yang sejenis. Plus mungkin beberapa sektor riil yang menggunakan modal besar, seperti properti dan industri manufaktur. Sementara sektor riil yang sifatnya grass root (sektor yang menyentuh hingga lapisan masyarakat bawah), seperti bisnis makanan atau obat-obatan, akan menjadi sektor terakhir yang terkena imbas dari krisis. Kecuali terjadi krisis yang benar-benar besar seperti tahun 1998 silam, sektor ini akan baik-baik saja, demikian pula para investor-nya. Sektor inilah yang kemudian bisa kita sebut sebagai safe haven.
Salah satu grup konglomerasi terbesar di Indonesia, Grup Salim, menerapkan betul soal prinsip safe haven ini. Sebelum Indonesia dilanda krisis tahun 1998, Grup ini berekspansi besar-besaran dengan cara berhutang kesana kemari, dengan menjaminkan banyak sekali perusahaannya, termasuk Indocement dan Bank BCA. Mereka mengejar pertumbuhan bisnis yang lebih cepat lagi, namun dengan mengambil resiko kehilangan perusahaan-perusahaannya, jika sewaktu-waktu mereka gagal melunasi utang-utangnya. Tapi ada satu perusahaan yang sama sekali tidak pernah mereka jaminkan ke siapapun. Kira-kira apa perusahaan tersebut? Yup, Indofood. Grup Salim tahu benar bahwa dalam kondisi ekonomi terburuk sekalipun, Indomie dan tepung terigu Bogasari akan tetap laris. Jadi ketika krisis melanda dan mereka mengalami default, Indocement lepas ke Heidelberg, dan Bank BCA diambil Grup Djarum, tapi Indofood tetap mereka kuasai. Dan terbukti, kini mereka besar lagi.
Oke, balik lagi. Jika anda menempatkan modal anda di properti atau emas, itu juga bisa disebut sebagai safe haven, karena dua ‘barang’ tersebut relatif kebal dari krisis. Masalahnya, baik emas maupun properti tidak memberikan anda penghasilan lebih, kecuali peningkatan harganya yang cenderung pelan-pelan, gak sekencang saham. Likuiditasnya pun susah: jual saham itu gampang, tapi jual rumah bisa butuh waktu sangat lama. Karena itulah yang paling bagus adalah jika anda bisa menempatkan investasi anda pada usaha yang menghasilkan.
Pertanyaannya disini adalah, seperti apa usaha yang menghasilkan tersebut? Well, penulis sudah lama berencana menulis buku soal itu, atau paling tidak artikel. Masalahnya penulis sendiri tidak berpengalaman mengelola atau berinvestasi pada usaha yang besar, kecuali cuma usaha kecil-kecilan. Jadi ya nggak tahu juga mau nulis apa. Rencananya sih penulis ingin ketemu sama para pengusaha, dan mudah-mudahan mereka mau menyumbangkan ilmu dan pengalamannya untuk kemudian penulis jadikan sebuah tulisan. Atau mungkin anda-anda yang pengusaha bisa berbagi pengalaman usahanya dengan penulis? Hubungi penulis melalui email.
Back to market. Kalau anda termasuk yang sudah keluar dari market sejak IHSG masih belum terkoreksi, dan saat ini sedang dalam posisi siap-siap untuk terjun lagi, maka penulis cuma bisa bilang, jangan buru-buru! Atau silahkan masuk tapi sedikit aja, tetap sisakan cash dalam jumlah besar. Soalnya sejauh ini belum ada indikasi apapun kalau market akan pulih dalam waktu dekat, kecuali mungkin faktor teknikal karena IHSG saat ini memang sudah turun sangat dalam.
Terus bagaimana kalau anda sudah keburu nyangkut? Well, kalau anda menjual seluruh saham-saham anda pada situasi seperti sekarang ini, maka itu cuma merealisasikan kerugian yang anda alami. Tapi kalau gak dijual, maka bukan tidak mungkin IHSG masih akan turun lebih dalam lagi. Jadi pilihan paling baik untuk saat ini adalah, jual sebagian saja dari saham anda, jangan seluruhnya, dengan tujuan agar anda punya pegangan cash yang nantinya bisa dipakai buat belanja saham ketika IHSG mulai pulih. Sisanya biarkan saja mengikuti arus IHSG. Siapa tahu kalau besok saham yang anda pegang itu ternyata malah naik. Good luck!
Komentar
Siapa bilang properti itu "relatif kebal dari krisis" ?
Nyangkut, ngapain dijual, cuma dapat rugi, mendingan di "HOLD" saja !
memang begitulah adanya, sabar aja
Hmmmmm....pintar dan culas betul mau memindahkan resiko mereka ke pemerintah kita.....
warren buffet mengatakan: krisis akan selalu terjadi, dan reaksi perilaku manusianya selalu sama..ketakutan yang berlebihan.
Rule No.1 is never lose money. Rule No.2 is never forget rule number one (mbah Buffett)