Krakatau Steel: Prospek Blast Furnace
Krakatau Steel (KRAS) mengalami penurunan kinerja yang cukup buruk pada Kuartal I 2010. Laba bersihnya anjlok hampir 70%. Penurunan ini sebenarnya sudah terdeteksi sejak kuartal IV 2010, dimana meski ketika itu KRAS mencatat kenaikan laba bersih sampai tripel digit, namun penjualannya sebenarnya turun 12.2%. Makanya kalau kita perhatikan, saham KRAS tidak mampu bergerak banyak sepanjang tahun 2011 ini. Namun meski fundamentalnya lagi nggak bagus, KRAS tetap mencuri perhatian investor lewat proyek blast furnace yang sudah mereka rencanakan. Bagaimana prospeknya?
Penulis sempat menganalisis soal blast furnace tersebut di ebook LQ45 edisi FY10, meski cuma sekilas. Disitu penulis mengatakan bahwa mega-proyek bernilai 5 trilyun tersebut merupakan pertaruhan bagi KRAS, dimana kalau proyeknya berhasil, maka kinerja KRAS bisa saja melejit, dan harga sahamnya pun pasti ikutan naik. Tapi jika gagal, maka proyek tersebut bisa saja berakhir sebagai pabrik kaleng rombeng yang tidak menghasilkan apa-apa.
Jadi pertanyaannya disini adalah, seberapa besar peluang kesuksesan blast furnace tersebut dalam mendongkrak kinerja KRAS? Oke, mari kita bahas ini dari awal.
KRAS sebagai produsen besi dan baja, memiliki tiga fasilitas produksi utama, yaitu pabrik pembuatan besi, pabrik pembuatan baja mentah (slab steel), dan pabrik pembuatan baja gulungan (coil steel). Tiga pabrik tersebut beroperasi secara berurutan dari atas kebawah. Jadi pertama-tama KRAS mengolah bijih besi (iron ore) menjadi besi, kemudian diolah lagi menjadi baja mentah, dan terakhir diolah menjadi baja gulungan. Baja gulungan ini kemudian dipotong-potong menjadi baja lembaran, kawat baja, baja konstruksi, hingga pipa baja. Kemudian baru deh bisa dijual.
Selama ini, pabrik besi milik KRAS adalah pabrik dengan teknik direct reduction, yang menggunakan gas alam sebagai bahan bakarnya. Sementara pabrik baja mentah-nya menggunakan teknik electric arc furnace/EAF, yang menggunakan listrik. Nah, blast furnace adalah pabrik yang mampu menghasilkan besi dan baja mentah sekaligus, dengan menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Perbedaan lainnya, blast furnace tidak membutuhkan iron ore pellet (bijih besi berbentuk butir pasir agak kasar) dalam membuat besi, melainkan cukup membutuhkan bijih besi saja. Sementara dalam membuat baja mentah, blast furnace tidak membutuhkan steel scrap (kepingan-kepingan baja tua) seperti jika menggunakan teknik EAF, melainkan hanya membutuhkan besi saja. Selama ini pula, kebutuhan untuk iron pellet dan steel scrap diperoleh dari impor, dan harganya mahal. Jadi keberadaan blast furnace ini akan membuat biaya produksi KRAS menjadi lebih efisien, karena blast furnace tidak membutuhkan dua jenis bahan baku tadi. Disisi lain, KRAS nantinya tidak perlu lagi terlalu tergantung pada pasokan gas dan listrik, karena ada alternatif bahan bakar lain yaitu batubara.
Blast furnace ini direncanakan akan selesai dibangun dan mulai beroperasi pada tahun 2014, dan akan memiliki kapasitas produksi 1.2 juta ton besi dan 375 ribu ton baja mentah per tahun. Dengan adanya tambahan produksi tersebut, maka pabrik baja mentah milik KRAS yang menggunakan teknik EAF akan lebih menghemat biaya listrik, karena 1.2 juta ton besi yang dihasilkan melalui teknik blast furnace tersebut bisa ‘diumpankan’ menjadi baja (dikelola secara langsung di pabrik baja tanpa proses panjang lagi). Terus, tambahan kapasitas 375 ribu ton baja mentah tadi diharapkan akan bisa memenuhi kebutuhan pabrik baja gulungan, sehingga KRAS tidak perlu lagi mengimpor baja mentah dari luar negeri, dan pada akhirnya sekali lagi, akan menghemat biaya produksi.
Nah, kita pernah membahas di blog ini bahwa salah satu masalah terbesar dari kinerja KRAS adalah masalah efisiensi, dimana biaya produksi KRAS sangatlah tinggi sehingga laba bersihnya menjadi kecil, tak peduli sebesar apapun penjualannya. Tingginya biaya produksi tersebut disebabkan karena KRAS harus mengimpor berbagai macam bahan baku seperti yang sudah disebut diatas. Dengan adanya blast furnace, maka nantinya KRAS bisa menggunakan bijih besi produksi lokal untuk membuat besi hingga baja mentah, alias gak perlu ngimpor lagi. Atau paling tidak, impornya bisa dikurangi.
Dengan adanya efisiensi biaya produksi ini, manajemen KRAS memperkirakan bahwa pada tahun 2015, atau setahun setelah blast furnace-nya beroperasi, laba bersih perusahaan akan bertambah sekitar Rp404 milyar dibanding tahun 2014. Angka Rp404 milyar itu hanya penambahannya saja lho. Jadi laba bersih KRAS pada tahun 2015 tersebut mungkin akan berkisar di posisi Rp2 trilyun-an atau lebih, mengingat laba bersih KRAS pada tahun 2010 lalu adalah Rp1.1 trilyun.
Terus, bagaimana dengan risiko usahanya?
Diatas, disebutkan bahwa blast furnace akan membutuhkan batubara sebagai bahan bakar. Batubara yang dimaksud disini bukanlah batubara biasa, melainkan batubara jenis coking coal, yaitu batubara dengan kalori lebih tinggi dari batubara biasa. Di Indonesia, cuma ada dua perusahaan yang memproduksi batubara jenis ini, yaitu Borneo Lumbung Energi & Metal (BORN), dan Marubeni Coal (gak listing). Masalahnya, dua perusahaan tersebut belum tentu bisa menyuplai coking coal untuk KRAS, karena selain volume produksi mereka terbatas, mereka juga sudah terikat kontrak penjualan coking coal dengan berbagai perusahaan. Alhasil, kemungkinan besar KRAS harus mengimpor. Jadi jatohnya blast furnace ini ternyata sama saja: bisa membuat KRAS berhenti mengimpor bahan baku, tapi malah jadi harus ngimpor bahan bakar (kalau untuk gas, KRAS dapet pasokan dari Perusahaan Gas Negara/PGAS). Kalau misalnya harga coking coal ini dimahalin sama importir, maka ujung-ujungnya biaya produksi KRAS menjadi tetap mahal.
Disinilah mengapa penulis mengatakan bahwa proyek blast furnace ini bisa saja gagal. Persoalan bahan bakar bukanlah persoalan sepele. Jika manajemen KRAS tidak mampu menemukan pasokan yang memadai untuk kebutuhan coking coal ini, maka otomatis pabriknya gak akan jalan, dan akhirnya cuma akan jadi rongsokan besi tua. Tapi mudah-mudahan (dan memang sudah seharusnya) manajemen sudah mengantisipasi hal ini.
Berikutnya, dari investasi barang modal senilai Rp4.6 trilyun untuk proyek blast furnace ini, 85% diantaranya diperoleh dari utang. Jadi ada juga risiko tingginya beban bunga pinjaman bisa mempengaruhi laba bersih perusahaan. Untungnya, bunga pinjaman tersebut cuma 3.65% per tahun. Berdasarkan pendapat dari penilai independen yang ditunjuk perusahaan, financial internal rate of return (tingkat imbal balik) pada proyek blast furnace mencapai 15.89% per tahun, atau jauh lebih besar dibanding beban bunga yang 3.65% tadi.
Kalau anda baca lagi ulasan diatas, maka anda akan menemukan bahwa penulis berkali-kali mengatakan bahwa blast furnace ini akan menghasilkan efisiensi biaya bagi perusahaan, namun tidak menambah kapasitas produksi. Lho, katanya blast furnace itu akan menambah kapasitas produksi besi dan baja mentah sebesar masing-masing 1.2 juta dan 375 ribu ton? Ya memang. Tapi KRAS kan nggak menjual besi atau baja mentah. Mereka jualnya baja gulungan, yang merupakan produk lanjutan dari baja mentah (sebenarnya baja gulungan itu masih mentah juga, tapi setidaknya sudah setengah mateng lah). Nah, blast furnace ini tidak menambah kapasitas produksi baja gulungan tersebut, melainkan hanya mengamankan pasokan bahan bakunya. Jadi secara keseluruhan, belum ada tanda-tanda bahwa penjualan KRAS kedepannya akan meningkat signifikan kalau yang kita perhatikan adalah pembangunan blast furnace ini. Peningkatan laba bersih yang dijanjikan lebih didorong oleh harapan akan efisiensi bahan baku, bukan harapan terhadap peningkatan penjualan baja gulungan itu sendiri. Itupun dengan catatan KRAS mampu menemukan pasokan coking coal dengan harga yang ideal alias gak terlalu mahal.
Beruntung, KRAS punya proyek lain selain proyek blast furnace, yaitu proyek pabrik baja mentah yang dibangun bersama Posco Steel, dengan kapasitas produksi 3 juta ton baja mentah, dimana 1 juta ton diantaranya bisa dipakai KRAS untuk menambah kapasitas produksi baja gulungan. Proyek ini ditargetkan selesai tahun 2013. Well, kita lihat saja hasilnya nanti.
At the end, proyek-proyek tersebut masih sangat lama selesainya, yaitu tahun 2013 dan 2014. Sekarang kan masih pertengahan tahun 2011. Dan kita juga masih belum tahu apakah hasilnya akan sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Jadi kalau untuk saat ini, KRAS belum bisa direkomendasikan, mengingat kinerjanya masih turun.
Namun memang, keberadaan proyek blast furnace mungkin bisa membuat saham KRAS setidaknya bertahan diatas posisi 1,000. Selain itu kabar baiknya, manajemen mengatakan bahwa pada Mei 2011 kemarin, salah satu proyek perusahaan yaitu proyek revitalisasi di pabrik baja lembaran sudah kelar, dimana kapasitas produksinya meningkat dari 2.0 menjadi 2.4 juta ton per tahun, sehingga terdapat peluang bahwa kinerja KRAS di kuartal II nanti akan membaik. We'll see.
Btw, mungkin ada diantara anda yang belum tahu, apa sih bedanya besi dan baja? Baja adalah besi yang sudah dicampur logam nikel sedemikian rupa, sehingga menjadi lebih keras. Kalau baja anti karat alias stainless steel, adalah baja yang dicampur logam krom (chromium), namun KRAS belum mampu membuat baja jenis ini, mungkin nanti.
Penulis sempat menganalisis soal blast furnace tersebut di ebook LQ45 edisi FY10, meski cuma sekilas. Disitu penulis mengatakan bahwa mega-proyek bernilai 5 trilyun tersebut merupakan pertaruhan bagi KRAS, dimana kalau proyeknya berhasil, maka kinerja KRAS bisa saja melejit, dan harga sahamnya pun pasti ikutan naik. Tapi jika gagal, maka proyek tersebut bisa saja berakhir sebagai pabrik kaleng rombeng yang tidak menghasilkan apa-apa.
Jadi pertanyaannya disini adalah, seberapa besar peluang kesuksesan blast furnace tersebut dalam mendongkrak kinerja KRAS? Oke, mari kita bahas ini dari awal.
KRAS sebagai produsen besi dan baja, memiliki tiga fasilitas produksi utama, yaitu pabrik pembuatan besi, pabrik pembuatan baja mentah (slab steel), dan pabrik pembuatan baja gulungan (coil steel). Tiga pabrik tersebut beroperasi secara berurutan dari atas kebawah. Jadi pertama-tama KRAS mengolah bijih besi (iron ore) menjadi besi, kemudian diolah lagi menjadi baja mentah, dan terakhir diolah menjadi baja gulungan. Baja gulungan ini kemudian dipotong-potong menjadi baja lembaran, kawat baja, baja konstruksi, hingga pipa baja. Kemudian baru deh bisa dijual.
Selama ini, pabrik besi milik KRAS adalah pabrik dengan teknik direct reduction, yang menggunakan gas alam sebagai bahan bakarnya. Sementara pabrik baja mentah-nya menggunakan teknik electric arc furnace/EAF, yang menggunakan listrik. Nah, blast furnace adalah pabrik yang mampu menghasilkan besi dan baja mentah sekaligus, dengan menggunakan batubara sebagai bahan bakar. Perbedaan lainnya, blast furnace tidak membutuhkan iron ore pellet (bijih besi berbentuk butir pasir agak kasar) dalam membuat besi, melainkan cukup membutuhkan bijih besi saja. Sementara dalam membuat baja mentah, blast furnace tidak membutuhkan steel scrap (kepingan-kepingan baja tua) seperti jika menggunakan teknik EAF, melainkan hanya membutuhkan besi saja. Selama ini pula, kebutuhan untuk iron pellet dan steel scrap diperoleh dari impor, dan harganya mahal. Jadi keberadaan blast furnace ini akan membuat biaya produksi KRAS menjadi lebih efisien, karena blast furnace tidak membutuhkan dua jenis bahan baku tadi. Disisi lain, KRAS nantinya tidak perlu lagi terlalu tergantung pada pasokan gas dan listrik, karena ada alternatif bahan bakar lain yaitu batubara.
Blast furnace ini direncanakan akan selesai dibangun dan mulai beroperasi pada tahun 2014, dan akan memiliki kapasitas produksi 1.2 juta ton besi dan 375 ribu ton baja mentah per tahun. Dengan adanya tambahan produksi tersebut, maka pabrik baja mentah milik KRAS yang menggunakan teknik EAF akan lebih menghemat biaya listrik, karena 1.2 juta ton besi yang dihasilkan melalui teknik blast furnace tersebut bisa ‘diumpankan’ menjadi baja (dikelola secara langsung di pabrik baja tanpa proses panjang lagi). Terus, tambahan kapasitas 375 ribu ton baja mentah tadi diharapkan akan bisa memenuhi kebutuhan pabrik baja gulungan, sehingga KRAS tidak perlu lagi mengimpor baja mentah dari luar negeri, dan pada akhirnya sekali lagi, akan menghemat biaya produksi.
Nah, kita pernah membahas di blog ini bahwa salah satu masalah terbesar dari kinerja KRAS adalah masalah efisiensi, dimana biaya produksi KRAS sangatlah tinggi sehingga laba bersihnya menjadi kecil, tak peduli sebesar apapun penjualannya. Tingginya biaya produksi tersebut disebabkan karena KRAS harus mengimpor berbagai macam bahan baku seperti yang sudah disebut diatas. Dengan adanya blast furnace, maka nantinya KRAS bisa menggunakan bijih besi produksi lokal untuk membuat besi hingga baja mentah, alias gak perlu ngimpor lagi. Atau paling tidak, impornya bisa dikurangi.
Dengan adanya efisiensi biaya produksi ini, manajemen KRAS memperkirakan bahwa pada tahun 2015, atau setahun setelah blast furnace-nya beroperasi, laba bersih perusahaan akan bertambah sekitar Rp404 milyar dibanding tahun 2014. Angka Rp404 milyar itu hanya penambahannya saja lho. Jadi laba bersih KRAS pada tahun 2015 tersebut mungkin akan berkisar di posisi Rp2 trilyun-an atau lebih, mengingat laba bersih KRAS pada tahun 2010 lalu adalah Rp1.1 trilyun.
Terus, bagaimana dengan risiko usahanya?
Diatas, disebutkan bahwa blast furnace akan membutuhkan batubara sebagai bahan bakar. Batubara yang dimaksud disini bukanlah batubara biasa, melainkan batubara jenis coking coal, yaitu batubara dengan kalori lebih tinggi dari batubara biasa. Di Indonesia, cuma ada dua perusahaan yang memproduksi batubara jenis ini, yaitu Borneo Lumbung Energi & Metal (BORN), dan Marubeni Coal (gak listing). Masalahnya, dua perusahaan tersebut belum tentu bisa menyuplai coking coal untuk KRAS, karena selain volume produksi mereka terbatas, mereka juga sudah terikat kontrak penjualan coking coal dengan berbagai perusahaan. Alhasil, kemungkinan besar KRAS harus mengimpor. Jadi jatohnya blast furnace ini ternyata sama saja: bisa membuat KRAS berhenti mengimpor bahan baku, tapi malah jadi harus ngimpor bahan bakar (kalau untuk gas, KRAS dapet pasokan dari Perusahaan Gas Negara/PGAS). Kalau misalnya harga coking coal ini dimahalin sama importir, maka ujung-ujungnya biaya produksi KRAS menjadi tetap mahal.
Disinilah mengapa penulis mengatakan bahwa proyek blast furnace ini bisa saja gagal. Persoalan bahan bakar bukanlah persoalan sepele. Jika manajemen KRAS tidak mampu menemukan pasokan yang memadai untuk kebutuhan coking coal ini, maka otomatis pabriknya gak akan jalan, dan akhirnya cuma akan jadi rongsokan besi tua. Tapi mudah-mudahan (dan memang sudah seharusnya) manajemen sudah mengantisipasi hal ini.
Berikutnya, dari investasi barang modal senilai Rp4.6 trilyun untuk proyek blast furnace ini, 85% diantaranya diperoleh dari utang. Jadi ada juga risiko tingginya beban bunga pinjaman bisa mempengaruhi laba bersih perusahaan. Untungnya, bunga pinjaman tersebut cuma 3.65% per tahun. Berdasarkan pendapat dari penilai independen yang ditunjuk perusahaan, financial internal rate of return (tingkat imbal balik) pada proyek blast furnace mencapai 15.89% per tahun, atau jauh lebih besar dibanding beban bunga yang 3.65% tadi.
Kalau anda baca lagi ulasan diatas, maka anda akan menemukan bahwa penulis berkali-kali mengatakan bahwa blast furnace ini akan menghasilkan efisiensi biaya bagi perusahaan, namun tidak menambah kapasitas produksi. Lho, katanya blast furnace itu akan menambah kapasitas produksi besi dan baja mentah sebesar masing-masing 1.2 juta dan 375 ribu ton? Ya memang. Tapi KRAS kan nggak menjual besi atau baja mentah. Mereka jualnya baja gulungan, yang merupakan produk lanjutan dari baja mentah (sebenarnya baja gulungan itu masih mentah juga, tapi setidaknya sudah setengah mateng lah). Nah, blast furnace ini tidak menambah kapasitas produksi baja gulungan tersebut, melainkan hanya mengamankan pasokan bahan bakunya. Jadi secara keseluruhan, belum ada tanda-tanda bahwa penjualan KRAS kedepannya akan meningkat signifikan kalau yang kita perhatikan adalah pembangunan blast furnace ini. Peningkatan laba bersih yang dijanjikan lebih didorong oleh harapan akan efisiensi bahan baku, bukan harapan terhadap peningkatan penjualan baja gulungan itu sendiri. Itupun dengan catatan KRAS mampu menemukan pasokan coking coal dengan harga yang ideal alias gak terlalu mahal.
Beruntung, KRAS punya proyek lain selain proyek blast furnace, yaitu proyek pabrik baja mentah yang dibangun bersama Posco Steel, dengan kapasitas produksi 3 juta ton baja mentah, dimana 1 juta ton diantaranya bisa dipakai KRAS untuk menambah kapasitas produksi baja gulungan. Proyek ini ditargetkan selesai tahun 2013. Well, kita lihat saja hasilnya nanti.
At the end, proyek-proyek tersebut masih sangat lama selesainya, yaitu tahun 2013 dan 2014. Sekarang kan masih pertengahan tahun 2011. Dan kita juga masih belum tahu apakah hasilnya akan sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Jadi kalau untuk saat ini, KRAS belum bisa direkomendasikan, mengingat kinerjanya masih turun.
Namun memang, keberadaan proyek blast furnace mungkin bisa membuat saham KRAS setidaknya bertahan diatas posisi 1,000. Selain itu kabar baiknya, manajemen mengatakan bahwa pada Mei 2011 kemarin, salah satu proyek perusahaan yaitu proyek revitalisasi di pabrik baja lembaran sudah kelar, dimana kapasitas produksinya meningkat dari 2.0 menjadi 2.4 juta ton per tahun, sehingga terdapat peluang bahwa kinerja KRAS di kuartal II nanti akan membaik. We'll see.
Btw, mungkin ada diantara anda yang belum tahu, apa sih bedanya besi dan baja? Baja adalah besi yang sudah dicampur logam nikel sedemikian rupa, sehingga menjadi lebih keras. Kalau baja anti karat alias stainless steel, adalah baja yang dicampur logam krom (chromium), namun KRAS belum mampu membuat baja jenis ini, mungkin nanti.
Komentar
Kalau bapak berkenan mohon direview juga tentang fundamental saham PT. Indospring, Tbk (INDS). Terima kasih banyak pak.
Pak teguh mohon analisisnya buat EKAD dan LPCK.