Delta Dunia Makmur

Delta Dunia Makmur (DOID) dulunya adalah perusahaan properti dan tekstil, yang kemudian banting setir menjadi perusahaan holding untuk perusahaan jasa tambang batubara, setelah mengakuisisi PT Bukit Makmur Mandiri Utama (BUMA) pada tahun 2009. BUMA adalah perusahaan jasa tambang batubara terbesar kedua di Indonesia, dengan produksi batubara 35.0 juta ton pada 2010, dan 7.8 juta ton pada kuartal I 2011. Beberapa klien BUMA adalah Berau Coal, Adaro, dan Kideco Jaya Agung.

Masalahnya, DOID mengakuisisi BUMA menggunakan utang dari bank, ditambah lagi BUMA sendiri juga memiliki cukup banyak utang. Sehingga pada saat ini DOID masih harus bekerja keras untuk mengurangi utangnya, sebelum kemudian baru bisa menikmati keuntungan yang naik secara konsisten setiap tahunnya. Pada 1Q11, utang bank DOID tercatat 5.5 trilyun, atau mencapai 71% dari total aset perusahaan. Akibatnya bisa ditebak: besarnya bunga pinjaman cukup menekan perolehan laba bersih DOID pada tiap kuartalnya. Pada 1Q11, DOID mencatat laba bersih 155 milyar. Namun tiga bulan sebelumnya yaitu pada FY10, DOID mencatat rugi bersih 159 milyar. Laba bersih yang dicatat DOID pada 1Q11 disebabkan oleh pendapatan dari selisih kurs yang mencapai 182 milyar, atau lebih besar dari beban bunga sebesar 103 milyar. Sementara pada FY10 kemarin, pendapatan dari selisih kurs DOID hanya 194 milyar untuk periode selama satu tahun, sementara beban bunganya mencapai 542 milyar.

Logo PT Bukit Makmur Mandiri Utama

Karena itulah, perolehan laba bersih DOID pada setiap kuartalnya bisa dengan mudah naik dan turun hingga minus (rugi), bergantung pada kurs Rupiah terhadap US Dollar. Jika Rupiah lagi ‘berteman’, maka pendapatan dari selisih kurs DOID bisa menutupi beban bunga utang, dan mencegah terjadinya kerugian. Namun jika sebaliknya, maka pendapatan dari selisih kurs bisa berbalik menjadi beban, dan akan semakin memperbesar rugi yang terjadi. Dilihat dari sini, maka saham DOID menjadi tidak aman untuk dikoleksi, karena laba perusahaan dapat berubah 180 derajat setiap kuartalnya, dari untung sekian ratus milyar, menjadi rugi sekian ratus milyar juga.

Lalu bagaimana dengan right issue yang baru saja dilakukan perusahaan?

Sebelum membahas soal right issuenya, pertama-tama kita lihat dulu sejarah kepemilikan DOID ini. DOID dimiliki oleh seorang pengusaha bernama Patrick Sugito Walujo. Mr. Patrick mengambil alih DOID pada tahun 2009, yang kala itu masih bernama Delta Dunia Property. Nilai akuisisinya US$ 350 juta. Dari mana Mr. Patrick mendapat uang sebanyak itu? Dari Konsorsium Northstar Pacific, sebuah investment fund asal Amerika Serikat. Mr. Patrick adalah partner Northstar di Indonesia.

Namun, tujuan sebenarnya dari Mr. Patrick adalah BUMA. Melalui DOID, Mr. Patrick kemudian mengakuisisi BUMA pada tahun yang sama, senilai US$ 240 juta. Kalau utang BUMA ikut dihitung, maka Mr. Patrick mengeluarkan total US$ 500 juta untuk mengakuisisi BUMA. Nah, karena Mr. Patrick mengakuisisi BUMA lewat DOID, perusahaan terbuka yang terdaftar di BEI, maka Mr. Patrick kemudian memiliki opsi untuk mengakuisisi BUMA menggunakan dana pinjaman bank (soalnya bank lebih seneng ngasih pinjaman sama perusahaan terbuka, yang sahamnya bebas diperjual belikan di market). Dan beliau memang berhasil memperoleh pinjaman tersebut, sehingga BUMA bisa diambil alih, namun utang DOID jadi membengkak, dari cuma 9 milyar menjadi lebih dari 5 trilyun. Dan hingga 1Q11, posisi utang bank DOID masih di level 5 trilyunan, tepatnya 5.5 trilyun.

Mungkin karena menganggap Mr. Patrick cukup sukses dalam mengelola BUMA, Northstar kemudian memberikan tambahan modal lagi, sebesar 1.2 trilyun. Makanya kemudian DOID menggelar right issue, dimana Northstar menjadi pembeli siaganya. Kalau ada pemegang saham publik yang ikut dalam right issue tersebut, maka Northstar tidak harus mengeluarkan sampai 1.2 trilyun, alias lebih irit. Genius, isn’t it? Coba kalau Mr. Patrick mengakuisisi BUMA secara langsung, gak melalui DOID, maka penambahan modal itu nggak bisa menyertakan modal dari investor publik, soalnya BUMA merupakan perusahaan tertutup alias gak listing di bursa.

Lalu duitnya untuk apa? 38% atau sekitar 464 milyar akan dipakai buat bayar utang, dan sisanya buat mengembangkan BUMA. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, maka kinerja DOID di periode berikutnya bisa menjadi lebih baik, karena BUMA-nya sudah dikembangkan, dan utang perusahaan juga sudah berkurang meski cuma 464 milyar. Dilusi saham yang terjadi juga nggak terlalu besar, yaitu hanya 17%, jadi pemegang saham DOID tidak terlalu dirugikan, jika nggak ikutan right issue-nya.

Pertanyaannya, ‘kinerja DOID yang lebih baik’ tersebut kira-kira seberapa baik? Well, mengingat pengurangan utang yang terjadi tidak terlalu signifikan (464 milyar berbanding 5.5 trilyun), dan dana untuk mengembangkan BUMA sendiri juga tidak terlalu besar (aset BUMA pada 1Q11 tercatat 10 trilyun, lebih besar dari aset DOID 7.7 trilyun), maka DOID masih tetap membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mengatasi utang-utangnya, untuk kemudian berubah menjadi perusahaan yang mampu menghasilkan laba secara konsisten dari kuartal ke kuartal. Masalahnya, total kewajiban DOID pada 1Q11 justru nambah dibanding 1Q10, dari 5.2 trilyun menjadi 5.7 trilyun. Selain itu, BUMA mungkin masih harus membuktikan diri sebagai perusahaan jasa tambang batubara yang mampu mencatat peningkatan kinerja yang konsisten. Produksi batubaranya pada 1Q11 kemarin yang sebesar 7.8 juta ton, lebih kecil dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, yaitu 8.0 juta ton. Jadi ya, untuk saat ini DOID sepertinya belum bisa direkomendasikan. Kecuali jika dimasa depan DOID mampu mencetak peningkatan pendapatan yang signifikan, hasil dari pengembangan usaha BUMA tadi, sehingga laba bersihnya pun cukup besar dan tidak lagi harus terpengaruh oleh beban bunga pinjaman. Peluang kearah sana sebenarnya cukup terbuka, mengingat BUMA sudah mengantongi kontrak penggalian batubara untuk jangka panjang dengan nilai extraordinary, yaitu sekitar US$ 4.8 milyar.

Mr. Patrick adalah salah seorang pengusaha Indonesia yang sudah mampu menembus level tertinggi pada usia belia. Umurnya baru 35 tahun (atau mungkin 34). Selain memiliki DOID, Mr. Patrick juga merupakan pemilik dari Bank BTPN, jaringan bioskop Blitz Megaplex, dan Alfamart (tapi Alfamart kalau gak salah udah dijual). Mr. Patrick adalah menantu dari Teddy Rachmat, pemilik Bank Danamon dan Grup Adira.

Komentar

ttt mengatakan…
Terima kasih atas artikelnya, pak. Kalau saya baca dari artikel ini, DOID ini hanya alat dari si Petrik untuk main batubara, betul?

Pak, saya tertarik dengan kabar bahwa KRAS akan membangun pabrik besi "blast furnace". Bagaimana prospeknya kedepan, apakah akan membuat kinerja perusahaan lebih baik atau sebaliknya?
Alexander mengatakan…
Pak Teguh,

Buku tentang metode berinvestasi sudah saya terima.
Belum sempat dibaca secara keseluruhan, baru sekilas - sekilas saja.

Kesan saya: sangat terstruktur tapi ringan.

Mantappsss... :D
Anonim mengatakan…
Thx u pak teguh atas ulasan saham doid, tgoretha@yahoo.com
Anonim mengatakan…
Cuma satu kata untuk mengomentari tulisan ini: GOBLOK !
dewa ruci mengatakan…
waduh..klo dari dulu baca tulisan ini pasti saya tidak akan beli DOID. beli di hrga 325 sekrang hrga turun lebih dari 50%. gk dijual rugi, dijual juga rugi,

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?