Apa Itu Kuasi Reorganisasi?
Dalam beberapa waktu terakhir, beberapa perusahaan mengumumkan bahwa mereka akan menggelar kuasi reorganisasi (quasi reorganization). Sebut saja Barito Pacific (BRPT), Garuda Indonesia (GIAA), hingga Bakrie & Brothers (BNBR). Sementara yang sudah melakukannya adalah Holcim Indonesia (SMCB). Bagi investor, hal terpenting untuk ditanyakan bukanlah apa yang dimaksud dengan kuasi reorganisasi, melainkan: Bagaimana dampak dari pelaksanaan kuasi reorganisasi terhadap saham perusahaan? Seberapa besar pengaruhnya, dan apakah pengaruh tersebut bersifat positif atau negatif? Oke, kita akan membahasnya secara singkat.
Kuasi reorganisasi (selanjutnya kita sebut saja ‘kuasi’) secara simpelnya adalah tindakan secara akuntansi/pembukuan untuk menghapus saldo laba minus (defisit) yang tercantum pada ekuitas/modal, yang disebabkan oleh buruknya kinerja perusahaan di masa lalu (karena rugi melulu). Caranya adalah dengan menilai kembali (revaluation, atau adjustment) aset-aset milik perusahaan, dengan menggunakan patokan nilai wajar atau nilai pasar, atau nilai lainnya yang tersedia, plus memasukkan tambahan modal disetor, jika perlu. Pada contoh SMCB, aset yang di-revaluation adalah aset tetap (pabrik, dll) dimana setelah dinilai kembali, nilai aset tetap tersebut meningkat menjadi 8.0 trilyun, dari sebelumnya 5.4 trilyun (terdapat peningkatan 2.7 trilyun). Sehingga secara keseluruhan, total aset SMCB meningkat dari 7.5 trilyun sebelum kuasi, menjadi 10.2 trilyun setelah kuasi.
Karena aktiva (aset) meningkat, maka otomatis passiva (modal dan kewajiban) juga meningkat, juga sebesar 2.7 trilyun. Peningkatan tersebut kemudian diletakkan di bagian modal. Sebelum kuasi, pada neraca SMCB terdapat defisit sebesar 4.0 trilyun. Deifisit tersebut kemudian dihapus dengan cara memasukan peningkatan 2.7 trilyun tadi, ditambah ‘potongan’ dari tambahan modal disetor, sebesar 1.3 trilyun (2.7 + 1.3 = 4.0 trilyun). SMCB sendiri sebelum kuasi memang sudah memiliki tambahan modal disetor sebesar 3.9 trilyun. Pasca kuasi, tambahan modal disetor tersebut terpangkas 1.3 trilyun menjadi 2.6 trilyun, namun hasilnya defisit sebesar 4.0 trilyun tadi terhapuskan. Alhasil kini catatan modal SMCB sudah bersih dari defisit, dan sudah mulai mencatat saldo laba.
Analogi sederhananya begini: Anda punya uang 1 milyar, yang kemudian anda pakai untuk membeli sebuah ruko seharga 600 juta untuk disewakan, plus menggaji beberapa karyawan untuk mengelolanya dan membeli beberapa perlengkapan usaha, sehingga nilai total aset anda adalah 1 milyar. Kemudian karena satu dan lain hal, setelah satu tahun usaha anda bukannya mendapat untung tetapi justru menderita kerugian, katakanlah sebesar 300 juta, yang menyebabkan neraca keuangan usaha sewa ruko anda terkena defisit 300 juta, sehingga total aset anda menjadi tinggal 700 juta (1 milyar dikurangi 300 juta). Kemudian untuk mengembangkan usaha, anda mencoba meminjam modal ke bank, namun bank ternyata menolak memberikan anda pinjaman karena usaha ruko anda sendiri mengalami defisit. Bank baru akan bersedia ngasih kredit kalau usaha anda gak defisit lagi. Jadi masalahnya disini adalah, gimana caranya menghilangkan defisit 300 juta tadi? Anda bisa melakukan dua cara:
Pertama, anda bisa menilai kembali aset ruko anda menggunakan jasa penilai publik. Siapa tahu nilainya ternyata sudah lebih besar dari harga ketika anda membelinya, yaitu 600 juta? Kan harga properti naik terus setiap tahun? Katakanlah setelah revaluation, ruko anda sekarang bernilai 800 juta, alias terdapat kenaikan 200 juta. Sehingga total aset anda menjadi 900 juta (700 + 200 juta). Pada neraca keuangan, kenaikan 200 juta tadi digunakan untuk menutupi defisit, sehingga defisit 300 juta tadi berkurang menjadi 100 juta saja. Well, tapi tetap saja masih ada defisit dong? Maka cara kedua: Anda bisa menghapus sisa defisit tersebut, dengan menyuntikkan modal dari kantong anda sendiri, juga sebesar 100 juta. Alhasil, modal anda kini kembali lagi menjadi 1 milyar, dan neraca keuangan anda bersih dari defisit, sehingga anda bisa datang ke bank untuk minta pinjaman. Dan anda gak perlu menyuntikkan tambahan modal sebesar 300 juta untuk menutupi defisit tadi, melainkan cukup 100 juta saja.
Kembali ke contoh SMCB tadi. Jadi peningkatan nilai aset tetap sebesar 2.7 trilyun tadi bukanlah berasal dari manapun, melainkan dari penilaian kembali alias revaluation dari aset tetap. Penilaian kembali ini nggak bisa dilakukan secara ‘suka-suka gue’, melainkan harus memenuhi berbagai syarat dan prosedur. Namun tetap saja, peningkatan yang dihasilkan dari penilaian kembali tersebut hanya bersifat pembukuan alias gak nyata, karena tidak ada uang yang disetorkan. Yang nyata adalah potongan dari tambahan modal disetor sebesar 1.3 trilyun tadi. Maksud penulis begini: Kalau revaluation tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa aset tetap milik SMCB memang memiliki nilai baru yang lebih tinggi dari sebelumnya, maka kuasi-nya sukses. Tapi bagaimana kalau yang terjadi justru sebaliknya? Bagaimana kalau setelah revaluation, aset tetap milik SMCB tersebut nilainya justru turun? Kalau pakai contoh usaha ruko milik anda tadi, bagaimana kalau setelah revaluation, harga ruko anda bukannya naik menjadi 800 juta, melainkan turun menjadi 500 juta? Sebab tidak ada yang bisa menjamin kalau harga properti bakal naik terus, meskipun biasanya memang demikian. Dan kalau itu yang terjadi (nilai terbaru aset setelah revaluation justru turun), maka kuasi-nya gagal, atau kuasi-nya gak jadi dilakukan, karena itu justru akan membuat defisit yang terjadi semakin membesar.
Dan mungkin itulah yang saat ini sedang dipertimbangkan oleh manajemen BNBR. Beberapa waktu lalu, mereka mengumumkan bahwa mereka mengundur waktu pelaksanaan kuasi-nya. Mungkin penilai publik yang mereka tunjuk belum dapat menemukan alasan bahwa nilai dari beberapa aset BNBR lebih rendah dari yang seharusnya, sehingga nilai dari aset-aset tersebut belum bisa dinaikkan.
Kembali ke pertanyaan diatas, bagaimana dampak dari pelaksanaan kuasi reorganisasi terhadap saham perusahaan?
Bagi perusahaannya sendiri, kuasi akan menghasilkan neraca yang ‘bersih’ dari defisit, sehingga perusahaan akan lebih mudah berekspansi untuk mengembangkan usaha, termasuk mengajukan pinjaman ke bank. Sementara bagi para pemegang sahamnya (investor), mereka kini memiliki kesempatan untuk memperoleh dividen dari si perusahaan (karena kalau sebuah perusahaan mengalami defisit, Bapepam melarang mereka membagikan dividen), dan saham perusahaannya sendiri diharapkan akan menjadi lebih likuid karena akan lebih banyak investor yang memperjual belikannya.
Tapi itu belum menjawab pertanyaan pokoknya: Apakah harga saham sebuah perusahaan akan naik pasca kuasi? Kalau perusahaan beneran membagi dividen, dan nilainya lumayan gede, maka itu mungkin saja. Masalahnya, ketika perusahaan sudah bisa membagikan dividen, maka itu bukan berarti mereka akan benar-benar membagikannya, alias masih belum tentu. Selain itu yang terpenting sebenarnya bukan kuasinya, melainkan apa saja kegiatan yang akan dilakukan oleh perusahaan pasca kuasi. Apakah mereka kemudian akan benar-benar berekspansi, atau malah diem aja? Sebab pelaksanaan kuasi itu sendiri sebenarnya tidak berdampak apapun terhadap fundamental perusahaan, kecuali hanya memberikan ‘fresh restart’. Jadi kalau anda megang saham SMCB, maka anda sebagai investornya mungkin bisa bertanya ke manajemen SMCB: After we restart, what’s next?
Sebelum SMCB, beberapa perusahaan sudah pernah melakukan kuasi. Kalo ga salah Bapepam punya daftarnya, yaitu daftar emiten yang melakukan kuasi reorganisasi dari tahun 2003 hingga 2007. Sayangnya penulis gak bisa menemukan daftar tersebut. Padahal kalau ada datanya, kita bisa mengecek bagaimana sih pergerakan saham sebuah emiten dalam long term, setelah dia melaksanakan kuasi? Well, you better check it by yourself.
NB: Buku kumpulan analisis & rekomendasi saham pilihan untuk periode Q1 2011 sudah selesai ditulis. Anda bisa membelinya disini.
Kuasi reorganisasi (selanjutnya kita sebut saja ‘kuasi’) secara simpelnya adalah tindakan secara akuntansi/pembukuan untuk menghapus saldo laba minus (defisit) yang tercantum pada ekuitas/modal, yang disebabkan oleh buruknya kinerja perusahaan di masa lalu (karena rugi melulu). Caranya adalah dengan menilai kembali (revaluation, atau adjustment) aset-aset milik perusahaan, dengan menggunakan patokan nilai wajar atau nilai pasar, atau nilai lainnya yang tersedia, plus memasukkan tambahan modal disetor, jika perlu. Pada contoh SMCB, aset yang di-revaluation adalah aset tetap (pabrik, dll) dimana setelah dinilai kembali, nilai aset tetap tersebut meningkat menjadi 8.0 trilyun, dari sebelumnya 5.4 trilyun (terdapat peningkatan 2.7 trilyun). Sehingga secara keseluruhan, total aset SMCB meningkat dari 7.5 trilyun sebelum kuasi, menjadi 10.2 trilyun setelah kuasi.
Karena aktiva (aset) meningkat, maka otomatis passiva (modal dan kewajiban) juga meningkat, juga sebesar 2.7 trilyun. Peningkatan tersebut kemudian diletakkan di bagian modal. Sebelum kuasi, pada neraca SMCB terdapat defisit sebesar 4.0 trilyun. Deifisit tersebut kemudian dihapus dengan cara memasukan peningkatan 2.7 trilyun tadi, ditambah ‘potongan’ dari tambahan modal disetor, sebesar 1.3 trilyun (2.7 + 1.3 = 4.0 trilyun). SMCB sendiri sebelum kuasi memang sudah memiliki tambahan modal disetor sebesar 3.9 trilyun. Pasca kuasi, tambahan modal disetor tersebut terpangkas 1.3 trilyun menjadi 2.6 trilyun, namun hasilnya defisit sebesar 4.0 trilyun tadi terhapuskan. Alhasil kini catatan modal SMCB sudah bersih dari defisit, dan sudah mulai mencatat saldo laba.
Analogi sederhananya begini: Anda punya uang 1 milyar, yang kemudian anda pakai untuk membeli sebuah ruko seharga 600 juta untuk disewakan, plus menggaji beberapa karyawan untuk mengelolanya dan membeli beberapa perlengkapan usaha, sehingga nilai total aset anda adalah 1 milyar. Kemudian karena satu dan lain hal, setelah satu tahun usaha anda bukannya mendapat untung tetapi justru menderita kerugian, katakanlah sebesar 300 juta, yang menyebabkan neraca keuangan usaha sewa ruko anda terkena defisit 300 juta, sehingga total aset anda menjadi tinggal 700 juta (1 milyar dikurangi 300 juta). Kemudian untuk mengembangkan usaha, anda mencoba meminjam modal ke bank, namun bank ternyata menolak memberikan anda pinjaman karena usaha ruko anda sendiri mengalami defisit. Bank baru akan bersedia ngasih kredit kalau usaha anda gak defisit lagi. Jadi masalahnya disini adalah, gimana caranya menghilangkan defisit 300 juta tadi? Anda bisa melakukan dua cara:
Pertama, anda bisa menilai kembali aset ruko anda menggunakan jasa penilai publik. Siapa tahu nilainya ternyata sudah lebih besar dari harga ketika anda membelinya, yaitu 600 juta? Kan harga properti naik terus setiap tahun? Katakanlah setelah revaluation, ruko anda sekarang bernilai 800 juta, alias terdapat kenaikan 200 juta. Sehingga total aset anda menjadi 900 juta (700 + 200 juta). Pada neraca keuangan, kenaikan 200 juta tadi digunakan untuk menutupi defisit, sehingga defisit 300 juta tadi berkurang menjadi 100 juta saja. Well, tapi tetap saja masih ada defisit dong? Maka cara kedua: Anda bisa menghapus sisa defisit tersebut, dengan menyuntikkan modal dari kantong anda sendiri, juga sebesar 100 juta. Alhasil, modal anda kini kembali lagi menjadi 1 milyar, dan neraca keuangan anda bersih dari defisit, sehingga anda bisa datang ke bank untuk minta pinjaman. Dan anda gak perlu menyuntikkan tambahan modal sebesar 300 juta untuk menutupi defisit tadi, melainkan cukup 100 juta saja.
Kembali ke contoh SMCB tadi. Jadi peningkatan nilai aset tetap sebesar 2.7 trilyun tadi bukanlah berasal dari manapun, melainkan dari penilaian kembali alias revaluation dari aset tetap. Penilaian kembali ini nggak bisa dilakukan secara ‘suka-suka gue’, melainkan harus memenuhi berbagai syarat dan prosedur. Namun tetap saja, peningkatan yang dihasilkan dari penilaian kembali tersebut hanya bersifat pembukuan alias gak nyata, karena tidak ada uang yang disetorkan. Yang nyata adalah potongan dari tambahan modal disetor sebesar 1.3 trilyun tadi. Maksud penulis begini: Kalau revaluation tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa aset tetap milik SMCB memang memiliki nilai baru yang lebih tinggi dari sebelumnya, maka kuasi-nya sukses. Tapi bagaimana kalau yang terjadi justru sebaliknya? Bagaimana kalau setelah revaluation, aset tetap milik SMCB tersebut nilainya justru turun? Kalau pakai contoh usaha ruko milik anda tadi, bagaimana kalau setelah revaluation, harga ruko anda bukannya naik menjadi 800 juta, melainkan turun menjadi 500 juta? Sebab tidak ada yang bisa menjamin kalau harga properti bakal naik terus, meskipun biasanya memang demikian. Dan kalau itu yang terjadi (nilai terbaru aset setelah revaluation justru turun), maka kuasi-nya gagal, atau kuasi-nya gak jadi dilakukan, karena itu justru akan membuat defisit yang terjadi semakin membesar.
Dan mungkin itulah yang saat ini sedang dipertimbangkan oleh manajemen BNBR. Beberapa waktu lalu, mereka mengumumkan bahwa mereka mengundur waktu pelaksanaan kuasi-nya. Mungkin penilai publik yang mereka tunjuk belum dapat menemukan alasan bahwa nilai dari beberapa aset BNBR lebih rendah dari yang seharusnya, sehingga nilai dari aset-aset tersebut belum bisa dinaikkan.
Kembali ke pertanyaan diatas, bagaimana dampak dari pelaksanaan kuasi reorganisasi terhadap saham perusahaan?
Bagi perusahaannya sendiri, kuasi akan menghasilkan neraca yang ‘bersih’ dari defisit, sehingga perusahaan akan lebih mudah berekspansi untuk mengembangkan usaha, termasuk mengajukan pinjaman ke bank. Sementara bagi para pemegang sahamnya (investor), mereka kini memiliki kesempatan untuk memperoleh dividen dari si perusahaan (karena kalau sebuah perusahaan mengalami defisit, Bapepam melarang mereka membagikan dividen), dan saham perusahaannya sendiri diharapkan akan menjadi lebih likuid karena akan lebih banyak investor yang memperjual belikannya.
Tapi itu belum menjawab pertanyaan pokoknya: Apakah harga saham sebuah perusahaan akan naik pasca kuasi? Kalau perusahaan beneran membagi dividen, dan nilainya lumayan gede, maka itu mungkin saja. Masalahnya, ketika perusahaan sudah bisa membagikan dividen, maka itu bukan berarti mereka akan benar-benar membagikannya, alias masih belum tentu. Selain itu yang terpenting sebenarnya bukan kuasinya, melainkan apa saja kegiatan yang akan dilakukan oleh perusahaan pasca kuasi. Apakah mereka kemudian akan benar-benar berekspansi, atau malah diem aja? Sebab pelaksanaan kuasi itu sendiri sebenarnya tidak berdampak apapun terhadap fundamental perusahaan, kecuali hanya memberikan ‘fresh restart’. Jadi kalau anda megang saham SMCB, maka anda sebagai investornya mungkin bisa bertanya ke manajemen SMCB: After we restart, what’s next?
Sebelum SMCB, beberapa perusahaan sudah pernah melakukan kuasi. Kalo ga salah Bapepam punya daftarnya, yaitu daftar emiten yang melakukan kuasi reorganisasi dari tahun 2003 hingga 2007. Sayangnya penulis gak bisa menemukan daftar tersebut. Padahal kalau ada datanya, kita bisa mengecek bagaimana sih pergerakan saham sebuah emiten dalam long term, setelah dia melaksanakan kuasi? Well, you better check it by yourself.
NB: Buku kumpulan analisis & rekomendasi saham pilihan untuk periode Q1 2011 sudah selesai ditulis. Anda bisa membelinya disini.
Komentar
'Akal - akalan akutansi' agar nampak 'bersih'.
Terimakasih banyak atas pembahasannya.
Dengan kata lain, apakah perusahaan yang melakukan kuasi harus selalu mencantumkan dalam laporan keuangan bahwa mereka pernah melakukan kuasi?
Selisih kenaikan atas revaluasi akan dikanakan PPh Final 10%.
menurut saya, sebagaimana dsampaikan p teguh, kuasi ini justru adlh "peluang".
dgn peluang itu mau kita optimalkan atau tidak, kembali lagi ke manajemen.
bahwa salah satu langkah kuasi adlh asset revaluasion, iya! kena pajak? iya!
tapi dengan itu, jk asset naik signifikan, tentu akan berdampak pada perhitungan modal (yang makin kuat).
tentu saja adalah analogi "refreshment" atau "restart" kinerja juga tdk dapat diabaikan, karena ini adalah "keuntungan terbesar" dari kuasi reorganisasi. untuk "menghapus" beban rugi masa lalu...
sepanjang prosesnya benar, tentu saja ini baik bagi semua pihak.
ambil ilustrasi:
bapak/ibu baru mengambil alih sebuah perusahaan. ibu tahu betul bahwa going concern perusahaan ini sangat bagus. tp karena akumulasi rugi tahun2 sebelumnya, lap keuangan menunjukkan kumulatif rugi yang besar, padahal kinerja berjalan sudah memberikan laba positif.
untuk pengembangan perush, jika tdk ada modal sendiri, bapak/ibu perlu pinjaman bank, yang tentu saja akan sulit bagi bank memberikan pinjaman dengan indikator2 keuangan yang ada.
padahal secara faktual sbg pemegang saham, bapak/ibu sudah untung.
tapi secara neraca "seolah-olah" keuntungan yg bapak ibu hasilkan untuk "membayar / mengurangi kerugian" pemodal lama.
lantas pilihan mana yg diambil:
1. kalo ibu hanya ingin "tampil so-so" dengan modal sendiri, mending ndak usah kuasi, toh secara faktual, keuntungan masuk di kantong bapak/ibu. dpt keringanan pajak pula...
2. kalo mau tumbuh berkembang tentu neraca, rugi-laba harus tampil baik, sehingga investor baru atau kreditur dapat membatu permodalan.
demikian kira-kira. cmiiw
Contoh diatas peningkatan 200jt, anggap saja terkena pajak 10%, jadi 10% x 200jt = 20 jt.
Namun anda harus ingat peningkatan ini merupakan beban yang dikapitalisasi ke aset tetap yang nantinya akan menjadi beban depresiasi yang secara otomatis akan mengurangi income after tax jadi malah menguntungkan.
Terima kasih
PSAK 16 mengatur bahwa penilaian aset dapat didasarkan pada hasil revaluasi, namun sekali dipilih maka metode ini akan berlaku secara terus menerus (reguler). Pajak final atas revaluasi tidak dapat dikapitalisasi dalam nilai aset tetap, karena penilaian aset + kapitalisasi pajak akan menyimpang dari tujuan penetapan harga revaluasi yang telah melalui hasil uji apprisal independen.
Selain itu apabila nilai buku aset setelah revaluasi lebih besar dari nilai buku tercatat maka akan berdampak pada beban depresiasi tahun yang berikut lebih besar dari sebelumnya. Oleh karenanya hati-hati dalam melakukan revaluasi aset karena adanya dampak pajak yang harus dibebankan pada tahun dilakukan revaluasi dan dampak peningkatan depresiasi pada tahun-tahun yang akan datang. Pertanyaannya adalah sudah siapkah manajemen emiten dengan beban-beban tersebut apabila quasi reorganisasi hanya untuk sekedar mempercantik tampilan neraca tetapi tanpa diikuti dengan peningkatan kinerja perusahaan / peluang usaha perusahaan, karena ongkos untuk itu cukup besar yang malah akan menjadi beban ditahun yang akan datang. Sebaiknya memang harus ada penilaian atas rencana manajemen kedepan untuk meyakinkan otoritas pengawas dan calon kreditur / investor agar tidak semata-mata tujuannya untuk mempercantik neraca emiten tetapi adanya keyakinan bahwa kedepan kinerja emiten setelah revaluasi akan lebih baik.