Oversubscribe?

Pagi ini di koran Bisnis Indonesia, ada tulisan tentang IPO dua perusahaan milik Keluarga Hadi Surya, yaitu Jaya Agra Wattie (Jawattie) dan Buana Listya Tama (BULL). Yang menarik adalah judulnya: ‘IPO Buana Tama lebih diburu’. Judul tersebut didasarkan pada kelebihan permintaan (oversubscribe) saham BULL yang mencapai enam kali, sementara oversubscribe Jawattie cuma dua kali. Bagi pembaca artikel tersebut, judul tersebut akan langsung memberi kesan bahwa BULL lebih bagus dari Jawattie, sehingga daripada ngambil IPO Jawattie, masih mending pilih BULL.

Nah, kita tentu sudah hafal benar bahwa tingginya angka oversubscribe sama sekali bukan jaminan bahwa sebuah saham IPO memang benar-benar bagus. Masih ingat ketika Martina Berto (MBTO) menggelar IPO beberapa waktu lalu? Ketika itu penjamin emisinya mengklaim bahwa MBTO mengalami oversubscribe sampai sebelas kali. Tapi nyatanya MBTO malah anjlok dari 740 ke 500-an. Saham lainnya seperti Megapolitan Development (EMDE), juga sama begitu, padahal oversubscribe-nya mencapai empat belas kali.

Jadi sekali lagi, tingginya oversubscribe sebenarnya tidak berarti apapun. Yang berpengaruh terhadap sukses tidaknya sebuah saham IPO di market adalah kualitas fundamentalnya, tingkat kewajaran harga sahamnya, dan kondisi market. Terus bagaimana dengan prospek? Seorang analis mengatakan bahwa rendahnya permintaan IPO Jawattie jika dibanding IPO BULL, adalah disebabkan oleh tingginya resiko harga karet dimana harga karet bisa saja nggak naik seperti yang diharapkan (kita pernah membahas hal ini), meskipun secara fundamental Jawattie lebih baik dari BULL. Sementara prospek BULL tampaknya lebih cerah dari Jawattie, karena bisnis pertambangan lepas pantai saat ini sedang bagus-bagusnya, dan membutuhkan banyak jasa transportasi laut. Dan BULL sebagai perusahaan perkapalan dan pengangkutan logistik, siap memanfaatkan hal tersebut.


Pendapat tersebut tentunya gak keliru, karena kita tentunya hanya akan membeli saham yang prospek kedepannya cerah. Namun kalau anda lebih mendahulukan prospek sebagai acuan dalam membeli sebuah saham, dan mengabaikan faktor fundamental, maka siap-siap aja terkena loss. Yup, prospek bisnis BULL mungkin memang menarik karena bidang usahanya memang menjanjikan, Tapi bagaimana dengan kinerja BULL selama ini? Apakah sesuai dengan bidang usahanya yang menjanjikan tersebut atau tidak? Sekarang begini: Semua orang tahu bahwa sektor perbankan adalah sektor yang sangat prospektif di Indonesia. Tapi apakah dengan demikian kinerja seluruh emiten perbankan di BEI semuanya bagus? Tentu nggak, karena semuanya balik lagi ke bagaimana cara manajemen dalam mengelola perusahaannya masing-masing.

Kabar buruknya, secara fundamental BULL memang nggak bagus, dimana kerjanya sebelas dua belas dibanding induknya, Berlian Laju Tanker (BLTA). Pada kuartal III 2010, BULL mencatat rugi bersih US$ 4.97 juta, atau 15.8% dari total rugi bersih dialami BLTA pada periode yang sama, yaitu US$ 31.55 juta. Yup, sejak Grup BLTA dihantam krisis global pada 2008 lalu, hingga kini mereka belum berhasil mencatat kinerja positif kembali. Sebelum krisis yaitu pada tahun 2007, kinerja BLTA masih luamayan, dimana mereka mencatat laba bersih US$ 76.78 juta, sementara laba bersih BULL sendiri pada periode yang sama tercatat US$ US$ 6.89 juta. Kesalahan Grup BLTA ketika itu adalah mereka mengambil terlalu banyak utang untuk berekspansi, tanpa mempertimbangkan faktor krisis yang bisa saja menghantam bisnis mereka setiap saat. So, when the global crysis came, then BOOM!

Kabar baiknya, meski pemulihan kinerjanya terkesan lambat, namun kinerja BULL memang mengalami improvisasi signifikan, khususnya sepanjang tahun 2010 lalu. Pada kuartal III 2010, pendapatannya tercatat US$ 42.05 juta, naik lebih dari dua kali lipat dibanding periode yang sama tahun 2009. Peningkatan ini lebih menonjol ketimbang peningkatan yang dialami induknya, BLTA. Jadi meski pada LK terbarunya BULL masih merugi, namun terdapat harapan yang cukup besar bahwa pada akhirnya nanti perusahaan akan kembali mencetak laba bersih, hanya saja kita belum tahu kapan.

Namun sekali lagi, yang sedang kita bahas disini adalah soal oversubscribe. Nah, mungkin anda akan bertanya, apakah klaim oversubscribe yang diutarakan penjamin emisi BULL, bahwa BULL mengalami kelebihan permintaan hingga enam kali, itu benar atau cuma ngaku-ngaku? Nggak, itu benar kok. BULL mungkin memang mengalami kelebihan permintaan sampai enam kali. Namun yang perlu dicatat adalah, kelebihan permintaan tersebut datangnya belum tentu dari investor publik.

Ilustrasinya begini: Dalam setiap IPO, perusahaan yang akan IPO menggandeng beberapa sekuritas sebagai penjamin emisi utama, dan mitra penjamin emisi. Jumlah sekuritas yang menjadi penjamin emisi utama paling banyak hanya tiga perusahaan, Namun sekuritas yang menjadi mitra penjamin emisi jumlahnya bisa puluhan. Nah, sekuritas-sekuritas ini kemudian bisa memesan saham BULL dalam jumlah besar. Katakanlah sampai 5 milyar lembar saham (jumlah saham BULL yang dijual saat IPO adalah 7.3 milyar lembar). Katakanlah kemudian ada sepuluh sekuritas yang masing-masing memesan 5 milyar lembar, maka berapa total permintaannya? Menjadi 50 milyar saham bukan? Karena jumlah saham IPO BULL cuma 7.3 milyar, maka oversubscribe yang terjadi adalah 50 / 7.3 = 6.8 kali.

Kemudian jika sekuritas A memesan saham BULL sampai 5 milyar lembar saham, apakah dia akan memperoleh 5 milyar saham tersebut? Tentu nggak, karena kalau gitu namanya bukan go public, melainkan private placement. Sebab saham BULL yang 7.3 milyar tadi gak akan bisa dibeli hanya oleh satu investor atau perusahaan, melainkan harus disebar kemana-mana. Itu baru namanya go public. Anda sendiri kalau beli saham IPO, pernah nggak dari pesanan 100 lot misalnya, dapetnya 100 lot juga? Nggak kan? Hampir pasti dapetnya kurang dari itu.

Jadi dari pesanan 5 milyar saham tadi, yang diperoleh oleh si sekuritas A paling-paling cuma 100 atau 200 juta lembar. Disisi lain, sekuritas A sendiri sebenarnya memang tidak bermaksud membeli saham BULL sampai sebanyak itu (5 milyar lembar), melainkan hanya mengajukan pesanan saja (mau ngajuin permintaan sampai 100 milyar lembar sekalipun, gak akan ada yang melarang toh?), agar pada catatan bookbuilding BULL terjadi oversubscribe tadi, yang kemudian bisa diklaim oleh para penjamin emisi utama BULL, sebagai kelebihan permintaan.

Sekali lagi, penjelasan diatas hanya ilustrasi. Kejadian sebenarnya belum tentu seperti itu (tapi biasanya sih seperti itu). Apalagi dari oversubscribe BULL tersebut, sebagian besar berasal dari permintaan luar negeri, bukan investor lokal. Jadi kalaupun oversubscribe yang 6 kali tadi memang benar berasal dari investor publik, namun minat investor lokal (seperti kita semua) terhadap BULL ini belum jelas, apakah tinggi juga seperti minat investor asing tersebut, atau malah rendah.

Uniknya, entah hal ini disadari atau tidak oleh pihak Koran Bisnis Indonesia, pada hari Senin 16 Mei lalu, di koran tersebut masih terpasang iklan penawaran saham BULL. Padahal hari tersebut adalah hari terakhir dari jadwal penawaran saham BULL (saham BULL sudah mulai dijual ke publik sejak tanggal 12 Mei). Kalau sampai hari terakhir penawaran saham ternyata manajemen BULL masih memasang iklan untuk menarik minat investor untuk membeli sahamnya, apa itu artinya? Ya itu berarti saham IPO BULL yang ditawarkan ke publik belum habis seluruhnya bukan? alias masih ada sisa. Logikanya kalau IPO BULL benar-benar mengalami oversubscribe sampai enam kali, maka pada hari pertama penawaran sahamnya yaitu tanggal 12 Mei, semua saham IPO-nya langsung ludes terjual, sehingga BULL gak perlu lagi pasang iklan di koran atau dimanapun. Pasang iklan itu biayanya mahal lho. Jadi kalau saham BULL sudah habis tapi mereka masih pasang iklan, itu ngebuang-buang duit namanya.

Satu hal lagi. Dalam LK BLTA, nama Buana Listya Tama disingkat sebagai BULT, bukan BULL. Dan kode BULL itu sendiri sebenarnya agak rancu, mengingat dalam kata ‘Buana Listya Tama’ hanya ada satu huruf L, bukan dua! Lalu kenapa kodenya menjadi BULL? Well, mungkin itu dimaksudkan agar semakin menarik minat investor, karena kata BULL terdengar seperti ‘bullish’. Jadi nantinya akan timbul kesan bahwa BULL ini akan naik teruuuuss..

Jadi apakah BULL ini akan gagal di IPO-nya nanti? Nggak juga, kita nggak akan pernah tahu soal itu. BULL ini mau harga sahamnya ditetapkan pada level berapapun memang mahal, karena perusahaannya sendiri masih rugi (pada periode FY10, BULL memang mencetak laba bersih Rp7 milyar, tapi itu disebabkan oleh pendapatan dari revaluasi aset, bukan operasionalnya). Namun mengingat pemilik BULL sepertinya lebih mengutamakan BULL daripada Jawattie (dua perusahaan tersebut sama-sama dimiliki oleh Keluarga Hadi Surya), dimana itu tampak dari promosi IPO BULL yang jauh lebih gencar dari IPO Jawattie, maka bukan nggak mungkin justru BULL-lah yang melejit, sementara Jawattie malah anjlok. We’ll see.

Komentar

Anonim mengatakan…
Huh.. Seperti biasa, 2 jempol buat Pak Teguh!!
Anonim mengatakan…
Wah..wah..wah...mantap Pak teguh...
Anonim mengatakan…
klo nanggapi kenapa masih beriklan menurut sya hal yang wajar pak sampai hari terakhir penawaran, contoh simple lelang pengadaan barang, iklan akan terus ada sampai tgl penawaran berakhir bukan saat udah ada yg nawar dan sesuai harganya, lagian klo ber iklan beberapa hari sekaligus (paket 1 minggu) biayanya biasanya jga dpt diskon hehehe.. just share aja, yg lain two thumbs up deh
Anonim mengatakan…
nambah ilmu lagi.. thx bung teguh
Anonim mengatakan…
Ulasan yang luar biasa dari Pak Teguh.
Netral...

terima kasih
rubent mengatakan…
moga bukan menjadi BULL shit . . .
rumor-saham mengatakan…
salut untuk alasan pak teguh. sukses selalu
undewriter mengatakan…
ah kampret analis2 ini, sok tau luu, sama aja kaya Adler Manurung ! klo ga tau jangan banyak bacot !

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Penjelasan Lengkap Spin-Off Adaro Energy (ADRO) dan Anak Usahanya, Adaro Andalan Indonesia

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?

Saham BBRI Anjlok Lagi! Waktunya Buy? or Bye?