It's VIP Business

Beberapa waktu lalu, penulis menulis sebuah artikel berjudul SmartFren, How Smart! Disana pada bagian akhir artikel, penulis mengatakan bahwa Grup Sinarmas bisa meraih pinjaman dari bank-bank tertentu untuk tujuan merestrukturisasi utang-utang SmartFren (FREN), ataupun untuk modal kerja, dengan jaminan saham FREN sebanyak sekian milyar lembar yang harganya gak bisa lebih rendah lagi dari 50 perak. Pertanyaannya, bank mana yang mau ngasih pinjaman sampai sekian trilyun ke sebuah perusahaan yang rugi melulu hanya dengan jaminan saham gocapan?

Ketika penulis mengatakan bahwa Sinarmas bisa dengan mudah mencari pinjaman dari bank-bank tertentu, mungkin yang terbayang di benak anda adalah bank-bank nasional, seperti Mandiri, BCA, dan seterusnya. Nah, yang penulis maksud sebagai ‘bank’ disini bukanlah bank nasional, melainkan bank-bank dan lembaga keuangan asing. Seperti JP Morgan, Credit Suisse, Morgan Stanley, Deutsche Bank, dll. Sinarmas adalah grup besar, mereka mainnya udah bukan sama bank nasional lagi kalau itu menyangkut pinjaman besar bernilai trilyunan atau puluhan trilyun Rupiah. Memangnya bank-bank asing ini mau ngasih pinjaman ke Sinarmas hanya dengan jaminan saham gocapan? Untuk menjawabnya, terdapat dua hal yang harus diperhatikan disini.

Pertama, anda tentu hafal kalau total market cap dari BEI, atau nilai total saham di bursa secara keseluruhan, pada saat ini adalah sekitar Rp3,000 trilyun, atau US$ 300 milyar (kita pake kurs 1 Dollar = Rp10,000. Biar gampang). Ketika artikel ini ditulis, market cap BEI tepatnya adalah Rp2,985 trilyun. Meski angka tersebut tampaknya sangat besar, namun market cap BEI tersebut tergolong kecil kalau dibandingkan dengan market cap dari bursa-bursa saham di negara maju. Market cap Nikkei-nya Jepang, misalnya. Nilainya kira-kira mencapai sepuluh kali lipat market cap BEI. Bagaimana dengan bursa-bursa raksasa seperti Dow Jones dan FTSE? Tentunya kalau dibandingkan dengan mereka, ukuran BEI jauh lebih kecil lagi.

Karena itulah, BEI menjadi salah satu favorit investasi bagi bank dan fund asing, karena nilai investasi yang diperlukan disini relatif rendah. ‘Hanya’ dengan US$ 100 juta misalnya, maka sebuah fund asing sudah bisa mengkoleksi beberapa saham bluchip dalam jumlah yang lumayan banyak, plus beberapa saham recehan. Sementara kalau mereka mau berinvestasi dengan cara yang sama di Nikkei, maka dana minimal yang diperlukan bisa mencapai US$ 1 milyar.

Karena nilai investasi yang diperlukan rendah, maka para fund asing pun bisa menjadi bandar yang bisa mempermainkan harga saham-saham tertentu di BEI, alias menggoreng. Dari situ mereka bisa mendapat keuntungan lebih. Di BEI, ada banyak saham recehan dengan harga hanya Rp50 – 500 per saham, yang bisa mereka naikkan ke level tertentu, cukup dengan modal sekitar Rp100 milyar atau US$ 10 juta saja. Bagi para fund asing yang rata-rata bermodal kuat ini, uang segitu sama sekali gak banyak.

Itu satu, terkait biaya investasi yang murah dan peluang untuk ‘membandari’ market. Kedua, terkait dengan suku bunga. Anda tentu tahu kalau suku bunga bank sentral kita (BI rate) adalah salah satu yang tertinggi di dunia, mencapai 6.75% per tahun. Bandingkan dengan Inggris (0.50%), Amerika Serikat (0.25%), dan Jepang (0.10%). Tapi Indonesia gak sendirian. Beberapa negara berkembang juga memiliki suku bunga bank sentral yang tinggi. Contohnya Brazil (11.25%), Turki (6.50%), Mesir (8.25%), dan Hungaria (6.00%). Kesimpulannya, suku bunga bank sentral di negara maju biasanya jauh lebih rendah dibanding di negara berkembang. Karena itu, suku bunga secara umum di negara maju juga lebih rendah dibanding di negara berkembang. Ini menjelaskan mengapa para pemilik dana dari negara-negara maju lebih suka menginvestasikan dana mereka di negara-negara berkembang, karena bunga yang mereka peroleh bisa lebih tinggi. Kalau sebuah perusahaan di Amerika menerbitkan obligasi, maka bunga yang ditawarkan paling-paling hanya 3% per tahun. Sementara kalau perusahaan Indonesia menerbitkan obligasi, bunga yang ditawarkan bisa mencapai 12% per tahun.

Kemudian mungkin akan ada pertanyaan: kenapa suku bunga di negara berkembang lebih tinggi dibanding di negara maju? Itu karena tingkat resiko investasi di negara berkembang dianggap lebih tinggi dibanding di negara maju. Nah, karena tingkat resiko investasi di Indonesia dianggap tinggi, maka para pemilik dana asing lebih suka menginvestasikan dana mereka pada Perusahaan atau grup usaha di Indonesia yang sudah mapan dan memiliki nama besar. Misalnya Grup Bakrie, Sinarmas, Lippo, Salim, Bhakti, dan seterusnya. Berinvestasi pada Grup-Grup usaha tersebut dianggap lebih aman dari resiko gagal bayar (default) dibanding jika berinvestasi pada Grup-Grup usaha yang berukuran lebih kecil dan tidak terkenal, sedangkan disisi lain bunga yang ditawarkan sama besarnya. Makanya jangan heran kalau Grup-Grup besar yang disebutkan diatas rata-rata memiliki banyak utang. Sebab mereka terbilang gampang buat nyari utang. Beberapa waktu yang lalu, Lippo Karawaci (LPKR), salah satu anak usaha Grup Lippo, menerbitkan obligasi global senilai US$ 125 juta yang ditawarkan ke para investor asing. Dan ternyata, obligasi tersebut mengalami kelebihan permintaan sampai enam kali.

Kesimpulannya, investor asing mungkin memang kurang berminat terhadap investasi di sektor riil di Indonesia (misalnya mendirikan pabrik), karena alasan klasik, yaitu rumitnya birokrasi di pemerintah dan minimnya sarana infrastruktur. Tapi kalau di sektor non riil seperti saham dan surat utang, Indonesia adalah surganya. Disini, dana asing bisa dengan mudah masuk dan keluar market setiap saat. Dan kalau ada sebuah perusahaan besar yang menerbitkan surat utang untuk investor asing, maka surat utang tersebut biasanya jarang kekurangan peminat, karena tingginya bunga yang ditawarkan.

Kembali ke masalah SmartFren

Pada artikel sebelumnya, penulis mengatakan bahwa Grup Sinarmas berhasil memberikan ‘nilai pasar’ sebesar Rp3.8 trilyun untuk Smartel, dengan me-merger-nya dengan Mobile-8 yang sudah listing di bursa (sehingga Smartel secara tidak langsung listing di bursa melalui FREN). Nilai pasar tersebut berbentuk saham sebanyak 75.7 milyar lembar pada harga Rp50 per saham.


Pada artikel tersebut, penulis menekankan bahwa nilai pasar Smartel tersebut tidak bisa lebih rendah dariRp3.8 trilyun, karena harga saham FREN di market tidak bisa lebih rendah dari 50 (kalau harga off market sih bisa saja lebih rendah dari 50, tapi yang diincar Sinarmas kan nilai pasar, bukan nilai lainnya). Karena kini Smartel sudah memiliki saham yang terdaftar di bursa, maka Sinarmas bisa menggunakan saham Smartel tersebut untuk nyari utang, untuk tujuan tertentu seperti merestrukturisasi utang SmartFren, menambah modalnya untuk ekspansi, dan lainnya. Katakanlah utang tersebut nilainya Rp1.5 trilyun, dengan jaminan 25% saham FREN senilai Rp1.7 trilyun (pada harga 50).

Pertanyaannya, bank mana yang mau ngasih pinjaman ke Sinarmas, kalau jaminannya cuma saham gocapan? Ya bank atau lembaga keuangan asing, bukan lokal. Kenapa mereka mau ngasih? Karena empat hal. Pertama, yang meminjam adalah Sinarmas, salah satu grup usaha paling besar di Indonesia. Kedua, bunga yang ditawarkan oleh Sinarmas termasuk tinggi (bagi para investor asing ini). Ketiga, nilai pinjamannya gak besar, ‘cuma’ Rp1.5 trilyun atau US$ 150 juta. Dan Keempat, karena jaminannya berbentuk saham recehan yang bisa dengan mudah dicairkan di market, atau digoreng sewaktu-waktu. Kalau jaminannya berbentuk aset Smartel seperti bangunan dan mesin-mesinnya, maka para bank ini ga akan terlalu berminat, sebab aset berbentuk seperti itu tidak bisa dengan cepat dicairkan, kalau misalnya Sinarmas gagal membayar utangnya. Ini sekaligus menjelaskan kenapa Sinarmas ‘meng-saham-kan’ Smartel.

Dan Sinarmas tentunya gak mungkin menawarkan pinjaman yang tidak bisa mereka lunasi bukan? Sinarmas akan meyakinkan bank bahwa gabungan Smartel dengan Mobile-8 dalam bentuk SmartFren akan memberikan dampak positif bagi kedua perusahaan, mengingat industri telekomunikasi di Indonesia masih prospektif. Jika suatu waktu nanti SmartFren akhirnya bisa mencetak laba bersih, maka saham FREN akan naik dengan sendirinya (tanpa perlu digoreng), dan tidak mandek di posisi 50 lagi. Kalaupun saham FREN susah naik karena jumlah saham yang beredar kelewat banyak, maka terdapat opsi untuk me-reverse sahamnya.

Terus, untuk mengantisipasi kemungkinan SmartFren gagal mencatat peningkatan kinerja sehingga sahamnya tetap saja gak beranjak dari posisi 50, maka dalam perjanjian utangnya akan terdapat klausul dimana saham yang dijadikan jaminan tersebut bisa dibeli oleh Sinarmas lagi, sehingga si bank akan mendapatkan uangnya kembali. Memangnya dari mana Sinarmas punya duit untuk membeli saham jaminan tersebut kalau SmartFren bahkan ga mampu mencetak laba? Lho, SmartFren kan bukan satu-satunya perusahaan yang dimiliki oleh Sinarmas. Mereka masih punya ratusan perusahaan lainnya. Jadi kalaupun SmartFren ini ‘kenapa-napa’, mereka masih bisa menggunakan uang dari perusahaan lainnya untuk membayar utang mereka.

Tapi kalau Sinarmas punya duit, kenapa mereka gak membayar sendiri saja utang-utang dari SmartFren secara tunai? Atau menyuntikkan modal kedalam SmartFren kalau tujuannya adalah untuk meningkatkan modal untuk ekspansi? Well, kalau mau gampangnya ya seharusnya memang begitu aja. Tapi dalam bisnis terutama yang terkait dengan perusahaan terbuka (yang sebagian sahamnya dimiliki oleh investor publik), strategi membayar utang dengan restrukturisasi, atau menambah modal melalui utang, adalah lebih bagus daripada melunasi utang atau menyuntikkan modal secara tunai. Kenapa? Karena cicilan utang tersebut beserta bunganya bisa dibayar menggunakan perolehan laba SmartFren yang akan diperoleh kemudian. Jadi Sinarmas gak perlu mengeluarkan dana tunai untuk memodali atau melunasi utang SmartFren.

Tapi kalau begitu caranya, nantinya laba bersih SmartFren bakal tertekan dong, karena besarnya cicilan utang yang harus dibayar plus bunganya? Ya memang, tapi itu gak masalah. Kalau laba bersih SmartFren kecil, maka dividen yang harus dibayarkan ke investor publik pemegang sahamnya juga jadi cuma sedikit kan? Sehingga bisa dikatakan bahwa gak cuma Sinarmas, tapi investor publik juga secara tidak langsung ikut membayar utang-utang SmartFren. Mengingat mayoritas investor saham di Indonesia lebih peduli pada kenaikan harga saham daripada pembagian dividen, maka dalam hal ini investor publik juga tidak dirugikan, tentunya dengan catatan kinerja SmartFren memang meningkat, sehingga secara alamiah harga sahamnya bisa terus menguat tanpa perlu digoreng.

Dan peningkatan kinerja sebuah emiten gak perlu selalu ditandai oleh kenaikan laba bersih, tapi ada yang lebih penting yaitu kenaikan laba operasional dan lainnya. XL Axiata (EXCL) juga tidak membayar dividen pada tahun fiskal 2009 lalu, karena laba bersihnya ketika itu masih kecil. Tapi itu tidak mencegah harga sahamnya untuk terus naik, karena fundamentalnya memang membaik seiring dengan meningkatnya modal, pendapatan, dan laba operasionalnya, serta berkurangnya utang-utangnya. Pada akhir 2009 lalu, EXCL masih berada di posisi 1,930.

Nah, mungkin strategi harga saham gocapan dan lain-lain yang dilakukan Sinarmas terhadap SmartFren ini memang terdengar seperti teori konspirasi, karena saking rumitnya. Tapi sebenarnya itu cuma strategi bisnis biasa kok. Hampir semua Grup Usaha besar juga melakukan strategi yang kurang lebih sama, dan itu menunjukkan betapa jeniusnya mereka. Disini juga tidak ada pihak yang dikibuli atau semacamnya, karena semua pihak mendapatkan keuntungannya masing-masing. Yup, it’s VIP business, dude!

Pembahasan aksi korporasi diatas hanyalah salah satu ilustrasi (bukan aksi korporasi sebenarnya), mengenai apa saja yang bisa dilakukan Sinarmas terhadap Smartel, setelah me-merger-nya dengan Mobile-8. Dan kalau penulis perhatikan, belakangan ini Sinarmas sepertinya kembali agresif berbisnis. Mereka meng-IPO-kan Bank Sinarmas (BSIM) dan PT Bumi Kencana Sakti (BKES, anak usaha Dian Swastatika Sentosa/DSSA), menginvestasikan US$ 500 juta untuk membangun industri hilir kelapa sawit melalui PT Smart (SMAR), hingga mengkonsolidasikan bisnis properti mereka dengan cara menyatukan Bumi Serpong Damai (BSDE), Duta Pertiwi (DUTI), dan beberapa perusahaan properti lainnya. Dan termasuk me-merger Smartel dengan Mobile-8 dalam bentuk SmartFren. Pertanyaannya tentu, what’s next?

Tapi Sinarmas gak sendirian. Grup usaha lainnya yang belakangan ini juga lagi banyak ‘bermain’ adalah Lippo. Secara historis, dua grup ini kinerjanya jelek (yang bagus itu Grup Astra). Namun dalam setahun terakhir, kinerja mereka berdua sepertinya mulai meningkat.

Btw, artikel ini bukan berarti penulis merekomendasikan FREN ya. Kinerja FREN dimasa depan mungkin (hanya mungkin saja, alias belum tentu) akan menguat pasca masuknya Sinarmas. Tapi kalau untuk saat ini, FREN masih sangat jelek secara fundamental.

Pengumuman: Meski sekarang sudah tanggal 1 Maret, tapi jumlah emiten yang sudah merilis LK ternyata masih belum banyak (duh, kenapa jadi begini sih?). Jadi penulis nggak bisa memastikan kapan persisnya ebook analisis edisi FY10 akan selesai ditulis. Mudah-mudahan pertengahan Maret ini deh.

Komentar

Anonim mengatakan…
bagus pak teguh ulasannya, saya tunggu ulasan selanjutnya

ebook yg baru kpn baru bisa dibeli?
Wawan-Newbie mengatakan…
Tetaplah objektip dan independen gan,.
gan sekalian tolong diulas mengenai buble market gan,biar klo turun lage kaya di january kemaren newbie seperti saya ini ga ketar ketir gan...hehehe
thx gan
:)
Anonim mengatakan…
pak teguh, mohon ulasannya tentang prospek pgas dan sgro di 2011 ini.
AGUNGNC mengatakan…
Saya baru berpikir nyampe jakarta, mas teguh dah nyampe LA!!!(u are VIP BRAIN!!!)
PIC mengatakan…
Pak teguh terima kasih, tulisan bapak sangat menambah wawasan. saya ada pertanyaan pak, apakah strategy bisnis spt SMARTFREN yg kelihatannya rumit tapi sebenarnya biasa ini juga yg terjadi pada VALLAR + BNBR tempo hari ? utk LK emiten 2010 yg banyak telat, mungkin supaya indexnya tertahan dulu pak sampai dgn waktu yg sudah disepakati :)
tetus mengatakan…
Pak Teguh, terhadap saham FREN. Tolong diberikan rating saham dan kinerjanya? trima kasih...
Anonim mengatakan…
Pak, gimana Fren di 2012 n rencana reverse stocknya??? Sudah ada analisanya tentang hal ini?? tks.
Dari : Eka

ARTIKEL PILIHAN

Ebook Investment Planning Q3 2024 - Sudah Terbit!

Live Webinar Value Investing Saham Indonesia, Sabtu 21 Desember 2024

Prospek PT Adaro Andalan Indonesia (AADI): Better Ikut PUPS, atau Beli Sahamnya di Pasar?

Mengenal Investor Saham Ritel Perorangan Dengan Aset Hampir Rp4 triliun

Pilihan Strategi Untuk Saham ADRO Menjelang IPO PT Adaro Andalan Indonesia (AADI)

Prospek Saham Samudera Indonesia (SMDR): Bisakah Naik Lagi ke 600 - 700?

Saham Telkom Masih Prospek? Dan Apakah Sudah Murah?